Pesantren
itu bernama Raudlatul Ulum Suramadu
Oleh: Muhammad Farhan
Dari namanya saja sebagian dari pembaca mungkin sudah dapat menerka
bahwa pesantren itu adalah cabang dari Raudlatul Ulum 1. Raudlatul Ulum
suramadu.
Berdiri di kawasan satu kilometer dari gerbang tol jembatan
suramadu, pesantren itu dibangun di atas lahan seluas 20 m x 60 m dengan
bangunan yang setidaknya agak berbeda dengan bangunan pesantren salaf pada
umumnya. Biasanya daerah dari setiap pesantren salaf yang ada adalah dengan
menjadikan kamar mandi sebagai salah satu tempat berkumpulnya para santri dari
berbagai daerah yang berdomisili di pesantren tersebut. Di pesantren itu
tidaklah demikian. Kamar mandi dari pesantren itu nantinya akan dibangun
sebanyak kamar tidur yang ada. Sebanyak bilik yang ada, sebanyak itu juga kamar
mandinya. Selain meminimalisir terjadinya antrian yang tidak dapat
terkendalikan, tentunya hal itu dapat meningkatkan tenggang rasa dari setiap
pemilik bilik yang ada sekaligus dapat lebih menjaga kamar mandi yang dimiliki
oleh setiap biliknya. Selain juga dapat dijadikan sebagai parameter dari
kebersihanan anggota kamarnya. Karena barang siapa yang kamar mandinya tidak
terawat maka jawabannya sudah jelas, karena pemiliknyalah tidak merawat.
Setidaknya, memang seperti itulah rumusan sederhananya.
Selain hal kamar mandi tadi, pesantren itu juga menyediakan air
mineral sebagai sumber penghilang dahaga bagi para santri yang nantinya akan
menetap disana. berbeda dengan pesantren salaf
pada umumnya yang menjadikan air kran sebagai sumber penghilang dahaga
bagi para santri yang menetapinya. Dua perbedaan itulah yang nantinya akan
didapatkan oleh santri disana. walaupun masih akan mereka dapatkan hal yang
sama dari pesanten-pesantren salaf pada umumnya.
Pada mulanya, sebetulnya,
pesantren yang tahap pembangunannya sudah mencapai lima persen ini
bukanlah diniatkan untuk menjadi pesantren. Melainkan untuk dijadikan sebuah
penginapan berbayar semacam villa-villa yang sudah ada. Pada mulanya seperti
itu. Namun ketika disuatu waktu, ketika H. Abdurrahman nafis –sepupu dari H
basuni Ghofur, alumni pondok pesantren raudlatul ulum satu, pendiri pondok
pesantren Raudlatul Ulum Suramadu- berkunjung dan meninjau progres dari
pembangunannya, ia melihat bahwa apa yang dibangunnya sekarang ini bukan hanya
mirip dengan penginapan berbayar pada umumnya, melainkan juga mirip dengan
pondok pesantren pada umumnya. Karena
itu, terbesitlah dalam hatinya untuk menjadikan apa yang dibangunnya saat ini
sebagai pesantren. Dan karena kejadian terbesit itulah sehingga maklum dikata
bila pesantren itu mempunyai tata letak yang setidaknya agak berbeda dengan
pesantren salaf lainnya.
Ketika ditanya tentang basis dari pesantren yang akan diampu oleh
beliau itu, apakah akan dibasiskan pada kitab klasik, alqu’an atau bahkan
hadist, yang notabenenya adalah salah satu study ilmu yang beliau tekuni, beliau K. Ma’ruf Khozin –putra ke-4 dari
pasangan KH. Khozin Yahya dan nyai Hj. Maftuhah, ketua komisi fatwa MUI Jawa
Timur, direktur aswaja center PWNU Jawa Timur- menjawab bahwa mungkin
kebelakangnya bisa jadi iya. Tapi, lanjut beliau, memikirkan pesanten untuk
dibasiskan suatu study tertentu itu kiranya suatu pemikiran yang agaknya masih
terlalu jauh. Bayangkan saja bahwa untuk menjadi pesantren yang dapat berdiri
dikaki sendiri saja setidaknya sudah memakan 4 atau bahkan 5 tahun lamanya.
Apalagi berkehendak untuk menjadikan sebuah pesantren yang berbasis hadist,
sumber kedua dalam islam setelah alqur’an yang untuk dapat memahaminya saja
haruslah mempunyai peralatan lengkap. Mulai dari yang terdasar seperti nahwu
dan shorof hingga yang tertinggi seperti manthiq dan balaghah. Karena agak jauh
itulah, beliau telah meminta kepada salah satu pondok terdekat, al-Akhyar, untuk
membantu beliau dalam proses belajar mengajar.
Selayang pandang mengenai pengasuh dari pesantren itu adalah K.
Ma’ruf Khozin. Salah satu putra mahkota pondok pesantren Raudlatul Ulum 1.
Rihlah ilmiahnya beliau mulai dari bangku mi raudlatul ulum putra. Hari sabtu
ditahun 1994, 2 hari setelah selesainya ujian nasional yang beliau lakukan,
beliau diantar langsung oleh abahnya untuk nyantri di pesantren al-Falah Ploso
Mojo Kediri. Di pesantren itu beliau pernah mendirikan satu forum yang mewadahi
minat kreativitas para santri. Fordis namanya.
Delapan tahun berlalu dan di tahun 2002 beliau memutuskan untuk boyong
sekaligus menikah. Di tahun yang sama, disebelum boyong, beliau menikah dengan
salah satu santri putri asal Surabaya, Wiya namanya.
Demikian.
Sekian. Wassalam.[]