Senin, 07 Oktober 2019

OPINI-TAK PEDULI PENTING ISI

Oleh : Andrik

“Buanglah sampah pada tempatnya,” slogan ini pasti tidak asing bagi kawan semua. Peringatan yang ada di tempat strategis guna menanggulangi pembuangan sampah sembarangan.




Memang, ketika membahas sampah tidak ada habisnya. Plastik yang bermanfaat bagi masyarakat ternyata hama yang merusak ekosistem kehidupan. Meskipun masyarakat tahu, seakan-akan hanya angin sore yang sedang berlalu, mereka acuh tak acuh akan hal itu. Begitu besar dampak negatifnya.

Namun kali ini bukan buang sampah secara hakiki, melainkan tersimpan makna majas di dalamnya. Yakni kegiatan masyarakat Indonesia yang enggan meninggalkan konsumsi empat sehat lima sempurna.

Bagaimana tidak? Mayoritas masyarakat Indonesia sering konsumsi jajanan yang sedikit nutrisinya, seperti gorengan, minuman es dan produk instan lainnya. Apalagi lingkungan pondok pesantren, serasa sukar dihindari. Bahkan semua itu jadi makanan favorit. Tanpa disadari banyak negatifnya bagi kesehatan manusia.

Mulai gorengan saja, sudah ditaksir dampak negatifnya. Gorengan itu sering dikonsumsi masyarakat. Siapa yang tak suka gorengan? Saya yakin semua suka.Tapi, kawan, perlu tahu bahwa sangat berbahaya mengosumsi gorengan berlebihan. Apalagi enggak bagi-bagi! Mengapa bahaya? Karena menimbulkan penyakit kronis seperti hipertensi, gangguan pencernaan, sampai kanker.

Gangguan pencernaan, lemak di gorengan menimbulkan gangguan pencernaan, yakni tersingkirnya bakteri Miobia dalam perut. Bakteri ini menjaga perut. Kemampuan imunnya mampu menjaga kekebalan dalam perut. Seringnya konsumsi gorengan dapat merusak kekebalan, sehingga menimbulkan penyakit-penyakit itu.

Lemak jenuh adalah pemeran utama pemicu terjadinya penyakit kronis. Banyak orang tidak tahu bahwa penjual gorengan sering memakai minyak yang tidak higienis. Contoh: minyak berkali-kali dipakai, padahal itu tidak baik. Yang lebih parah minyak digoreng bersama plasiknya.

Pemakian minyak tadi memicu terjadinya penyakit berbahaya. Hipertensi (darah tinggi) berarti tensi darah yang naik. Siapa sangka pemicunya adalah konsumsi gorengan berlebihan. Maka masarakat harus hati-hati jika beli gorengan di sembarang tempat. Jalan yang aman, jauhi makanan itu. Tapi kalau sedang ingin lebih baik buat sendiri. Era ini kan serba canggih, kalau hanya buat gorengan mudah, bisa cari di Google atau share dengan teman.

Sehubungan dengan gorengan, santri juga jadi konsumen terbesar, padahal kalau diteliti, mereka tergolong orang-orang pasif (kurang gerak dan olahraga). Sehingga konsumsi yang kurang higienis makin memperburuk kesehatan mereka.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa makanan mengandung lemak tinggi dan berbahaya sangat disukai masyarakat. Untuk meminimalisirnya, sebaiknya ada anjuran atau program sehat seperti memproduksi Nagasari, Utri dan makanan sehat lain. Intinya terlepas dari lemak.

Atau opsi ke dua tetap jual makanan yang mengandung lemak seperti Alpokat. Karena nyatanya tubuh memang butuh kadar lemak sebagai cadangan makanan. Dengan produksi lebih unik saya yakin akan membawa hasil.

Beralih ke es. Es campur, es krim dan minuman dingin ini sangat populer di masyarakat. Dengan meminumnya dapat menghentikan dahaga. Apalagi di musim kemarau, pasti es jadi menu utama. Tapi perlu tahu juga, es punya unsur negatif. Orang yang sering mengonsumsinya mengalami salah satunya perut buncit, usus buntu, dan lain-lain.

Dingin es dapat membekukan sari-sari makanan dan lemak yang ada di perut, sehingga semuanya tidak diurai. Dampaknya sari-sari itu mengendap dan menyumbat usus, terjadilah usus buntu. Saking bahayanya dokter menyatakan bahwa es lebih bahaya daripada rokok.

Selanjutnya adalah produk instan seperti Sarimie, Indomie, Mie Duo, dan lain-lain. Semua yang disajikan dengan instan jelas mengandung bahan pengawet. Pengawet itu ketika dikonsumsi bisa hancur dalam tiga hari. Untuk Mie Duo ada yang mengatakan sampai tujuh hari karena kandungan lilin yang banyak. Waduh, coba bayangkan! Jika setiap hari makan, berapa banyak racun yang mengendap dalam tubuh. Akhirnya, orang zaman sekarang sering terkena penyakit-penyakit berbahaya. Sampai ada perkataan dalam bahasa jawa, “Lek saiki penyakit aneh-aneh, pancen seng dipangan macem-macem,” yang artinya “Sekarang penyakit aneh-aneh karena yang dimakan macam-macam.”

Tentu pendapat mereka begitu, karena dulu makanannya dominan sayuran dan ikan yang masih segar dan higienis. Itulah tadi permasalahan konsumsi masyarakat Indonesia dan kalangan pesantren. Maka masing-masing individu harus sadar bahwa sehat itu mahal.

Sabtu, 14 September 2019

OPINI-ARIFNYA PITUTUR JAWA

Oleh: MUHAMMAD FARHAN

Tak dapat dimungkiri, pitutur-pitutur masyarakat pribumi pada masa lampau amatlah kental dengan kearifannya. Sedangkan kearifan itu sendiri, yang dalam sebagian literatur dinyatakan dalam kata-kata bijak, adalah salah satu etos yang sangat dianjurkan oleh agama manapun, termasuk agama dengan prosentase terbanyak di dunia, ad-diin al-haq, Islam.



Sebagai masyarakat pribumi dari salah satu suku di Indonesia, Jawa—yang oleh salah satu budayawan kondang Indonesia, M.H. Ainun Najib atau biasa disebut dengan Cak Nun, disebut sebagai masyarakat dengan peradaban tertua yang pernah ada di dunia—pitutur- pituturnya amatlah banyak dengan kearifan-kearifan yang amat mendalam, baik dari segi penalaran atau dari segi sipritual.

Ada Witing Trisno Jalaran Soko Kulino salah satu pitutur yang sangat sering disebutkan oleh para pujangga. Diakui atau tidak, salah satu sebab seseorang dapat merasakan akan adanya getaran hati karena rasa cinta yang membara adalah seringnya bersua. Diakui atau tidak, ketika Anda sering bersua dengan seorang perempuan, maka dalam lubuk hati Anda akan dirasakan getarnya hati yang entah dari mana rasa itu berasal dan tumbuh.

Dalam magnum opusnya, Ihya’ Ulum ad-Din, Al-Ghazali memberikan statemen yang senada dengan statemen di atas. Efek dari cinta adalah selalu menyebutkan nama dari kekasihnya tersebut. Para kiai pun juga menerapkan konsep itu. Pada setiap rampungnya salat, biasanya para kiai membiasakan para santrinya—atau dalam ranah formal disebut siswa/mahasiswa—untuk membaca wirid. Hal ini tak lain dan tak bukan hanyalah trik para kiai untuk membiasakan santrinya terbiasa bersua dengan rabb-nya. Dan dengan seringnya bersua inilah diharapkan bagi para calon cendekiawan muslim untuk dapat menumbuhkan rasa mahabbah mereka kepada rabb-nya, Allah Swt.

Contoh kedua dari pitutur arif Jawa adalah Tepa Selira, kata yang sangat singkat namun teramat padat. Tepa selira adalah ungkapan Jawa kuno yang mengandung makna “ukurlah perbuatan apa saja dengan diri kita.”

Jawa memang pandai dalam hal sindir-menyindir. Tak dapat kita menutup mata bahwa kebanyakan dari kita suka berbuat seenak hati—dalam ranah yang lebih keras menyebutkan semena-mena—namun tak mengukur dengan hati nurani.

Mereka memukul, namun tak mau dipukul. Mereka menginjak, namun tak mau diinjak. Mereka mencaci, namun tak mau di caci. Mereka mengkritik, namun tak mau dikritik. Mereka mencuri, namun tak mau dicuri. Aneh kau kata? Memang aneh dikata. Namun itulah kita. Terima atau tidak.

Pada masa sugeng-nya, yang mulia kanjeng rasul sayyiduna Muhammad saw. telah mewanti-wanti kita agar kita dapat mencintai saudara kita sedalam diri ini mencintai diri sendiri. Sulit kau kata? Memang sulit dikata. Namun semua memang berproses, tak dapat instan. Sabar.

Kita diajarkan dalam banyak kasus yang balasannya harus sepadan dengan perbuatan. Jinayah, misalnya. Ketika kita membunuh satu orang dengan motif terencana, maka balasannya pun tak lain dan tak bukan adalah balasan yang setimpal, mati. Atau ketika kita hanya melukai seseorang saja, maka balasannya pun tak lain dan tak bukan adalah balasan yang setimpal, dilukai dengan taraf yang sama. Harus sepadan, tak boleh ada ketimpangan. Harus sama rasa. Harus tepa selira.

Mbangane mati ngantuk, luwung mati umuk.  Mungkin inilah perwakilan dari pitutur Jawa yang syarat akan makna. Ma’na lughawi—etimologi—dari pitutur itu mungkin akan sangat bertentangan dengan batasan agama. “Dari pada mati hanya karena sebab mengantuk, lebih baik mati karena congkak.”

Allah mengajarkan kepada kita lewat rasul-Nya untuk menjauhi sifat tercela yang berupa sombong. Bukan tanpa sebab, karena memang hanya Si Super Power-lah yang pantas menyandang gelar tersebut, Allah Swt. semata. Banyak dari firman-Nya yang teramat mencela akan sifat ini.

Dalam Riyadh as-Shalihin, beliau yang mulia as-syaikh An-Nawawi menyebutkan beberapa hadis yang menerangkan konsekuensi pada si pelakunya, baik ketika di dunia atau ketika di akhirat nanti. Tak hanya dari si utusan, beliaupun juga menyebutkan kalam-kalam dari Pengutusnya, mulai dari larangan bagi si sombong untuk berjalan di muka buminya Allah hingga kisah tragis dari si sombong Qarun. Namun dalam pitutur itu bukan sombong yang sekadar sombong, melainkan sombong dengan penalaran yang agak jauh.

Sombong adalah suatu hal—atau dapat disebut juga dengan sifat—yang hanya dimiliki oleh orang sombong. Orang yang sombong tentunya mempunyai suatu hal yang patut disombongkan. Suatu hal yang patut disombongkan ini tentunya berada di atas rata-rata yang sudah ada. Suatu hal yang berada di atas rata-rata itu, misalnya, adalah sebuah karya. Sebuah karya tentunya butuh jerih payah yang luar biasa, yang dihasilkan dari etos kerja. Panjang? Memang agak panjang. Sederhana? Setidaknya agak saja.

Adapun pekerjaan mengantuk adalah suatu hal yang tak menghasilkan apa-apa. Tak ada jerih payah. Tak ada suatu hal yang luar biasa.  Tak ada yang istimewa. Tak ada etos kerja. Semua berjalan ala kadarnya. Biasa biasa saja.

Maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pitutur tadi mengajak kita untuk membuat suatu karya istimewa yang dapat dikenang oleh masa, bukan hanya sombong semata. Maka terjemah pas dari racikan bahan yang ditelaah adalah: “lebih baik mati dalam keadaan berkarya, daripada harus mati konyol belaka.”

Pitutur yang selanjutnya adalah aja cedhak kebo ghupak. Penalarannya cukup sederhana.  Ketika kita ingin bersihnya badan, maka jangan sekali-kali mendekat terhadap kerbau yang sedang berendam di kolam lumpur. Jika Anda ingin tetap bersih, maka jangan dekati mereka yang kotor. baik dari segi rohani ataupun perilaku jasmani. Namun sebaliknya, bila Anda kotor maka dekatilah mereka yang bersih. Hal ini sudah lumrah berlaku di masyarakat awam.

Syaikhuna Az-Zarnuji Al-Alim Al-Allamah dalam kitab karangannya, Ta’lim al-Muta’allim, menyebutkan bahwa jika diri Anda ingin tahu tentang seseorang, maka cukup bagi Anda untuk mengetahui siapa karibnya. Karib baik, baik pula ia. Karib buruk, buruk pula ia.

Lalu bagaimana dengan para preman? Apakah kita tak ada kewajiban untuk menjangkaunya dalam rangka dakwah? Apakah kita hanya ada kewajiban inkar bil qalbi saja? Ataukah kita tetap wajib ingkar bil yad dengan risiko kita akan tertular getah buruknya?

Tentu semua itu ada pertimbangannya. Tak dapat diputuskan tanpa adanya tafshil. Ketika ingin tetap bersih walau dalam keadaan dekat—atau bersentuhan langsung—dengan kerbau yang berendam di kolam lumpur, maka alternatf terampuh adalah melindungi diri kita yang bersih dengan mantel--atau  bisa disebut dengan pelindung tubuh—yang baik dan layak pakai. Masalahpun terselesaikan. Analogi yang sederhana.

Ketika kita ingin mengajak mereka, para preman jalan itu, untuk mengikuti jejak dari penjelajah spritual, maka tak lain dan tak bukan kita harus menyiapkan mantel iman dan mantel mental. Namun apalah daya ketika kita tak punya mantel keduanya, maka sebatas ingkar bil qalbi-lah kewajiban kita. Tak lebih dan tak kurang.

Kearifan kelima tentang pitutur Jawa terletak pada kata ngono yo ngono, ning ojo ngono. Kaidah inilah yang mungkin diaplikasikan oleh para Wali Songo. Beliau-beliau memang ahli dalam strategi. Beliau-beliau menerapkan konsep ini dalam strategi dakwah beliau di tanah Jawa.

Dalam banyak literatur, banyak disebutkan bahwa beliau-beliau tak pernah dengan keras menyatakan bahwa ini haram, ini bid’ah, ini dosa, dan lain sebagainya. Namun bukan lantas beliau-beliau mendiamkan suatu perkara yang mungkar tersebut, tetapi belau-beliau lebih memilih dengan menerapkan strategi dakwah yang halus.

Beliau-beliau mengambil cara terbaik. Mengambil poros tengah. Beliau-beliau mengambil jalan yang sekiranya tak akan berbenturan antara agama dengan adat masyarakat pribumi pada umumnya.

Banyak sampel yang dapat diambil sebagai contoh. Misal, ketika dulu masyarakat pribumi menaruh sepiring—atau dalam jumlah yang lebih besar disebut dengan talam—sesajen di pojok rumah atau di bawah kayu yang dianggap keramat, maka para Wali Songo tak lantas mengharamkan, melainkan dengan cara mengubahnya menjadi ajang shilaturrahmi yang dilengkapi dengan amal baik yang berupa sedekah.

Atau ketika para wali berdakwah menggunakan seni rupa yang berupa musik. Mulai dari yang bernama Bonang hingga yang bernama lain. Mereka malah membuka pertunjukan mereka kepada semua kalangan—tak memandang agama—untuk mengikuti acara seni tersebut dengan hanya membayar tiket berupa dua kalimat syahadat. Assyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadarrsuulullah.

Bijak sekali. Sungguh arif bahasamu, suku Jawaku.

Senin, 26 Agustus 2019

Pidato Kemerdekaan; Hubbul Waton Ala Santri Atas Dasar Mahabbah (Gus Athok)

(Berikut adalah amanah dalam upacara 17 Agustus 2019 di PP. Raudlatul Ulum I, yang disampaikan oleh Gus Athok Lukman selaku Pembina dalam Upacara tersebut).

Saya teringat salah seorang Indosianis dari Amerika, tahun 60-an dia berbicara tentang nasionalisme di Indonesia. Salah-satunya kesimpulan dari hasil risetnya tentang kebangsaan di Indonesia adalah bahwa Nasionalisme di Indonesia, Kebangsaan di Indonesia, sumbangsih terbesar disumbang oleh umat Islam. Kontribusi pembangunan dalam Nasionalisme di Indonesia, itu diberikan oleh umat Islam.
Pidato Kemerdekaan; Hubbul Waton Ala Santri Atas Dasar Mahabbah (Gus Athok)


Kalau kemudian pertanyaan ini dilanjutkan, umat Islam yang mana yang memberikan kontribusi besar di dalam Nasionalisme atau Kebangsaan, Cinta Tanah Air di Indonesia? Maka, saya dapat memastikan bahwa Muslim terbesar (dalam memberikan kontribusi besar di dalam Nasionalisme di Indonesia) adalah Muslim yang punya afiliasi terhadap Pesantren. Jadi, Kalian (para santri) adalah turunan-turunan secara genealogis pengetahuan yang memberikan kontribusi besar terhadap kebangsaan di Indonesia ini. Sehingga sangat wajar, dan ini harus disadari oleh semua santri, bahwa Indonesia berdiri, saham terbesarnya adalah dari kalangan Muslim, khususnya adalah kaum pesantren. 

Dalam konteks ini, maka ketika kemerdekaan sudah diraih, Bung Karno mengatakan  “ kemerdekaan adalah jembatan emas untuk pencapaian keadilan sosial, kemerdekaan adalah jembatan emas bagi pencapaian cita-cita kebangsaan”. Bagi kaum santri, Cinta Tanah Air, Kemerdekaan dan pemaknaan terhadap kemerdekaan itu tidak boleh dilepaskan dari cinta Allah, cinta kepada Rasulullah. Sehingga Hubbul waton-nya santri atau kontribusi santri terhadap pengisian kemerdekaan ini adalah ekspresi terhadap cinta Allah dan Rasulnya. Sehingga, Nasionalisme ala santri itu bukan nasionalisme ala chauvanistik ala Eropa, yang kemudian membenarkan rasnya sendiri atau golongannya sendiri, tapi nasionalisme yang berakar kuat terhadap kebatinan kita sebagai hamba Allah, yang kemudian harus menterjemahkan ke dalam realitas kehidupan sosial untuk kebaikan rahmatan lil alamain.

 Jadi,  hubbul waton atau cinta  tanah air harus berangkat dari kecintaan kita kepada Allah dan Rasul. Kalau kita ambil sampel tentang bagaimana Rasullah menyatukan umat di  Madinah. Pada waktu itu Islam hanya sepertiga dari komunitas Madinah. Kemudian disatukan oleh Rasulullah dengan Piagam Madinah. Dengan Piagam Madinah itu, kemudian proses sosial yang terjadi adalah untuk kebaikan bersama. 

Nah, dengan ini, kalau kita melihat Pancasila di Indonesia, sebenarnya memiliki kesamaan dengan Piagam Madinah. Sehingga, bagi santri sudah tidak ada namanya NKRI bersyariah. Sudah tidak ada pertanyaan apakah Indonesia ini Thagut atau bukan? perlu khilafah atau bukan? Tidak. Indonesia sudah final. Dengan Pancasila tahun 45 yang dirumuskan oleh BPUPKI dan lain sebagainya, sudah menjelaskan bahwa Bangsa Indonesia atau Negara Indonesia tidak bertentangan dengan agama Islam. 

Dengan ini, santri tidak mencita-citakan Negara Syariah atau Khilafah di Indonesia. Karena bentuk final hari ini adalah pencapaian, tidak hanya pencapaian pengetahuan tapi juga pencapaian spiritual yang direpresentasikan oleh semisal Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahid Hasyim dan sebagainya, yang notabene itu adalah kiai-kiai kita. Intinya, satu, jangan terlena dengan bujukan-bujukan untuk menciptakan khilafah di Indonesia. Bohong. Bohong semua (bujukan) itu. 

Jangan terlena dengan bujukan menciptakan NKRI bersyariah, itu kamuflase.
 Seakan-akan yang diciptakan, didirikan, dirembuk oleh Kiai Hasyim Asy’ari, yang dirembuk oleh Kiai Wahid Hasyim, itu belum bersyariah.
Tidak! Sudah! Tanpa embel-embel resmi bersyariah, Indonesia ini, secara nilai,  tidak bertentangan dengan Agama Islam. Dan ini penting untuk diketahui oleh para santri. 

Sehingga nanti ketika kalian sudah kembali ke masyarakat dan berkontribusi terhadap pembangunan kemerdekaan ini, maka yang tidak boleh hilang adalah kecintaan kepada Allah dan Rasulnya. Dan kemudian ekspresi bagaiamana kalian berkontribusi terhadap masyarakat adalah sesuai dengan peran masing-masing. Anda Boleh berperan sebagaia apapun, apapun secara sosial. Tetapi, orientasi dari semua itu adalah ketauhidan, mahabbah kepada Allah dan Rasulullah.

lihat versi videonya di chanel youtube kami : Asy-Syafaah TV

Minggu, 25 Agustus 2019

KURANGNYA KESADARAN KEBERSIHAN


oleh: M. Choirul Anam

Pondok pesantren adalah tempat persinggahan bagi kalangan santri untuk minimba ilmu. Berbagai ilmu yang dipelajari di pondok pesantren itu beraneka ragam, seperti Nahwu, Fikih, Sarraf, dan lain-lain.

Selain itu, di pondok pesantren juga diajarkan kepada para santrinya untuk menjaga kebersihan. Salah satunya adalah dengan cara diadakanya jadwal piket setiap harinya, karena kebersihan merupakan bagian penting untuk kesehatan dan kebersihan adalah sebagai pelengkap keimanan.

Kenyataan yang terjadi di pondok pesantren kita, anak-anak itu sering meremehkan pentingnya kebersihan. Buktinya masih banyak sampah berserakan yang sering diabaikan walaupun itu sepuntung rokok.

KURANGNYA KESADARAN KEBERSIHAN
Pengurus pun bingung bagaimana cara menghadapi hal tersebut. Segala upaya telah dikerahkan tetapi tetap saja kekotoran merajarela di setiap tempat.

Kamar mandi yang seharusnya bersih tetapi pada kenyataanya kotor. Aliran air pembuangan sering kali tersumbat akibat teman-teman santri yang membuang sampah sembarangan, padahal sudah ada tempat sampahnya tapi tetap saja teman teman teman santri itu membuang sembarangan. Hal ini bisa membuat nyamuk-nyamuk berkembang biak dan jika telah berkembang biak nyamuk-nyamuk tersebut bisa menggigit dan menyebabkab penyakit.

Apalagi tempat pembuangan sampah yang berada di selatan kompleks pesantren, dulu sebelum dipindah ke utaranya SMK. Sampah yang seharusnya dinaikkan ke bak sampah tidak dilakukan dengan benar oleh teman-teman. Sampah yang seharusnya berada di bak truk tapi malah berceceran di bawah.

Hal yang sangat mengherankan adalah teman teman itu membuang sisa makanan ke pot bunga dan membuat bunga-bunga itu menjadi layu terus mati. Bukan itu saja, sisa makan yang dibuang ke pot tersebut lama-kelamaan akan dikerumuni ulat.

Hari Jumat pagi adalah hari kerja bakti santri. Kebanyakan santri itu bukan mengambil sapu atau alat bersih-bersih lainya, akan tetapi yang diambil adalah selimut dan bantal.

Jadi kita itu harus sadar dan jangan menunggu disuruh baru kita melakukan. Kita harus membersihkan tempat-tempat yang kotor tanpa disuruh oleh siapapun dan kita harus sadar bahwa hidup sehat itu amatlah penting.

Rabu, 14 Agustus 2019

Sedekah Mengubah Segalanya



Oleh: Efendi

Sedekah, mungkin kata ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Pasti semua orang pernah melakukan hal semacam ini meskipun tidak kita sadari.

Sedekah merupakan hal positif yang berada di sekitar kita. Dari kegiatan ini kita bisa membantu sesama. Tapi dari semua itu, ada juga sisi negatif dari sedekah yang marak dan sudah terjadi di sekitar  kita. Salah satunya kemalasan.

Banyak orang jadi malas bekerja. Mereka hanya mengandalkan belas kasihan dari orang-orang yang nota-bene berduit tapi murah hati. Banyak oknum tidak bertanggung jawab yang menyelewengkan kesempatan ini. 

Perlu diketahui,  sejatinya mereka itu orang orang  yang bisa dianggap mampu. Tapi karena dorongan nafsu, mengingat hasil dari seperti halnya mengemis itu lumayan besar, maka mereka pun tergoda.

Kalau kita ingat-ingat lagi tentang tradisi yang marak dan berkembang di tanah tercinta ini, Indonesia sangat lekat dengan kemistisannya. Di tanah ini pula pernah berdiri banyak kerajaan Islam. Banyak umat Islam di tanah Jawa ini yang mempunyai ibadah atau rutinan yang tidak dimiliki oleh bangsa atau negara lain.

Kebiasaan ini, yang tersebar luas seiring dengan perkembangan Islam dan persebaran orang-orang Islam di Jawa, adalah seperti tahlilan, salawatan (muludan) dan  kegiatan lain yang bernafaskan Islam. Kegiatan ini tak lepas dari makanan dan minuman yang dihidangkan (disedekahkan) kepada sanak atau saudara yang diundang. 

Peran penting dari sedekah atau hidangan ini, pertama, adalah untuk disedekahkan pahalanya kepada orang (keluarga) yang sudah meninggal, syukuran, menunjukkan rasa bahagia yang disalurkan kepada saudara-saudara atau pada tetangga.

Sedekah Mengubah Segalanya
Aneka macam berita tentang sedekah pun akan terus berlanjut seiring dengan berkembangnya zaman. Pada era milenial ini, yang ditandai dengan berkembangnya teknologi, tentu banyak berita yang sudah tersebar luas tentang mega-sedekah yang dilakukan saudagar-saudagar kaya seperti Bill Gates dan istrinya yang membangun sebuah gedung di Afrika. Gedung ini dibangun untuk menyebarkan bantuan yang berasal dari kedua orang ini. Berikutnya adalah Mark Zuckerberg yang telah membantu dengan melunasi hutang Afrika kepada Jepang.

Sebagai makhluk yang berakal, seharusnya kita tidak berpikiran sempit mengartikan masalah sedekah. Sedekah itu banyak sekali macamnya, seperti zakat, infak, hibah dan lain sebagainya.

Kita dapat pula memerinci artinya dari hal-hal di atas, seperti sedekah adalah sesuatu yang dikeluarkan baik berupa benda fisik maupun non fisik. Zakat merupakan materi yang berupa harta yang wajib dikeluarkan dan penerimanya pun harus orang-orang tertentu dan tidak sembarang orang menerimanya. Adapun pengertian dari infak adalah sesuatu yang dikeluarkan dengan penerima siapa saja.

Perlu diketahui memang dampak dari sedekah itu lumayan besar. Banyak bangsa yang hidup dari sedekah itu sendiri, sepeti negara Palestina. Negara ini dari dulu sampai sekarang tidak habis-habisnya dijajah sehingga tidak mengherankan kalau banyak orang yang tidak bisa bekerja. Mereka hanya bisa pasrah untuk urusan masalah perut. Jangankan untuk makan, bernafas saja mereka kesulitan. Sehingga, banyak negara yang berbondong-bondong untuk meluncurkan bantuan ke wilayah Palestina, khususnya jalur Gaza. Salah satunya adalah Indonesia.

Kalau dilihat dari jumlah warganya, tak heran jika Indonesia bisa menghidupi warga atau masyarakat di negara lain. Dengan kalkulasi atau perhitungan,  apabila warga Indonesia sendiri menyumbang per orang 1000 rupiah, yang uang ini mungkin menurut kita kecil, jika dikalikan dengan penduduk Indonesia  yang berjumlah  -+370 jutaan, maka negara kita bisa menghidupi Negara-negara yang butuh bantuan atau kekurangan.

Jumat, 09 Agustus 2019

CERITA MISTIS DARI LUMAJANG

oleh: Andrik

Semeru, siapa sih yang tak tahu paku bumi satu ini? Iya benar. Gunung Semeru adalah gunung terbesar di pulau Jawa. Banyak keindahan tercitra di dalamnya. Mulai dari puncak Mahameru yang dikenal dengan B29, Telaga Ranu Kumbolo,  hingga panorama air terjun Coban Sewu dan lainnya.

Namun tidak semua orang tahu, di balik keindahan yang tertera ternyata banyak hal mistis yang belum terpecahkan. Sedangkan, sampai sekarang kepercayaan animisme (roh nenek moyang) dan dinamisme (kesaktian) menjadi acuan masyarakat dalam memutuskan keadaan.

Salah satu dari misteri-misteri itu adalah Alas Semeru. Hutan lebat yang digunakan untuk mencari kayu bakar atau berburu itu ternyata memendam banyak hal mistis.

Dulu ada pendaki dari Jerman berjumlah empat orang, mereka melakukan penelitian, tapi sayangnya mereka tewas tanpa diketahui penyebabnya. Konon, penduduk setempat percaya bahwa penyebabnya mereka tidak pamit pada penunggu Alas Semeru.
CERITA MISTIS DARI LUMAJANG

Padahal secara logis keadaan udara sekitar gunung itu sudah menipis, bisa saja mereka mati karena kehabisan oksigen. Meskipun demikian, tetap saja orang-orang asing ini menjelajahi hutan Semeru. Padahal banyak bahaya lainnya seperti hewan buas, lumpur hidup dan masih banyak lainnya.

Sekitar tahun 1995, ditemukan seorang turis yang hampir mati saat mendaki. Turis ini ditemukan oleh seorang warga desa kaki gunung semeru (Supiturang) yang sedang mencari kayu bakar. Ternyata turis itu tidak sendiri, sembilan temannya tewas terjebak di lumpur hidup.

Sebenarnya dia hampir mati karena kehabisan asupan. Untung saja ada warga yang menemukannya. Kalau tidak, mungkin dia sudah mati.

Bicara tentang penunggu, Alas Semeru terkenal dengan sosok manusia istimewa. Namanya adalah Mbah Seddek. Beliau adalah penjaga alas dan gunung.

Nama aslinya Abu Bakar Assiddik, dipanggil Mbah Seddek karena kebiasan orang Jawa yang sering mengubah nama. Hal ini wajar, karena orang jawa dulu tidak fasih mengucapkan kata dari bahasa Arab.

Banyak keanehan yang ada pada sosok Mbah Seddek, salah satunya adalah ketika beliau meninggal, makamnya tidak ada yang tahu sampai sekarang. Konon, ketika ada manusia yang berhati bersih, dia dapat melihat dan berziarah di makam tersebut.

Lebih anehnya, ada sebagian orang yang ditemui Mbah Seddek. Cerita yang beredar, katanya kalau Mbah Seddek bertamu, maka beliau menguji masyarakat setempat, sudi berbuat baik atau tidak. Ketika mayoritas masyarakat mencerminkan perilaku yang tidak baik, maka desa itu akan terkena bala’.

Salah satu contohnya adalah desa Sumbersari. Desa ini terkenal dengan masyarakatnya yang kaya raya. Oleh karena itu, desa ini dinamakan demikian.”Sumber” artinya  sumber sedangkan ‘’Sari’’ artinya harta, kalau digabung artinya sumber mencari harta. Itulah persepsi masyarakat. Memang dalam kurun waktu yang singkat desa itu menjadi desa biasa.

Selain itu, di Alas Semeru ada juga misteri Genderuwo. Mahluk gaib yang memiliki    badan besar, berwarna hitam, bertaring dan bertanduk itu diinformasikan sering mengganggu masyarakat.

Contohnya, ada seorang pemburu tiba-tiba menghilang. Dicari-cari seharian tak kunjung ditemukan. Akhirnya, pagi itu dia ditemukan berada di 400 meter dari lokasi. Mereka menganggap bahwa orang tadi terkena halusinasi. Cara mengatasinya adalah  membalik baju yang sedang dipakai. Serem, aneh, lucu. Tapi, percaya tidak percaya, itulah kenyataannya.

Hal mistis lainnya adalah Santet. Berbicara daerah Lumajang memang tak luput dengan cerita Santet.

Para pemilik ilmu Santet selalu cari gara-gara pada orang lain. Tujuannya, agar mendapat korban. Kalau sudah terjadi pertikaian, baru santet dimainkan.

Ilmu santet adalah ilmu hitam yang harus dijauhi. Tetapi, kita harus mempelajarinya agar dapat menghindar. Dan masyarakat setempat harus kompak dalam menangani dan menghakimi orang itu. Dengan demikian, masalah-masalah sepele ini bisa selesai.

Seperti yang terjadi di desa ringin. Ada perempuan pemilik santet yang sering buat ulah. Meskipun mayoritas masyarakat sudah tahu, tapi mereka tak berani menghakimi karena tidak punya bukti jelas. Ahirnya mereka berembuk. Hasilnya mereka berhasil menjebak terdakwa dan menghukum sesuai prosedur.

Jangankan orang bejat, kiai saja ada yang melakukan hal buruk itu. Di daerah Jember ada kejadiannya. Seorang pengasuh pondok pesantren berinisial A disantet oleh sesama kiai berinisial B. Masalahnya sepele, karena si B iri pada jumlah santri si A, sehingga si B tega menyantet si A. Hanya saja yang digunakan bukan ilmu hitam, melainkan ilmu putih. Tapi tetap saja yang ditinjau adalah digunakan sebagai apa? Jika buruk, maka ditetapkan sebagai ilmu negatif.

Kepercayaan-kepercayaan yang masih mistis di atas memang sudah umum di masyarakat. Namun, perlu dimengerti dan dipahami bahwa pengetahuan, kepercayaan animisme, mitos, mistik, maupun yang berbau religius itu, tidak keseluruhan benar, tapi memang ada beberapa poin yang dapat dibenarkan dan bisa dibuktikan.

Untuk menangani kesalahan-kesalahan  diperlukan pengetahuan lebih mendalam. Seharusnya, tokoh agama dan juga para pakar membantu dalam penyuluhan pengetahuan, khususnya bagi orang-orang awam. Dengan  demikian , semua akan terkondisi dengan rapi dan dapat menghadirkan dampak negatif bagi masyarakat setempat.

Rabu, 07 Agustus 2019

Beda Jalan Satu Tujuan


Oleh: A. Imam Fathoni


Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita tentang pengeboman di beberapa daerah, baik di luar maupun di dalam negeri.Seperti yang terjadi di Surabaya beberapa saat yang lalu, seorang wanita berjubah hitam bersama anaknya lari ke arah gereja dengan tujuan ingin meledakkan diri di dalam gereja. Akan tetapi wanita itu dapat dicegah oleh satpam penjaga gerbang.

Di Jawa Tengah, entah di mana tepatnya, seseorang ditangkap karena menjadi terduga teroris. Dengan barang bukti berupa bahan-bahan kimia yang diduga digunakan untuk meracik bom, orang tersebut pun digerebek petugas. Bahkan di beberapa kasus lain, sang terduga teroris ada yang sempat melawan, hingga ada yang sampai ditembak mati. Mereka (terduga teroris) melakukan aksi-aksi tersebut tidak secara individual, tapi pergerakan mereka itu sudah terorganisir.

Menurut kesaksian para tetangganya, sang terduga teroris merupakan orang yang sangat taat beribadah, seorang yang baik pada tetangga. Tidak ditemukan sifat kriminal pada mereka, meski ada dari sebagian dari sang terduga merupakan sosok yang anti sosial (tertutup). Kebanyakan dari mereka adalah pendatang, yang terkadang mereka enggan menjawab dari mana mereka berasal. Kemungkinan alasan mereka berpindah adalah untuk lebih dekat dengan target atau menghindar dari sisiran aparat.

Menurut hasil identifikasi, mereka (sang terduga) adalah seorang Muslim, yang rata-rata adalah alumni pesantren. Maka banyak orang yang sudah sangat kesal dengan aksi mereka menyatakan bahwa pesantren adalah “sarang teroris’’. Kata-kata yang sangat menyakitkan bagi masyarakat Muslim, khususnya yang ada di lingkungan pesantren seperti santri dan kiainya, bahkan alumni.

Pada kenyataanya pondok pesantren bukanlah tempat pelatihan para teroris atau militer. Lah wong pemilik pesantren itu hanya kiai sepuh yang mungkin jika diberi senjata bingung mau diapakan. Yang diajarkan di pesantren hanyalah bagaimana menjadi Muslim yang baik dan benar sesuai dengan syariat agama melalui kitab-kitab klasik yang isinya hanya tentang bagaimana berperilaku yang baik, tata cara salat dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ajaran tentang “jihad” pun dimengerti dalam maknanya yang luas, tidak hanya bermakna berperang melawan orang yang beda agama, namun juga berkhidmah kepada masyarakat melalui pelayanan pendidikan, pemberdayaan ekonomi, atau menjaga kerukunan masyarakat.

Ada beberapa kemungkinan sang alumni pesantren yang menjadi terduga teroris bisa melakukan hal tersebut. Mungkin tidak terlalu pintar dalam masalah agama (alim). Mereka salah dalam menafsiri pokok dasar agama (Quran-hadis), sehingga mereka merasa benar untuk melakukan aksi-aksi tersebut.

Kemungkinan yang lain,  mereka masuk ke dalam Islam jalur radikal, yang awalnya mereka hanya diyakinkan bahwa Islam yang seperti inilah yang benar menurut aturan Tuhan dan utusannya, sehingga mereka percaya dengan aliran tersebut. Atau memang mereka sudah didoktrin mulai sejak kecil oleh orang tuanya, seperti dipertontonkan adegan cara membunuh sandra atau tahanan, atau adegan kekejaman yang lainya. Pada dasarnya kejadian seperti itu memang ada di negeri ini.
Beda Jalan Satu Tujuan


Oleh karenanya Indonesia membubarkan kelompok-kelompok Islam radikal di negeri ini, seperti pembubaran HTI, atau kelompok radikal lainya. Meski secara organisasi dibubarkan, tapi gerakan mereka masih tetap berjalan, meskipun hanya di bawah tanah (diam-diam). Masyarakat yang anti radikalisme memang lebih banyak di negeri ini, tapi bukan berarti kaum radikal yang sedikit tidak bisa berkutik. Bisa jadi yang sedikit itu lebih aktif daripada yang banyak.

Untuk kaum yang non radikal, biasanya mereka memilih jalan yang lebih damai untuk melakukan aksinya, seperti mengadakan pengajian, istighosah, atau acara-acara yang berbau keagamaan yang lebih bersahabat dan tidak mengganggu ketenangan orang lain. Semua itu adalah syiar (ajakan) untuk mempersatukan masyarakat, atau islamisasi secara halus.

Mereka semua, baik yang teroris, Islam radikal, ataupun non radikal, mempunyai tujuan yang sama, yaitu memperbaiki agama, membuat Islam agar lebih baik. Meskipun cara yang mereka lakukan berbeda-beda. Kita sebagai masyarakat biasa, bukan berarti hanya bisa pasrah dengan keadaan yang ada. Kita juga bisa bergerak untuk memperbaiki agama agar menjadi lebih baik, seperti memberi bantuan kepada yang lebih membutuhkan, atau menjaga keluarga kita agar tidak terperangkap ke dalam aliran-aliran yang meresahkan.

Kamis, 01 Agustus 2019

Islam Tidak Harus Arab



Oleh : A. Imam Fathoni

Mula-mula Islam berasal dari Nabi sang pembawa risalah yang berkebangsaan Arab. Sosok pemimpin masyarakat Muslim pertama itu bernama Nabi Muhammad. Kemudian diteruskan oleh empat pengganti (khalifah) yang meneruskan kepemimpinanya secara berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya menuntut Islam dipimpin dengan sistem kerajaan (monarkhi).
            Islam menyebar luas ke seluruh dunia. Perkembangan-perkembangan pun terjadi, bahkan ada sekian negara atau kerajaan yang mengklaim dirinya sebagai negara atau kerajaan Islam. Dengan ideologi  politik yang berbeda-beda dan bahkan saling bertentangan, mereka menyatakan diri sebagai “ideologi Islam. Jika di bidang politik saja sudah berbeda-beda, apa lagi di bidang lain, seperti misalnya budaya, atau yang lainya?
Islam Tidak Harus Arab
Image by Pixabay

            Islam awalnya hanya berbentuk seruan atau ajakan, kemudian berkembang menjadi fikih yang dimasukkan ke dalam beberapa buah mazhab. Masing masing dari mazhab tersebut mempunyai metode dan pemikiran tersendiri.
            Terkemudian lagi muncullah sederet pembaruan Islam, mulai dari yang radikal, setengah radikal, dan ada pula yang tidak radikal sama sekali. Pembaruan demi pembaruan pun dilancarkan. Mereka mengajukan klaim memperbaiki fikih dan menegakkan agama yang sebenarnya, yang biasa mereka sebut dengan “syariat,” meskipun penganut fikih dari madzhab lain pun menamai anutan mereka sebagai syariat.”
            Gerakan-gerakan itulah yang menuntut perubahan Islam di berbagai negara, terutama di bidang kebudayaan. Seperti yang terjadi di negeri kita ini, masjid yang beratap genteng susun tiga yang sarat dengan simbolisasi lokal dituntut untuk dikubahkan. Gending Jawa yang berisi ajakan untuk masuk Islam diganti dengan qosidah yang berbahasa Arab. Bahkan ikat kepala lokal atau udeng sudah digeser oleh sorban atau imamah yang kesemuanya itu agar Islam bisa seragam.
            Tak hanya pada bidang budaya, cara pengambilan hukum pun harus diseragamkan dan diformalkan, yakni harus ada pengambilan formalnya yaitu Alquran dan hadis. Tidak seperti dulu yang cukup dengan apa kata kyai.
            Kalau memang seperti ini, berarti masyarakat muslim di negeri ini, khususnya, dan di Negara Negara lain harus kehilangan kebudayaannya. ketika masyarakat Hindu menemukan kekhusyukan rohaninya melalui gending tradisional Bali, apakah kaum muslimin masih “berqosidahan Arab” dan melupakan “pujian” berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?
            Dan juga mengapa harus menggunakan kata salat jika kata “sembahyang” juga benar? Dan mengapa harus di musallakan padahal dahulu hanya cukup dengan kata langgar? Dahulu tuan guru atau kiai, sekarang ustaz dan syaikh baru berwibawa. Kalau memang demikian berarti Islam telah mencabut kebudayaan dari berbagai dunia.
            Yang mereka lakukan seharusnya Islamisasi, bukan Arabisasi. Untuk menjadi orang Islam itu tidak harus menjadi orang Arab atau seperti orang Arab. Apa salahnnya jika ada istilah Islam tanah Jawa ?