Terkadang nestapa bukan karena perpisahan
Justru merindu yang tak lagi berhingga
Maka dalam hidup tak ada lagi album kenangan
JEJAK PPQ AL-QOSIMI
PUTUKREJO GONDANGLEGI
MALANG
Oleh: Gus Mad
Sejarah
Singkat
Pondok
Pesantren Al-Qur’an (PPQ) Al-Qosimi adalah pesantren tahfidz yang berdomisili
di desa Putukrejo kecamatan Gondanglegi kabupaten Malang. Pesantren yang
dikhususkan bagi santri putri itu tercatat lahir pada tanggal 03 Oktober 2014 M
atau 08 Dzulhijjah 1435 H. Sejak tanggal 29 November 2016, nama pesantren
tahfidz ini mengalami perubahan dari PPQ-RU 2 manjadi PPQ Al-Qosimi. Perubahan
tersebut disebabkan oleh keinginan Ning Maria Ulfa, selaku Pengasuh, yang
mendambakan berkah (tabarruk) dengan semudera ilmu dan karomah kemuliaan KH
Qosim Bukhori sebagai pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2 Putukrejo
Gondanglegi Malang.
Di
awal-awal proses berdiri pesantren ini dimulai dari tiga orang santri yang
berminat menyetorkan bacaan Al-Qur’an kepada Ning Maria Ulfa di rumahnya kala
itu sudah berada di lokasi belakang dalam lingkungan PPRU 2. Ketiga santri
putri tersebut adalah Nur Aini, Maftuhah dan Maulidiya, dengan ragam setoran;
bil ghaib dan binnadzar. Pada mulanya, ning yang biasa dipanggil Ning Ulfa itu,
enggan menyertai mereka berdua secara serius karena kesibukan sebagai guru di
SMA RU 2 saat itu telah banyak menyita waktunya. Sejak tahun 2008, Ning Ulfa
telah berperan aktif mengajar di unit formal, bahkan pada tahun 2011 sekian
bulan seusai lulus dari IAI Al-Qolam Gondanglegi ia mengikuti pelatihan guru
sertifikasi di Surabaya dan dinyatakan lulus pada tahuan 2012.
Namun
kegigihan ketiga santri itu, akhirnya membuat hati Ning Ulfa berubah dari
sedikit kesal menjadi trenyuh, sehingga bertekad menanggalkan status guru di
unit formal demi meladeni santri-santri yang tetap getol melakukan setoran
bacaan pada putri bungsu Yai Qosim itu. Secara bertahap jumlah peserta
setor-baca Al-Qur’an yang dilakukan usai shalat Shubuh itu bertambah dan terus
bertambah dari tiga, delapan, empat belas hingga akhirnya menjadi dua puluh
lima santri. Memperhatikan grafik santri putri yang kian menanjak, membuat Ning
Ulfa mulai berfikir persoalan tempat tinggal yang kemudian merelakan ruang
makan disulap menjadi kamar inap mereka dengan menyekat kamar santap keluarga
menjadi dua petak.
Setelah
dilihat jumlah santri calon penghafal Al-Qur’an kian meroket, Ning Maria Ulfa
mengutarakan kondisi tersebut sekaligus memohon doa restu kepada Nyah Hj.
Zainab Qosim, maka pada pertengahan tahun 2015 Nyah Hj. Zainab Qosim meminta H.
Lukman, agar mewakafkan tanah dan bangunan dibelakang rumah Ning Maria Ulfa
untuk kepentingan hunian para santri penghafal Al-Qur’an. Di tahun itu, ruang
hunian diperlebar ke arah timur sesuai luas tanah yang diberikan oleh salah
satu ahli waris Abah Mahmudji tersebut.
Pada bulan Juni 2018, Pengasuh PPQ
Al-Qosimi Putukrejo mengeluarkan
informasi bahwa mengingat fasilitas pesantren yang terbatas, maka kuota
penerimaan santri baru tahun ajaran 2018/2019 diancang hanya menerima 10 orang.
Berkaitan dengan kabar itu, Ning Ulfa sebagai Pengasuh memohon maaf jika
pendaftaran santri baru ditolak. Hal demikian dilakukan semata-mata demi
kenyamanan santri, karena ruang huni mereka yang sudah tidak layak untuk
ditambahkan santri baru.
Kondisi demikian ini membuat Nyah
Hj. Zainab Qosim tergerak untuk kembali
melobi keluarga (almarhum) Abah Mahmudji supaya mempertimbangkan lahan di utara
rumah Ning Ulfa. Melalui berbagai proses, akhirnya pada bulan Agustus 2018, PPQ
Al-Qosimi menerima hibah tanah seluas
736 M² dari keluarga besar (almarhum) Abah Mahmudji. Pelaksanaan pengukuran
lahan kosong itu selain dihadiri wakil keluarga Abah Mahmudji, juga disaksikan
oleh keluarga (almarhum) KH Qosim Bukhori. Pada tahun 2019 dimulai pembangunan
gedung kamar yang diancang tiga lantai di atas lahan tersebut dengan proyeksi
lantai pertama sebagai kamar hunian, lantai dua sebagai ruang aula dan lantai tiga
ruang kelas.
Pada
akhir tahun 2020 pembangunan gedung dua lantai telah dimulai. Pembangunan yang
masih berlangsung ini (tahun 2021) diproyeksikan lantai bawah sebagai kamar
kecil, lantai atas diperuntukkan sebagai tempat cuci dan jemuran.
Tiga
Landasan
Kelahiran
pesantren yang di kemudian hari menjadi bagian dari unit PP Raudlatul Ulum 2
Putukrejo itu didasarkan pada tiga landasan pokok, yaitu:
Pertama,
Firman Allah SWT:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ
اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ
إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
[QS.
08:02]
Kedua,
pesan KH Qosim Bukhori: “Kalau diberikan rezeki anak perempuan, suruh
menghafal Al-Qur’an saja di zaman sekarang. Biar lebih selamat.”
Ketiga,
nalar ilmiah: Kemajuan teknologi disertai kebebasan tanpa batas yang melahirkan
kehidupan paradoks dengan nilai-nilai agama membuat degradasi moral generasi
muslim dipandang mulai mencapai titik nadir mengkhawatirkan. Sebab itulah,
satu-satu solusi penyelamatan adalah kembali kepada pedoman agung dalam Islam.
Program
Kegiatan
Rutinitas di PPQ Al-Qosimi memuat
aspek hafalan: [1] Baca-simak (setoran) kepada Pengasuh bagi santri yang telah mencapai
per-lima juz, dan kepada para ustadzah bagi santri yang belum mencapainya; [2] Pengulangan
(muraja'ah) bagi santri yang memperlancar hafalan, baik individu maupun dengan teman
sebaya. Ujian (imtihan) bagi santri yang telah menambah hafalan melalui tahapan
ustadzah dan Pengasuh; [3] Baca umum (majelis qira'ah) bagi santri yang telah lulus
verifikasi tertentu untuk membaca Al-Qur’an lewat pengeras suara; [4] Baca
personal di makam Yai Qosim Bukhori bagi santri yang telah berhak memperoleh legalisasi
dari Pengasuh.
Selain itu, ada pula program kegiatan
yang memuat aspek ubudiyah: [1] Shalat berjamaah lima waktu yang harus diikuti oleh
santri sejak suara adzan dikumandangkan dengan ketentuan mendengarkan, menjawab
dan membaca doa setelah adzan secara bersama-sama, lalu ditutup dengan wiridan dan
doa; [2] Shalat tahfidz malam Jumat secara berjamaah; [3] Ziarah maqbarah
pendiri PP Raudlatul Ulum 2 Putukrejo setiap satu pekan sekali yang diikuti
oleh seluruh santri guna memperkuat ikatan batin antara guru dan santri.
Sebagai perwujudan dari proses
menghafal yang dilaksanakan secara bertahap, sejak tahun 2019 Ning Ulfa menerapkan
seleksi santri baru hanya terdiri tingkat SMP, sedangkan untuk tingkat selain SMP
akan di tes terlebih dahulu sebelum benar-benar di terima di PPQ Al-Qosimi.
Seluruh santri yang lolos validitasi diwajibkan mengikuti program Metode Qiroaty,
supaya proses hafalan terbebas dari ketidakmampuan bacaan. Pengasuh juga
menganjurkan bagi santri senior agar mengikuti program Pembinaan Guru Metode
Qiroaty sebagai bekal tambahan kelak ketika berada di tengah-tengah masyarakat.
Di luar rutinitas inti, para santri
dibiasakkan menjaga kebersihan lingkungan dengan memilah sampah anorganik (sampah
kering), dan sampah organik (sampah basah) sehingga pada akhir tahun 2020, para
santri mampu menghasilkan dana dari pemberdayaan sampah ini. Di samping para santri
diajari memasak dengan memberlakukan piket masak setiap pekan secara bergilir,
mereka juga diberikan kesempatan berolah raga dengan mendatangkan instruktur
senam dari luar setiap hari Jumat.
Dalam persoalan perizinan, Ning Ulfa memprioritaskan santri yang sakit. Bila berdomisili sekitar daerah Malang, maka diharuskan untuk pulang. Bila berasal dari wilayah yang jauh, maka pengurus segera melayani kesehatannya secara maksimal. Hal lain yang membuat PPQ Al-Qosimi berbeda dengan kebanyakan pesantren adalah kewajiban para santri berbahasa halus dengan sesama sahabat, tanpa memperdulikan strata santri senior atau yunior. Perilaku ini ternyata melahirkan sikap-sikap yang lebih kental dengan kesantunan antar sejawat.{gm/2021}
Akidah, Sifat, Visi dan Misi PPQ Al-Qosimi Putukrejo
Akidah: “Islam Ahlissunnah wal Jamaah”.
Sifat: “kekeluargaan, kemasyarakatan dan keagamaan”.
Visi: “Menghantar santri menjadi pembaca, penghafal
dan pengajar Al-Qur’an”.
Misi: [1] Mencetak peserta didik yang mampu membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai ilmu tajwid; [2] Menciptakan peserta didik sebagai penghafal Al-Qur’an; dan [3] Menjadikan peserta didik yang memiliki kemampuan mengajarkan Al-Qur’an.
Cerita sang nahkoda
Oleh : Muhammad Farhan
Walaupun terlahir dari ayahnya, tak lantas untuk menjadikannya
manusia yang lupa terhadap ibunya, apalagi durhaka.
Mungkin, atau sudah dalam taraf pasti, kebanyakan dari manusia
adalah terlahir dari rahim seorang ibunda. Bukan dari ayahanda. Namun masih
juga banyak dari mereka yang tidak menaatinya.Meskipun terlahir darinya.Tapi
tidak dengan ia. Walaupun dilahirkan dari ayahnya, tak lantas membuatnya untuk
lupa pada ibunda. Apalagi durhaka.
Perkenalkan. Namanya Mukhlis Akmal. Salah satu, atau bahkan
satu-satunya species makhluk hidup dimuka bumi yang terlahir dari ayahnya.
Entah mukjizat atau bukan, entah spesial atau bukan, tapi memang begitulah
adanya.
Terlahir dari keluarga ber-uang tak lantas membuatnya untuk lupa
lautan. 2010 ia merantau. Tiga harmal dihantam gelombang tak membuatnya untuk
patah arang. Ia teruskan berlayar. Dengan bentangan layar yang ditiup harapan,
dengan rakitan perahu yang terbuat dari kerja keras, dengan angin yang
meniupkan niat, ia berlayar disamudra lepas dihantam gelombang putus asa, badai
rindu orang tua, guntur peluntur wanita. Tapi karna tekatnya untuk menjadi
manusia akmal-lah semua gelombang, badai, halilintar ia lalui dengan
keringat yang terus diperas, dengan semangat yang tak lepas.Bersama perahu
rakitan sendiri, terhadap samudra mengarungi.
10 tahun berlalu dan kini menahkodai publikasi. Sebelum menjadi
nahkoda, ceritanya, ia juga pernah menjadi pegawai pada bagian juru tulis disebuah
kapal yang bernama akhbar. Kala itu, lanjutnya bercerita, dengan terus
dimentori para tetua, para pegawai dikapal itu sangatlah dituntut untuk selalu
ber-etos kerja, konsisten, kompeten dan telaten.
Berbeda dengan apa yang terjadi dikapal itu sekarang. Walaupun
samadituntutnya, namun apa yang terjadi pada dewasa ini tidaklah sama dengan
apa yang terjadi dimasa yang terlampaui. Hal ini disebabkan banyak faktor dan
salah satunya adalah kurangnya mentor. Faktor inilah yang dianggap sangat
mempengerahui hal tadi terjadi.
Dulu, pada masa itu, selain itu, ia sering kali diperintahkanoleh
sinahkoda yang berkuasa untuk menulis tulisan yang ia sendiri tidak terlalu
menguasai akan tulisan yang kepadanya sebuah tulisan teralamatkan. Hal tersebut
tidaklah terjadi hanya satu atau dua kali. Melainkan berkali-kali.
Pada waktu itu, ceritanya, ia masih bocah dalam dunia juru tulis.
Pengalaman menulisnya, pada waktu itu, tak sedewasa saat ini, saat menahkodai
publikasi. Kala itu, ia sering mengalami hal yang sering juga dialami oleh
penulis yang masih bocah. Ia sering terperangkap dalam kesunyian kata,
terpenjara dalam hampa. Walau penuh tekanan, ia terus saja melanjutkan. Ia
terus saja menuruti apa yang dikata oleh sinahkoda. Sebagai pegawai tak
bergaji, apalah daya ini, lanjutnya bercerita.
Ya. Ia bekerja dan ia tak digaji. Mukhlis betul hidupnya
memang. Pada mulanya memang tak ia rasakan dampak dari keikhlasannya. Namun
setelah waktu terus berlalu,ia baru sadar bahwa apa yang ia telah lalui selama
menjadi pegawai telah memberinya banyak pelajaran. Bukankah tiada hal
tersia-sia tentang apa yang dicipta? Dan ia mengalami betul akan hal itu. Pada
mulanya ia tak merasakan apa yang ia dapatkan dari sebuah pekerjaantak
berpenghasilan yang ia lakukan. Tapi setelah waktu berlalu, ia baru sadar bahwa
apa yang ia pernah temui, kini malah menemui. Dan dengan bekal yang ia bawa
dari zaman yang telah berlalu itu, ia dapat bertahan hidup dari kegersangan
fikir yang biasa melanda setiap manusia.
Ia terus saja bercerita, lama. Hingga dapatlah penulis simpulkan
bahwa ada tiga pesan pokok yang ia ingin sampaikan.
Pertama. Jadilah mukhlis sehingga engkau menjadi manusia yang
selalu dipenuhi keikhlasan.
Kedua. Jadilahakmalsehingga engkau menjadi manusia yang
selalu mengejar kesempurnaan.
Ketiga. Jadilah keduanya sehingga engkau menjadi manusia yang selalu
diteduhi harapan lagikeikhlasan.
Demikian. Sekian. Wassalam.[]
Pesantren
itu bernama Raudlatul Ulum Suramadu
Oleh: Muhammad Farhan
Dari namanya saja sebagian dari pembaca mungkin sudah dapat menerka
bahwa pesantren itu adalah cabang dari Raudlatul Ulum 1. Raudlatul Ulum
suramadu.
Berdiri di kawasan satu kilometer dari gerbang tol jembatan
suramadu, pesantren itu dibangun di atas lahan seluas 20 m x 60 m dengan
bangunan yang setidaknya agak berbeda dengan bangunan pesantren salaf pada
umumnya. Biasanya daerah dari setiap pesantren salaf yang ada adalah dengan
menjadikan kamar mandi sebagai salah satu tempat berkumpulnya para santri dari
berbagai daerah yang berdomisili di pesantren tersebut. Di pesantren itu
tidaklah demikian. Kamar mandi dari pesantren itu nantinya akan dibangun
sebanyak kamar tidur yang ada. Sebanyak bilik yang ada, sebanyak itu juga kamar
mandinya. Selain meminimalisir terjadinya antrian yang tidak dapat
terkendalikan, tentunya hal itu dapat meningkatkan tenggang rasa dari setiap
pemilik bilik yang ada sekaligus dapat lebih menjaga kamar mandi yang dimiliki
oleh setiap biliknya. Selain juga dapat dijadikan sebagai parameter dari
kebersihanan anggota kamarnya. Karena barang siapa yang kamar mandinya tidak
terawat maka jawabannya sudah jelas, karena pemiliknyalah tidak merawat.
Setidaknya, memang seperti itulah rumusan sederhananya.
Selain hal kamar mandi tadi, pesantren itu juga menyediakan air
mineral sebagai sumber penghilang dahaga bagi para santri yang nantinya akan
menetap disana. berbeda dengan pesantren salaf
pada umumnya yang menjadikan air kran sebagai sumber penghilang dahaga
bagi para santri yang menetapinya. Dua perbedaan itulah yang nantinya akan
didapatkan oleh santri disana. walaupun masih akan mereka dapatkan hal yang
sama dari pesanten-pesantren salaf pada umumnya.
Pada mulanya, sebetulnya,
pesantren yang tahap pembangunannya sudah mencapai lima persen ini
bukanlah diniatkan untuk menjadi pesantren. Melainkan untuk dijadikan sebuah
penginapan berbayar semacam villa-villa yang sudah ada. Pada mulanya seperti
itu. Namun ketika disuatu waktu, ketika H. Abdurrahman nafis –sepupu dari H
basuni Ghofur, alumni pondok pesantren raudlatul ulum satu, pendiri pondok
pesantren Raudlatul Ulum Suramadu- berkunjung dan meninjau progres dari
pembangunannya, ia melihat bahwa apa yang dibangunnya sekarang ini bukan hanya
mirip dengan penginapan berbayar pada umumnya, melainkan juga mirip dengan
pondok pesantren pada umumnya. Karena
itu, terbesitlah dalam hatinya untuk menjadikan apa yang dibangunnya saat ini
sebagai pesantren. Dan karena kejadian terbesit itulah sehingga maklum dikata
bila pesantren itu mempunyai tata letak yang setidaknya agak berbeda dengan
pesantren salaf lainnya.
Ketika ditanya tentang basis dari pesantren yang akan diampu oleh
beliau itu, apakah akan dibasiskan pada kitab klasik, alqu’an atau bahkan
hadist, yang notabenenya adalah salah satu study ilmu yang beliau tekuni, beliau K. Ma’ruf Khozin –putra ke-4 dari
pasangan KH. Khozin Yahya dan nyai Hj. Maftuhah, ketua komisi fatwa MUI Jawa
Timur, direktur aswaja center PWNU Jawa Timur- menjawab bahwa mungkin
kebelakangnya bisa jadi iya. Tapi, lanjut beliau, memikirkan pesanten untuk
dibasiskan suatu study tertentu itu kiranya suatu pemikiran yang agaknya masih
terlalu jauh. Bayangkan saja bahwa untuk menjadi pesantren yang dapat berdiri
dikaki sendiri saja setidaknya sudah memakan 4 atau bahkan 5 tahun lamanya.
Apalagi berkehendak untuk menjadikan sebuah pesantren yang berbasis hadist,
sumber kedua dalam islam setelah alqur’an yang untuk dapat memahaminya saja
haruslah mempunyai peralatan lengkap. Mulai dari yang terdasar seperti nahwu
dan shorof hingga yang tertinggi seperti manthiq dan balaghah. Karena agak jauh
itulah, beliau telah meminta kepada salah satu pondok terdekat, al-Akhyar, untuk
membantu beliau dalam proses belajar mengajar.
Selayang pandang mengenai pengasuh dari pesantren itu adalah K.
Ma’ruf Khozin. Salah satu putra mahkota pondok pesantren Raudlatul Ulum 1.
Rihlah ilmiahnya beliau mulai dari bangku mi raudlatul ulum putra. Hari sabtu
ditahun 1994, 2 hari setelah selesainya ujian nasional yang beliau lakukan,
beliau diantar langsung oleh abahnya untuk nyantri di pesantren al-Falah Ploso
Mojo Kediri. Di pesantren itu beliau pernah mendirikan satu forum yang mewadahi
minat kreativitas para santri. Fordis namanya.
Delapan tahun berlalu dan di tahun 2002 beliau memutuskan untuk boyong
sekaligus menikah. Di tahun yang sama, disebelum boyong, beliau menikah dengan
salah satu santri putri asal Surabaya, Wiya namanya.
Demikian.
Sekian. Wassalam.[]
A Nga Nga
Oleh: Abilu Royhan
Siapa yang tidak tahu kitab yang membeberkan tentang etika belajar.
Yang sangat masyhur di kalangan pondok pesantren. Yakni kitab ta’limul
muta’allim atau yang akrab dengan sebutan kitab taklim mutaklim (lidah jowo
dan medureh). Kitab yang dikarang oleh syekh Azzarnuji karena beliau
melihat banyak dari pencari ilmu yang tidak dapat meraih ilmu yang dia
cita-citakan. Atau dia telah meraih ilmu itu, tapi ilmu itu tidak bermanfaat
baginya kecuali hanya sedikit. Itu karena mereka salah atau bahkan tidak tahu
tentang etika mencari ilmu. Dalam kitab ini ada sebuah
keterangan tentang etika berguru atau mencari guru. Disitu diterangkan bahwa
sebaiknya murid itu mencari guru yang lebih alim, lebih wira’i, lebih
tua darinya dan lain sebagainya.
Siapa yang tidak tahu kitab yang menerangkan tentang tasawuf. Kitab
yang sering dikaji dimana-mana. Yakni kitab bidayatul hidayah karangan
Imam Abu Hamid Al-Ghazali atau yang masyhur dengan nama Imam Al-Ghazali. Kitab
yang banyak menerangkan tentang ilmu tata krama dan juga anjuran untuk
meninggalkan maksiat-maksiat yang dilakukan oleh seluruh anggota tubuh, baik
dhohir atau batin. Di sana teman akan menemukan keterangan tentang macam-macam
maksiat yang dilakukan oleh anggota tubuh seperti mata, mulut, telinga, dan
yang lainnya termasuk hati. Termasuk maksiat hatiadalah al-kibr yakni
merasa lebih baik dari orang lain dan menganggap yang lain itu lebih buruk
darinya.
Dan satu lagi, siapa yang tidak tahu orang yang satu ini. Kelahiran
Malang 7 oktober tahun 1994, yakni Ustadz Rif”an Fathoni. Salah satu asatidz
Pondok Pesantren Raudlatul Ulum satu (PPRU 1) putra. Beliau mulai menimba ilmu
di PPRU 1 ini pada tahun 2013, setelah beliau menimba ilmu di Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin di Ampel Gading sana, dekat dengan rumah beliau. Beliau mulai
nyantri di Pondok Pesantren Raudlatut thalibin sejak kelas 3 MI, tepatnya tahun
2003 sampai 2013, yang seterusnya beliau melanjutkan rihlahnya mondok di PPRU 1
ini. Maka jika dihitung-hitung sampai saat ini (2021), beliau kira-kira telah
mondok 18 tahun. Hebat bukan?Beliau adalah guru dari sang penulis sendiri.
Tepatnya guru ketika penulis duduk di karpet Isadarma (bukan ‘bangku Isadarma’,
karena sistem pondokan, selain itu Isadarma tidak punya bangku) kelas
dua dan tiga. Ketika itu yang diajarkan oleh beliau adalah dua kitab yang telah
disebutkan di atas. Kitab yang banyak memaparkan keterangan tingkah laku dalam mencari ilmu dan tingkah laku
sehari-hari.
Salah satu keterangan yang telah tertulis dalam paragraf kedua
diatas, yakni “termasuk maksiat hati adalah al-kibr yakni merasa lebih
baik dari orang lain dan menganggap yang lain itu lebih buruk darinya”.
Sebagian senior di pondok pesantren itu tidak mudah akrab dengan santri yang
junior. Itu mungkin di dalam hati mereka terdapat rasa al-kibr. Sehingga
mereka merasa tidak level berteman dengan santri junior. Atau mereka takut
kehilangan harga dirinya, karena berkumpul dengan santri yang lebih junior.
Tapi beliau tidak seperti mereka. Beliau bahkan hampir akrab dengan seluruh
santri. Beliau tidak takut diremehkan oleh santri yang lebih junior. “Kita
harus bisa mengambil hati mereka dulu, baru kita dapat mengatur mereka” karena
itu prinsip dari pengurus ketua bidang taklimiyah yang satu ini.
Adapun paragraf sebelumnya ada sebuah keterangan, yakni “etika
berguru atau mencari guru”. Penulis merasa tidak salah dalam memilih guru.
Karena disamping beliau mengajarkan ilmu secara lahiriyah, yakni dengan memberi
kajian dua kitab di atas kepada muridnya. Beliau juga mengajarkan muridnya
melalui perilaku beliau setiap harinya. Artinya beliau juga memberi nasehat
sikap, bukan hanya nasehat ucapan belaka. Itu dapat dilihat dari kebiasaannya
sehari-hari. Mulai dari pakaian yang tidak terlalu mewah. Seperti yang
dikatakan dalam kitab ta,lim muta’allim bahwa “pencari ilmu sebaiknya
tidak terlalu menyibukkan dirinya dengan urusan dunia”. Atau perilaku beliau
yang lain. Contoh, beliau mempunyai sifat tawakal yang bisa dikatakan cukup
tinggi. Itu bisa diketahui dalam keseharian penulis ketika bersama beliau.
Penulis pernah bertanya tentang seragam Isadarma yang belum dibayar. Beliau
hanya menjawab “tenang ae, iku opo jare emben-emben”. Setiap penulis
menanyakan suatu hal yang butuh sesuatu, sering beliau menjawab seperti itu. Tapi
disamping itu beliau bukan berarti hanya diam saja. Nggak. Beliau tetap
berusaha mencarikan jalan terbaik dalam setiap masalah yang dibincangkan dengan
penulis.
Termasuk etika dalam belajar adalah pencari ilmu sangat dianjurkan
untuk berkhidmah kepada guru atau yang biasanya disebut dengan ‘mengabdi’,
bukan hanya mengaji saja. Karena dengan mengabdi kepada guru merupakan jalan
untuk mendapat barokah guru. Dan itu telah banyak dilakukan oleh para Kyai dan Ulama
terdahulu, termasuk para Kyai dan Ulama Indonesia. Beliau pernah bercerita kepada
penulis, bahwasanya ayah beliau pernah memberi pesan kepada beliau sebelum
beliau berangkat mondok. Ayah beliau memberi pesan yang cukup sederhana tapi
penuh makna “leee... kamu tidak boleh boyong, sebelum kamu bisa menuangkan air
kedalam gelas”. Pesan ayahanda itu tidak di mengerti oleh beliau ketika ayahnya
berpesan saat itu. Tapi lambat laun, setelah beliau banyak menimba ilmu di
pondok pesantren yang pernah beliau singgahi. Akhirnya beliau mengerti pesan
dari sang ayah itu “jangan boyong, sebelum kamu mendapat barokah dari gurumu”
kata beliau. Beliau mengibaratkan ilmu itu sebagai air, adapun gelas itu adalah
barokahnya. “jadi... ketika seseorang telah mendapatkan ilmu tapi dia tidak
mempunyai barokah dari gurunya, maka ya... akan tumpah” begitulah lanjut ucapan
beliau. Sehingga beliau mempunyai sebuah kata mutiara‘A Nga Nga’ singkatan dari ‘ayo ngaji ayo ngabdi’. Mungkin
itu terinspirasi dari kata ayahanda beliau. Semoga kita dapat meneladani cerita
beliau diatas, sehingga kita dapat menerapkan kata mutiara beliau ‘A Nga Nga’. Kata itu
menganjurkan para pencari ilmu untuk tidak hanya mengaji saja tapi juga
mengabdi.
Oleh: Mursyid Hasan
“Piringan
Matahari Hampir Lenyap Di Tepi Langit
Berganti Malam Yang
Dingin Merasuk Kulit
Kau Bagaikan Senja
Yang Datang Sekejap
Lalu pergi”
Cerita
menarik seputar kewalian KH Yahya Sabrowi
ini kami dapatkan sumber datanya dari salah satu alumni sepuh yang
sekarang tinggal di Kecamatan Wajak desa Sumber putih, beliau bernama H Kholid,
mungkin nama beliau kedengaran asing di telinga kita, namun tidak diluar sana.
Saat
acara Turun daerah “Turda Isadarma” kami berkempatan ngobrol sejenak dengan Aba
Kholid sebutan kami, beliau termasuk orang yang ramah dan bersahaja, di
sela-sela obrolan kami beliau sempet menceritakan saat mondok dulu di Raudaltul
Ulum 1.
KH
Yahya Sabrowi terkenal dimata masyarakat dan santrinya sebagai sosok yang
istiqhomah nan karistamik dalam bidang keilmuan dan ibadah, salah satu yang paling
di ingat adalah selalu istiqomah untuk menjadi imam bagi santri-santri beliau.
Suatu
saat Ketika KH Yahya Sabrowi jatuh sakit Songkan dalam bahasa madura, yang
tidak memungkinkan beliau menjadi imam di musholla putra, Aba Kholid selaku
abdi dalem Kyai Yahya beliau di panggil oleh Nyai Mamnumah Bukhori perihal
sakit yang di derita oleh Kyai Yahya.
Nyai
Mamnunah memerintahkan Aba Kholid untuk sowan dan minta barokah doa kepada ulama karismatik bernama Kh hamid
pasuruan, suapaya kyai yahya bisa menjadi imam bagi santri-santrinya lagi.
Dengan
ketawadluan dan penuh kehati-hatian beliau berangkat menuju kota pasuruan
dengan membawa titah dari Nyai sepuh.
Sesampainya
di kediaman ulama yang terkenal dengan kewalian ini sudah banyak orang yang
ingin sowan kepada beliau, saat itu beliau sedang bermunajat kepada Allah di
musholla yang beliau bangun.
Saat
ulama karismatik ini keluar dari musholla beliau langsung berkata kepada Aba
kholid yang sejak tadi menunggu beliau
“Ojok
jalok dungo nang aku cah, aku iki guduk dukun”, dawuh Kyai Hamid singkat.
Kata-kata ini mengagetkan aba kholid, pasalnya beliau sepatah katapun
belum menyampaikan maksud kedatangannya
ke kota pasuruan.
Keringat mulai berkucur
deras detak jantung mulai tidak stabil
Aku tergetar
terkapar
ketika Ia memandangku
kekasih….
pada wajah Guruku
“Ngapunten
Kyai, maksud kadatangan saya kemari karena dapat titah dari Nyai mamnunah
Bukhori untuk minta barakah doanya, karena saat ini Kyai Yahya sedang sakit”
Ucapan beliau terbata-bata karena kyai hamid terus memandangi wajah beliau beliau.
Belum sempet beliau
meneruskan dawuhnya, kyai hamid sepontan dawuh.
“Wes
mole ae awakmu cah, kyai yahya kui wali, iso dungo dewe”, Bahasa jawa sambil
menepuk pundak beliau lalu berlalu meninggalkan aba kholid serang diri
Pulang
saja cah, kyai yahya itu wali, bisa doa sendiri
Dengan perasaan
bersalah karena tidak mendapatkan apa yang di minta oleh Nyai Mamnunah, aba
kholid memutuskan pulang dengan wajah lesu dan sedih. Dalam hatinya bergumam
“Opo seng kate tak
sampekno nang Nyai sepuh”, Apa yang harusnya saya sampaikan kepada nyai sepuh.
hatinya terus di
hinggapi rasah bersalah karena pulang tanpa membawa kabar gembira.
Terbiasa
diam seribu bahasa saat aku merasa bersalah
Ingin memulai bersua namun nyali tak seberapa
Mencoba berteriak kepada semesta untuk melepas sesak di dada
Lega memang, tapi tetap saja tak mengumpulkan daya untuk berkata
Sesampainya di Gerbang pesantren betapa terkejutnya Aba Kholid
melihat santri berjamaah di imam oleh Kyai Yahya Sabrowi, padahal keberangkatan
beliau ke kota pesantren Sosok karismatik itu masih terbujur lemas di atas
tempat tidur.
Beliau masih di buat takjub dengan kejadian yang baru saja beliau
alami.
Ntah harus dari mana ku memulai cerita ini
Dan kepada siapa cerita ini ku mulai
Kabut sunyi perlahan mulai merayap
Ingin
rasanya ku bertemu denganmu
Tapi, menyapamu saja aku tak mampu
Lalu, apa dayaku?
Bahkan anginpun membisu
Mungkin bagiku cukup Tuhan yang tahu
Tentang apa dan bagaimana perasaanku
Karena bahagiaku, masih bisa menyelipkan namamu dalam setiap doa
Agar aku selalu mendapatkan ridlo dan barakahmu.
اَللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ
بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ
PERIHAL WAFATNYA KIAI MUJTABA BUKHORI
Oleh: Gus
Madarik Yahya
Almarhum KH Mudjtaba Bukhori wafat pada 16
Desember 2020, jam 23:10 WIB di RS Panti Nirmala Malang. Kabar itu diinformasikan
oleh putranya sendiri. Gus Hasbullah Huda melalui aplikasi WhatsaAp.
Rawat inap beliau bukan kali pertama, putra
bungsu kiai Bukhori Ismail itu telah menjalani perawatan intensif di rumah
sakit yang sama sejak bulan puasa 1441 H yang lalu.
Sebetulnya tentang ajal yang akan menjemput
beliau sudah dirasakan oleh anggota keluarga. Hal ini terbaca dari tulisan
WhatsaAp Gus Has, panggilan akrab Gus Hasbullah Huda itu.
Saat ditanya bagaimana Yai Mudjtaba ketika
dirawat di rumah sakit? Wakil Rektor II IAI Al-Qolam Gondanglegi itu menjawab: "Semoga
saja ada harapan sembuh. Tetapi kami pasrah mengenai keadaan kai."
Rasa tawakal pihak keluarga semakin kuat
tatkala Yai Mudjtaba memerintahkan langsung Nyai Surohah untuk melakukan
beberapa hal:
1. Agar menyediakan kain kafan.
2. Agar mencuci kain kafan itu dengan air zamzam.
3. Agar membuat nisan yang telah diukir atas nama
beliau.
4. Agar segera membeli sapi.
Bahkan, lanjut istri kiai Mudjtaba, beliau
berkenan menyaksikan saat kain penutup mayat itu dicuci.
Menurut Nyai Surohah, semua permintaan
beliau diupayakan untuk dituruti. Cuma satu permintaan yang belum kesampaian,
yaitu kiai Mudjtaba ingin sekali bertandang ke Nyai Sepuh. Menurut Ibu Nyai
Pengasuh PP Al-Bukhori itu, demikian ini dilakukan semata-mata karena
mempertimbangkan faktor kesehatan.
Untungnya, Nyai Mamnunah Yahya sempat menjenguk
adiknya itu tatkala pulang dari rumah sakit sebelum jatuh sakit yang terakhir.
Sepulang rawat inap sebelum ke rumah sakit
yang terakhir ini, kepada putri-putri kiai Qosim Bukhori saat menjenguk, Ketua
YPRU Ganjaran Gondanglegi Malang itu menanyakan kiai Qosim, "demmah
gemblung juyah mik tak nik ngonik ih sengkok [kemana gemblung itu kok gak
jemput aku]." Entah ujaran beliau ini hanya berkelakar atau apa, tetapi
yang jelas kedua kakak beradik itu memang sangat akrab. Sehingga dengan mudah kami
menebak sebenarnya beliau sudah merasa bahwa tutup usianya telah dekat.
Cerita mengenai ketajaman firasat
orang-orang sholeh merupakan hikayat yang lumrah di dengar, termasuk Yai
Mudjtaba Bukhori. Lebih-lebih status beliau sebagai seorang Mursyid Thariqah
Naqsyabandiyah yang diyakini khalayak umum. Khususnya para ikhwan-akhawat yang memiliki
pandangan ke depan melebihi masyarakat umumnya.
Gus Abdul Latif pernah berkisah bahwa suatu
saat ia mengikuti tawajjuh dzikir yang dipimpin kiai Mudjtaba Bukhori. Di
tengah-tengah ritual berlangsung, putra kiai Zainulloh Bukhori itu bergumam
dalam hati, "masak, bacaan seorang Mursyid salah-salah." Pasalnya,
Gus Abdul Latif mendengar bacaan Yai Mudjtaba agak kurang tepat dilihat dari
kaidah nahwu-shorof.
Langsung saja Yai Mudjtaba menghampiri
keponakan itu sembari berkata: "Engkok keng su kesusu cong..! [Aku hanya
tergesa-gesa nak...!]," seraya menghardik dengan tasbihnya.
Padahal ungkapan Gus Abdul Latif hanya terlintas dalam
alam pikirannya saja.
Oleh: Muhammad farhan
Namanya faham, Mungkin, itulah makna
yang digantungkan di lauhul Mahfudz sana oleh kedua orang tuanya.
Sosok yang baru mondok beberapa hari
ini, sebetulnya sosok yang sudah tinggal lama di bawah birunya langit desa
santri. Walaupun masih berada dikelas tiga III MI (madrasah ibtidaiah) tapi
lihatlah! Niatnya untuk mondok tak dapat ditumbangkan oleh angin yang
menerjang. Bahkan bujukan orang tuanyapun untuk mondok ketika hendak kelas enam
(VI MI) tak dapat mempengaruhi niatnya yang tertancap mantap dalam hati.
Namanya Fahmi. Untuk maknanya? Untuk
sementara ini, anggap saja, makna dari nama yang disematkan oleh kedua orang tuanya
adalah faham.
Setidaknya, harapan itulah yang oleh
kedua orang tuanya terus ditumpuk dalam lubuk. Bukan hanya sebatas memahami
suatu kata demi kata dalam buku bacaan, tapi tentu lebih dari itu. Dapat juga
memahami gores demi gores yang dicipta oleh si-esa. Dengan harapan itulah,
kedua orang tua nya menamainya dengan fahmi.
Bukankah memang sangat penting
hukumnya bila kita harus bisa memahami suatu perkara? Bukankah apa yang ada di
dunia sebetulnya hanya berdasarkan pada pemahaman belaka? Tidak dengan lainnya.
Bukankah memang seperti itu adanya.
Tapi jangan sampai dilupa bahwa
untuk memahami suatu hal yang dianggap penting, akan dihadapkan dengan kondisi
yang genting. Bukankah suatu hal yang mewah harus juga dihadapi dengan susah
payah?
Berlian misalnya. Berlian yang
berada di dasar samudra atau yang sudah ada di muka dunia, esensinya sama,
susah untuk mendapatkannya. Untuk dapat memiliki berlian yang masih berada
dasar samudra, tentu dibutuhkan keberanian. Untuk berlian yang ada di muka
dunia, tentu dibutuhkan banyak pengeluaran.
Sudah jelas bukan bahwa esensi dari
padanya sama, walau di dua tempat yang berbeda. Bila berlian itu masih berada
di dasar samudra, maka tentu harus berani untuk berhadapan dengan ikan buntal
yang ganas, ikan pari yang menyengat,bahkan ikan hiu yang mematikan. Bukan
hanya keberanian, harga dari nyawa yang konon tak terhingga, kini juga harus dipertaruhkan,
bila kegiatan menyelam sudah dilakukan.
Bila berlian itu sudah berada di muka,
bila anda ingin memilikinya, kumpulan koin yang berasal dari tetesan keringat
yang terkumpul bertahun-tahun lamanya, akan hilang dalam sekejap mata.
Bayangkan saja, untuk Anda yang ingin memiliki 1 karat berlian dengan kualitas
yang buruk, uang yang harus anda keluarkan minimal dikisaran harga 7.500.000. Namun
bila yang ingin anda miliki adalah 1 karat berlian dengan kualitas terbaik,
maka uang yang harus anda keluarkan minimal dikisaran harga 438.656.000. fantastis
bukan? Itu artinya, bila anda ingin mempunyai berat minimum dari sebuah
berlian, Anda setidaknya terhadap uang 7.500.000 harus mengeluarkan.
Pemahaman juga demikian. Baik yang
masih berada di dasar samudra atau yang sudah berada di muka, harga dari kata
paham, hingga kini, untuk dimiliki, masih terlampau tinggi.
Layaknya berlian yang harganya tak
dapat dijual di toko-toko pinggir jalan, kata pemahaman pun juga demikian.
Untuk dapat memiliki kata paham dengan kualitas yang buruk saja, sekaligus
kuantitas yang minimum, anda harus merogoh lebih dalam kerja keras yang ada
dalam diri anda, bila ia masih berada di dasar samudra. Namun bila ia sudah
berada di muka, maka yang harus anda keluarkan adalah sejumlahrupiah.Bahkan
sepupu dari utusan agung muhammad, ali bin abitholib, pernah berkata bahwa
harga dari satu huruf bisa mencapai dikisaran 4.600.000.
Dari kesulitan demi kesulitan tadi
itulah, maka patut kiranya orang yang memiliki kata paham akan berbangga hati
sekaligus berbangga diri. Walaupun, untuk yang kedua, dalam tatanan agama, masih
haram hukumnya. Karena memang tak semua orang dapat menyelam di samudra lepas
atau terhadap teringat selalu memeras.
Dari panjang lebarnya keterangan,
setidaknya ada 1 benang merah yang dapat kita tarik dari rangkai demi rangkai
benang hitam yang sudah dijelaskan. Bahwa, bila sudah seperti itu adanya, maka
makna dari kata Fahmi, yang digantungkan dilauh mahfudz, saat ini bukanlah bermakna
pemahaman, melainkan sudah bermetamorfosis menjadi berlian.
Menakjubkan bukan?
DIBALIK PARASNYA YANG TAMPAN.
Tempat asalnya adalah bumi khatulistiwa. Tempat dimana matahari pas di ujung kepala, dan tempat terjadinya perang antar suku yang berbeda ”dayak vs madura. Dibawah matahari dan pas ditengah perut bumi. Pontianak selalu di kenal dengan panasnya bahkan jika dibandingkan dengan surabaya, itu hanya bagian abunya saja. tak heran jika anak pontianak memiliki paras yang biasa saja, tapi tidak dengan bang lie.
Ust. Shodiq atau yang lebih mashur disapa bang lie ini “Nama laqabnya lebih dikenal daripada nama aslinya” sama seperti Syaikh Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi yang lebih dikenal dengan nama Abu hurairah. Nama itu seakan sudah menjadi bagian dari hidupnya mendarah daging baginya. Tak heran jika santri yang baru lahirpun istilah bagi santri baru mengikuti hal yang serupa.
Sekelumit tentang kisah hidupnya. Bang lie berlayar pada tahun 2006. sebagai santri tertua saat ini. Bukan hal mudah baginya berlayar ke Malang. Ia harus menerjang gemuruhnya ombak yang gak karuan serta melawan rasa sakit saat di perjalanan. Dia beralasan. Dia mabukan. Sebuah penyakit yang katanya berasal dari perdesaan atau bahasa kasarnya disebut “kampungan.
Yah dia (bang lie) memang memiliki paras di atas rata-rata. Meski umurnya sudah terbilang tua. Tapi wajahnya tak termakan usia. Sementara manisnya dan gairah tawanya tidak habis di makan semut begitu saja. Tak heran jika kebanyakan anak putri atau bahkan perempuan di luar sana akan selalu membayangkan satu kamar dan satu bantal denganya. Serta menjalin keluarga hingga ujung nyawa akan memisahkan mereka berdua. Baginya hal yang paling mudah adalah menaklukkan hati wanita. Melihat wajahnya seakan menunjukkan berhati mulia. Dan dibalik senyumnya tersimpan gombalan magis yang bikin geleng kepala. Buktinya “cinta sak kreseek” menjadi viral di social media. Tentunya perempuan akan memasang badan dan memastikan itu semua.
Sepasang foto tersimpan di internalnya. dengan sedikit quetes yang mengisahkan tentang kisah hidupnya. Dalam pengakuanya ia bercerita. Ada beberapa foto yang memiliki kenangan yang muram. tentang perempuan yang pernah dicintai semasa dia masih duduk di bangku kuliah. Ada juga foto yang tak terpasang di Hpnya. Tepatnya saat ada perempuan maba (mahasiswa baru) yang pingsan akibat ketampanannya.
Apakah bang lie pernah ditembak? Dalam ceritanya, ia pernah merasakan tembakan pertama. Tak perlu di sebutkan namanya. Ia mengakui kesalahannya. Namun itulah resiko yang harus ia terima. Menjadi orang tampan dan pendiam. Sama seperti cantik itu luka. Dia juga mengalami hal yang serupa “Ganteng itu luka” baginya “ganteng menyiksaku”
Meski wajahnya tampak garang saat dia menjadi keamanan. Badanya tangguh perkasa sebagaimana ketua keamanan sebelumnya. Dan tak habis-habisnya mengeluarkan mantra-mantra dari lisanya. Bang lie tetap manusia biasa. Gemuruh tangisnya pernah membasahi pipinya. Bibirnya sudah tidak ada kata-kata. seolah ia sudah kehilangan perempuan yang dicintainya. Sebab tidak direstui oleh ibunya. Info yang lain Nyai sepuh juga tidak merestuinya.
Usut punya usut. Dia juga bagian dari peramal yang handal. Tak tanggung-tanggung sebuah kata taukid penguat melekat dalam kata “Handal. Mustahil di percaya memang. Bahkan aku sendiri tidak seratus persen mempercayainya. sebab hidupnya hanya didekasikan untuk tersenyum cengingiran serta bercerita dan mendengarkan cerita dari teman lainnya. Hinga tak jarang ia terlihat bercerita sekedar meramal apa saja yang telah dilihat sebelumnya. Dan menulusuri benda-benda yang ada di depan matanya. Itu seakan-akan sudah menjadi ahlinya. Melihat hal yang tidak ada menjadi ada yang tidak bisa di lakukan oleh orang lain pada umumnya.
Metode meramal persyaratanya cukup gampang. Hanya menyebutkan nama tanpa harus memberikan asal dimana ia tinggal dan segala macam. Asal bang lie tau orangnya dan tau wajahnya. Atau jika tidak demikian. Tinggal meyetorkan foto secara diam diam.
Meramal baginya adalah suatu pekerjaan yang sulit-sulit gampang. Sebab prosesnya lama dan tak mudah baginya melakukannya. Selain lama ia juga harus menahan getar getirnya malam. Membuka mata telanjang. Mengembalikan daya fikir agar kembali bugar. Dan ia juga harus melakukan wiridan spritual. yang istiqomah di baca di sepertiga malam. hingga tak jarang ia banggun. sekedar membaca mantra yang konon ia baca mulai dari tahun 2010. tepatnya sepuluh tahun yang silam.
Sadar akan kewajiban adalah prinsip besar yang harus ditanamkan. Begitu kira-kira ungkapan ust ikhwan saat rapat pengurus berlangsung. Ungkapan diatas menjadi prinsip dan tujuan yang harus ditanamkan dalam diri siapapun. sebab tidak bisa diragukan lagi, kesadaran merupakan kunci kesuksesan yang baru-baru ini menjadi topik pembicaraan dikantor pesantren. Meski kita sudah tau dan menduga bahwa ungkapan diatas dalam arti sadar akan jadi bahan incaran untuk saling cemooh dan saling menjatuhkan. Begitulah keadaannya kawan! Siapapun yang mampu menafsiri ungkapan ust ikhwan dengan benar. Maka tanpa disadari orang itu sudah banyak belajar dari beliau. Terutama soal kharismanya yang besar. Dan utamanya perihal sadar dan kesadaran.
Siapa yang tidak kenal dengan sosok yang satu ini. Sosok karismatik yang tidak ingin kehilangan marwahnya gara-gara bercanda yang kelewatan batas. Ia sepenuhnya mempertahankan kharisma dalam diri santri. Dan menaruh kepercayaan besar dalam dirinya sendiri. “Akhlak mulia seorang santri juga dapat dipengaruhi oleh kharisma pengurus dan prilaku dari keseharian itu sendiri! Imbuhnya.
Dua tahun yang silam tepatnya tahun 2018 ust ikhwan resmi ditunjuk sebagai pengurus harian dan di amanahkan sebagai anggota ubudiyah bagian kontroling dan penegak hukum di bidang ibadah dan al-quran. sempat juga di gadang-gadang jadi penerus Ust Sulaiman (the next sulaiman) yang secara kebetulan ust sulaiman juga pernah memasang badan di pengurus Ubudiyah. Namun sayang ust sulaiman malah memutuskan untuk boyong lebih awal faktor usia dan sudah waktunya menikah.
Ubudiah tentunya bagian yang sangat central dalam kepengurusan. Selain harus memikul berat tanggung jawab yang harus ia emban. Ia juga dipaksa untuk istiqomah berjamaah dalam setiap rutinitas yang ia jalani dan tak menampik untuk kemudian jadi imam. Ini merupakan pengabdian yang sulit jika hanya dipikirkan. Jika tidak, dengan kesadaran dan ketekunan yang ust ikhwan berikan. Lagi-lagi soal kesadaran dan sadar (خدمة للمعهد)
Hebatnya lagi; ust ikhwan pun juga ikut membantu administrasi pondok yang notabannya itu pekerjaan sekretaris. dan tak segan membantu bendahara jika kesempatan yang lain orang yang bersangkutan berhalangan.
Apa namanya jika bukan sadar? Kesadaran mampu membatasi ruang lingkup kehidupan dengan sedemekian jenis dan beragam. Buktinya saat jam istirahatpun ust ikhwan rela bangun dari tidurnya sembari memberi pelajaran kepada teman santri yang ikut dalam ruang kursusan. Baginya, itu merupakn hal yang biasa dan bukan hal mustahil dilakukan. Lagi-lagi kesadaran jadi aktor penting dalam diri ust ikhwan.
Wajahnya memang terbilang muram, namun dihatinya tertanam kesadaran yang sulit dibayangkan. Begitulah yang dapat aku simpulkan.
Dari segi keterampilan dan olah baca kitab kuning ust ikhwan tidak bisa dipandang sebelah mata. Keahlian dalam membaca dan menjelaskan Ust Ikhwan adalah jagonya. Melalui jejak digital yang saya punya, ia sudah meraih trofi bergengsi saat masih duduk dibangku non formal tepatnya di Madrasah Diniyah. Hingga mampu mengikuti kejuaraan kitab kuning tingkat MQK (Musyabaqoh qiroatl kutub) di madura. Namun sayang beribu kali sayang banyaknya peserta dari malang mengharuskan ia saling sikut dan akhirnya ia pun harus gugur di babak penyisihan.
Berangkat dari pengalaman. Iapun banyak belajar dan mulai memahami dunia luar. Salah satu yang membekas dalam dirinya adalah; saat ia memutuskan untuk tetap diam dan menaruh perasaan yang dalam pada diri seseorang yang belum sepenuhnya ia kenal. Siapakah dia? Tentunya itu pertanyaan besar yang masih belum dipecahkan. Namun sayang rayuan yang aku berikan memaksa ia harus mengakui itu semua. Bahkan dalam proses wawancara ia berinisiatif untuk menceritakan kronologi dan awal mulanya. Meski keadaan yang sebenarnya cukup alot dan rumit dijelaskan.
Dalam wawancara kami. Ada sedikit pembicaraan kecil nan menarik yang mustahil dilewatkan. “Aku diam bukan berarti melupakan ” ujarnnya. Aku berpikir panjang sampai pada titik aku benar benar merasa paham. Dan pada akhirnya akupun mulai memahami apa yang sudah jadi kaidahnya. Saya pun mengingat salah satu maqalah yang pernah disampaikan oleh gus abdurrahman sa'id (gus dur) saat acara maulid di atas aula lantai dua. Maqalah itu berbunyi
سلامة الانسان فى حفظ اللسان
“Keselamatan manusia itu tergantung dimana ia harus menjaga lisan.
Bisa menarik kesimpulan; diam dan menyimpan rahasia secara diam-diam merupakan cara Tuhan untuk lebih sedikit melakukan tindakan kriminal. Lisan itu sebuah komunikasi untuk menyampaikan informasi, semua angggota tubuh yang kau miliki itu bisa mewakili cara pandang dalam kaca mata orang lain dan aku sendiri. Lebih baik diam daripada harus banyak tingkah tapi kosong isinya.
Konon katanya, ekspresi kegembiraan dengan cara diam itupun membuat ust ikhwan tak sepenuhnya diam dan enggan tidak melakukan ritual. Buktinya saat ia ditanya perihal orang yang dicintainya pun ia terus menjawab dengan suara yang lantang. Dan tentunya, dalam setiap kesempatan ada bait bait doa yang ia tanamkan. Sungguh mengharukan kawan!
Apakah ust ikhwan benar-benar sadar? Begitulah pertanyaan yang mendasar. Pertama: Menaruh harapan yang besar kepada orang yang belum ia kenal. Kedua: hanya bisa diam dan tidak menyatakan kebenaran. Ketiga lebih besar ke(malu)annya daripada kebenarannya.
Disatu sisi aku benar-benar menaruh empati yang sangat tinggi kepada ustad yang satu ini. Bagaimana tidak, kumpulan pertanyaan yang sudah aku miliki masih belum menemukan jawaban yang pasti. Tapi disisi yang lain. Akupun mulai paham dengan kondisi yang sedang ia jalani. lebih baik diam daripada harus menerima pil pahit yang sunnguh tak terduga itu bakal terjadi. Simalakama bukan!
Antara sadar atau lebih memilih diam?
Sadar dengan berbagai macam tantangan dan menerima kenyataan, atau dengan diam menyembunyikan kebenaran dan membiarkan orang lain diberi ruang kebebasan.
Menarik ditunngu. []