Jumat, 23 Oktober 2020

PPRU 1 Kembali Adakan Upacara Hari Santri Nasional

 

PPRU 1 Kembali Adakan Upacara Hari Santri Nasional;

Ada yang Berbeda Tahun Ini

PPRU 1 Kembali Adakan Upacara Hari Santri Nasional;
Oleh: Syifa’ur Romli

Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional, Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 (PPRU 1) Ganjaran, Gondanglegi, Malang kembali mengadakan upacara bendera yang digelar di halaman Kantor Pesantren, Kamis (22 Oktober 2020) Kemarin.

Acara yang hampir setiap tahun diadakan sejak disahkannya pada tahun 2016 tersebut, kali ini dihadiri oleh tamu undangan asatidz Madrasah Diniyah serta beberapa dewan pengasuh di antaranya Gus. Abdur Rohim Sa’id (Kepala Pesantren PPRU 1) untuk turut memeriahkan dan mensyukuri hari yang menjadi ikon kebanggan pesantren Nusantara itu. Di sisi lain, para santri tak lepas menjadi komponen utama di dalamnya.

Ada beberapa hal yang berbeda pada gelaran upacara Hari Santri Nasional (HSN) tahun ini. Pasalnya, jika tahun sebelumnya upacara di-handle oleh pengurus pesantren bersama staf Madrasah Diniyah Raudlatul Ulum 1, kali ini kelompok PKLI (Praktik Kerja Lapangan Integratif) IAI Al-Qolam yang diketuai oleh Ust. Ihya’ul Ulum lah yang berperan sebagai penangung jawab acara sejak awal persiapan hingga selesai dilaksanakan.

Wabah Covid-19 yang tak kunjung menemukan titik selesainya turut memberika warna berbeda dalam gelaran upacara tahun ini. Diamana seluruh santri dan peserta upacara harus menjalankan protokol kesehatan di antaranya memakai masker. “Semua itu dijalankan dalam rangka mejaga kesahatan para santri dan civitas pesantren dari bahaya virus Corona sekaligus menaati peraturan pemerintah” Ujar BangAmir Najib (Ketua PanitiaUpacara Hari Santri Nasional PPRU 1) dalam wawancara yang dilakukan tim Publikasi kemarin.

Selain itu, peserta yang terdiri seluruhnya dari santri PPRU 1 kali ini, terbilang jauh lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, lembaga pendidikan formal baik tingkat MI/MTs ataupun MA sederajat yang biasanya turut mengadakan upacara bendera dalam rangka Hari Santri Nasional di sekolah masing-masing serta mewajibkan siswanya untuk upacara di sekolah, kali ini tidak mengadakan upacara sebab terkendala wabah Covid-19. Akhirnya semua santri harus mengikuti kegiatan upacara di pondok pesantren.

Inspektur Upacara yang dalam hal ini dipimpin oleh Ust. Ahmad Sholeh menegaskan dalam amanatnya; “Bahwa 22 Oktober merupakan tanggal disahkannya oleh presiden sebagai Hari Santri Nasional”. Selain itu Ustadz. Ahmad Sholeh Juga merefleksikan histori tercetusnya resolusi jihad Nahdlatul Ulama’ yang diinisiasikan oleh Ra’is al-Akbar NU; KH. Hasyim Asy’ari yang juga bagian besar dari tokoh kemerdekaan serta kepesantrenan.

Di sisi lain, sosok yang juga menjabat sebagai wakil kepala tersebut juga menegaskan kembali bahwa santri adalah bagian besar dari pemilik aset kemerdekaan Indonesia. Menekankan jiwa Nasionalisme terhadap setiap santri, termasuk mendalami makna Bhineka Tunggal Ika kepada para santri, bahwa santri tidak boleh membeda-bedakan status sosial, ekonomi maupun domisili antar sesama. Pada akhir amanatnya, Ustadz Sholeh menutup dengan pesan “Berbanggalah Menjadi Santri”.

Pada penghujung acara, protokol upacara yang dipandu oleh Muhammad Farhan memohon kepada Gus. Abdur Rohim Sa’id untuk memimpin do’a penutup dimana kemudian Muhammad Khoiron sebagai Pimpinan Upacara membubarkan seluruh peserta. Upacara dilaksanakan dalam keadaan khidmat dan penuh penghayatan.[Red]


MEDIA SANTRI: SARANA TEMPAT MENCARI SOLUSI



Sabtu, 05 September 2020

PERESMIAN BRONCAPTERING OLEH BUPATI MALANG - NAFAS SEGAR BAGI PARA SANTRI PPRU 1


PERESMIAN BRONCAPTERING OLEH BUPATI MALANG
Oleh: Syifa’ur Romli, S.H,.

Sabtu, 05 September 2020 Pukul 14.09 WIB kemarin merupakan momen sergukan nafas segar bagi civitas Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran, Gondanglegi, Malang. Pasalnya, pada hari itu telah dilaksanakan peresmian broncaptering (Bangunan Penangkap Air Baku Dari Mata Air)oleh Bupati Malang Drs. H. M. Sanusi, M.M, yang rencananya akan dicanangkan sebagai alternatif pasokan air bersih Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran.
            Berlokasi di kawasan wisata Sumber Buring, Desa Sumber Sira, Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, peresmian tersebut juga dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat setempat di antaranya perangkat desa Sumber Jaya dan desa Ganjaran. Juga dihadiri langsung oleh KH. Mukhlis Yahya (Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1), KH. Ahmad Madarik Yahya serta para santri.
            Broncaptering yang selesai dibangun selama tiga bulan lalu serta menghabiskan dana sebesar Rp. 25.000.000,- (bantuan dari Bupati Kabupaten Malang) yang merupakangalian sumber mata air sedalam 2,5 meter tersebut selanjutnya akan disalurkan guna memenuhi pasokan kebutuhan debit air dan air bersih Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran guna kebutuhan mandi dan minum para santri.
PERESMIAN BRONCAPTERING OLEH BUPATI MALANG
Antusias Para Santri Dalam Acara Peresmian Sabtu, 05 September 2020
Menurut Ustadz Bashuni Ghofur “Sejak dahulu, Pondok Pesantren sering mengalami kendala air mati dan kotor dimana hal itu kerap menjadi hambatan bagi kondusifitas kegiatan santri di pesantren. Belum lagi kondisi air kotor kerap mendatangkan berbagai penyakit bagi para santri. Maka alternatif Broncaptering ini layak menjadi nafas segar bagi para santri khususnya, serta seluruh civitas Pondok Pesantren secara umum.” Ujar alumni sekaligus tokoh masyarakat Desa Ganjaran yang juga merupakan bagian di balik pembangunanbroncapteringtersebut.
            Proyeksi kedepan, tindak lanjut irigasi dari broncapteringmenuju Pondok Pesantren tersebut akan ditunjang dengan dana bantuan dari Bupati Malang kurang lebih sebesar Rp. 200.000.000,-bahkan akan ada tambahan sehingga laju air bersih benar-benar bisa sampai ke pesantren.Bupati Malang Drs. H. M. Sanusi, M.M, menyampaikan dalam sambutannya; “Program broncaptering ini direncanakan untuk pengadaan air bersih, bila memungkinkan(telah mencukupi dan melebihi pasokan air PP. Raudlatul Ulum 1 Ganjaran) masyarakat Sumber Jaya dan Ganjaran bisa dinaikkan lagi. Namun penggunaan air ini semata adalah penunjang kebutuhan kemanusiaan” Ucap beliau yang juga merupakan Alumni Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran tersebut.
           
PERESMIAN BRONCAPTERING OLEH BUPATI MALANG
KH. Mukhlis Yahya Memimpin pembacaan do'a
Di penghujung acara, pembacaan do’a dan shalawat yang dipimpin oleh KH. Mukhlis Yahya dan KH. Ahmad Hariri Yahya dijadikan sebagai momen paripurna sebagai bentuk permohonan berkah (Tabarrukan) sebelum seluruh rangkaian acara peresmian broncaptering tersebut diakhiri dengan pemotongan pita sebagai simbolik oleh Bupati Malang Drs. H. M. Sanusi, M.M,. [Red]

Kamis, 06 Februari 2020

KEAGUNGAN PENCARI ILMU



Dalam kitab "Adab al-'Alim wa al-Muta'allim" milik Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari dijelaskan tentang keutamaan ilmu, orang alim dan belajar mengajar. Ketiga unsur ini dapat diurai sebagai berikut.

1. Keutamaan Ilmu

Firman Allah SWT yang menyebutkan tentang keagungan ilmu bertebaran dalam berbagai surah Al-Qur'an, antara lain:

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلۡعِلۡمِ قَاۤىِٕمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡحَكِیمُ
[QS. 03:18]

Ayat ini menegaskan bahwa yang mampu persaksikan keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan hanyalah Allah, Malaikat dan orang-orang berilmu. Persaksian di sini maksudnya adalah Allah SWT dapat membuktikan wujud-Nya dengan ayat-ayat Kawniyah dan ayat-ayat Qur'aniyah, Malaikat menggambarkan keberadaa-Nya dangan kepatuhan dan manusia berilmu bisa memperlihatkan eksistensi-Nya dengan analisa serta nalar.

Dalam ayat lain, Allah SWT mengajukan pertanyaan:
قُلۡ هَلۡ یَسۡتَوِی ٱلَّذِینَ یَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِینَ لَا یَعۡلَمُونَۗ
[QS. 39:09]

Dalam ayat ini Allah SWT melempar pertanyaan yang dinilai cukup mudah oleh setiap orang, yaitu sebuah soal yang pasti dimaklumi jawabannya bagi siapapun. Sebenarnya bukan seberapa tingkat kemudahan yang dimaksudkan dalam firman itu, tetapi terdapat unsur kritik pedas dibalik tanya tersebut:

Jika setiap individu telah tahu jawabannya, mengapa ia tidak bersungguh-sungguh membalik kebodohan menjadi kecerdasan.


2. Keutamaan Orang Berilmu

Satu ayat yang cukup familiar di telinga masyarakat, yakni:

یَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمۡ وَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَـٰتࣲۚ
[QS. 58:11]

Seakan-akan Allah SWT ingin memperlihatkan bahwa kemuliaan seseorang ditentukan oleh seberapa ia memiliki ilmu pengetahuan. Di dalam tata bahasa Arab, kalimat "darajaat" (دَرَجَـاتࣲ) dalam ayat tersebut merupakan bentuk "jamak" yang berarti memuat makna "beragam/banyak". Jenis kata plural semacam ini mengindikasikan anugerah Tuhan yang bermacam-macam bakal diperoleh orang berpetahuan.
KEAGUNGAN PENCARI ILMU

Merujuk dari bentuk kalimat "darajaat" (دَرَجَـاتࣲ), kemudian ulama memperluas cakupan konsekuensi logis orang-orang pandai, bukan saja di akhirat namun juga di alam fana'. Ujaran yang seringkali dibuat simbol-simbol abstraksi antara lain contoh kasus profesi dokter yang meraup sekian juta hanya dengan mengangkat butiran dari kencing batu, batu empedu dan lain-lain, sedangkan seorang kuli harus memikul batu besar tetapi dihargai puluhan ribu rupiah belaka.

3. Keutamaan Belajar Mengajar

Prinsip banyak orang ialah "proses tidak akan mengkhianati hasil". Tetapi dalam ranah pendidikan, penilaian bagi orang yang sedang belajar bukan pada hasil, namun dilihat dari sejauh mana pengalaman belajar yang dilakukan.

Dalam konteks ini, ungkapan Nabi Muhammad SAW memperkuat betapa pahala Tuhan hanya dikaitkan tahapan belajar:

ﻗ‍‍َﺎ‍ﻝ‍َ ‍ﺭ‍َﺳ‍‍ُﻮ‍ﻝ‍ُ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻠ‍‍ّٰﻪ‍ ‍ﺻ‍‍َﻠ‍‍َّﻰ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻠ‍‍ّٰﻪ‍ ‍ﻋ‍‍َﻠ‍‍َﻴ‍‍ﻪ‍ِ ‍ﻭ‍َﺳ‍‍َﻠ‍‍َّﻢ‍: ﻣ‍‍َﻦ‍ ‍ﺧ‍‍َﺮ‍َﺝ‍ ‍ﻓ‍‍ِﻲ‍ ‍ﻃ‍‍َﻠ‍‍َﺐ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ْﻌ‍‍ِﻠ‍‍ْﻢ‍ ‍ﻓ‍‍َﻬ‍‍ُﻮَ ‍ﻓ‍‍ِﻲ‍ ‍ﺳ‍‍َﺒ‍‍ِﻴ‍‍ﻞ‍ِ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻠ‍‍ّٰﻪ‍ ‍ﺣ‍‍َﺘ‍‍ّﻰ ‍ﻳ‍‍َﺮ‍ﺟ‍‍ِﻊ‍َ
(HR. Turmudzi)
Menurut ulama, kesamaan antara jihad dan menuntut ilmu terletak pada perjuangan agama, perlawanan terhadap syetan, kepayahan diri dan pengkerdilan nafsu.

Dalam sabda yang lain, Rasulullah SAW menyebutkan:

ﻗﺎ‍ﻝ‍َ ‍ﺭ‍َﺳ‍‍ُﻮ‍ﻝ‍ُ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻠ‍‍ّٰﻪ‍ ‍ﺻ‍‍َﻠ‍‍َّﻰ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻠ‍‍ّٰﻪ‍ ‍ﻋ‍‍َﻠ‍‍َﻴ‍‍ﻪ‍ِ ‍ﻭ‍َﺳ‍‍َﻠ‍‍َّﻢ‍: الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
(HR. Bukhori)

Nabi Muhammad SAW memasukkan orang yang berjuang di jalan Allah SWT tergolong kelompok mati syahid. Dalam pengertian yang luas, penuntut ilmu dikategorikan sebagai pejuang di jalan Allah SWT (seperti hadits riwayat Turmudzi).

Oleh karenanya, ketika seseorang wafat saat menimba ilmu pengetahuan, maka ia termasuk dalam kematian yang baik, sebagaimana isyaratkan iman al-Hafidz Ibn Abd al-Bar:

قَالَ الحافِظ ابنُ عَبدِ الْبَرّ: مَن مَاتَ طَالِبًا لِلْعِلمِ فَهُوَ مِن عَلَامَات حُسْنِ الْخَاتِمَة لِأنَّه مَاتَ عَلَى طَاعَةٍ عَظِيمَة
(Sumber: https://rumaysho.com)

Lumrah setiap manusia beriman mengimpikan kondisi yang ingin dicapai sewaktu dipanggil Sang Khalik adalah bangga dengan kualitas kematiannya, seperti anjuran seorang penyair:

وَلَدَتكَ أُمُّك يَا ابْنَ آدَمَ بَاكِيًا # وَالنّاسُ حَولَكَ يَضحَكُونَ سُرُورًا
فَاعْمَل لِنَفسِكَ أنْ تَكُونَ إذَا بَكَوْا # فِي يَومِ مَوتِكَ ضَاحِكًا مسرورا
(Sumber: https://firanda.com)

Secara umum, kehormatan terbesar bagi para pencari ilmu adalah:
1) Proses dengan status pejuang di jalan Allah SWT.
2) Kematian dengan identitas syahid.

Sebegitu mulia derajat orang-orang yang menuntut ilmu, sehingga Nabi Muhammad SAW mensinyalir jaminan Allah SWT bahwa pengalaman hidupnya sekaligus kematiannya merupakan potret pintu sorga:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
(HR. Muslim)
_
Gus Mad
Dewan Pengasuh PP Raudlatul Ulum 1 Ganjaran Gondanglegi Malang ]

Sabtu, 11 Januari 2020

KIAI YAHYA BEKALI AL-QUR'AN PADA TIGA SANTRI TUGAS

Sebagaimana layaknya lembaga pendidikan yang senantiasa meluluskan anak didiknya, PP Raudlatul Ulum 1 banyak menghantar para santri hingga selesai jenjang pendidikannya. Namun dibalik kenyataan pesantren yang berada di desa Ganjaran Gondanglegi Malang itu menamatkan santri-santrinya dalam pendidikan formal, KH Yahya Syabrowi telah melakukan penugasan santri ke beberapa wilayah sejak lama. Salah satu di antara santri yang ditugasi kiai asal Sampang Madura itu adalah Ustadz Samin.
  
Pemberangkatan Bapak Samin ini merupakan tahap kedua setelah Ustadz Su'udi Penjalinan Gondanglegi dan Ustadz Sari asal desa Ganjaran ke wilayah Kalimantan Barat. 

Sebetulnya penugasan tahun 1973 ini terdiri dari tiga orang: (1) Ustadz Rusdi Wahid dari Klepu Sumber Manjing Wetan. (2) Ustadz Marju'in [H. Khoiron] dari desa Bekur Pagak. (3) Ustadz Samin dari Lowok Waru Turen.
KIAI YAHYA BEKALI AL-QUR'AN PADA TIGA SANTRI TUGAS
Pict by Gus Mad


Kepada masing-masing tiga orang tersebut, Yai Yahya Syabrowi memberikan Al-Qur'an dengan warna cover yang berbeda-beda. Ustadz Rusdi mendapat Al-Qur'an berwarna coklat, sedangkan Ustadz Marju'in memperoleh warna kuning, sementara Ustadz Samin dihadiahi warna abu-abu. Tidak diketahui dengan jelas rahasia yang melatari perbedaan warna kulit kitab suci itu, tetapi mencermati kondisi masing-masing ketiga tugasan, bisa dianalisa dari spesifikasi peran-peran ketiga orang tersebut. Ustadz Rusdi Wahid lebih banyak mengembangkan pendidikan melalui lembaga pesantren dan sekolah, adapun Ustadz Marju'in lebih tampak bermain di ranah politik sedangkan Ustadz Samin lebih terlihat sebagai sosok yang menyertai masyarakat akar rumput.

Selain memperoleh Al-Qur'an, sewaktu akan berangkat, ulama yang hingga wafat masih menduduki Musytasyar NU Cabang Malang itu mengijasahkan "Asmaul Husna" kepada ketiga santrinya. 

KIAI YAHYA BEKALI AL-QUR'AN PADA TIGA SANTRI TUGAS
Pict by Gus Mad

Sementara Ustadz Samin yang dikenal dengan sebutan "Pak Guru" di Retok Majau itu diberikan buku "Tata Cara Menikahkan". Ternyata buku yang ditulis oleh Drs KH Mursyid Alifi itu kini sangat berguna, karena entah bagaimana asal muasalnya setiap kali ada acara pernikahan, masyarakat selalu menunjuk Ustadz Samin sebagai tokoh yang dipercaya menangani akad nikah di kampungnya. 
_

(Disarikan dari berbagai sumber oleh Gus Mad)

Jumat, 01 November 2019

Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim

oleh: Yusroful Kholili, santri PPRU I

Faqrou (Festival Musabaqah Raudlatul Ulum I) ini salah satu momen rutin di PP. Raudlatul Ulum I. Setelah setengah semester bergelut dengan pelajaran pesantren, memeras otak untuk menghafal bait-bait nadhom imrithi, maqsud, alfiyah dan bahkan mantiq dan balagahnya, di Faqrou ini santri menemukan momen untuk berlibur. Ya, sebenar-benarnya berlibur dan merefresh otak dengan sebenar-benarnya
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
suasana Pembukaan FAQRO-U di Halaman PPRU I


Faqrou tidak bisa dibayangkan sebagai hiburan biasa. Ia tak seperti karaoke, dangdut, atau macam-macam hiburan sebagai mana biasa ada dalam imej masyarakat di luar santri. Faqrou murni sebagai ajang, ajang berlomba, ajang berselancar dengan pikiran, kreatifitas dan karya. Ya, di Faqrou santri diberi medan untuk saling unjuk kebolehan baca kitab, hafalan, pidato dan bahkan olahraga.

Sebab medan ini milik bersama, maka dari medan ini akan lahir para pemenang dan yang belum menang. Pemenang menjadi jawara, dan ini hiburan yang pertama. Kedua, yang belum menang. Bukan kalah tapi belum menang. Catat! Belum menang bisa saja jadi pemenang di masa depan. Ketika peserta gagal menjadi pemenang, dalam penampilannya sudah bisa dipastikan akan mendapat hadiah gojlokan dari santri yang lain. Panas rasanya, saya salah satu saksi hidup yang pernah merasakan sendiri.
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
suasana Pembukaan FAQRO-U di Halaman PPRU I

 Lain itu, berkat berani turun di gelanggamg perlombaan ini, peserta akan tahu dengan sendirinya apa yang belum, apa yang kurang, apa yang tak dipahami dan apa yang salah dengan cara dia belajar, apa yang dia dapat ketika belajar dan apa yang belum sempat ia pelajari selama setengah semester. Di ajang Faqrou ini semua akan tersingkap dengan seterang-terangnya. Ini terang, sangat terang meski tanoa tuntunan dari guru kelas dan tuntutan nilai. Ini alami dari hati nurani. Kebanyakan, oleh-oleh ini, gojlokan santri, pertanyaan dari juri, dan melihat sendiri bahwa hadiah dibawa teman sendiri bahkan teman sekamar, benar-benar melecut emosi untuk belajar lebih banyak dan giat lagi. Ada banyak teman-teman yang sebelumnya kalah, lalu menjadi pemenang di Faqrou selanjutnya. Catat, saksinya saya sendiri. Hehe. Dan kebahagiaan tersendiri. Semacam orgasme intelektual yang klimaks ketika menang setelah sebelumnya sempat kalah.

Itulah, kebahagiaan yang ditawarkan kepada tiap santri di ajang Faqrou ini. Kesenangan yang lain, Faqrou ini mesti dilakukan setelah ujian pesantren dan menjelang liburan. Ketika Ajang Faqrou ini dibuka, kegiatan pesantren habis tinggal solat jamaah. Di sinilah momen kebahagiaan yang tak kalah lumayan. Ya, Faqrou menjadi penanda bagi kalangan santri RU, bahwa di saat itulah, ia terbebas dari padatnya kegiatan dan bau-bau liburan mulai tercium begitu tajam. Alamak, senang sekali rasanya.

Faqrou 2019 ini ada bonus kesenangan yang lain. Sebab di pembukaan Faqrou kali ini, Gus Abdrurrohim Said membeberkan simulasi sistem informasi simatren. Simatren ini adalah aplikasi informasi data santri. Dengan mengakses aplikasi ini kita akan mendapat informasi data santri, mulai dari identitasnya, track-record pendidikannya di pesantren.
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
Penjelasan tentang simatren oleh Gus Rohim

 Bagi santri, aplikasi ini menyediakan fitur money virtual. Dengannya, santri menitipkan uangnya ke pengurus pesantren sebagaimana di bank. Uniknya fasilitas ini non-bunga. Hanya dengan Kartu Santri yang sudah memiliki barcode, santri bisa mengecek nilai uangnya, bisa menggunakannya untuk transaksi di kantin pesantren meski tanpa menggunakan uang kertas, dan bahkan bisa mencairkan uang yang ia titipkan. Sekali lagi, ini non-bunga.
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
Penjelasan Gus Rohim tentang simatren

Kabar baiknya aplikasi ini sudah online. Bagi Wali santri, dengan bekal NIS (Nomor Induk Santri) sudah bisa mengakses informasi tentang putra via internet. Yah, aplikasi ini dibuat sesuai dengan sistem ala Santri PP. Raudlatul Ulum I. Menurut pembuatnya, aplikasi ini bisa digunakan di pesantren lain dan mudah didesain menyesuaikan sistem pondok pesantren terkait. Yah, aplikasi ini lahir dari santri tulen, belum pernah belajar teknologi secara formal di sekolah atau perguruan tinggi, santri nglontok kitab kuning, saat ini menjabat sebagai Kepala PP. Raudlatul Ulum I, beliau Gus Abdurrohim Said.

Untuk lebih jelasnya aplikasi ini bisa dilihat di simatren.com

Senin, 28 Oktober 2019

FENOMENA JOGET DI DESA SANTRI


Desa Ganjaran disebut "Desa Santri" dilatari oleh jumlah lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren dan madrasah, yang lebih bertumpuk ketimbang desa-desa lain di sekitar wilayah Gondanglegi. Bahkan tidak tanggung-tanggung, launching nama itu diresmikan oleh Bapak Sanusi, Wakil Bupati Malang beberapa tahun yang silam.

Label "Desa Santri" yang dilekatkan pada daerah Ganjaran itu, ternyata bukan sama sekali suci dari perilaku atau kegiatan yang berkonotasi menyimpang dari ajaran syariat. Justeru apa yang sering kali menjadi ujaran banyak orang, "limbah tak jauh dari mata air" benar-benar nyata di tempat yang menjadi lumbung kiai itu.

Selain disinyalir masih banyak anak bangsa yang belum berpendidikan layak, pedagang yang dikenal cenderung "nakal", kini di daerah ini pula mulai menggeliat "joget" yang dikemas dalam acara karnaval.

Gelagat apakah ini ? Rupanya desa yang konon didiami sekian jejeran orang-orang alim (bahkan sebagian allamah) dan ratusan "thalib al-ilm" dari berbagai daerah, tidak berbanding lurus dengan kelakuan yang sekarang ini tengah menggejala.
°°°

Agak miris mencermati perkembangan demikian ini. Betapa tidak, jangankan sikap tasawuf, seperti laku wara', zuhd, tawakul, sabr dan lainnya, performa lahir warga saja belum sepenuhnya mencerminkan kepribadian kesantrian.

Alih-alih terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang penuh dengan kesantunan, sikap-sikap bernilai keislaman, perilaku berbudaya dan beradab dan cara bernalar ilmiah, memproklamirkan nama desa dengan sebutan "Desa Santri" masih belum disertai program jelas, terarah dan sistematis.

Sehingga absah jika ditarik sebuah tali simpul bahwa papan nama yang hanya tegak di pinggir jalan perbatasan desa Ganjaran-Putat Lor itu cuma sebatas plakat slogan tanpa memuat sejuta makna.
°°°
Mungkin sebagian kalangan berdalih bahwa acara massal yang mampu menyedot massa merupakan bagian dari strategi dakwah. Apalagi kegiatan karnival itu bertepatan dengan momentum islami, maka kesan yang di tangkap publik pasti nuansa napak tilas Wali Sanga.
FENOMENA JOGET DI DESA SANTRI


Argumentasi ini tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak seratus persen benar. Apabila dakwah yang dimaksud dimaknai sebagai pengenalan sebuah desa yang dihuni sekitar 2000 santri, bisa jadi alasan tersebut masih rasional. Tetapi jika argumentasi dakwah itu ditafsiri sebagai promosi lembaga pendidikan Islam di desa Ganjaran, kayaknya dalih itu kurang mengena. Sebab hingga saat inipun belum ada fakta yang membuktikan bahwa ketertarikan orang tua pada pesantren atau madrasah dimotivasi oleh gebyar demonstratif di jalanan.
°°°
Menemukan fenomena semacam ini, kita memang perlu berhati-hati dan cermat mengambil sikap. Pada satu sisi, terkadang kegiatan ini melampaui batas-batas syar'i. Tetapi pada sisi lain, sebagian besar masyarakat sudah terlanjur terbuai oleh gegap gempita aksi gratis itu. Oleh karenanya, para kiai yang berposisi sebagai corong agama dengan misi amar makruf nahi mungkar serba salah menyikapi perkembangan ini.

Makanya, langkah yang paling bijak adalah dengan menggunakan beberapa pendekatan, antara lain: Pertama, memenej bagaimana caranya supaya kegiatan seperti ini tetap berlangsung, namun konten dan nuansa islami betul-betul dapat mewarnai. Kedua, perlu ada kolaborasi berkelanjutan antara tokoh agama dan pemerintah setempat agar kegiatan-kegiatan semacam ini benar-benar terwadahi sehingga memungkinkan menjadi bagian dari tawaran destinasi "Desa Santri" yang bernafaskan keislaman.
°°°
Semoga berkah
Gus Mad
Ketua Yayasan Kiai Haji Yahya Syabrowi PPRU I Ganjaran Gondanglegi Malang

Senin, 07 Oktober 2019

OPINI-Mengapa Harus Diganggu?

Oleh : A. Imam Fathoni

Musik metal bagi kebanyakan orang adalah musik yang sangat mengganggu. Dengan iringan musik yang berdentang-dentang dan irama yang sangat keras, membuat aliran musik ini kurang diminati. Ditambah lagi dengan sang vokalis yang dengan suara khas metalnya melantunkan sebuah lagu yang entah kita tidak tahu maknanya. Oleh karenanya, band-band yang beraliran selow lebih dikenal daripada band yang beraliran keras.


Jika ada musik religi, akan tetapi diiringi dengan alunan musik rock atau metal, pasti akan tampak saru di telinga orang-orang. Karena musik religi itu lebih cocok diiringi dengan alunan musik yang lembut. Seperti lagu-lagu yang dibawakan oleh Opik, bahkan juga lagu rohani gereja. Pasti tidak akan banyak yang men-download lagu rohani religi dengan iringan musik yang berdentang-dentang. Apalagi ditambah dengan teriakan-teriakan yang tidak bisa dimengerti maksudnya.

Pada umumnya, telinga manusia itu menolak (tidak suka) dengan suara kebisingan, baik berupa volume tinggi maupun irama keras.

Tapi, ada sebuah persembahan berirama dengan suara lantang. Bukan musik keagamaan, akan tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan itu sendiri. Berjenis-jenis seruan untuk beribadat dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap-atap musalla.

Apalagi di malam hari, lepas tengah malam di saat orang-orang tertidur lelap. Dari bacaan Alquran bahkan Tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat salat subuh) diatur dengan volume setinggi mungkin. Mungkin saja agar orang yang tidur itu tidak bisa tidur lagi, karena merasa bising dengan lantunan-lantunan tersebut. Bukankah lebih baik kita berwudu dan langsung ke masjid?

Bacaan Alquran, Tarhim dan berbagai pengumuman, muncul dari keinginan menginsyafkan orang-orang muslim agar berperilaku berkeagamaan yang lebih baik. Bukankah salat Subuh itu wajib? Bukankah kalau dibiarkan tidur lalu orang itu meninggalkan kewajiban? Bukankah meninggalkan kewajiban itu termasuk dosa? Bukankah membiarkan orang melakukan dosa itu termasuk dosa juga? Jika suara-suara yang sedemikian rupa tidak dapat diterima sebagai seruan kebajikan (amar makruf), bukankah minimal ia dapat berfungsi mencegah kesalahan (nahi munkar)?

Nabi Muhammad pernah berkata: “Kewajiban (agama) terhapus dari tiga manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur (hingga bangun).” Maka, jika orang itu masih tidur tidak akan terkenai kewajiban apapun. Mekanisme tidur-bangunnya manusia itu sudah diatur oleh Allah melalui metabolisme manusia itu sendiri.

Pada ilmu Fiqih (ilmu aturan syariat Islam) ada pernyataan yang menyatakan bahwa: jika seseorang tidur sebelum masuk waktu salat dan tidak salat sampai waktu salat habis, maka dia tidak dikenai dosa. Apabila seseorang itu tidur ketika sudah masuk waktu salat dan yakin akan bangun sebelum waktu habis akan tetapi orang itu bangun di luar waktu salat, maka orang itu mendapat satu dosa, yaitu dosa sebab tidur. Dan jika yakin akan bangun di luar waktu salat dan memang seperti itu, maka orang itu mendapat dua dosa, yaitu dosa sebab tidur dan meninggalkan salat.

Jadi, tidak ada alasan bagi seseorang lain untuk membangunkan orang lain untuk salat. Kecuali ada ‘illat (alasan yang diperbolehkan oleh syariat). Seperti kiai yang menggedor setiap pintu kamar santrinya, ‘illat-nya adalah agar santrinya biasa bangun pagi dan berjamaah, selama mereka masih ada dalam tanggung jawabnya. Dan seperti seorang istri yang membangunkan suaminya, ‘illat-nya adalah: bukankah suami adalah kepala keluarga yang harus menjadi teladan bagi anak anaknya?

Akan tetapi ‘illat itu tidak dapat dipukul dengan rata, harus ada penjagaan bagi mereka yang tidak terkena kewajiban, seperti halnya orang yang sudah tua yang butuh tidur pulas dan tidak boleh tersentak. Perempuan haid pun tidak dikenai kewajiban sembahyang. Tapi mengapa mereka harus diganggu? Dan juga bagi anak anak yang belum akil balig (tamyiz, sekitar umur tujuh-delapan tahun bagi mazhab Syafi’i).

Percuma saja memperpanjang ilustrasi seperti di atas. Akal sehat pun sudah cukup untuk meninjau kejadian-kejadian suara lantang di tengah malam, apalagi didahului Tarhim dan bacaan Alquran yang berkepanjangan. Apalagi suara tersebut berasal dari audio rekaman,
sedangkan pengurus masjidnya tidur tentram di rumahnya.

ISLAM NDAK RADIKAL KOK!

Oleh: Muhammad Farhan

Sebagai agama dengan popularitas terbesar di dunia, tak dapat dimungkiri bahwa Islam adalah agama dengan pengaruh yang sangat besar dalam peradabannya. Agama dengan penyebaran yang rahmatan lil ‘alamiin ini sangatlah menentramkan pada hakikatnya. Ajaran-ajarannya sangat luwes dalam kehidupan bermasyarakat. Agama yang fleksibel. Agama yang dinamis. Agama yang harmonis. Agama yang praktis.



Tetapi setelah mengalami perkembangan, Islam yang memerankan sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin ini banyak diasumsikan sebagai agama yang tak mengenal kata toleran dan agama yang tak mengenal kata luwes. Keras dalam penyebarannya. Kaku dalam pengaplikasiannya. Sungguh tak dapat dibenarkan hal yang semacam demikian adanya. Sungguh! Islam adalah agama yang sangat mengenal kata toleran. Tidak seperti apa yang diasumsikan masyarakat luas, masyarakat yang tak berpedoman lurus.

Dalam perkembangannya, Islam tak serta-merta langsung menyerang musuhnya. Dalam banyak kejadian yang terjadi di waktu lampau, Rasulullah tidak serta merta langsung memerangi musuhnya. Tetapi beliau masih mengirimkan surat resmi ajakan masuk Islam yang dilengkapi dengan stempel resmi beliau, Muhammad Rasul Allah. Seperti halnya surat yang dikirimkan kepada Raja Kisra pada zaman terdahulu. Beliau tidak serta merta langsung menyerangnya. Tapi beliau dengan santunnya, mengajak Raja Kisra untuk masuk Islam yang rahamatan lil ‘alamiin. Namun apalah mau dikata ketika manisnya madu dibalas dengan pahitnya empedu, Raja Kisra malah merobeknya. Apalah daya, Rasulullah pun melancarkan serangannya.

Dalam Islam, perang hanyalah konsekwensi dari kelakuan mereka sendiri yang tak mau memeluk Islam dengan cara yang rahmatan lil ‘alamiin ini. Bandel.

Muhammad Al-Fatih—penakluk kota konstantinopel yang sekarang menjadi bagian dari kota Instanbul, Turki—dalam sejarahnya ketika menaklukkan kota besar lagi kuat itu tidak serta merta melakukan ekspansi ke negara yang ditujunya dengan brutal, tak ada aturan. Beliau dengan telaten mengajak para pembesar-pembesar kerajaan yang masih kafir untuk masuk Islam. Namun dari golongan merekalah yang tak mau diberi madu, mereka lebih memilih empedu. Tak mau masuk Islam dengan cara yang rahmatan lil ‘alamiin. Setelah apa yang dilakukan oleh mereka terhadap beliau, si sultan, beliaupun melakukan musyawarah dengan para pembesar kerajaan untuk menyerang kerajaan yang sedang menguasai Konstantinopel.

Para pembesar kerajaan pun menyetujui atas usulan beliau: menyerang kota Konstantinopel. Alhamdulillah, konstantinopel un dapat ditaklukkan. Setelah itu, Islam yang rahmatan lil ‘alamiin pun berperan besar. Al-Fatih dengan santunnya tak serta-merta langsung mengusir penduduknya yang berlainan agama. Al-Fatih malah memberikan kebebasan dalam beragama bagi masyarakatnya. Tak ada paksaan. Tak ada kekerasan. Semua berjalan dengan rahmatanlil ‘alamiin.

Ingat! Perang hanyalah konsekuensi dari mereka yang tidak mau menerima ajarannya.

Dalam epos tanah Jawa, Raden Said—putra sulung dari pada adiphati Tuban,Wilwatikta—tak pernah dengan paksa mengajak masyarakatnya untuk memeluk agama Islam. Agama yang penuh dengan rahmatan lil ‘alamiin. Beliau malah mempunyai trik jitu untuk mengajak masyarakatnya memeluk agama yang rahmatun lil ‘alamiin ini dengan sukarela. Tak ada paksaan. Tak ada kekerasan.

Raden Said dengan sabar, dengan telaten mengajak rakyatnya masuk Islam dengan cara yang begitu menarik. Beliau menyiapkan pertunjukan wayang dengan suguhan cerita-cerita yang diselipi dengan unsur humanisme dan unsur spritual. Masyarakat pun tertarik dengan pagelaran yang disuguhkan oleh Raden Said. Masyarakat dengan antusiasnya menghadiri pagelaran tersebut. Tak ada paksaan. Tak ada kekerasan. Sebagai ganti dari pada asyiknya tuntunan yang dipertontonkan, mereka hanya harus membayar dengan tiket berupa kalimo sodo, kalimat syahadat. Mereka masuk Islam pun dengan suka rela. Tak ada kekerasan di dalamnya.

Banyak contoh-contoh yang dapat kita jadikan pedoman, bahwa Islam memang bukanlah agama yang identik dengan peperangan, kekerasan dan paksaan. Islam adalah agama yang rahmatun lil’alamiin. Agama yang luwes. Agama yang dinamis. Agama yang praktis. Agama yang harmonis.

Islam bukanlah agama yang seperti diasumsikan oleh mereka yang sering mengkafirkan sesama. Islam bukanlah agama yang selalu membombardir sini-sana demi hanya kepentingan sekelompok semata. Islam bukanlah agama yang memberikan rasa was-was, rasa takut dan rasa tak nyaman pada sekitarnya. Islam bukanlah agama otoriter, agama yang sekehendak sendiri untuk melakukan sesuatu yang dimauinya. Islam bukanlah seperti itu semua.

Tapi Islam adalah agama yang memberikan rasa aman bukan hanya kepada umat Islam saja, melainkan kepada seluruh umat manusia. Islam adalah agama yang mementingkan kelompok bersama, tak membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Islam adalah agama yang memberikan rasa percaya diri bagi sekitarnya. Islam adalah agama yang memberikan rasa tenang, rasa tentram, rasa aman, rasa rukun dan rasa yang penuh adem-ayem bagi sekitarnya. Islam adalah agama yang luwes, agama yang dapat sesuai dengan masanya. Islam adalah agama yang fleksibel, agama yang dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Islam adalah agama yang praktis, agama yang tak terbelit-belit dalam ajarannya. Islam adalah agama yang harmonis, agama yang tak pernah mengancam keberadaannya, bahkan agama yang memberikan perlindungan kepada sesama umat manusia.

Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamiin, agama yang dengan sedemikian ajarannya mengajak kita semua untuk saling mengasihi pada sesama. Bukan hanya kepada umat Islam saja tapi kepada sesama manusia, bahkan pada lingkungannya juga. Wallaahu a’lam bis showaab.