Jumat, 05 Maret 2021

JEJAK PPQ AL-QOSIMI PUTUKREJO GONDANGLEGI MALANG (history)



JEJAK PPQ AL-QOSIMI

PUTUKREJO GONDANGLEGI MALANG

Oleh: Gus Mad

Sejarah Singkat

Pondok Pesantren Al-Qur’an (PPQ) Al-Qosimi adalah pesantren tahfidz yang berdomisili di desa Putukrejo kecamatan Gondanglegi kabupaten Malang. Pesantren yang dikhususkan bagi santri putri itu tercatat lahir pada tanggal 03 Oktober 2014 M atau 08 Dzulhijjah 1435 H. Sejak tanggal 29 November 2016, nama pesantren tahfidz ini mengalami perubahan dari PPQ-RU 2 manjadi PPQ Al-Qosimi. Perubahan tersebut disebabkan oleh keinginan Ning Maria Ulfa, selaku Pengasuh, yang mendambakan berkah (tabarruk) dengan semudera ilmu dan karomah kemuliaan KH Qosim Bukhori sebagai pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2 Putukrejo Gondanglegi Malang.

Di awal-awal proses berdiri pesantren ini dimulai dari tiga orang santri yang berminat menyetorkan bacaan Al-Qur’an kepada Ning Maria Ulfa di rumahnya kala itu sudah berada di lokasi belakang dalam lingkungan PPRU 2. Ketiga santri putri tersebut adalah Nur Aini, Maftuhah dan Maulidiya, dengan ragam setoran; bil ghaib dan binnadzar. Pada mulanya, ning yang biasa dipanggil Ning Ulfa itu, enggan menyertai mereka berdua secara serius karena kesibukan sebagai guru di SMA RU 2 saat itu telah banyak menyita waktunya. Sejak tahun 2008, Ning Ulfa telah berperan aktif mengajar di unit formal, bahkan pada tahun 2011 sekian bulan seusai lulus dari IAI Al-Qolam Gondanglegi ia mengikuti pelatihan guru sertifikasi di Surabaya dan dinyatakan lulus pada tahuan 2012.

Namun kegigihan ketiga santri itu, akhirnya membuat hati Ning Ulfa berubah dari sedikit kesal menjadi trenyuh, sehingga bertekad menanggalkan status guru di unit formal demi meladeni santri-santri yang tetap getol melakukan setoran bacaan pada putri bungsu Yai Qosim itu. Secara bertahap jumlah peserta setor-baca Al-Qur’an yang dilakukan usai shalat Shubuh itu bertambah dan terus bertambah dari tiga, delapan, empat belas hingga akhirnya menjadi dua puluh lima santri. Memperhatikan grafik santri putri yang kian menanjak, membuat Ning Ulfa mulai berfikir persoalan tempat tinggal yang kemudian merelakan ruang makan disulap menjadi kamar inap mereka dengan menyekat kamar santap keluarga menjadi dua petak.


Logo Resmi PPQ AL-QOSIMI Malang

Setelah dilihat jumlah santri calon penghafal Al-Qur’an kian meroket, Ning Maria Ulfa mengutarakan kondisi tersebut sekaligus memohon doa restu kepada Nyah Hj. Zainab Qosim, maka pada pertengahan tahun 2015 Nyah Hj. Zainab Qosim meminta H. Lukman, agar mewakafkan tanah dan bangunan dibelakang rumah Ning Maria Ulfa untuk kepentingan hunian para santri penghafal Al-Qur’an. Di tahun itu, ruang hunian diperlebar ke arah timur sesuai luas tanah yang diberikan oleh salah satu ahli waris Abah Mahmudji tersebut.

Pada bulan Juni 2018, Pengasuh PPQ Al-Qosimi Putukrejo mengeluarkan informasi bahwa mengingat fasilitas pesantren yang terbatas, maka kuota penerimaan santri baru tahun ajaran 2018/2019 diancang hanya menerima 10 orang. Berkaitan dengan kabar itu, Ning Ulfa sebagai Pengasuh memohon maaf jika pendaftaran santri baru ditolak. Hal demikian dilakukan semata-mata demi kenyamanan santri, karena ruang huni mereka yang sudah tidak layak untuk ditambahkan santri baru.

Kondisi demikian ini membuat Nyah Hj. Zainab Qosim tergerak untuk kembali melobi keluarga (almarhum) Abah Mahmudji supaya mempertimbangkan lahan di utara rumah Ning Ulfa. Melalui berbagai proses, akhirnya pada bulan Agustus 2018, PPQ Al-Qosimi menerima hibah tanah seluas 736 M² dari keluarga besar (almarhum) Abah Mahmudji. Pelaksanaan pengukuran lahan kosong itu selain dihadiri wakil keluarga Abah Mahmudji, juga disaksikan oleh keluarga (almarhum) KH Qosim Bukhori. Pada tahun 2019 dimulai pembangunan gedung kamar yang diancang tiga lantai di atas lahan tersebut dengan proyeksi lantai pertama sebagai kamar hunian, lantai dua sebagai ruang aula dan lantai tiga ruang kelas.

Pada akhir tahun 2020 pembangunan gedung dua lantai telah dimulai. Pembangunan yang masih berlangsung ini (tahun 2021) diproyeksikan lantai bawah sebagai kamar kecil, lantai atas diperuntukkan sebagai tempat cuci dan jemuran.

 

Alm Kh. Qosim Bukhori


Tiga Landasan

Kelahiran pesantren yang di kemudian hari menjadi bagian dari unit PP Raudlatul Ulum 2 Putukrejo itu didasarkan pada tiga landasan pokok, yaitu:

Pertama, Firman Allah SWT:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

[QS. 08:02]

Kedua, pesan KH Qosim Bukhori: “Kalau diberikan rezeki anak perempuan, suruh menghafal Al-Qur’an saja di zaman sekarang. Biar lebih selamat.”

Ketiga, nalar ilmiah: Kemajuan teknologi disertai kebebasan tanpa batas yang melahirkan kehidupan paradoks dengan nilai-nilai agama membuat degradasi moral generasi muslim dipandang mulai mencapai titik nadir mengkhawatirkan. Sebab itulah, satu-satu solusi penyelamatan adalah kembali kepada pedoman agung dalam Islam.

Program Kegiatan

Rutinitas di PPQ Al-Qosimi memuat aspek hafalan: [1] Baca-simak (setoran) kepada Pengasuh bagi santri yang telah mencapai per-lima juz, dan kepada para ustadzah bagi santri yang belum mencapainya; [2] Pengulangan (muraja'ah) bagi santri yang memperlancar hafalan, baik individu maupun dengan teman sebaya. Ujian (imtihan) bagi santri yang telah menambah hafalan melalui tahapan ustadzah dan Pengasuh; [3] Baca umum (majelis qira'ah) bagi santri yang telah lulus verifikasi tertentu untuk membaca Al-Qur’an lewat pengeras suara; [4] Baca personal di makam Yai Qosim Bukhori bagi santri yang telah berhak memperoleh legalisasi dari Pengasuh.

Selain itu, ada pula program kegiatan yang memuat aspek ubudiyah: [1] Shalat berjamaah lima waktu yang harus diikuti oleh santri sejak suara adzan dikumandangkan dengan ketentuan mendengarkan, menjawab dan membaca doa setelah adzan secara bersama-sama, lalu ditutup dengan wiridan dan doa; [2] Shalat tahfidz malam Jumat secara berjamaah; [3] Ziarah maqbarah pendiri PP Raudlatul Ulum 2 Putukrejo setiap satu pekan sekali yang diikuti oleh seluruh santri guna memperkuat ikatan batin antara guru dan santri.

 

Sebagai perwujudan dari proses menghafal yang dilaksanakan secara bertahap, sejak tahun 2019 Ning Ulfa menerapkan seleksi santri baru hanya terdiri tingkat SMP, sedangkan untuk tingkat selain SMP akan di tes terlebih dahulu sebelum benar-benar di terima di PPQ Al-Qosimi. Seluruh santri yang lolos validitasi diwajibkan mengikuti program Metode Qiroaty, supaya proses hafalan terbebas dari ketidakmampuan bacaan. Pengasuh juga menganjurkan bagi santri senior agar mengikuti program Pembinaan Guru Metode Qiroaty sebagai bekal tambahan kelak ketika berada di tengah-tengah masyarakat.

 

Di luar rutinitas inti, para santri dibiasakkan menjaga kebersihan lingkungan dengan memilah sampah anorganik (sampah kering), dan sampah organik (sampah basah) sehingga pada akhir tahun 2020, para santri mampu menghasilkan dana dari pemberdayaan sampah ini. Di samping para santri diajari memasak dengan memberlakukan piket masak setiap pekan secara bergilir, mereka juga diberikan kesempatan berolah raga dengan mendatangkan instruktur senam dari luar setiap hari Jumat.

 

Dalam persoalan perizinan, Ning Ulfa memprioritaskan santri yang sakit. Bila berdomisili sekitar daerah Malang, maka diharuskan untuk pulang. Bila berasal dari wilayah yang jauh, maka pengurus segera melayani kesehatannya secara maksimal. Hal lain yang membuat PPQ Al-Qosimi berbeda dengan kebanyakan pesantren adalah kewajiban para santri berbahasa halus dengan sesama sahabat, tanpa memperdulikan strata santri senior atau yunior. Perilaku ini ternyata melahirkan sikap-sikap yang lebih kental dengan kesantunan antar sejawat.{gm/2021}


Akidah, Sifat, Visi dan Misi PPQ Al-Qosimi Putukrejo

 

Akidah: “Islam Ahlissunnah wal Jamaah”.

Sifat: “kekeluargaan, kemasyarakatan dan keagamaan”.

Visi: “Menghantar santri menjadi pembaca, penghafal dan pengajar Al-Qur’an”.

Misi: [1] Mencetak peserta didik yang mampu membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai ilmu tajwid; [2] Menciptakan peserta didik sebagai penghafal Al-Qur’an; dan [3] Menjadikan peserta didik yang memiliki kemampuan mengajarkan Al-Qur’an. 

Untuk Apa Kau Menulis? (opini) Oleh: Abilu Royhan

 


Mungkin dari sebagian besar teman-teman timbul pertanyaan dalam hatinya “mengapa mereka menulis? Untuk apa?”. Mungkin mereka belum tahu apa manfaat dari menulis. Memang menulis itu terlihat mudah dan remeh ‘kelihatannya’. Tapi bagi teman yang mempunyai anggapan seperti tadi. Silahkan mencoba menulis sesuatu, apa saja seperti cerpen, berita, resensi atau yang lainnya, menulis sesuai aturan atau tata cara yang berlaku. Maka teman akan merasakan ‘menulis tak seremeh itu’. Setelah menulis, cobalah untuk membacanya kembali apa yang telah teman tulis. Mungkin teman akan senyum-senyum sendiri, karena merasa tulisannya kurang ini, kurang itu, bahasanya terlalu lugu lah, atau ada bucin-bucinnya lah dan lain sebagainya. Itu membuktikan bahwa menulis itu tak semudah dan takseremeh apa yang teman fikirkan. Cobalah!

Untuk dapat menulis, langkah pertama harus memiliki topik terlebih dahulu, harus itu!. “lah wong chat-chat an ajha harus ada topiknya kok” begitulah kira-kira katamu!. Lalu  penulis akan belajar untuk menuangkan apa yang ada di dalam otaknya. Semakin  banyak apa yang ada di dalam otaknya maka semakin banyak pula apa yang akan ditulis. Setelah itu teman akan merasa kesulitan dalam memaparkan apa yang ada dalam otaknya, bagaimana tulisannya supaya tidak terkesan monoton. Untuk itu penulis dituntut untuk mencari cara supaya tulisannya tidak terkesan monoton.

Tentu banyak sekalicara untuk membuat tulisan agar tidak membosankan. Diantaranya dengan membaca. Baik membaca novel, koranatau yang lainnya. Dengan membaca teman akan mengenal dan menghafal banyak kosa kata baru. Dengan kosa kata baru ini penulis mencoba untuk memakainya dalam menulis. Dengan membaca maka tulisan teman akan terlihat lebih indah sedikit demisedikit.

Dengan menulis sebenarnya seseorang akan mendapat banyak manfaat. Diantaranya dia akan mulai suka untuk membaca buku, yang awalnya tidak terlintas dalam fikirannya untuk membaca. Tentu ‘Dengan membaca seseorang akan mengetahui isi dunia’,danitu juga sebuah kemanfaatan menulis yang mungkin tidak mereka duga. Menulis juga melatih kita untuk menerapkan apa yang ada dalam otak. Sehingga  fikiran dan bicaranya akan teratur, bahkan sikapnya. Menulis juga dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah tanpa harus bekerja dengan otot. Cukup dengan memutar otak sekeras mungkin, yakni dengan menulis maha karya yang dapat dan layak untuk dibaca oleh orang lain. Seperti yang dilakukan oleh K.H Mustofa Bisri yakni menulis sebuah naskah yang kemudian dijual karena untuk membayar denda kepada aparat karena sebuah kesalah pahaman. Dengan menulis seseorang juga bisa untuk menjadikan ladang dalam mencari pahala. Itu telah dilakukan oleh para Ulama dahulu.mereka mengarang sebuah kitab yang sampai sekarang masih ada dan masih dipelajaridi mana-mana. Sebenarnya masih banyak lagi manfaat dari menulis, baik untuk hal-hal yang penting seperti contoh-contoh di atas. Atau untuk sesuatu yang kecil, seperti ketika teman tidak mempunyai seseorang untuk teman curhat. Yang mana perkara yang satu ini sangat penting bagi makhluk hidup yang bernama manusia. Maka dengan menulis teman bisa mencurahkan isi hatinya kedalam sebuah tulisan. Yang akan mendatangkan sedikit rasa lega dalam benaknya.

Dan perlu di ingat bahwa Alquran masih dapat dibaca oleh manusia jauh setelah masa Nabi Muhammada SAW, itu juga karena Alquran ditulis oleh para sahabat. Setelah terjadi peperangan yang menggugurkan banyak dari para sahabat yang hafal Alquran. Sehingga dikuatirkan Alquran tidakbisa untuk dibaca oleh generasi setelahnya. Dan buktinya sekarang kita masih bisa menikmati dan mempelajari kandungan Alquran. Dan kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada orang-orang yang telah menulis. Sehingga kita dapat membaca dan mempelajari apa yang telah mereka tulis dan menjawab pertanyaan diatas “untuk apa kau menulis?”. Contohnya ya.. tulisan yang barusan anda baca ini.

 

Tiga Misteri Besar Kitab Suci Santri : Al-Fiyah (opini)

 


Tiga Misteri Besar Kitab Suci Santri : Al-Fiyah

Oleh: Nur Kholis

 

Sebagai seroang santri yang pernah menuntut ilmu di pesantren selama kurang lebih enam tahun lamanya. Saya sangat tidak asing dengan kitab yang berjumlah seribu lebih dua bait itu. Al-Fiyah namanya.

Kitab ini dikarang oleh seorang tokoh bernama Muhammad Ibnu Malik dari Andlusia, Sepanyol sana. Kitab ini berisi tentang aturan-aturan gramatikal Bahasa Arab yang bisa menjadi modal bagi para pembaca untuk bukan hanya membaca kitab kuning khas pesantren itu, bukan. Kitab ini lebih menjadi sebuah pengantar bagi seseorang yang ingin mengarang sebuah buku berbahasa Arab.

Tidak tercatat secara resmi oleh sejarah siapa yang pertama kali mengenalkan kitab ini ke bumi Nusantara. Namun konon katanya, yang pertam kali membawanya ke bumi Nusantara adalah Syaikhona Kholil. Syaikhona Kholil, terkenal sebagai seorang kiai kharismatik yang menjadi guru dari dua tokoh nasinonal pendiri ormas islam terbesar di Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari sekaligus KH. Ahmad Dahlan.

Kalau salah, tolong dikoreksi yang paragraf saya di atas ini. Kalau benar, ya sudah, tidak usah diapa-apakan. Jangan diplintir.

Nah, kitab inilah yang konon katanya memiliki banyak sekali misteri didalamnya. Kalau kita pernah membaca novel “Bumi Manusia” karya Bung Pram lantas kita merasakan ada semacam dorongan magis untuk menulis, misteri yang sama juga bisa kita ketemukan di kitab tersebut.

Apa saja sih misteri dari kitab Al-Fiyah itu? Setidaknya ada beberapa misteri yang dibawa oleh kitab berbentuk puisi berbahasa arab itu, antara lain :

Mendatangkan Ilmu Ladunni

Kalian pasti tahukan misteri Ilmu Ladunni, Ilmu yang konon katanya bisa menjadikan pemiliknya mendaptakan pengetahuan tanpa batas tanpa harus bersusah payah untuk membaca apalagi buka Google?!. Nah, konon katanya dengan mengahafalkan seluruh bait dari kitab Al-Fiyah itu dan terus menerus secara konsisten membaca ulang kitab itu akan mendatangkan Ilmu Ladunni itu.

Sangat Sulit dihafal

Sekedar informasi, di pesantren itu ada sebuah tradisi dimana seorang santri harus menuhi beberapa standar kompetensi yang harus dituntaskan jika ingin lanjut ke jenjang kelas yang lebih tinggi. Salah satu standar kompetensi itu adalah semua santri wajib menghafal penuh kitab Al-Fiyah tersebut. dan itu sangat berat sekali terlebih bagi santri-santri yang memiliki kecerdasan dibawah rata-rata semacam saya ini.

Belum jelas mengapa kitab ini menjadi sangat sulit untuk dihafalakan oleh kalangan santri. Sekalipun mampu dihafal, tak jarang santri yang telah menghafalkannya, bisa begitu cepat untuk melupakannya.

Sebagai sebuah pengalaman, saya pernah memiliki teman satu kelas, rambutnya sampai rontok-rontok ketika dirinya menghafalkannya. Sehari, teman saya itu bisa menghasilkan sekitar lima sampai sepuluh helai rambut yang rontok dan melekat dalam kopiahnya. Itu, untuk lima bait perhari, bayangkan ada seribu bait banyaknya!

Mendatangkan Welas Asih

Ah ya tentu saja, satu misteri ini tidak boleh terlewatkan. Al-Fiyah, dikalangan pesantren sangat sakral sekali. Terlepas dari motif apapun, yang namanya kitab Al-Fiyah ini bisa dialih fungsikan oleh oknum santri “Mbeling” sebagai penarik “Welas Asih” guna memikat gadis incarannya. Kurang lebih tidak jauh berbeda dari bulu perindu.

Adapun praktiknya, seorang santri yang sedang merasakan kasmaran dengan seorang gadis, akan mendatangi seorang ustadz untuk meminta “Ijazah” atau izin tidak tertulis namun resmi dengan mahar yang sesuai permintaan sang ustadz, bisa berbentuk rokok satu bungkus atau mie instan pakai telor di kantin, untuk membaca beberapa bait yang akan digunakan untuk memikat santriwati incarannya.

Bau-bau modus dari sang ustadz memang tercium disini, tapi hal itu memang ada. Terlepas dari berhasil atau tidaknya, pengalih fungsian dari sebuah kitab “Gramer-nya” bahasa Arab ini menjadi jampi-jampi penarik welas asih, itu nyata!

Yah kira-kira demikian dari misteri kitab Al-Fiyah itu. Benar atau tidaknya misteri-misteri dari kitab Al-Fiyah tersebut, jelas masih misteri yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Namun apapun itu, dari misteri-misteri yang berkembang inilah sesunggunhnya kita bisa melihat kehidupan pesantren yang mampu mempertahankan ciri khasnya yang gayeng dan penuh dengan candaan.

SEMUA AKAN INDAH PADA SAATNYA (cerpen)

 


SEMUA AKAN INDAH PADA SAATNYA

Oleh: Mukarromah

 

Menunaikan ibadah haji adalah keinginan setiap muslim, haji tidak hanya dilaksanakan oleh orang kaya saja, tapi haji juga dilakukan oleh manusia yang dulu masih berada di dalam tulang sulbi yang mejawab seruan nabi Ibrohim dengan kalimat talbiyah yang telah Allah catat bahwa ia akan mengerjakan haji sampai hari kiamat. sama halnya dengan pak Harits dan istrinya yang berharap termasuk orang yang ikut menjawab seruan nabi Ibrohim tersebut. Pak Harits juga mempunyai keinginan besar untuk menunaikan rukun islam yang kelima ini, yaitu haji. Pak Harits yang hanya seorang buruh bangunan terus beruhasa untuk mencapi keinginan besarnya tersebut. Hujan panas tidak membuatnya patah semangat bekerja, demi rupiah yang sedikit demi sedikit dikumpulinya.

Ketika pak Harits sedang duduk di ruang tamu bersama sang istri, pak Harits bercerita pada sang istri bahwa ia mempunyai keinginan untuk daftar haji. Sang istri tekejut “bapak mau haji?” Tanya sang istri. “ iya… bapak mempunyai niatan untuk daftarin ibu haji.” Sambil memandang lekat mata sang istri pak Harits menjawab. “ tapi… bapak dapet dari mana uang?” Tanya sang istri lagi. “bapak itu dari dulu ngumpulin uang sedikit demi sedikit bu… tapi bapak nggak kasi tau ibu, soalnya takut nggak jadi.” Ibu Mufida terharu dengan apa yang disampain suaminya tersebut. Ia tidak menyangka bahwa apa yang selama ini diimpikannya akan menjadi nyata. Sambil memegang tangan sang suami, sang istri mengucapakan banyak-banyak terima kasih pada suaminya itu.

Pagi itu, hendak berangkat kerja perasaan pak Harits tidak enak, ada sesuatu yang mengganjal dipikirannya. Tapi, ia selalu berhusnudzon dengan scenario tuhan “yang semua akan indah pada saatnya”. Seperti biasa pak Harits pamit pada anak-istrinya, merekapun menyalami pak Harits bergantian dan tak lupa pula sang istri membawakannya bekal untuk makan siang. Keberangkatan pak Harits menyisakan anak dan istrinya. Setelah usai mempersiapkan bekal sang suami, ibu Mufidah istri dari pak Harits ini sibuk untuk mengurusi anaknya yang hendak berangkat sekolah. Segala perlengkapan sudah dipersiapkannya sejak subuh tadi, tinggal menggunakannya dan mengantarnya ke sekolah. Usai mengantarkan, ibu Mufidah melanjutkan aktivitas rumahnya seperti menyapu, mencuci pakaian, mencuci piring dan lain sebagainya. Ketika ibu Mufidah menata piring yang sudah dicucinya ke rak piring, cetaaaaaarrrrr…..!!! tiba-tiba piring yang dipegangnya terjatuh kelantai. Seketika itu perasaan ibu Mufidah berubah menjadi tidak enak, teringat pak Harits yang sedang kerja. Ibu Mufida berusaha menetralisirkan keadaan hatinya yang sedang gundah. Namun nihil, rasa berkecamuk di dalam hatinya terus menghantuinya.

Di ruang tv sana, ibu Mufida mendengar telvonnya sedang berdering, langkah kakinya pun tertuju pada sumber suara tersebut. Terlihatnya ”annisa” nama kontak sepupu dari suaminya, dengan segera ia mengusap layar yang berwarna hijau sebagai tanda jawab panggilan.

“assalamualaikum mbak…” ibu Mufida memulai obrolannya.

“waalaikumsalam bu…” jawabnya dari sebrang.

“Ada apa ya, kok nggak biasanya telvon?”  Tanya bu Fida penasaran.

“emm… anu bu… sebelumnya saya minta maaf… suami ibu….” Gantung Nisa’ pada bu Fida.

“ada apa dengan suami saya mbak?” Bu Fida semakin penasaran dengan apa yang terjadi pada suaminya.

“ suami ibu tadi kecelakaan ketika kerja. Mata bagian kirinya terkena peltasan besi. Sekarang suami ibu berada di RS Sudarso. Ibu yang sabar ya.” Begitulah ungkap mbak nisa perihal keadaan suami bu fida.

Seketika itu tenggorokan bu Fida terasa tercekat bibirnya mengatup rapat, serta peluk matanya berair. Bu Fida segera menghubungi sanak keluarga terdekatnya untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan bu Fida tiada henti-hentinya menangis. Kendaraan yang ditumpanginya terasa sangat lambat, bu fida ingin lekas sampai di rumah sakit, bu fida serasa ingin menyuruh sang supir untuk mempercepat kendaraannya.

Sesampainya di rumah sakit, di ruang tunggu sudah banyak sanak saudara dan rekan kerja pak Harits yang lebih dulu hadir dibanding bu Fida. bu fida langsung menemui suaminya yang tengah terbaring lemah di kasur biru itu. Pak Harits sudah menerima perawatan dari dokter. Dan pak Harits pun terlihat sedang istirahat. Bu fida tidak kuat melihat keadaan sang suaminya tersebut, ia hanya bisa minta yang terbaik pada Allah dan ikhtiar.

Kesokan harinya, pak harits menjalani operasi matanya yang cukup parah. Di luar bu Fida beserta para keluarga yang lain menanti cemas usainya operasai. Operasi berlangsung sekitar satu jam, dokterpun satu demi persatu keluar dari ruang operasi dan memberi kabar bahwa sanya operasinya berjalan dengan lancar. “alhamdulillaaaahh…” dengan serentak bu Fida dan keluarga yang lain menjawbnya.

Pasien bernama Harits prasmaya itu dipindah ke ruang inap biasa. Tiga hari op name akhirnya pak Harits diperbolehkan dibawa pulang. Masalah biaya semua ditanggung oleh pemilik proyek kerja itu. Jadi Pak Harits beserta istrinya tidak perlu mengeluarkan biaya.

Beberapa bulan kemudian…pak Harits memulai aktifitasnya kembali sebagai buruh bangunan demi mencapai sesuatu yang diinginkannya tersebut.

Hari terus berlalu. Pak Harits merasa matanya kurang begitu sembuh total, dan ia pun mempunyai keinginan untuk memeriksakannya pada dokter yang benar-benar spesialis. Tanpa berpikir panjang, pak Harits memantapkan keinginannya tersebut. Ia bertekat untuk periksa ke Negara tetangganya yaitu, Malaysia. Segala perlengkapan telah dipersiapkan.seperti paspor dan lain sebagainya. Sebenarnya keluarga pak Harits ini bukanlah orang yang begitu kaya, tapi demi kesehatannya ia bersih keras memberanikan diri untuk periksa keluar negri. Masalah biaya kali ini pak Harits harus membayarnya sendiri. Untuk sementara waktu ia menggunakan uang yang ditabungnya untuk daftar haji. Pak Harits merasa tidak enak pada sang istri karena harus menggunakan uangnya untuk sementara waktu. Dengan hati ia memberi tahu istrinya. “ bu… sebelunya bapak minta maaf,” “minta maaf buat apa pak?” sang istri langsung menjawabnya. “masalah daftar yang pernah kita bicarakan….” Pak Harits masih menggantung kalimatnya. “kanapa dengan itu?” Tanya istrinya. “uangnya untuk sementara waktu bapak gunakan dulu buat berobat, boleh?” dengan perasaan tidak enak pak Harist mengungkapknnya. “aduuu,,,. Ya tentu bolehlah pak, kan itu juga buat kebaikan bapak. Gitu aja bapak masih minta maaf” ucap sang istri tanpa beban. “bapak hanya nggak enak aja sama ibu”. “ kalau toh haji takdir kita, kita pasti akan melaksanakannya bagaimanapun caranya itu” “terima kasih bu atas pengertiannya” ucap suami dengan rasa bersalah.

Ketika persiapan sudah lengkap, akhirnya pak Harits bersama dua kerabatnya berangkat ke Malaysia menggunakan pesawat “Lion Air”jurusan Jakarta-kucing. Disana pak Harits tak lam hanya tiga hari pulang-perginya.

Kembalinya ke tanah air, pak Harits memulai aktivitasnya kembali, ia berusaha untuk menutupi dana haji yang telah digunakannya tersebut. Benar dengan takdir tuhan yang “semua akan indah pada waktunya”. Setelah lama pak Harits menabung uang untuk menutupi dana haji yang telah digunaknnya, akhirnya ia dapat menutupinya kembali, walau ia harus berulang kali kontrol ke dokter spesialisnya. Sekarang mata pak Harits sudah membaik dan ia pun memantapkan niatnya untuk mendaftarkan diri dan istrinya haji, hanya menunggu waktu untuk menemui ka’bah-Nya. Bersabarlah dengan semua alur cerita-Nya. ”Semua akan indah pada saatnya.

Cakrawala berfikir Ala Madzhab (resensi)

 


Resensi Risalah Fathu al-Majid fi Bayani at-Taqlid “Cakrawala berfikir Ala Madzhab”

Oleh: Mursyid Hasan

 

 

Profil Pengarang Kitab

Pengarang kitab Fathu al-Majid fi Bayani at-Taqlid ini termasuk salah satu putra dari ulama terkenal dari Indonesia siapa lagi kalau bukan  KH. Abdullah Abd Manan pendiri Pondok Pesantren Tremas, keluarga beliau memang ahli ilmu agama, jadi wajar kalau putra-putra beliau sangat mendalami ilmu agama seperti yang akan kita bahas ini.

Kami sebut dengan nama Kyai Dahlan Tremas, beliau mulai mendalami ilmu agama dari sang ayah di Tremas kemudian dating ke kota Semarang untuk berguru kepada KH. Sholeh Darat setelah ilmu yang ia dalami sudah mumpuni. Baru beliau Melanjutkan tholabul ilm’nya ke Makkah dan Mesir. Diantara Guru-gurunya disana, Syekh Bakri Syatha, Syekh Jamil Djambek dan Syekh Thahir Djalaluddin.

Ringkasan

Sebuah Risalah yang sudah di ringkas dan penjabarannya terlalu  padat ini ditulis untuk menerangkan betapa pentingnya bertaqlid atau dalam diksi lain menjalankan aktivitas keagamaan baik berupa ibadah maupun muamalah sesuai arahan para ulama yang sudah menganalisa, mengkaji, membuat rumusan.

Sebagaimana yang sudah diketahui bersama bahwa tidak mungkin setiap orang dapat menyimpulkan hukum langsung melalui sumbernya, bahkan diantara para ulama pun gelar mereka bertingkat-tingkat sesuai dengan kapasitas penguasaan ilmu yang mereka miliki, penulis telah menjelaskan hal ini panjang lebar agar siapa pun yang berinteraksi  dengan sumber primer agama ini mengetahui kadar dan kemampuan diri.

Dalam risalah ini juga kita dikenalkan nama-nama tokoh Ulama Syafi’iyyah yang dijadikan pondasi dalam menganalisa perangkat imam mazhab dalam beristinbath. kita akan melihat posisi mereka berbeda -beda sesuai dengan nama atau gelar seperti perbedaan antara mujtahid mustaqil dan mujtahid mutlaq muntasib, ashabul wujuh, mujtahid fatwa dst. juga disebutkan penggunaan istilah syaikhain dan cara memilih pendapat keduanya jika bertentangan.

Salah satu susunan tema puzzle yang menarik untuk diketahui adalah kebolehan mengambil pendapat yang lemah untuk amalan pribadi namun tidak untuk fatwa publik disamping kebolehan bagi mufti memberikan pilihan dua pendapat Imam Syafi’i saat menyampaikan fatwa.

Risalah ini sangat penting bagi pengikut mazhab Imam Syafi’i, agar ahli ilmu dikalangan mereka menjadikannya sebagai pegangan serta diajarkan kepada masyarakat Syafi’iyyah demi untuk memberikan pemahaman secara utuh tentang esensi bermazhab dan bertaqlid serta paham aturan dan kaidah yang telah ditaati bersama oleh Ulama Syafi’iyyah.

Kelebihan Risalah Fathu al-Majid fi Bayani at-Taqlid

Risalah ini Membuka cakrawala berpikir khususnya bagi pendakwa tidak perlu bermazhab dan kaum yang tidak memiliki kematangan perangkat ilmu fiqh dan ushul fiqh supaya mereka tahu diri dan posisi saat berinterkasi dengan sumber primer agama yang disepakati yaitu Al-Quran dan Al-Hadis.

 

LARASATI. APAKAH KAU MENCEMASI TUNANGANMU? (cerpen)

 


LARASATI.

APAKAH KAU MENCEMASI TUNANGANMU?

Oleh: Mukhlis Akmal Hanafi

 

Aku merasa takjub dibuatnya. Jika kau tau, betapapun anggunya dia saat memakai kemeja berwarna hijau, dilapisi lipstik berwarna merah, dan berbaju putih kebawah. Walau dunia gelap gulita, namun rasa-rasanya seakan terang cahaya hatinya. Sebagai orang yang terlanjur jatuh dalam pangkuannya, aku seutuhnya bukan siapa-siapa. Jika ditanya apa hubungan kita? Aku hanya bagian kecil yang masih tersisa yang melintasi harapan besar selanjutnya. Dalam kaca matanya. Akulah manusia dengan segudang harapan yang tak mampu merengut belas kasih sedikitpun darinya.

Jika diumpamakan, saya layaknya jadi hujan yang mampu menjelma apa saja, mendiagnosa secara paksa, dan mencatat bait demi kata melalui hal yang sederhana. Jika kau mengira bahwa hujan punya tiga impian. Antara lain pernikahan, kematian dan juga harapan. Maka akulah diantara ketiganya.

Perkenalkan namanya larasati, bisa juga dipanggil laras. Aku mengenalnya sebagai perempuan jawa dengan mahkota dibagian tabahnya. Aku juga kenal dia tidak secara kasapmata, namun mampu membius segala bentuk yang ada. Secara garis besar, laras merupakan satu-satunya wanita yang pernah kusimpan dalam pintu rahasia. Jikapun ditanya “Apakah aku mau menikahinya?” maka jawaban yang paling lambat kusampaikan adalah “Iya”. Sementara itu aku dan dirinya masih belum diberi kesempatan bertemu dan berpandang-pandang. Sekedar memastikan hal yang masih membayang. Mendengarkan beberapa yang halus dari kata demi kata, melihat sorot matanya yang tajam yang dipenuhi oleh kata hampa, dan bernyayi bercanda ria dibawah kesedihanya.

Jika lebih jauh lagi, hal yang paling kuingat darinya adalah saat-saat semua orang lebih suka memanggilnya “Ibu” daripada harus sibuk memanggil namanya.

Jikapun begitu. Ia tampak seperti orang yang baru kenal, ia terlihat cuek dan pendiam. Rasa-rasanya banyak yang ia pendam, dan hanya tersimpan didalam angan. Ia juga terlihat seperti tangan yang secara garis filosofis setia kepada siapapun. Ia tampak sabar dan tabah. Sifat ke ibu-ibuan akan membuat setiap orang mencuri-curi pandang. Hingga tak jarang kelembutan dan manisnya bertutur kata dan berprilaku kepada sesama akan banyak menjatuhkan korban. 

Semenjak aku mengenalnya, tak jarang hari-hariku dipenuhi oleh perasaan yang membabi buta, pikiranku jauh meangkasa, hasrat untuk memilih seutuhnya merupakan impian yang paling mulia. Sepanjang perjalan yang disebut perasaan selalu merasa sampai pada tujuan, padahal diangap teman saja tidak.

***

Rasa-rasanya batinku dipenuhi cemas yang berlebihan, hasratku dikubur dalam ingatan yang muram. Saat itu ada selembar berita diatas meja bertulisan sangat besar dan juga hitam. Tulisan itu jelas mengubur mimpiku dalam-dalam. Kata-katanya membanjiri seluruh harapan yang akhirnya membuat api padam. “Kita hanya teman, dan sebentar lagi aku akan tunangan

Tiba-tiba saja kepalaku terasa pening, pandangannya berkunang-kunang, dan kupingku terasa tidak bisa mendengar. Sementara itu, aku melihat dia bagai penjahit tangan handal yang dengan tabah memasukkan benang kebagian jarum yang kecil itu. Ia terlihat ragu dan malu-malu. Oleh sebab itu, batinku yang cemas, hasratku yang tercabik-cabik. Kini terasa menjadi satu dalam pragraf perpisahan.

Sebelum kejadian paling kejam. Aku sebetulnya punya firasat yang buruk. Biasanya ia datang secara tiba-tiba, sesekali melintas dibalik kaca, dan ada juga yang berkata. “Mundur saja”

“Hanya cinta yang aku punya untuk merubah segala bentuk rahasia menjadi malapetaka, kawan”

“Laras..! Aku mengira kau akan setia, kawan!” Nasibmu sudah tidak sebagus cerirtamu. Panggilanmu sudah tidak seakrab dulu. Namamu kini mulai punah dimakan waktu. Kau harus tau perasaanku sudah tercabik cabik oleh sekertas berita “Aku sudah  tunangan, kawan”

Tepat pada sore itu aku melamun sendirian didepan jendela, memandangi segala bentuk yang ada. Aku sadar bahwa aku memang bukan siapa-siapa. Selain itu, larasati telah mendiagnosa batinku secara paksa, perasaan itu terasa asing dan tidak seperti biasanya.

“Namun apalah daya jika begitu adanya, kawan”

Diteduhi bola mata yang lentik dan juga hitam, bibirnya sukar dilukiskan, dan selaksa senyum mengundang pandangan setiap orang. Aku ucapkan selamat malam dan selamat tinggal kawan. Kau satu-satunya wanita yang mudah tergambar dalam pikiran. Wajahmu sekarang terlihat seperti anak yang baru lahir satu jam. Lapisan kecil saat kau memutuskan senyum, sekarang hilang sudah harapan. “Jikapun kau memilih tunanganmu yang ganteng dan rupawan, bergelimang harta dan mahkota dimana saja, dan berlapis kemulian yang tiada tara. Maka satu-satunya harapan adalah meminta maaf sebanyak yang kau kira”.

Akhirnya aku mulai sadar, bahwa segala yang ditakdirkan akan tergenang dalam diriku. Ia mengalir beberapa menit dengan tajam. Sesekali melumpuhkan harapan yang  telah lama kita rasakan. Hinga tak jarang ada teman yang beranggapan aku dilahirkan untuk merasakan pahitnya terbaring dibantal, sambil menatap beberapa harapan yang masih tergantung dikamar. “Percayalah ini memang bagian dari Kutukan”

Decap decup suara jangkrik mulai menyala, malam yang muram telah menyapa, tangisan kodok berbunyi “wek-wek” sudah terdengar di telinga. Kita saksikan bersama matahari terbenam di utara. Waktu itu cuaca senyam oleh derai air mata kita berdua. Aku mengira suara tangisan itu lahir dari para kucing nakal yang hendak mencari makanan di waktu malam. Saya juga sadar bahwa perasaan saya dibawa kepada suara jeritan tetangga dengan nada amarah yang ditunjukkan kepada anaknya. Nyatanya kita sedang menangis tersedu-sedu dibawah pohon cemara kawan. Sepasang matamu masih saja terbaris di kaca, mengarahkan wajahnya dengan seutas senyum lalu menepuk dibagian dada. Aku berpikir kau beruntung mendapatkanya. Menangislah! Selagi dirimu telah mampu mendapatkan laki-laki yang sebelumnya kau puja.

Yah malam itu aku sungguh nestapa oleh dinginnya udara dan badai rindu saat-saat kita bersama. Saat yang lain sibuk mencari kertas berita duka itu. Aku lebih baik diam didepan jendala, memandangi segala bentuk yang ada, dan sedikit memastikan beberapa jam setelahnya. “Tunangan” Spontan ujung kepalaku seakan ada dimana-mana, menghayalkan apa saja,  menepuk kepala dan berfikir “kau manusia cam apa? Dalam hidupku hanya dirimu yang paling aku tunggu”. Entah mengapa, kata-kata itu seolah jadi malapetaka bagi saya. Sewaktu-waktu akan menyerang tubuh siapa saja, menyerang bagian mana saja. Bahkan bisa juga menyerang bagian otak dan kepala. “Sial, sebegitu indahnya kah orang yang sedang berbahagia” Aku ucapkan sumpah murahan itu, lalu berpikir “Mustahil rasanya memilih mereka yang belum kenal seutuhnya”

Sepasang mata masih saja memandang wajahku dengan tajam. Kau tau, saat itu wajahmu terlihat muram, matanya merosot lalu terbenam, selaksa alisnya mengikuti alunan hewan berdendang. Seolah masih menuntun jawaban atas pertanyan yang kali pertama kau tanyakan. Suara kodok dan berbagai macam hewan yang tadinya keras terdengar. Sekarang rasanya hanya tinggal suara gendang di dada. Anganku bertindak sendiri semaunya, alunan itu terasa benar adanya. Kamu tau saat kau memutuskan melempar pertanyaan itu. Aku berpikir sangat panjang, dan menghela napas dalam-dalam, lalu menjawab “Wallahu a'lam”. Hanya Tuhan yang bisa menentukan.

Dengan langkah gontai, saya masuk ke kamar, merebahkan diri di ranjang. Tercium bau ikan. Aku mencoba untuk memejamkan mata, kemudian membukanya lagi. Pandangannya sudah tidak seperti biasnya, hidup satu jam bagaikan hidup bertahun-tahun di gurun. menerawang ke atap rumah yang diteduhi bayang-bayang. Dinding tanpa plester, lantai semen kasar berdebu, demikian juga lemari kayu. Semua terlihtat seperti dirimu.

Waktu itu tanganku yang lunglai kini terasa gemetaran. Kakiku yang tegas kini sudah tidak bisa berjalan. Mataku yang bundar sekarang sudah sulit sekali dipejamkan. Hampr saja saya ucapkan hal yang “sial”

***

Kita  adalah sepasang sepatu yang talinya kusut akibat perputaran waktu yang berlalu. Kita juga sepasang tali dalam sepatu yang sulit dipisahkan dalam kedipan mataku. Kau tau, tali itu terikat-ikat oleh perasaan teman dan kasih sayang.  Oleh persaudaraan yang barangkali sampai sekarang masih tergantung dikamar. Kadang juga sekali-kali hadir dan memohon ampunan.

Aku sering berpikir. Akulah selembar kertas yang tercabik-cabik oleh tajamnya ujung pensil, oleh derasnya tinta yang tak kunjung habis termakan usia. Sementara nasibku masih saja terombang-ambing oleh sebuah pernyataan “kita adalah teman yang tak akan terpisahkan”. Pernyataan itu cukup sederhana, namun jangan sangka itu akan jadi malapetaka.

Betapapun bodohnya saya karena telah menyembunyikan perasaan, tersimpan dalam angan, tergenang dalam kata yang sulit rasanya aku ucapkan. Naluri wanita memang tidak bisa dibohongi kawan. sembunyi tangan dan melempar pelampiasan adalah salah satu keistemewaan perempuan.

Ras! Jika kau memang memutuskan begitu, maka percayalah padaku. Bahwa segala yang kau putuskan merupakan hal yang sakral. semua akan kembali pada pelukan Tuhan, meski seutuhnya banyak kenangan yang akan tertinggal. Akibat itu, maafkan aku yang tak terhingga kawan. Seutuhnya rasa penasaran dan rasa curiga masih membekas dikepala.

Tafsir kata, ada beberapa hal yang ingin kusampiakan padamu, kekasih. pada bagian waktu lainnya, aku percaya cinta itu betul betul nyata, sayangnya, dia benar benar tidak ada. Aku yakin kau tidak akan ada dua-nya. Selain itu aku hanya ingin berkata:

Tidak ada perbedaan

Antara cinta dan kematian

Keduanya sama-sama takdir Tuhan

Dan kemenangan akan berpihak pada perpisahan.

Laras sekarang sudah kehilangan rumahnya. Ia sekarang mulai berani menginap di kaki lima. Dan menerobos bagian kecil di bibir desa. Aku paham bahwa perjodohan adalah sebuah kebaikan. Tapi kau juga harus mengerti bahwa ada orang yang jatuh lalu bangkit lagi.

Maka pahamilah kawan. Bahwa segala yang tergenang akan sampai pada tujuan, dan segala yang tertuang akan habis termakan. Maka percayalah. Segala yang ditakdirkan oleh Tuhan, semata-mata menuju ke jalan kebaikan. Sebagaimana air yang tergenang, ia akan sampai. Dan sebagaimana hujan yang deras mengalir kebawah tanah, ia akan habis disia-siakan.

Begitupun juga hasratku. Ia sebagiamana air yang mengalir beberapa jam. Dan tergenang dalam bak besar. Sayangnya kau lebih memilih membuang air itu dengan harapan kosong.

Lalu, dalam basah dan lelah, dan sambil bersandar di salah satu dinding rumah. Aku hanya bisa pasrah dan ber-doa.

Jika aku dan dirimu ternyata ditakdirkan untuk berpisah, maka percayalah aku pasrah pada sang pencipta. Tapi jika aku dan dirimu masih punya harapan. Besar kemungkinan kami akan tergenang dalam kata-kata yang tak bisa kuucapkan. Wassalam. []

 


Aku dan Gadis di Balik Kelambu (cerpen)

 


Aku dan Gadis di Balik Kelambu

Oleh: Syifaur Romie

 

Terlihat dari sudut pendopo lama, gerak selambu itu menandakan kehadirannya kembali. Sinar redup bohlam tak pernah bohong menerpa sosok yang lagi-lagi melukiskan bayang semu dari baliknyadi setengah malam; mengundang kernyut dahi dalam duduk belajarku mulai menyempit. Aku tahu, itu kau! Sebagaimana malam-malam lalu sejak kejadian itu. Tak Kuasa kugapai siapa dirimu sebenarnya.

Bayang tangannya memangkas sedikit celah pada kelambu. Menjadikan todongan mata ini semakin terpaku menghunus ke arah bayang itu. Sepintasterlihat dari redupnya malam cahaya mata di antara wajah yang tertutup hijab itu secepat kilat menyambar keberadaanku. Secepet kilat pula, kau pergi menghapus bayang semu ditelan kegelapan. Begitu membekas dalam kedipan mata. Kamu yang masih dalam prasangka benar atau tidaknya kisah itu.

Dan aku masih dalam lamunan mematung terdiam, lembar demi lembar terkuras pada kertas kuning yang sedari tadi kupangku; kututup perlahan. Seiring dengan lelahnya hati dan fikiran dalam mengampu tugas barunya. Hati untuk menelaah siapa sebenarnya dia, apa tujuannya serta tuntutan ujian akhir Madrasah yang dalam masa cepat harus rampung capain demi capaiannya.

“Tumben tak seperti biasanya, Syad.” Sapa Imam Syafi’i, sahabat karib sekaligus teman sebaya di kelas. Bagaimanapun juga, dia satu-satunya orang yang mengetahui perihal panggilan Kiai pekan lalu; lengkap dengan tujuannya.

“Ya, Mam. Aku duluan.” Sahutku sembari meluruskan kedua kaki dalam tegak berdiri; membetulkan sarung, siap untuk berpaling. Bahkan tak kusempatkan diri serius menatap wajah Imam.

Dari balik punggung, Imam menggapai bahu seraya menegur serius “Syad, kamu yakin bukan tadi itu orangnya?”

“Apanya Mam?”, Sapaku dalam heran. Sembari mulai kutatap wajahnya serius. “Sudahlah, sedari tadi hanya aku dan kamu di sini. Tidak kita temui mata lain mengetahui perihal ini. Mestinya kau paham makusudku”.

Kembali kulangkahkan kaki, seakan berusaha menghindar dari kenyataan; “Ya, barangkali Mam.” Terdengar suara yang semakin jauh mengejar “Ya jangan lupa, Istikharah cah!” Disusul dengan senyum godanya menghiasi angan yang kembali melukiskan sosok wanita di balik kelambu itu. Uh, begini sekali rasanya.

Sesampainya di kamar B-1, kuseka keringat yang mulai mengucur di sekitar kening. Paling tidak, mengobati sedikit ketegangan yang mulai bercampur aduk dengan perasaandan fikiran tak menententu. Dimana, banyak orang lain menyebutnya sebagai; Dilema. Aduhai, bahkan seperti apa sosoknya pun otakku belum mampu merabanya. Hanya sebatas kisah penggambaran kisah Kiai pekan lalu di pesantren ini.

Esoknya, dalam dzikir selepas sembahyang Shubuh, ada bisikan pesan dari seorang yang tak sempat kulihat jelas wajahnya mengatakan bahwa aku telah dipanggil Kiai guna menghadap. Bersamaan dengan itu juga, keringat dingin mulai mencucur. Ototku serasa sedikit membeku dalam duduk sila. Dan fikiran khusyuk dalam sekejap berubah menjadi alun-alun lengkap dengan pasar malamnya; riuh sesak.

“Sekarang juga, Kang Irsyad”. Teriaknyanya dari kejauhan setelah beberapa saat.Sosok suara yang tadi membisikiku. Sudah kuterka sosoknya; Umar. Abdi dalem (Madura: Kebuleh). Senior juga sobat karib dalam catatan sejarah keberadaanku selama di pesantren. Kini, bergegas dari duduk itu serasa memandai besi yang kalian mesti tahu betapa kakunya.

Mengayur kepercayaan diri adalah langkah awal dalam mengawali kelancaran segala urusan. Dengan berkali-kali kuatur senyum di hadapan cermin kamar, dan minyak oles wangi lengkap dengan pakaian terbaik menurutku, aku sudah benar-benar yakin dengan maksud dan tujuan akan panggilan ini. Aku datang; Bismillah...

Melalui langkah lunglai kedua kaki di atas alas yang sengaja tak kusuarakan ini, gerbang ndalem Kiai mulai tampak dari sudut pendopo pengasuh. Semakin mendekat, pojok kaca mobil kendaraan beliau mulai tampak. Di saat bersamaan, kulihat pintu sedikit terbuka seraya kepercayaan diri yang telah kuatur tadi mulai tercecer di sepanjang jalan.

Dari kejauhan, terlihat bangunan tua dengan gerbang besi sedikit berkarat terbuka lebarmenyambut siapapun sosok yang hendak menghadap. Betapa kau tahu, bahkan gerbangnya pun benar-benar disegani para santri. Begitulah kiranya tradisi pesantren salaf berlaku. Tiada lain kecuali Ikraaman wa Ta’dziman.

Wajah yang patah membungkuk menghadap tanah, riuh suara pengajian Al-Qur’an oleh santri putri lengkap dengan sorak sorai guraunya terdengar semakin menambah suasana mencekam. Tapi apa guna takut, bila saingannya adalah ta’at.

Hirupan nafas setengah dada kulanjut dengan suara salam tegar keluar dari mulut penuh dosa ini; “Assalamualaikum..”. Nada rendah lirih tertahan akhirnya terlepas dari ternggorokan. Bahkan seakan tak ingin kucing tertidur itupun terbangun dari ringkuk pulasnya. Sejak keberhentianku di hadapan pintu penuh wibawa itu, kedua tangan saling menumpuk di hadapan perut.

Waalaikumsalam... Masuk”. Setelah beberapa saat mematung di hadapan pintu. Perlahan kuangkat kaki yang gemetar dan wajah tertunduk takluk. Lalu kututup kembali dengan pelannya. Sejenak kuangkat sedikit wajah guna mengetahui posisi beliau, berubah merangkak dan menyalami beliau dengan kedua tangan seraya kuciumnya tangan mulia beliau bolak balik tanpa sisa.

Aku tahu, kalian hanya pembaca, begitu tak faham bagaimana pucatnya diri kala mengetahui di antara ruangan yang mulai terasa sempit itu terdapat sosok lain selain aku dan Kiai. Dengan busana cantik dan rapih; dia adalah Gadis. Denyut jantung mulai meronta hendak keluar dari tempatnya seraya memerahnya kedua pipi. Kuyakin gadis yang duduk bersimpuh di hadapan Kiai itupun merasakan hal yang sarupa.

“Jadi, ini lo Nabila yang kuceritakan pekan lalu itu, Syad.” Lanjut Kiai selepas beberapa saat menanyakan berbagai hal sebagai pembahasan ringan pembuka suasana. Sesaat dunia terasa kembali petang dan sempit. Sempit sekali. “Sekarang, angkat wajah kalian berdua, sejenak saja lihat wajah satu sama lain”. Imbuh Kiai sembari menghamparkan tangan kanannya pada pundakku yang lusuh dan mulai goyah kehabisan percaya diri.

Tidak sedikitpun prediksiku melenceng.  Dialah gadis itu, namnya Nabila. Sesuai dari apa yang didawuhkan Kiai. Sesaat wajah eloknya mampu membius ingatanku akan sosok yang belakangan ini kerap melukiskan bayang di balik kelambu tepat menghadap posisi belajarku tiap setengah malam.

Sekilas senyumnya tak dibuat-buat. Membentuk lesung pipi merah alami. Walau kutahu, senyumnya sedikit dipaksa. Alisnya hitam legam tanpa celah memayungi kedua bola mata yang membola bersinar jujur diselimuti keindahan. Hidungnya yang sedang nan berani itu, seakan menjadi magnet pemikat. Kulanjut dengan kedua bibir yang merah alami dan manis, tampak begitu bersih dan polos menghiasai wajah merona. Bila kau tahu Annelies dalam kisah Bumi Manusia, barangkali bibirnya sedikit lebih unggul dalam hiasan kecantikan yang alami. Dan wajah tanpa sentuhanmake up menggambarkan mutiara dalam cangkang kerang. Jauh dari tangan manusia jahat.

Dengan sekali tatap indahnya; Nabila, aku telah masuk ke dalam dunia yang kau sebut dengan “Jatuh Hati”. Aku tertarik dan tak ada satupun rasa ingin menyangkal kekurangan yang sejauh ini tak kutemui. Maaf, rasa ini jujur lahir dari jiwanya. Namun di sisi lain juga ada hati yang berupaya meniup cinta jauh dari pintu masuknya.Berupaya mengingatkan sebuah hal dalam hidup; kesetiaan.

Kusudahi keindahan lamunan sesaat ini bersamaan dengan dawuh Kiai; “Nabil, ini Irsyad. Santri yang hendak aku jodohkan denganmu. Dia rajin dan istiqamah menelaah saripati ilmu di pendopo lama. Aku hafal betul. Kaupun kupilih sebab memiliki aktivitas serupa. Aku merasa kalian berdua memiliki kecocokan yang kutemui dalam mimpi Istikharah. Semoga kalian berdua ditakdir berjodoh”.

Antara tangis bersalah dan penyesalan, sebentar kuarahkan telapak tangan kanan menggapai dada tepat denyut nadi itu semakin mengguncang. Lalu dengan sergukan sekali nafas, kuberanikan diri yang rapuh ini menengahi bahasan indah dalam ruang yang semakin terasa menyempit.

“Abdi haturkan permohonan maaf Kiai, orang tua Abdi telah sebulan lalu meminangkan Abdi seorang gadis. Mohon maaf Kiai, Abdi.....”. Bersambung.