Jumat, 27 Januari 2023

The Labyrinth (Resensi) - Oleh: Maátul Qonitatillah



Judul: The Labyrinth

Penulis: Syarifah Fatima Musawa

Penerbit: PT. Zamrud Khatulistiwa Media

Tahun: 2019

Tebal: 129 halaman

 

Pernah ngerasa nggak sih, berada di titik kegalauan tanpa sebab? Suatu kegalauan dan kegundahan yang berada pada diri kita adalah sebuah pilihan yang telah kita pilih sendiri untuk menyelimuti diri kita. Yang menjadikan kegundahan menjadi teman kita, kegalauan yang terkadang singgah pada diri kita, merupakan hal yang wajar seperti ketika kita mengingat-ingat kembali setiap detail kenangan menyedihkan yang pernah terjadi dan tanpa sadar menjadikan diri kita terlarut dalam lautan kesedihan.

Ketika terluka, sedih itu wajar, menangislah. Tapi setelah itu jangan pilih kesedihan. Sebab, kalau kamu pilihnya sedih, nanti akan muncul pertanyaan dalam diri kamu, bahwa “aku tidak pernah bahagia” atau “aku tidak tahu seperti apa kebahagiaan itu”. (hal 97)

Buku “The Labyrinth” ini dikelola dan disajikan kepada para pembacanya untuk lebih banyak lagi bermuhasabah (intropeksi diri). Sejatinya kebahagiaan dan kesedihan itu adalah pilihan dari kita sendiri. Suatu kebahagiaan tak pernah melangkah pergi, karena sesekali kebahagiaan mengunjungi diri kita lewat berbagai kejadian dalam hidup kita, akan tetapi seringkali dari kita tidak menyadarinya. Sebab, bagaimanapun jalan yang sering kita pilih adalah luka dibandingkan menyukuri segala pemberiannya, oleh karena itu, buku “The Labyrinth” ini hadir untuk menyadarkan kita semua tentang perihal tersebut.

Ada sebuah perkataan hikmah yang berbunyi sebagai berikut: “Kalau seorang hamba mengetahui apa yang terjadi di balik tabir takdir Allah SWT, maka dia tidak akan mengharap atau meminta apapun selain apa yang sudah ia memiliki. Kenapa? Karena Allah tahu yang terbaik untuk kita, meskipun yang terbaik itu tidak selalu kita sukai.

Terkadang Allah SWT tidak memberikan kita sesuatu yang kita inginkan, tapi memberikan sesuatu yang kita butuhkan, walau terkadang seringkali terjadi prasangka buruk (suudzon) pada diri kita terhadap Allah SWT. Sebagaimana di dalam hadist qudsi yang artinya: “Aku berada pada prasangka hamba-Ku, maka hendaknya ia berprasangka terhadap-Ku seperti apa yang dia inginkan”

Di dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana sikap yang harus kita ambil ketika kita berada di tengah-tengah lingkungan yang menilai kita “Sok Suci, sok syar’i, sok alim, dan sok sok yang lainya”. Dan ternyata sungguh menakjubkan bahwasanya Rasulullah SAW sudah pernah membahas perihal ini dari seribu empat ratus tahun yang lalu, saat agama kita mendapat cacian, hujatan, fitnah, dan lain-lain.

Mereka yang melakukan perbuatan tersebut terhadap agama Islam tak lain disebabkan karena mereka tidak tahu dan dangkalnya kepahaman mereka mengenai agam Islam. Dan alangkah baiknya kita, sebagai penganut agama Islam, sudi memberitahu dan membuat mereka mengerti dengan budi pekerti mulia yang penuh kasih saying, bukan dengan kata-kata yang semu.

Islam adalah agama yang indah, adil dan sama sekali tidak pernah menganjurkan umatnya untuk berburuk sangka pada sesama, bahkan kepada yang non-muslim sekalipun. Kita tetap diminta untuk berakhlak baik dan selalu berbaik sangka. Kalau bukan kita sendiri yang menerapkan apa yang telah diajarkan oleh agama kita, jangan salahkan orang lain ketika merek terus beranggapan buruk terhadap agama kita.

Buku “The labyrinth” adalah buku yang sangat pas dibaca ketika kita ingin memperbanyak merenungi diri dan menjadi pribadi yang lebih baik. Juga cocok dibaca oleh semua kalangan termasuk kalangan remaja, karena bahasanya yang ringan akan tetapi mengena di hati.

 


 






Jumat, 05 Maret 2021

Cakrawala berfikir Ala Madzhab (resensi)

 


Resensi Risalah Fathu al-Majid fi Bayani at-Taqlid “Cakrawala berfikir Ala Madzhab”

Oleh: Mursyid Hasan

 

 

Profil Pengarang Kitab

Pengarang kitab Fathu al-Majid fi Bayani at-Taqlid ini termasuk salah satu putra dari ulama terkenal dari Indonesia siapa lagi kalau bukan  KH. Abdullah Abd Manan pendiri Pondok Pesantren Tremas, keluarga beliau memang ahli ilmu agama, jadi wajar kalau putra-putra beliau sangat mendalami ilmu agama seperti yang akan kita bahas ini.

Kami sebut dengan nama Kyai Dahlan Tremas, beliau mulai mendalami ilmu agama dari sang ayah di Tremas kemudian dating ke kota Semarang untuk berguru kepada KH. Sholeh Darat setelah ilmu yang ia dalami sudah mumpuni. Baru beliau Melanjutkan tholabul ilm’nya ke Makkah dan Mesir. Diantara Guru-gurunya disana, Syekh Bakri Syatha, Syekh Jamil Djambek dan Syekh Thahir Djalaluddin.

Ringkasan

Sebuah Risalah yang sudah di ringkas dan penjabarannya terlalu  padat ini ditulis untuk menerangkan betapa pentingnya bertaqlid atau dalam diksi lain menjalankan aktivitas keagamaan baik berupa ibadah maupun muamalah sesuai arahan para ulama yang sudah menganalisa, mengkaji, membuat rumusan.

Sebagaimana yang sudah diketahui bersama bahwa tidak mungkin setiap orang dapat menyimpulkan hukum langsung melalui sumbernya, bahkan diantara para ulama pun gelar mereka bertingkat-tingkat sesuai dengan kapasitas penguasaan ilmu yang mereka miliki, penulis telah menjelaskan hal ini panjang lebar agar siapa pun yang berinteraksi  dengan sumber primer agama ini mengetahui kadar dan kemampuan diri.

Dalam risalah ini juga kita dikenalkan nama-nama tokoh Ulama Syafi’iyyah yang dijadikan pondasi dalam menganalisa perangkat imam mazhab dalam beristinbath. kita akan melihat posisi mereka berbeda -beda sesuai dengan nama atau gelar seperti perbedaan antara mujtahid mustaqil dan mujtahid mutlaq muntasib, ashabul wujuh, mujtahid fatwa dst. juga disebutkan penggunaan istilah syaikhain dan cara memilih pendapat keduanya jika bertentangan.

Salah satu susunan tema puzzle yang menarik untuk diketahui adalah kebolehan mengambil pendapat yang lemah untuk amalan pribadi namun tidak untuk fatwa publik disamping kebolehan bagi mufti memberikan pilihan dua pendapat Imam Syafi’i saat menyampaikan fatwa.

Risalah ini sangat penting bagi pengikut mazhab Imam Syafi’i, agar ahli ilmu dikalangan mereka menjadikannya sebagai pegangan serta diajarkan kepada masyarakat Syafi’iyyah demi untuk memberikan pemahaman secara utuh tentang esensi bermazhab dan bertaqlid serta paham aturan dan kaidah yang telah ditaati bersama oleh Ulama Syafi’iyyah.

Kelebihan Risalah Fathu al-Majid fi Bayani at-Taqlid

Risalah ini Membuka cakrawala berpikir khususnya bagi pendakwa tidak perlu bermazhab dan kaum yang tidak memiliki kematangan perangkat ilmu fiqh dan ushul fiqh supaya mereka tahu diri dan posisi saat berinterkasi dengan sumber primer agama yang disepakati yaitu Al-Quran dan Al-Hadis.

 

Senin, 01 Februari 2021

MEMBACA SEJARAH DARI AMANAH (resensi)



MEMBACA SEJARAH DARI AMANAH

Oleh: Mukhlis Akmal Hanafi (M.A.H)

Resensi

AMANAH Media Komunikasi Informasi

Judul

Masa Depan Ummat Ditangan Pemuda

Penerbit

Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1

Tahun

28 Oktober 1928 – 1986

Tebal

27 Halaman

 

Mungkin beberapa dari alumni atau santri masih belum menyadari beberapa majalah pondok pesantren yang saat ini masih tersimpan rapi dilemari perpustakaan. Majalah AMANAH Media Komunikasi Informasi awal diterbitkan pada tahun 1928 sampai dengan 1986. Masa depan ummat ditangan pemuda sebagai sampul buku, diawali dengan tulisan yang berjudul Da’wah dan perubahan Sosio Kultural. Meski beberapa dari kalangan santri akan cukup kesulitan memahami  teks yang disampaikan dalam buku, akibat perputaran zaman yang memaksa para pembaca harus mengatuhi situasi perkembangan pada masa itu, setidaknya ada beberapa poin penting yang mestinya diketahui bersama, dan harusnya memicu adrenalin para pembaca.

Salah satunya perihal Pesantren dimasa dulu khususnya tahun 80-an. Dalam bukunya dijelaskan bahwa pesantren kemarin, kini dan esok adalah yang harus diperhatikan dalam-dalam. Bagaimana tidak, pesantren yang dulunya terkenal sebagai lembaga kolot kontroversial, kini harus berkompetisi dan bersaing baik dibidang pendidikan maupun hal yang berkaitan dengan moral. Dalam bukunya juga disebutkan oleh salah satu Pimpinan Redaksi pemred Hanafi M. Khalil, bahwa pesantren Pada awal berdirinya tak ubahnya hanya menjadi padepokan-padopakan kecil di pedalaman, yang dimaksudkan sebagai benteng terakhir dari sebuah serangan sang bule (belanda).

AMANAH dengan tema masa depan ummat ditangan pemuda adalah bagian pertama dari dua bagian Amanah yang tersisa, buku ini secara seluruh menjelaskan dunia pendidkan dan islam, lebih-lebih pesantren yang beraliran Ahlussunnah wal Jama'ah dan Nahdlatul ulama.

Tokoh utama dalam penerbitan AMANAH edisi 80-an ini salah satunya Kh Yahya Syabrawi pengasuh utama sekaligus sebagai pelindung, atau yang lebih kita kenal sekarang dengan sebutan penanggung jawab, ditemani oleh Drs. HM. Subairi. Drs. HA. Mursyid Alifi dan Kh. Khozin Yahya sebagai penasehat.

***

Membaca AMANAH mengajak kita kepada tabir masa lalu, mengajak para pembaca untuk mengenal lebih dekat dengan sejarah yang sudah terjadi sebelumnya, hingga bukan suatu hal yang mudah jika dalam satu kesempatan pembaca tidak mampu memahami teks yang disampaikan. Pembaca juga dituntut mencari refrensi buku yang lainnya, sebagai motivasi mengatahui historis yang telah terjadi lama sebelum kita dilahirkan.

Jika kita lebih teliti dengan ulasan yang diberikan oleh buku AMANAH sendiri, kita akan sering mendengarkan berbagai macam istilah yang kemungkinan besarnya akan menghadapi kesulitan bagi para pembaca sendiri, salah satunya Repelita. Singkatan dari Repelita sendiri adalah  Rencana pembangunan lima tahun, yang kemudain akan menentukan pemerintahan ke jalur yang lebih baik, dan menjadi arah yang harus dilakukan oleh pemerintahan itu sendiri.

Repelita sendiri hadir pada tahun yang berbeda-beda, dimana Repelita jilid I hadir pada tahun (1969–1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian. Repelita jilid II hadir pada tahun (1974–1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain JawaBali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi. Repelita jilid III hadir pada tahun (1979 sampai 1984) menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor. Repelita jilid IV (1984–1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri. Repelita jilid V (1989–1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.

Tentu dengan adanya ini kita akan lebih mengurangi beban pikiran yang masih menjanggal. Namun kita juga tidak bisa ambil kesimpulan bahwa repelita akan berjalan sebagaimana mestinya. Buktinya dalam buku AMANAH sendiri juga tak segan mengkritik habis-habisan perihal repelita rencana pembangunan lima tahun, dimana dalam hal ini pada masa Presiden Soeharto, disini agama khusunya Islam memiliki tugas yang sangat sentral dan krusial. Islam harus turut andil dalam menjalankan tugas pemerintahan dengan beberapa pertimbangan. Ya, islam harus berada  di garda terdepan, sebagai lokomotif ganda di pangkal dalam rangkaian pembangunan bertaraf Nasional itu. Dalam bukunya juga menjelaskan beberapa siasat da’wah yang harus dicanagkan oleh para lembaga pendidikan khususnya para tokoh atau kyai yang punya pendidikan, tak terkecuali lembaga pesantren.

Seperti yang sudah kita kenal sekarang, janji merupakan hal yang wajar disampaikan dalam satu dekade atau masa-masa pemilihan, untuk menyakinkan masyarakat dalam menentukan pilihan. Kita juga sering mendengar beberapa siasat pemerintah dalam kelangsungan lima tahun kedepan, dan tak sering juga masyarakat memberikan kritik sosial melalui tulisan atau semacamnya.

“Repelita yang sudah dilancangkan pemerintahan itu telah menuju ke tahap industrialisai, sementara rasio man-power-nya belum memadai sekali. Sehinga kemungkinan besarnya menimbulkan beberapa ledakan besar yang mengakibatnya masyarakat sekitar kehilangan pekerjaan, atau bahkan kehilangan komplek yang sudah ia tiduri sebelumnya.”

Lafad diatas jelas memberikan kesan yang sangat emosional, selain mengajak para pembaca untuk membuka cakrawala masa lalu, kita juga diajak untuk tetap tinggal disana sebagai bukti sejarah, atau sebagai pembaca saja. Kini kita bisa tahu bahwa peradaban islam pada masa 80-an menghadapi tantangan yang sangat besar, dan bukan hal mudah untuk dipecahkan, sementara pesantren dipaksa harus jadi alternatif terakhir dari sebuah jawaban yang masih mencekal di masyarakat.

Islam juga harus mempertimbangkan beberapa siasat yang kemungkinan besar menghadapi kecendrungan-kecendrungan yang bermacam-macam, menurut Koentojiyo salah satu dosen Fak. Sastra dan Sejarah Universitas Gajah Mada dalam bukunya juga mengungkapkan, bahwa “da’wah dapat bersikap positif dalam arti menguatkan kecendrungan itu, disamping itu juga dapat besifat negatif   dalam arti menolak atau bersikap historis dalam arti berada di atas kejadian-kejadian sejarah.

Dengan ini kita bisa tau betapa besarnya peran islam dalam menjalani tirani totaliter yang penuh lika-liku itu. Sehinga apa-apa yang terjadi kedepan bisa juga tidak sesuai dengan apa yang diramalkan. Sehingga pertimbangan yang dimaksudkan bisa juga gagal, bisa juga berhasil dalam arti mengikuti apa yang diharapkan oleh pemertintahan.

Membebaskan individu dan masyarakat dari sistem kehidupan yang dholim (tirani totaliter) menuju kehidupan yang adil (demokratis) tentu ini yang diharapkan oleh islam dan masyarakat. Bebas dari kengkaman pemerintahan.

***

Dalam buku Amanah juga mempertimbangkan beberapa alasan terkait NU organisasi islam Nahdlatul Ulama Dalam menyikapi Pemilu di tahun 1987. Dimana pada waktu itu NU dengan tegas membebaskan kaum Nahdliyin memilih sesuai hati nurani melalui kepentingan masing-masing. Bertujuan demi kelangsungan hidup atau kesempatan memilih dengan bebas.

           Demikianlah alasan majalah ini diterbitkan, dengan alasan “semua manusia bebas berekspresi, bebas bersikap sesuai yang dihadapkan oleh dirinya sendiri, dan bebas dari ancaman yang beragam dari pemerintahan itu sendiri.

Majalah Amanah ditutup dengan media tanya jawab, dimana media ini memuat pertanyaan finansial atau permasalahan global yang lalu di musyawarahkan dalam bingkai bahtsul masail. Sementara penempatan bahtsul masail sendiri bertempat di PPAI Darun Najah Karang-ploso Malang dengan dihadiri langsung oleh tokoh ganjaran tak terkecuali Drs. H Mursyid Alifi sebagai ketua sidang.


Kamis, 31 Desember 2020

Menyederhanakan Ilmu Mantik (resensi)




Menyederhanakan Ilmu Mantik
Oleh: Gus Muhammad Hilal

Resensi: Menyederhanakan Ilmu Mantik

Judul: Ilm al-Manthiq li al-Madāris al-‘Arabiyah
wa al-Ma‘āhid al-Dīniyah bi Indūnisiyā

Penulis:
Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī
Penerbit
: Syirkah Maktabah Mushthafā al-Bābī al-Halabī
Tahun:
1937
Tebal
: 84 halaman

Tujuan kitab ini adalah untuk menutupi kekosongan yang ditemui penulisnya. Di Indonesia banyak beredar kitab-kitab mantik berbahasa Arab, namun bahasanya sangat sulit. Bahkan kitab mantik yang biasanya diajarkan untuk pemula pun masih terlalu sulit dipahami. Hal itu merugikan, baik bagi pembelajar ilmu mantik maupun bagi para guru yang mengajarkannya.

Upaya menyusun kitab ilmu mantik yang sederhana dan ringkas bagi pemula memang tantangan tersendiri. Ilmu ini tergolong “menakutkan” bagi pemula karena tingkat kesulitannya. Namun, kesan menakutkan itu sebenarnya lebih didorong oleh jarangnya buku-buku yang bagus untuk pemula.

Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī adalah salah satu penulis Indonesia yang berusaha memenuhi tantangan itu. Melalui kitab tipisnya, dia terhitung berhasil melakukannya. Keberhasilan itu terlihat dari beberapa upayanya. Pertama, dia membuat contoh-contoh yang cukup kaya. Dalam kitab-kitab lain, contoh-contoh yang diberikan berkutat pada “al-insān hayawān al-nātiq,” mirip seperti ilmu Nahwu yang contoh-contohnya melulu “jā’a zaidun, dlarabtu zaidan, marartu bi zaidin.” Ketersediaan contoh-contoh yang tidak itu-itu saja membuat uraian-uraian teori dan kaidah-kaidahnya jadi lebih mudah dicerna.

Kedua, Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī juga membuatkan bagan dan kolom untuk menyederhanakan konsep-konsep yang terkandung dalam ilmu ini. Dengan kata lain, dia memanfaatkan strategi mind mapping agar bukunya ini lebih mudah dipahami. Dalam teori pembelajaran modern, sekarang sudah terbukti bahwa strategi mind mapping adalah salah satu strategi pembelajaran yang efektif.

Ketiga, dia fokus pada pembahasan ilmu mantik semata, tanpa menyisipkan ilmu-ilmu lainnya. Beberapa kitab yang beredar di Indonesia, katanya, menjadi sulit dipahami karena di dalamnya terkandung ilmu-ilmu yang bermacam-macam, tidak fokus. Itu membuat para pemula sering kehilangan arah saat mempelajarinya. Suatu kitab yang mudah bagi pemula, bagi Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī, adalah kitab yang fokus, tidak melantur ke mana-mana.

Mungkin karena upaya yang ketiga ini, Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī tidak menjelaskan hukum mempelajari ilmu ini sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab mantik lainnya. Itu adalah wilayahnya  ilmu fikih, bukan ilmu mantik.

Demikianlah, kitab ini dikarang dalam upaya mengisi ruang kosong kemudahan dan kesederhanaan dalam penyajian ilmu mantik. Namun apakah dia adalah satu-satunya orang di Indonesia yang mengupayakan hal itu? Jika kita telisik khazanah keilmuan di negeri itu, akan mudah ditemukan bahwa jawabannya adalah tidak.

Tujuan seperti ini juga pernah dilakukan oleh Syaikh Yasin Padang. Kitabnya yang berjudul Risālah fi ‘Ilm al-Manthiq ditulis dalam format Q & A (tanya-jawab). Tentu itu sangat memudahkan bagi pemula. Uniknya, Syaikh Yasin Padang menyatakan bahwa ilmu ini bisa membantu kita untuk mempelajari ilmu Usul Fikih dan Ilmu Balaghah.

Tokoh Nusantara lain yang mengupayakan hal serupa adalah KH. Miftah bin Ma’mun Marti Cianjur. Kiai ini sangat produktif menulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan. Kitabnya tentang ilmu mantik pun banyak. Saya memiliki delapan kitabnya yang khusus membahas ilmu mantik. Kitab-kitab ini berbentuk syarh, hasyiyah, dan sebuah tulisannya sendiri berjudul Al-Miftāh ‘ala Tahrīr Qawā’id al-Mantiq.

Pada dasarnya, kitab berbentuk syarh dan hasyiyah pun sebenarnya bertujuan sama. Setiap syarh dan hasyiyah sebenarnya berangkat dari keinginan mengurai suatu kitab yang tulisannya cenderung sulit dipahami. Hanya saja, kitab syarh dan hasyiyah biasanya tidak diperuntukkan untuk kalangan pemula, melainkan untuk pembelajar tingkat madya atau.tingkat lanjut.

Beberapa pesantren telah menyusun buku ajar yang berupa syarh atas nazam Al-Sullam al-Munawraq. Kitab-kitab itu disusun sebagai buku ajar atau kitab takrir untuk para santri. Pada umumnya, kitab syarh takrir semacam ini adalah ringkasan dari kitab lain yang lebih besar. Namun, karena memang kitab-kitab itu ditulis oleh sang kiai atau santri senior di pesantren bersangkutan, maka bisalah kiranya kitab-kitab itu digolongkan sebagai khazanah Nusantara.

Kitab ‘Ilm al-Manthiq yang ditulis oleh Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī itu memang bukan satu-satunya kitab mantik yang bertujuan untuk memudahkan para pemula dalam belajar ilmu itu, tapi harus diakui bahwa kitab ini memiliki keunikannya sendiri. Sebagaimana disebutkan di muka, penyajian contoh-contoh yang kaya dan pencantuma bagan serta kolom adalah keunikannya yang tampaknya tidak miliki oleh kitab mantik lain yang ditulis oleh para ulama Nusantara.

Keunikan lainnya adalah ketika dia menyebutkan sebab-sebab kegalatan berpikir. Kitab mantik selalu menyebutkan bentuk-bentuk kegalatan berpikir (mughālathāt) di bagian akhirnya. Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī menambahkan bagian khusus, yakni penyebab kegalatan berpikir itu. Hal ini menjadi sumbangsih Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī dalam kitab mantik, sebab kitab-kitab lainnya tidak ada yang secara khusus menyebutkan sebab-sebab kegalatan berpikir semacam ini.

Menurut penulis kitab ini, ada tujuh sebab yang jadi biang keladi kegalatan berpikir: (1) terlalu buru-buru memvonis, (2) terlalu mudah membenarkan, (3) pemihakan terhadap suatu pandangan, (4) pengaruh adat-istiadat, (5) hawa nafsu, (6) gemar berbeda pandangan, (7) mudah terpesona.

Pencantuman sebab-sebab kegalatan berpikir ini tidak disebutkan apa obat penawarnya. Secara tersirat, penulisnya  ingin mengatakan bahwa penguasaan ilmu mantik semata belum cukup  untuk menghindari bentuk-bentuk kegalatan berpikir. Mereka yang mahir dalam ilmu mantik tidak secara otomatis akan menghindari kegalatan berpikir, sebab penyebab-penyebabnya bukan hanya ketiadaan pengetahuan akan ilmu itu. Ada hal-hal lain di luar aspek pengetahuan kognitif yang harus diperhatikan agar terhindar dari kegalatan berpikir. Aspek non kognitif ini berada di luar ilmu mantik. Dengan demikian, semakin terlihatlah bahwa interdependensi dan interkoneksi antar ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan.[]

Senin, 30 November 2020

RUROUNI KENSHIN I

 


RUROUNI KENSHIN I

Oleh: Gus Muhammad Hilal

 

Ada tiga peristiwa besar dalam sejarah Jepang. Ketiganya membentuk Jepang menjadi sebagaimana adanya sekarang.

Pertama, ketika trio shogun berkuasa secara bergantian: Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu. Peristiwa sejarah ini menandai persatuan Jepang untuk pertama kali dalam sejarahnya setelah terpecah-pecah dalam petak-petak kekuasaan para daimiyo. Di samping itu, peristiwa ini menjadi momentum naiknya kaum samurai ke puncak kelas sosial tepat di bawah kaisar.

Kedua, ketika Kaisar Meiji mencanangkan restorasi kekuasaan ke tangannya. Sang Kaisar menghapus para samurai dari daftar kelas sosial. Barangkali jiwa dan semangat kesamuraian masih dipertahankan, namun sejak saat itu menjinjing pedang di jalanan adalah tindakan ilegal. Fase sejarah ini adalah fase keterbukaan dan Jepang mulai menyerap pengetahuan dan teknologi modern.

Lalu, ketiga, ketika Jepang menjadi sebuah negara fasis yang berakhir pada ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Ini semua cuma pengantar saja. Film ini berlatar hanya di fase historis yang kedua saja.

***

Menghapus fungsi samurai dari peta sosiologis Jepang klasik bukanlah perkara mudah. Bagi mereka, status samurai adalah juga urusan gengsi. Punya pedang pula! Tidak sedikit dari para samurai yang menentang titah Sang Kaisar ini, dan tak jarang mereka mengungkapkan protesnya dengan bahasa pedang.

Menghadapi para pembangkang perintah ini, Sang Kaisar membentuk sebuah organisasi rahasia yang tugasnya memata-matai dan sekaligus mengeksekusi mereka di tempat. Anggota organisasi ini ya dari kalangan samurai juga, tapi yang setuju dengan titah Sang Kaisar.

Alkisah, terdapat salah seorang anggota dari organisasi ini yang amat ganasnya memburu para samurai pembangkang. Saking ganasnya sehingga dia menjadi seorang legenda yang namanya tak lekang zaman. Hitokiri Battosai, namanya. Atas nama kaisar dan Era Baru yang dijanjikan dia menebas, menyabet sana-sini, membantai tanpa ampun semua pemberontak itu. Inikah harga yang harus dia bayar demi menyambut zaman baru negerinya? Membunuh sesama samurai, sesama anak bangsanya?

Bertahun-tahun dia dan para pendukung kebijakan restorasi mendesak para pembangkang. Hingga, pertarungan melawan para pembangkang berakhir sudah. Kemenangan berhasil direbut golongan pro restorasi. Tak perlu lagi ada perang saudara.

Sejak saat itu, Battosai bertobat. Dia berjanji tidak akan membunuh lagi.

***

10 tahun sudah berlalu. Langkah pertama menuju Zaman Baru.

Battosai sekarang menjadi seorang pengembara. Namanya pun kini berganti Himura Kenshin. Tapi sampai kapan pun tak akan lepas pedang dari pinggangnya. Hanya saja, kali ini pedangnya lain dari biasanya: berbilah terbalik. Kalau nanti terpaksa dia bertarung dengan pedang ini, lawannya tidak akan mati kena bacok, paling-paling cuma pingsan kena pentung.

***

Zaman sudah berubah. Kesempatan berdagang kali ini adalah kesempatan semua orang. Kelas menengah penggerak roda ekonomi itu meningkat. Dengan kata lain, golongan sejahtera tambah banyak. Tapi tak semua kesejahteraan itu diperoleh dengan cara halal: opium.

***

Ah, mana mungkin saya melupakan Kamiya Kaoru (Emi Takei), perempuan menawan itu. Ayahnya adalah seorang samurai yang menjadi korban kebijakan restorasi, tewas di tangan para pemburu. Sebuah dojo (balai pelatihan bela diri) warisan ayahnya harus Kaoru urus, dengan hanya seorang murid, seorang bocah bengal, Myojin Yahiko (Taketo Tanaka).

Selama sepuluh tahun ini Kouru mencari Battosai yang legendaris untuk membalaskan dendam kematian ayahnya. Namun, perjumpaan lebih lanjut malah membikin mereka bersahabat, bahkan keduanya kemudian saling berbagi rasa. Kaoru dan Battosai Si Pembantai saling jatuh cinta.

***

Di masa-masa ini, para samurai mengalami keadaan yang sangat buruk. Mereka baru saja tersungkur dari tahta status sosialnya. Akses ekonomi dan politiknya dipangkas tanpa sisa. Selanjutnya, mudah ditebak, mereka cuma jadi para begundal yang rela dibayar murah.

Kanryu Takeda (Teruyuki Kagawa), seseorang yang menjadi amat kaya berkat bisnis opium, merekrut para samurai itu untuk mengabdi padanya. Beberapa di antaranya berkemampuan sangat hebat.

Kenshin dan seorang kawannya, Sagara Kenosuke (Munetaka Aoki), menyerbu rumah sekaligus markas Takeda dan berhasil melumpuhkan semua gembong kejahatan itu. Salah seorang samurai rekrutan Takeda, Jin-e Udo (Koji Kikkawa), menculik Kaoru untuk memancing Kenshin berduel dengannya hidup-mati.

***

“Seorang pembunuh tetaplah seorang pembunuh.”

“Setelah kau jadi seorang pembunuh, tidak ada jalan untuk kembali.”

Jin-e Udo menantang Kenshin berduel tak ada motif lain selain mengembalikan amarah Battosai yang terkenal. Dengan kata lain, dia hanya ingin Kenshin kembali ke jalannya yang semula dan melanggar janji yang sudah sepuluh tahun ini dia pegang erat-erat. Berhasilkah Kenshin mempertahankan janjinya untuk tidak membunuh lagi?[]

===================================

Judul           : Rurouni Kenshin I

Rilis            : 25 Agustus 2012

Pengarah     : Keishi Otomo

 

Selasa, 11 Maret 2014

Nahwu Putih & Sharraf Putih

Nahwu Putih & Sharraf Putih
Bagi santri dan alumni PPRU 1 Ganjaran, tahun 90-an, siapa yang tidak tahu dengan istilah Nahwu Putih, dan Sharraf Putih. Sebuah kitab nahwu dan sharraf dasar, yang dijadikan kitab pedoman bagi para santri PPRU 1 untuk mendalami gramatika arab. pasalnya, kitab yang menggunakan tulisan tangan ini, dibuat awal tahun 1990-an, ditulis oleh Ust. Toha, tertanggal 26-8-1414 H, dan sampai sekarang masih tetap dipakai serta dijadikan acuan  penguasaan gramatika arab dasar untuk para santri.