Senin, 30 November 2020

SADAR ATAU MALAH DIAM (Sosok)


"Salah satu foto Ust ikhwan yang tampak manis"


SADAR ATAU MALAH DIAM

Oleh: Mukhlis Akmal Hanafi

Sadar akan kewajiban adalah prinsip besar yang harus ditanamkan. Begitu kira-kira ungkapan ust ikhwan saat rapat pengurus berlangsung. Ungkapan diatas menjadi prinsip dan tujuan yang harus ditanamkan dalam diri siapapun. sebab tidak bisa diragukan lagi, kesadaran merupakan kunci kesuksesan yang baru-baru ini menjadi topik pembicaraan dikantor pesantren. Meski kita sudah tau dan menduga bahwa ungkapan diatas dalam arti sadar akan jadi bahan incaran untuk saling cemooh dan saling menjatuhkan. Begitulah keadaannya kawan! Siapapun yang mampu menafsiri ungkapan ust ikhwan dengan benar. Maka tanpa disadari orang itu sudah banyak belajar dari beliau. Terutama soal kharismanya yang besar. Dan utamanya perihal sadar dan kesadaran.  

Siapa yang tidak kenal dengan sosok yang satu ini. Sosok karismatik yang tidak ingin kehilangan marwahnya gara-gara bercanda yang kelewatan batas. Ia sepenuhnya mempertahankan kharisma dalam diri santri. Dan menaruh kepercayaan besar dalam dirinya sendiri. “Akhlak mulia seorang santri juga dapat dipengaruhi oleh kharisma pengurus dan prilaku dari keseharian itu sendiri! Imbuhnya. 

Dua tahun yang silam tepatnya tahun 2018 ust ikhwan resmi ditunjuk sebagai pengurus harian dan di amanahkan sebagai anggota ubudiyah bagian kontroling dan penegak hukum di bidang ibadah dan al-quran. sempat juga di gadang-gadang jadi penerus Ust Sulaiman (the next sulaiman) yang secara kebetulan ust sulaiman juga pernah memasang badan di pengurus Ubudiyah. Namun sayang ust sulaiman malah memutuskan untuk boyong lebih awal faktor usia dan sudah waktunya menikah. 

Ubudiah tentunya bagian yang sangat central dalam kepengurusan. Selain harus memikul berat tanggung jawab yang harus ia emban. Ia juga dipaksa untuk istiqomah berjamaah dalam setiap rutinitas yang ia jalani dan tak menampik untuk kemudian jadi imam. Ini merupakan pengabdian yang sulit jika hanya dipikirkan. Jika tidak, dengan kesadaran dan ketekunan yang ust ikhwan berikan. Lagi-lagi soal kesadaran dan sadar  (خدمة للمعهد)

Hebatnya lagi; ust ikhwan pun juga ikut membantu administrasi pondok yang notabannya itu pekerjaan sekretaris. dan tak segan membantu bendahara jika kesempatan yang lain orang yang bersangkutan berhalangan. 

Apa namanya jika bukan sadar? Kesadaran mampu membatasi ruang lingkup kehidupan dengan sedemekian jenis dan beragam. Buktinya saat jam istirahatpun ust ikhwan rela bangun dari tidurnya sembari memberi pelajaran kepada teman santri yang ikut dalam ruang kursusan. Baginya, itu merupakn hal yang biasa dan bukan hal mustahil dilakukan. Lagi-lagi kesadaran jadi aktor penting dalam diri ust ikhwan. 

Wajahnya memang terbilang muram, namun dihatinya tertanam kesadaran yang sulit dibayangkan. Begitulah yang dapat aku simpulkan.

Dari segi keterampilan dan olah baca kitab kuning ust ikhwan tidak bisa dipandang sebelah mata. Keahlian dalam membaca dan menjelaskan Ust Ikhwan adalah jagonya. Melalui jejak digital yang saya punya, ia sudah meraih trofi bergengsi saat masih duduk dibangku non formal tepatnya di Madrasah Diniyah. Hingga mampu mengikuti kejuaraan kitab kuning tingkat MQK (Musyabaqoh qiroatl kutub) di madura. Namun sayang beribu kali sayang banyaknya peserta dari malang mengharuskan ia saling sikut dan akhirnya ia pun harus gugur di babak penyisihan. 

Berangkat dari pengalaman. Iapun banyak belajar dan mulai memahami dunia luar. Salah satu yang membekas dalam dirinya adalah; saat ia memutuskan untuk tetap diam dan menaruh perasaan yang dalam pada diri seseorang yang belum sepenuhnya ia kenal. Siapakah dia? Tentunya itu pertanyaan besar yang masih belum dipecahkan. Namun sayang rayuan yang aku berikan memaksa ia harus mengakui itu semua. Bahkan dalam proses wawancara ia berinisiatif untuk menceritakan kronologi dan awal mulanya. Meski keadaan yang sebenarnya cukup alot dan rumit dijelaskan. 

Dalam wawancara kami. Ada sedikit pembicaraan kecil nan menarik yang mustahil dilewatkan. “Aku diam bukan berarti melupakan ” ujarnnya. Aku berpikir panjang sampai pada titik aku benar benar merasa paham. Dan pada akhirnya akupun mulai memahami apa yang sudah jadi kaidahnya. Saya pun mengingat salah satu maqalah yang pernah disampaikan oleh gus abdurrahman sa'id (gus dur) saat acara maulid di atas aula lantai dua. Maqalah itu berbunyi

سلامة الانسان فى حفظ اللسان 

“Keselamatan manusia itu tergantung dimana ia harus menjaga lisan.

Bisa menarik kesimpulan; diam dan menyimpan rahasia secara diam-diam merupakan cara Tuhan untuk lebih sedikit melakukan tindakan kriminal. Lisan itu sebuah komunikasi untuk menyampaikan informasi, semua angggota tubuh yang kau miliki itu bisa mewakili cara pandang dalam kaca mata orang lain dan aku sendiri. Lebih baik diam daripada harus banyak tingkah tapi kosong isinya. 

Konon katanya, ekspresi kegembiraan dengan cara diam itupun membuat ust ikhwan tak sepenuhnya diam dan enggan tidak melakukan ritual.  Buktinya saat ia ditanya perihal orang yang dicintainya pun ia terus menjawab dengan suara yang lantang. Dan tentunya, dalam setiap kesempatan ada bait bait doa yang ia tanamkan. Sungguh mengharukan kawan!

Apakah ust ikhwan benar-benar sadar? Begitulah pertanyaan yang mendasar. Pertama: Menaruh harapan yang besar kepada orang yang belum ia kenal. Kedua: hanya bisa diam dan tidak menyatakan kebenaran. Ketiga lebih besar ke(malu)annya daripada kebenarannya.

Disatu sisi aku benar-benar menaruh empati yang sangat tinggi kepada ustad yang satu ini. Bagaimana tidak, kumpulan pertanyaan yang sudah aku miliki masih belum menemukan jawaban yang pasti. Tapi disisi yang lain. Akupun mulai paham dengan kondisi yang sedang ia jalani. lebih baik diam daripada harus menerima pil pahit yang sunnguh tak terduga itu bakal terjadi. Simalakama bukan! 

Antara sadar atau lebih memilih diam? 

Sadar dengan berbagai macam tantangan dan menerima kenyataan, atau dengan diam menyembunyikan kebenaran dan membiarkan orang lain diberi ruang kebebasan. 

Menarik ditunngu. []

ETIKA ILAHIYAH SANTRI (Opini)


Foto Gus Ma'ruf Khozin saat bersama Habib Qodir

ETIKA ILAHIYAH 
SANTRI

                                                  Oleh: Gus Shofi Mustajibullah

Gus Mus pernah dawuh, “Seseorang bergelar santri tidak harus dia yang ada di pesantren, cukup memiliki etika seperti santri, ia sudah layak di katakan sebagai santri.”

Etika santri mengajarkan dan menekankan tata krama seorang pelajar terhadap pengajarnya. Bukan hal yang samar sebenarnya, tetapi pesantren lebih dari pada menghormati seorang guru. Ibnu Abbas ra berkata: “Derajat Ulama' jauh di atas orang mukmin dengan selisih tujuh ratus derajat, sedangkan jarak antara dua derajat kira-kira sama dengan perjalanan lima ratus tahun”.

Di dalam peradaban pesantren, seorang santri hukumnya mutlak mematuhi perintah guru. Hal ini merupakan warisan indah nan elok dari tradisi para ulama' terdahulu. Mengapa demikian? Seorang mukmin tidak bisa serta merta dengan mudahnya tunduk pada Allah Sang Maha Penguasa. Bayangkan, pada seorang guru yang ikhlas membimbing langsung saja pun dia tidak patuh, lalu apa harapannya seorang mukmin bisa takut pada keberadaan Tuhan yang dia sendiri belum tahu di mana Tuhan berada.

Maka dari itu, etika santri adalah etika ilahiyah. Membiasakan penggunanya untuk tetap tawadlu' dan menetapkan dirinya sebagai hamba yang baik dan benar. Menghapus rasa congkak dan takabur yang telah mengkerak di dalam hati.

Etika santri harus tetap abadi, sepanjang masa bagi mereka yang mengaku sebagai santri. Bahkan di saat angin barat dan timur tak memiliki titik temu, bumi sudah bosan bersandiwara dengan umat manusia, dan lautan menjadi najis sebab seonggok darah. Etika santri wajib di amalkan hingga ajal menemui.

“Cahaya Tuhan adalah hiasan atas cahaya indra

Inilah makna cahaya maha cahaya

(Maulana Jalaluddin Ar-Rumi)

SANTRI HARUS TURUT ANDIL PADA PESANTRENNYA (Opini)


Foto Kang Khozin saat merenovasi bangunan unit usaha kantin di Raudlatul Ulum 1 

SANTI HARUS TURUT ANDIL
PADA PESANTRENNYA

Oleh: Gus Shofi Mustajibullah

Dalam suatu acara, Romo Yai Nurul Huda Djazuli pernah dawuh, “Kepemilikan pesantren sebenarnya ada pada santri”. Jika di telaah lagi dawuh dari beliau, pesantren tak ada bedanya dengan rumah dari para santri yang tinggal disana. Kalu bukan santri, siapa yang setiap harinya membersihkan seluruh area pesantren. Kalau bukan santri, siapa yang tidur di sana setiap harinya. Dan kalau bukan santri, siapa yang hari-harinya selalu melalui segala permasalahan, rasa senang, rasa duka, dan rasa-rasa lainnya kalau bukan santri itu sendiri.

Karenanya, santri harus mempunyai chemistry yang kuat pada tempat di mana mereka benar-benar membentuk karakter atau jatidiri manusia sebenarnya. Bagaimana caranya? Turut andilah pada pesantren yang di tempati. Tak perlu ribet, seperti rajin dalam mengikuti kegiatan yang sudah di tentukan, tidak melanggar peraturan, membantu pengurus dalam menjalankan tugas mereka, atau bahkan membantu terlaksananya harapan-harapan dari para Masyayikh.

Untuk apa itu semua? Yang jelas demi menumbuhkan rasa kesan yang besar pada pribadi setiap santri. Semua hal di dunia ini yang dapat menimbulkan kesan, sampai matipun pasti akan selau teringat. Ciptakanlah kesan-kesan yang mengena, supaya ketika keluar dari pesantren nanti, amaliyah-amaliyah yang di dapat akan terus langgeng.

Tantangan terberat seorang santri bukan di saat dia kehilangan sandalnya, tidak dapat pajek makan, atau telat kiriman, melainkan apakah setelah boyong dari pesantren, dia masih menjadi santri seutuhnya atau tidak sama sekali. Itulah permasalahn utama.

Untuk itu, tumbuhkanlah mahabbah sebesar mungkin pada pesantren dan turut andilah di dalamnya. Insya'allah sendi-sendi pesantren menjadi berkesan di hati dan senantiasa menjelma di dalam kerinduannya. 

Andai semesta ini berubah bagimu, tetaplah berjalan di jalanmu. Jangan berubah.

(Maulana Jalaluddin Ar-Rumi)

SEKIAN LAMA TERTUNDA AKHIRNYA PERPUSTAKAAN DIBUKA (Berita Pondok)

Perpustakaan PP. Raudlatul ulum 1 Ganjaran Gondanglegi Malang

SEKIAN LAMA TERTUNDA
AKHIRNYA PERPUSTAKAAN DIBUKA

Oleh: Mukhlis Akmal Hanafi


Setelah sekian lama tertunda akhirnya perpustakaan PPRU1 buka juga. Penantian panjang mengharuskan Gus Abdurrohm Sa'id angkat bicara. Beginilah nasib yang sedang terjadi di perpustakaan kita. 

Kepala pesantren mengusulkan ingin segera perpustakaan itu dibuka, dengan harapan meningkatkan kualitas baca dan informasi yang telah beredar dimana-mana. Perpustakaan yang terletak dibagian tengah-tengah pondok pesantren itu pun sudah jadi bahan lapak baca dari masa ke masa, hingga santri bisa dengan mudah mengakses hal-hal yang belum diketahui sebelumnya. Teman-teman santri yang ingin membaca atau hanya sekedar mencari kaidah fiqih yang belum terpecahkan pun jadi acuan atau keputusan terakhir yang harus santri terima. 

Keputusan diatas memaksa orang yang bersangkutan menemukan titik final dengan berbagai macam program dan pertimbangan. Meliputi program baca dan jam buka perpustakaaan. Sampai program tanya jawab seputar fikih atau permasalahan yang berkaitan dengan finansial yang nantinya pertanyaan beserta jawabanya di liput dalam media akhbar. dalam hal ini bidang taklimiyah berusaha bekerja sama dengan bidang publikasi. 

Selanjutnya; program yang tak kalah menarik diatas adalah  melihat film di malam jum'at yang ini sudah sering santri dengar dan merupakan kegiatan rutin yang entah dari kapan awal mula diadakanya. Ini merupakan angin segar bagi teman-teman santri yang ingin sekali mengisi ruang kekosongan di malam jum'at, sekedar refres otak kiri melihat bioskop dengan membeli uang tiket ke orang yang bertanggung jawab. Dalam hal ini ust rofi'i selaku pimpinan perpustakaan menegaskan, bahwa biaya tiket untuk bioskop malam jum'at sekitaran 2 ribu. Harganya pun bisa saja meningkat jika kondisinya sudah berubah dan memungkinkan. 

Sebagaimana perpustakaan pada umumnya. Perpustakaan pondok pesantren raudlatul ulum1 juga memiliki buku langka dan buku arsip yang masih dikenang dan tersimpan rapi di rak lemarinya. Salah satu yang masih tersisa adalah buku AMANAH yang merupakan buku kajian santri tahun 80an yang pimpinan redaksinya adalah KH. Hanafi Kholil. 

Kh hanafi kholil merupakan generasi pertama yang sangat antuis dalam membaca dan di nobatkan sebagai pustakawan oleh teman-temannya. Begitulah tulisan dari Gus Ma'ruf khozin dalam postingan facebooknya.

Jam buka perpustaakan adalah saat jam kegiatan malam sudah selesai. Tepatnya jam 10:00. Dan jam tutup perpustakaan saat jam sudah terlampau malam, tepatnya jam 12:30 demikianlah imbuhnya Ust anas sebagai wakil pimpinan perpustakaan.

Tentu ini merupakan angin segar dan berita yang masih hangat. Bagaimana tidak.  Perpustakaan yang berlokasi pas disamping daerah D itu resmi dibuka kembali sejak awal bulan november lalu (12-Nov-2020). Dan tentunya itu, mendapatkan dukungan penuh dari kepala pesantren beserta jajarannya.

Pimpinan perpustakaan Ust Rofi'i dan Ust Anas sangat antusias untuk membuka kembali perpustakaan. Dengan harapan membuka kembali cakrawala santri di bidang baca dan menulis. Untuk sementara proses peminjaman masih belum dibuka secara resmi. Peminjamannya hanya bisa dibaca di perpustakaan saja. 

Apa yang harus diperbaiki? bukti perombakan dan perbaikan katalog menjadi aktor penting yang harus diketahui bersama. Data buku perpustakaan yang beberapa dari bukunya dipinjamkan dan hilang. sampai tata letak dan updating buku yang belum sepenuhnya tersimpan. 

Selain itu ada beberapa info menarik tentang system management perpustakaan yang memuat semua yang berkaitan dengan pengelolaan perpustakaan. Mulai dari pendataan katalog buku, data anggota serta data pengunjung khusus untuk perpustakaan. Yakni management perpustakaan yang berbasis wabsite. SLIMS.

SLIMS adalah wabsite berbasis online yang khusus untuk menangani system managament perpustakaan. SLiMS (Senayan Library Management System) merupakan sistem automasi perpustakaan sumber terbuka (open source) berbasis web yang pertama kali dikembangkan dan digunakan oleh Perpustakan Kemendikbud. Aplikasi ini digunakan untuk pengelolaan koleksi tercetak dan terekam yang ada di perpustakaan. Ada beberapa menu yang sangat membantu bagi perpustakaan. Salah satunya adalah daftar pengunjung dan buku yang tersimpan di perpustakaan.

Yang tak kalah menarik dari aplikasi ini adalah menu Sirkulasi. Menu ini sangat membantu sekali khususnya untuk staf perpustakaan bagian administrasi peminjaman buku, karena memberikan kemudahan dalam pendataan dengan menggunakan scan barcode tanpa harus mengetik satu per-satu.

Selengkapnya Di websaite SLIMS: https://slims.web.id/web/

Minggu, 15 November 2020

OPINI- BUDAK VS PEJUANG

      


Bucin atau budak cinta, yang saya lebih suka menyebutnya dengan bumbu micin, adalah jenis manusia yang rela mengorbankan apapun demi pasangannya, meskipun pada dasarnya dia sendiri tidak mau melakukan itu.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tidak di temukan arti dari kata bucin itu sendiri. Karena bucin adalah bahasa anak gaul yang merupakan akronim dari kata budak cinta. Memang tidak ada kajian-kajian khusus atau kajian akademis tentang bucin, yang ada hanya artikel-artikel bebas yang dimana isinya atau konotasinya buruk tentang makluk yang bernama bucin ini.

    Di dalam beberapa artikel yang saya pernah baca, orang yang bucin ini mempunyai ciri-ciri khusus yang diantaranya adalah: dia pasti mempunyai pasangan. Ya iya lah, karena untuk membucin itu harus ada obyek sasaran. Kalau enggak punya pasangan, mau ngebucin pada siapa?

Yang kedua adalah dompetnya plong. Karena uangnya dihabiskan untuk membiayai keinginan pasanganya. Yang mau beli ini lah, yang mau beli itu lah. Atau habis digunakan untuk membeli bensin, karena dia sibuk kesana-kemari membawa pasangannya hanya demi membahagiakan dia. Baik pergi ke tempat wisata maupun antar jemput ke sekolah, karena kebanyakan dari makluk bucin ini masih berstatus pelajar.

    Yang ketiga yaitu sang bucin ini tidak akan mempunyai teman. Karena seluruh waktunya habis digunakan untuk kekasihnya. Kalau siang dia selalu sibuk, yang alasan mau mengantarkan pasanganya ke stasiun lah, yang masih menjaga yayangnya lah, atau lain-lain. Kalau malam dia enggak bisa di ajak keluar, karena masih melayani kekasihnya, baik WhatsaAp-an, telefonan atau bahkan videocall-an.

Wajarlah, namanya saja budak, dia pasti sibuk melayani majikannya. Bahkan disuruh membeli pembalut di warung pun dia mau. Level bucin yang paling parah adalah dia mau bertukar password media sosial dengan pasangannya. Untuk apa coba? Kalau percaya ya percaya saja, enggak usah pakaitukar password.

    Jika pandangan orang tentang bucin itu negatif, pasti ada lawannya, yaitu positif. Karena begini, terkadang cinta itulah yang membuat kita lebih giat, baik bekerja maupun belajar karena kita mendapat suport atau dukungan dari pasangan kita. Saat kita menang, dialah yangmembuat kemenangan kita menjadi lebih sempurna. Dan di saat kita jatuh, dialah yang membantu kita untuk bangkit dan maju kembali. Dan saya lebih suka menyebut orang orang yang seperti ini sebagai Pejuang Cinta.

Karena saya sendiri tidak mau hidup dengan orang yang hanya mau diperjuangkan saja. Karena berjuang sendiri itu sulit, oleh karena itu marilah kita mencari pasangan yang sama-sama mau berjuang, agar kesulitan yang kita hadapi itu menjadi lebih ringan. Jika pejuang di pertemukan dengan pejuang  maka akan menghasilkan generasi pejuang juga.

Ditulis Oleh: A. Imam fathoni

Kamis, 06 Februari 2020

KEAGUNGAN PENCARI ILMU



Dalam kitab "Adab al-'Alim wa al-Muta'allim" milik Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari dijelaskan tentang keutamaan ilmu, orang alim dan belajar mengajar. Ketiga unsur ini dapat diurai sebagai berikut.

1. Keutamaan Ilmu

Firman Allah SWT yang menyebutkan tentang keagungan ilmu bertebaran dalam berbagai surah Al-Qur'an, antara lain:

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلۡعِلۡمِ قَاۤىِٕمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡحَكِیمُ
[QS. 03:18]

Ayat ini menegaskan bahwa yang mampu persaksikan keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan hanyalah Allah, Malaikat dan orang-orang berilmu. Persaksian di sini maksudnya adalah Allah SWT dapat membuktikan wujud-Nya dengan ayat-ayat Kawniyah dan ayat-ayat Qur'aniyah, Malaikat menggambarkan keberadaa-Nya dangan kepatuhan dan manusia berilmu bisa memperlihatkan eksistensi-Nya dengan analisa serta nalar.

Dalam ayat lain, Allah SWT mengajukan pertanyaan:
قُلۡ هَلۡ یَسۡتَوِی ٱلَّذِینَ یَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِینَ لَا یَعۡلَمُونَۗ
[QS. 39:09]

Dalam ayat ini Allah SWT melempar pertanyaan yang dinilai cukup mudah oleh setiap orang, yaitu sebuah soal yang pasti dimaklumi jawabannya bagi siapapun. Sebenarnya bukan seberapa tingkat kemudahan yang dimaksudkan dalam firman itu, tetapi terdapat unsur kritik pedas dibalik tanya tersebut:

Jika setiap individu telah tahu jawabannya, mengapa ia tidak bersungguh-sungguh membalik kebodohan menjadi kecerdasan.


2. Keutamaan Orang Berilmu

Satu ayat yang cukup familiar di telinga masyarakat, yakni:

یَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمۡ وَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَـٰتࣲۚ
[QS. 58:11]

Seakan-akan Allah SWT ingin memperlihatkan bahwa kemuliaan seseorang ditentukan oleh seberapa ia memiliki ilmu pengetahuan. Di dalam tata bahasa Arab, kalimat "darajaat" (دَرَجَـاتࣲ) dalam ayat tersebut merupakan bentuk "jamak" yang berarti memuat makna "beragam/banyak". Jenis kata plural semacam ini mengindikasikan anugerah Tuhan yang bermacam-macam bakal diperoleh orang berpetahuan.
KEAGUNGAN PENCARI ILMU

Merujuk dari bentuk kalimat "darajaat" (دَرَجَـاتࣲ), kemudian ulama memperluas cakupan konsekuensi logis orang-orang pandai, bukan saja di akhirat namun juga di alam fana'. Ujaran yang seringkali dibuat simbol-simbol abstraksi antara lain contoh kasus profesi dokter yang meraup sekian juta hanya dengan mengangkat butiran dari kencing batu, batu empedu dan lain-lain, sedangkan seorang kuli harus memikul batu besar tetapi dihargai puluhan ribu rupiah belaka.

3. Keutamaan Belajar Mengajar

Prinsip banyak orang ialah "proses tidak akan mengkhianati hasil". Tetapi dalam ranah pendidikan, penilaian bagi orang yang sedang belajar bukan pada hasil, namun dilihat dari sejauh mana pengalaman belajar yang dilakukan.

Dalam konteks ini, ungkapan Nabi Muhammad SAW memperkuat betapa pahala Tuhan hanya dikaitkan tahapan belajar:

ﻗ‍‍َﺎ‍ﻝ‍َ ‍ﺭ‍َﺳ‍‍ُﻮ‍ﻝ‍ُ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻠ‍‍ّٰﻪ‍ ‍ﺻ‍‍َﻠ‍‍َّﻰ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻠ‍‍ّٰﻪ‍ ‍ﻋ‍‍َﻠ‍‍َﻴ‍‍ﻪ‍ِ ‍ﻭ‍َﺳ‍‍َﻠ‍‍َّﻢ‍: ﻣ‍‍َﻦ‍ ‍ﺧ‍‍َﺮ‍َﺝ‍ ‍ﻓ‍‍ِﻲ‍ ‍ﻃ‍‍َﻠ‍‍َﺐ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ْﻌ‍‍ِﻠ‍‍ْﻢ‍ ‍ﻓ‍‍َﻬ‍‍ُﻮَ ‍ﻓ‍‍ِﻲ‍ ‍ﺳ‍‍َﺒ‍‍ِﻴ‍‍ﻞ‍ِ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻠ‍‍ّٰﻪ‍ ‍ﺣ‍‍َﺘ‍‍ّﻰ ‍ﻳ‍‍َﺮ‍ﺟ‍‍ِﻊ‍َ
(HR. Turmudzi)
Menurut ulama, kesamaan antara jihad dan menuntut ilmu terletak pada perjuangan agama, perlawanan terhadap syetan, kepayahan diri dan pengkerdilan nafsu.

Dalam sabda yang lain, Rasulullah SAW menyebutkan:

ﻗﺎ‍ﻝ‍َ ‍ﺭ‍َﺳ‍‍ُﻮ‍ﻝ‍ُ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻠ‍‍ّٰﻪ‍ ‍ﺻ‍‍َﻠ‍‍َّﻰ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻠ‍‍ّٰﻪ‍ ‍ﻋ‍‍َﻠ‍‍َﻴ‍‍ﻪ‍ِ ‍ﻭ‍َﺳ‍‍َﻠ‍‍َّﻢ‍: الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
(HR. Bukhori)

Nabi Muhammad SAW memasukkan orang yang berjuang di jalan Allah SWT tergolong kelompok mati syahid. Dalam pengertian yang luas, penuntut ilmu dikategorikan sebagai pejuang di jalan Allah SWT (seperti hadits riwayat Turmudzi).

Oleh karenanya, ketika seseorang wafat saat menimba ilmu pengetahuan, maka ia termasuk dalam kematian yang baik, sebagaimana isyaratkan iman al-Hafidz Ibn Abd al-Bar:

قَالَ الحافِظ ابنُ عَبدِ الْبَرّ: مَن مَاتَ طَالِبًا لِلْعِلمِ فَهُوَ مِن عَلَامَات حُسْنِ الْخَاتِمَة لِأنَّه مَاتَ عَلَى طَاعَةٍ عَظِيمَة
(Sumber: https://rumaysho.com)

Lumrah setiap manusia beriman mengimpikan kondisi yang ingin dicapai sewaktu dipanggil Sang Khalik adalah bangga dengan kualitas kematiannya, seperti anjuran seorang penyair:

وَلَدَتكَ أُمُّك يَا ابْنَ آدَمَ بَاكِيًا # وَالنّاسُ حَولَكَ يَضحَكُونَ سُرُورًا
فَاعْمَل لِنَفسِكَ أنْ تَكُونَ إذَا بَكَوْا # فِي يَومِ مَوتِكَ ضَاحِكًا مسرورا
(Sumber: https://firanda.com)

Secara umum, kehormatan terbesar bagi para pencari ilmu adalah:
1) Proses dengan status pejuang di jalan Allah SWT.
2) Kematian dengan identitas syahid.

Sebegitu mulia derajat orang-orang yang menuntut ilmu, sehingga Nabi Muhammad SAW mensinyalir jaminan Allah SWT bahwa pengalaman hidupnya sekaligus kematiannya merupakan potret pintu sorga:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
(HR. Muslim)
_
Gus Mad
Dewan Pengasuh PP Raudlatul Ulum 1 Ganjaran Gondanglegi Malang ]

Sabtu, 11 Januari 2020

KIAI YAHYA BEKALI AL-QUR'AN PADA TIGA SANTRI TUGAS

Sebagaimana layaknya lembaga pendidikan yang senantiasa meluluskan anak didiknya, PP Raudlatul Ulum 1 banyak menghantar para santri hingga selesai jenjang pendidikannya. Namun dibalik kenyataan pesantren yang berada di desa Ganjaran Gondanglegi Malang itu menamatkan santri-santrinya dalam pendidikan formal, KH Yahya Syabrowi telah melakukan penugasan santri ke beberapa wilayah sejak lama. Salah satu di antara santri yang ditugasi kiai asal Sampang Madura itu adalah Ustadz Samin.
  
Pemberangkatan Bapak Samin ini merupakan tahap kedua setelah Ustadz Su'udi Penjalinan Gondanglegi dan Ustadz Sari asal desa Ganjaran ke wilayah Kalimantan Barat. 

Sebetulnya penugasan tahun 1973 ini terdiri dari tiga orang: (1) Ustadz Rusdi Wahid dari Klepu Sumber Manjing Wetan. (2) Ustadz Marju'in [H. Khoiron] dari desa Bekur Pagak. (3) Ustadz Samin dari Lowok Waru Turen.
KIAI YAHYA BEKALI AL-QUR'AN PADA TIGA SANTRI TUGAS
Pict by Gus Mad


Kepada masing-masing tiga orang tersebut, Yai Yahya Syabrowi memberikan Al-Qur'an dengan warna cover yang berbeda-beda. Ustadz Rusdi mendapat Al-Qur'an berwarna coklat, sedangkan Ustadz Marju'in memperoleh warna kuning, sementara Ustadz Samin dihadiahi warna abu-abu. Tidak diketahui dengan jelas rahasia yang melatari perbedaan warna kulit kitab suci itu, tetapi mencermati kondisi masing-masing ketiga tugasan, bisa dianalisa dari spesifikasi peran-peran ketiga orang tersebut. Ustadz Rusdi Wahid lebih banyak mengembangkan pendidikan melalui lembaga pesantren dan sekolah, adapun Ustadz Marju'in lebih tampak bermain di ranah politik sedangkan Ustadz Samin lebih terlihat sebagai sosok yang menyertai masyarakat akar rumput.

Selain memperoleh Al-Qur'an, sewaktu akan berangkat, ulama yang hingga wafat masih menduduki Musytasyar NU Cabang Malang itu mengijasahkan "Asmaul Husna" kepada ketiga santrinya. 

KIAI YAHYA BEKALI AL-QUR'AN PADA TIGA SANTRI TUGAS
Pict by Gus Mad

Sementara Ustadz Samin yang dikenal dengan sebutan "Pak Guru" di Retok Majau itu diberikan buku "Tata Cara Menikahkan". Ternyata buku yang ditulis oleh Drs KH Mursyid Alifi itu kini sangat berguna, karena entah bagaimana asal muasalnya setiap kali ada acara pernikahan, masyarakat selalu menunjuk Ustadz Samin sebagai tokoh yang dipercaya menangani akad nikah di kampungnya. 
_

(Disarikan dari berbagai sumber oleh Gus Mad)

Jumat, 01 November 2019

Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim

oleh: Yusroful Kholili, santri PPRU I

Faqrou (Festival Musabaqah Raudlatul Ulum I) ini salah satu momen rutin di PP. Raudlatul Ulum I. Setelah setengah semester bergelut dengan pelajaran pesantren, memeras otak untuk menghafal bait-bait nadhom imrithi, maqsud, alfiyah dan bahkan mantiq dan balagahnya, di Faqrou ini santri menemukan momen untuk berlibur. Ya, sebenar-benarnya berlibur dan merefresh otak dengan sebenar-benarnya
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
suasana Pembukaan FAQRO-U di Halaman PPRU I


Faqrou tidak bisa dibayangkan sebagai hiburan biasa. Ia tak seperti karaoke, dangdut, atau macam-macam hiburan sebagai mana biasa ada dalam imej masyarakat di luar santri. Faqrou murni sebagai ajang, ajang berlomba, ajang berselancar dengan pikiran, kreatifitas dan karya. Ya, di Faqrou santri diberi medan untuk saling unjuk kebolehan baca kitab, hafalan, pidato dan bahkan olahraga.

Sebab medan ini milik bersama, maka dari medan ini akan lahir para pemenang dan yang belum menang. Pemenang menjadi jawara, dan ini hiburan yang pertama. Kedua, yang belum menang. Bukan kalah tapi belum menang. Catat! Belum menang bisa saja jadi pemenang di masa depan. Ketika peserta gagal menjadi pemenang, dalam penampilannya sudah bisa dipastikan akan mendapat hadiah gojlokan dari santri yang lain. Panas rasanya, saya salah satu saksi hidup yang pernah merasakan sendiri.
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
suasana Pembukaan FAQRO-U di Halaman PPRU I

 Lain itu, berkat berani turun di gelanggamg perlombaan ini, peserta akan tahu dengan sendirinya apa yang belum, apa yang kurang, apa yang tak dipahami dan apa yang salah dengan cara dia belajar, apa yang dia dapat ketika belajar dan apa yang belum sempat ia pelajari selama setengah semester. Di ajang Faqrou ini semua akan tersingkap dengan seterang-terangnya. Ini terang, sangat terang meski tanoa tuntunan dari guru kelas dan tuntutan nilai. Ini alami dari hati nurani. Kebanyakan, oleh-oleh ini, gojlokan santri, pertanyaan dari juri, dan melihat sendiri bahwa hadiah dibawa teman sendiri bahkan teman sekamar, benar-benar melecut emosi untuk belajar lebih banyak dan giat lagi. Ada banyak teman-teman yang sebelumnya kalah, lalu menjadi pemenang di Faqrou selanjutnya. Catat, saksinya saya sendiri. Hehe. Dan kebahagiaan tersendiri. Semacam orgasme intelektual yang klimaks ketika menang setelah sebelumnya sempat kalah.

Itulah, kebahagiaan yang ditawarkan kepada tiap santri di ajang Faqrou ini. Kesenangan yang lain, Faqrou ini mesti dilakukan setelah ujian pesantren dan menjelang liburan. Ketika Ajang Faqrou ini dibuka, kegiatan pesantren habis tinggal solat jamaah. Di sinilah momen kebahagiaan yang tak kalah lumayan. Ya, Faqrou menjadi penanda bagi kalangan santri RU, bahwa di saat itulah, ia terbebas dari padatnya kegiatan dan bau-bau liburan mulai tercium begitu tajam. Alamak, senang sekali rasanya.

Faqrou 2019 ini ada bonus kesenangan yang lain. Sebab di pembukaan Faqrou kali ini, Gus Abdrurrohim Said membeberkan simulasi sistem informasi simatren. Simatren ini adalah aplikasi informasi data santri. Dengan mengakses aplikasi ini kita akan mendapat informasi data santri, mulai dari identitasnya, track-record pendidikannya di pesantren.
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
Penjelasan tentang simatren oleh Gus Rohim

 Bagi santri, aplikasi ini menyediakan fitur money virtual. Dengannya, santri menitipkan uangnya ke pengurus pesantren sebagaimana di bank. Uniknya fasilitas ini non-bunga. Hanya dengan Kartu Santri yang sudah memiliki barcode, santri bisa mengecek nilai uangnya, bisa menggunakannya untuk transaksi di kantin pesantren meski tanpa menggunakan uang kertas, dan bahkan bisa mencairkan uang yang ia titipkan. Sekali lagi, ini non-bunga.
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
Penjelasan Gus Rohim tentang simatren

Kabar baiknya aplikasi ini sudah online. Bagi Wali santri, dengan bekal NIS (Nomor Induk Santri) sudah bisa mengakses informasi tentang putra via internet. Yah, aplikasi ini dibuat sesuai dengan sistem ala Santri PP. Raudlatul Ulum I. Menurut pembuatnya, aplikasi ini bisa digunakan di pesantren lain dan mudah didesain menyesuaikan sistem pondok pesantren terkait. Yah, aplikasi ini lahir dari santri tulen, belum pernah belajar teknologi secara formal di sekolah atau perguruan tinggi, santri nglontok kitab kuning, saat ini menjabat sebagai Kepala PP. Raudlatul Ulum I, beliau Gus Abdurrohim Said.

Untuk lebih jelasnya aplikasi ini bisa dilihat di simatren.com

Senin, 07 Oktober 2019

OPINI-Mengapa Harus Diganggu?

Oleh : A. Imam Fathoni

Musik metal bagi kebanyakan orang adalah musik yang sangat mengganggu. Dengan iringan musik yang berdentang-dentang dan irama yang sangat keras, membuat aliran musik ini kurang diminati. Ditambah lagi dengan sang vokalis yang dengan suara khas metalnya melantunkan sebuah lagu yang entah kita tidak tahu maknanya. Oleh karenanya, band-band yang beraliran selow lebih dikenal daripada band yang beraliran keras.


Jika ada musik religi, akan tetapi diiringi dengan alunan musik rock atau metal, pasti akan tampak saru di telinga orang-orang. Karena musik religi itu lebih cocok diiringi dengan alunan musik yang lembut. Seperti lagu-lagu yang dibawakan oleh Opik, bahkan juga lagu rohani gereja. Pasti tidak akan banyak yang men-download lagu rohani religi dengan iringan musik yang berdentang-dentang. Apalagi ditambah dengan teriakan-teriakan yang tidak bisa dimengerti maksudnya.

Pada umumnya, telinga manusia itu menolak (tidak suka) dengan suara kebisingan, baik berupa volume tinggi maupun irama keras.

Tapi, ada sebuah persembahan berirama dengan suara lantang. Bukan musik keagamaan, akan tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan itu sendiri. Berjenis-jenis seruan untuk beribadat dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap-atap musalla.

Apalagi di malam hari, lepas tengah malam di saat orang-orang tertidur lelap. Dari bacaan Alquran bahkan Tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat salat subuh) diatur dengan volume setinggi mungkin. Mungkin saja agar orang yang tidur itu tidak bisa tidur lagi, karena merasa bising dengan lantunan-lantunan tersebut. Bukankah lebih baik kita berwudu dan langsung ke masjid?

Bacaan Alquran, Tarhim dan berbagai pengumuman, muncul dari keinginan menginsyafkan orang-orang muslim agar berperilaku berkeagamaan yang lebih baik. Bukankah salat Subuh itu wajib? Bukankah kalau dibiarkan tidur lalu orang itu meninggalkan kewajiban? Bukankah meninggalkan kewajiban itu termasuk dosa? Bukankah membiarkan orang melakukan dosa itu termasuk dosa juga? Jika suara-suara yang sedemikian rupa tidak dapat diterima sebagai seruan kebajikan (amar makruf), bukankah minimal ia dapat berfungsi mencegah kesalahan (nahi munkar)?

Nabi Muhammad pernah berkata: “Kewajiban (agama) terhapus dari tiga manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur (hingga bangun).” Maka, jika orang itu masih tidur tidak akan terkenai kewajiban apapun. Mekanisme tidur-bangunnya manusia itu sudah diatur oleh Allah melalui metabolisme manusia itu sendiri.

Pada ilmu Fiqih (ilmu aturan syariat Islam) ada pernyataan yang menyatakan bahwa: jika seseorang tidur sebelum masuk waktu salat dan tidak salat sampai waktu salat habis, maka dia tidak dikenai dosa. Apabila seseorang itu tidur ketika sudah masuk waktu salat dan yakin akan bangun sebelum waktu habis akan tetapi orang itu bangun di luar waktu salat, maka orang itu mendapat satu dosa, yaitu dosa sebab tidur. Dan jika yakin akan bangun di luar waktu salat dan memang seperti itu, maka orang itu mendapat dua dosa, yaitu dosa sebab tidur dan meninggalkan salat.

Jadi, tidak ada alasan bagi seseorang lain untuk membangunkan orang lain untuk salat. Kecuali ada ‘illat (alasan yang diperbolehkan oleh syariat). Seperti kiai yang menggedor setiap pintu kamar santrinya, ‘illat-nya adalah agar santrinya biasa bangun pagi dan berjamaah, selama mereka masih ada dalam tanggung jawabnya. Dan seperti seorang istri yang membangunkan suaminya, ‘illat-nya adalah: bukankah suami adalah kepala keluarga yang harus menjadi teladan bagi anak anaknya?

Akan tetapi ‘illat itu tidak dapat dipukul dengan rata, harus ada penjagaan bagi mereka yang tidak terkena kewajiban, seperti halnya orang yang sudah tua yang butuh tidur pulas dan tidak boleh tersentak. Perempuan haid pun tidak dikenai kewajiban sembahyang. Tapi mengapa mereka harus diganggu? Dan juga bagi anak anak yang belum akil balig (tamyiz, sekitar umur tujuh-delapan tahun bagi mazhab Syafi’i).

Percuma saja memperpanjang ilustrasi seperti di atas. Akal sehat pun sudah cukup untuk meninjau kejadian-kejadian suara lantang di tengah malam, apalagi didahului Tarhim dan bacaan Alquran yang berkepanjangan. Apalagi suara tersebut berasal dari audio rekaman,
sedangkan pengurus masjidnya tidur tentram di rumahnya.

ISLAM NDAK RADIKAL KOK!

Oleh: Muhammad Farhan

Sebagai agama dengan popularitas terbesar di dunia, tak dapat dimungkiri bahwa Islam adalah agama dengan pengaruh yang sangat besar dalam peradabannya. Agama dengan penyebaran yang rahmatan lil ‘alamiin ini sangatlah menentramkan pada hakikatnya. Ajaran-ajarannya sangat luwes dalam kehidupan bermasyarakat. Agama yang fleksibel. Agama yang dinamis. Agama yang harmonis. Agama yang praktis.



Tetapi setelah mengalami perkembangan, Islam yang memerankan sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin ini banyak diasumsikan sebagai agama yang tak mengenal kata toleran dan agama yang tak mengenal kata luwes. Keras dalam penyebarannya. Kaku dalam pengaplikasiannya. Sungguh tak dapat dibenarkan hal yang semacam demikian adanya. Sungguh! Islam adalah agama yang sangat mengenal kata toleran. Tidak seperti apa yang diasumsikan masyarakat luas, masyarakat yang tak berpedoman lurus.

Dalam perkembangannya, Islam tak serta-merta langsung menyerang musuhnya. Dalam banyak kejadian yang terjadi di waktu lampau, Rasulullah tidak serta merta langsung memerangi musuhnya. Tetapi beliau masih mengirimkan surat resmi ajakan masuk Islam yang dilengkapi dengan stempel resmi beliau, Muhammad Rasul Allah. Seperti halnya surat yang dikirimkan kepada Raja Kisra pada zaman terdahulu. Beliau tidak serta merta langsung menyerangnya. Tapi beliau dengan santunnya, mengajak Raja Kisra untuk masuk Islam yang rahamatan lil ‘alamiin. Namun apalah mau dikata ketika manisnya madu dibalas dengan pahitnya empedu, Raja Kisra malah merobeknya. Apalah daya, Rasulullah pun melancarkan serangannya.

Dalam Islam, perang hanyalah konsekwensi dari kelakuan mereka sendiri yang tak mau memeluk Islam dengan cara yang rahmatan lil ‘alamiin ini. Bandel.

Muhammad Al-Fatih—penakluk kota konstantinopel yang sekarang menjadi bagian dari kota Instanbul, Turki—dalam sejarahnya ketika menaklukkan kota besar lagi kuat itu tidak serta merta melakukan ekspansi ke negara yang ditujunya dengan brutal, tak ada aturan. Beliau dengan telaten mengajak para pembesar-pembesar kerajaan yang masih kafir untuk masuk Islam. Namun dari golongan merekalah yang tak mau diberi madu, mereka lebih memilih empedu. Tak mau masuk Islam dengan cara yang rahmatan lil ‘alamiin. Setelah apa yang dilakukan oleh mereka terhadap beliau, si sultan, beliaupun melakukan musyawarah dengan para pembesar kerajaan untuk menyerang kerajaan yang sedang menguasai Konstantinopel.

Para pembesar kerajaan pun menyetujui atas usulan beliau: menyerang kota Konstantinopel. Alhamdulillah, konstantinopel un dapat ditaklukkan. Setelah itu, Islam yang rahmatan lil ‘alamiin pun berperan besar. Al-Fatih dengan santunnya tak serta-merta langsung mengusir penduduknya yang berlainan agama. Al-Fatih malah memberikan kebebasan dalam beragama bagi masyarakatnya. Tak ada paksaan. Tak ada kekerasan. Semua berjalan dengan rahmatanlil ‘alamiin.

Ingat! Perang hanyalah konsekuensi dari mereka yang tidak mau menerima ajarannya.

Dalam epos tanah Jawa, Raden Said—putra sulung dari pada adiphati Tuban,Wilwatikta—tak pernah dengan paksa mengajak masyarakatnya untuk memeluk agama Islam. Agama yang penuh dengan rahmatan lil ‘alamiin. Beliau malah mempunyai trik jitu untuk mengajak masyarakatnya memeluk agama yang rahmatun lil ‘alamiin ini dengan sukarela. Tak ada paksaan. Tak ada kekerasan.

Raden Said dengan sabar, dengan telaten mengajak rakyatnya masuk Islam dengan cara yang begitu menarik. Beliau menyiapkan pertunjukan wayang dengan suguhan cerita-cerita yang diselipi dengan unsur humanisme dan unsur spritual. Masyarakat pun tertarik dengan pagelaran yang disuguhkan oleh Raden Said. Masyarakat dengan antusiasnya menghadiri pagelaran tersebut. Tak ada paksaan. Tak ada kekerasan. Sebagai ganti dari pada asyiknya tuntunan yang dipertontonkan, mereka hanya harus membayar dengan tiket berupa kalimo sodo, kalimat syahadat. Mereka masuk Islam pun dengan suka rela. Tak ada kekerasan di dalamnya.

Banyak contoh-contoh yang dapat kita jadikan pedoman, bahwa Islam memang bukanlah agama yang identik dengan peperangan, kekerasan dan paksaan. Islam adalah agama yang rahmatun lil’alamiin. Agama yang luwes. Agama yang dinamis. Agama yang praktis. Agama yang harmonis.

Islam bukanlah agama yang seperti diasumsikan oleh mereka yang sering mengkafirkan sesama. Islam bukanlah agama yang selalu membombardir sini-sana demi hanya kepentingan sekelompok semata. Islam bukanlah agama yang memberikan rasa was-was, rasa takut dan rasa tak nyaman pada sekitarnya. Islam bukanlah agama otoriter, agama yang sekehendak sendiri untuk melakukan sesuatu yang dimauinya. Islam bukanlah seperti itu semua.

Tapi Islam adalah agama yang memberikan rasa aman bukan hanya kepada umat Islam saja, melainkan kepada seluruh umat manusia. Islam adalah agama yang mementingkan kelompok bersama, tak membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Islam adalah agama yang memberikan rasa percaya diri bagi sekitarnya. Islam adalah agama yang memberikan rasa tenang, rasa tentram, rasa aman, rasa rukun dan rasa yang penuh adem-ayem bagi sekitarnya. Islam adalah agama yang luwes, agama yang dapat sesuai dengan masanya. Islam adalah agama yang fleksibel, agama yang dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Islam adalah agama yang praktis, agama yang tak terbelit-belit dalam ajarannya. Islam adalah agama yang harmonis, agama yang tak pernah mengancam keberadaannya, bahkan agama yang memberikan perlindungan kepada sesama umat manusia.

Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamiin, agama yang dengan sedemikian ajarannya mengajak kita semua untuk saling mengasihi pada sesama. Bukan hanya kepada umat Islam saja tapi kepada sesama manusia, bahkan pada lingkungannya juga. Wallaahu a’lam bis showaab.

OPINI-TAK PEDULI PENTING ISI

Oleh : Andrik

“Buanglah sampah pada tempatnya,” slogan ini pasti tidak asing bagi kawan semua. Peringatan yang ada di tempat strategis guna menanggulangi pembuangan sampah sembarangan.




Memang, ketika membahas sampah tidak ada habisnya. Plastik yang bermanfaat bagi masyarakat ternyata hama yang merusak ekosistem kehidupan. Meskipun masyarakat tahu, seakan-akan hanya angin sore yang sedang berlalu, mereka acuh tak acuh akan hal itu. Begitu besar dampak negatifnya.

Namun kali ini bukan buang sampah secara hakiki, melainkan tersimpan makna majas di dalamnya. Yakni kegiatan masyarakat Indonesia yang enggan meninggalkan konsumsi empat sehat lima sempurna.

Bagaimana tidak? Mayoritas masyarakat Indonesia sering konsumsi jajanan yang sedikit nutrisinya, seperti gorengan, minuman es dan produk instan lainnya. Apalagi lingkungan pondok pesantren, serasa sukar dihindari. Bahkan semua itu jadi makanan favorit. Tanpa disadari banyak negatifnya bagi kesehatan manusia.

Mulai gorengan saja, sudah ditaksir dampak negatifnya. Gorengan itu sering dikonsumsi masyarakat. Siapa yang tak suka gorengan? Saya yakin semua suka.Tapi, kawan, perlu tahu bahwa sangat berbahaya mengosumsi gorengan berlebihan. Apalagi enggak bagi-bagi! Mengapa bahaya? Karena menimbulkan penyakit kronis seperti hipertensi, gangguan pencernaan, sampai kanker.

Gangguan pencernaan, lemak di gorengan menimbulkan gangguan pencernaan, yakni tersingkirnya bakteri Miobia dalam perut. Bakteri ini menjaga perut. Kemampuan imunnya mampu menjaga kekebalan dalam perut. Seringnya konsumsi gorengan dapat merusak kekebalan, sehingga menimbulkan penyakit-penyakit itu.

Lemak jenuh adalah pemeran utama pemicu terjadinya penyakit kronis. Banyak orang tidak tahu bahwa penjual gorengan sering memakai minyak yang tidak higienis. Contoh: minyak berkali-kali dipakai, padahal itu tidak baik. Yang lebih parah minyak digoreng bersama plasiknya.

Pemakian minyak tadi memicu terjadinya penyakit berbahaya. Hipertensi (darah tinggi) berarti tensi darah yang naik. Siapa sangka pemicunya adalah konsumsi gorengan berlebihan. Maka masarakat harus hati-hati jika beli gorengan di sembarang tempat. Jalan yang aman, jauhi makanan itu. Tapi kalau sedang ingin lebih baik buat sendiri. Era ini kan serba canggih, kalau hanya buat gorengan mudah, bisa cari di Google atau share dengan teman.

Sehubungan dengan gorengan, santri juga jadi konsumen terbesar, padahal kalau diteliti, mereka tergolong orang-orang pasif (kurang gerak dan olahraga). Sehingga konsumsi yang kurang higienis makin memperburuk kesehatan mereka.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa makanan mengandung lemak tinggi dan berbahaya sangat disukai masyarakat. Untuk meminimalisirnya, sebaiknya ada anjuran atau program sehat seperti memproduksi Nagasari, Utri dan makanan sehat lain. Intinya terlepas dari lemak.

Atau opsi ke dua tetap jual makanan yang mengandung lemak seperti Alpokat. Karena nyatanya tubuh memang butuh kadar lemak sebagai cadangan makanan. Dengan produksi lebih unik saya yakin akan membawa hasil.

Beralih ke es. Es campur, es krim dan minuman dingin ini sangat populer di masyarakat. Dengan meminumnya dapat menghentikan dahaga. Apalagi di musim kemarau, pasti es jadi menu utama. Tapi perlu tahu juga, es punya unsur negatif. Orang yang sering mengonsumsinya mengalami salah satunya perut buncit, usus buntu, dan lain-lain.

Dingin es dapat membekukan sari-sari makanan dan lemak yang ada di perut, sehingga semuanya tidak diurai. Dampaknya sari-sari itu mengendap dan menyumbat usus, terjadilah usus buntu. Saking bahayanya dokter menyatakan bahwa es lebih bahaya daripada rokok.

Selanjutnya adalah produk instan seperti Sarimie, Indomie, Mie Duo, dan lain-lain. Semua yang disajikan dengan instan jelas mengandung bahan pengawet. Pengawet itu ketika dikonsumsi bisa hancur dalam tiga hari. Untuk Mie Duo ada yang mengatakan sampai tujuh hari karena kandungan lilin yang banyak. Waduh, coba bayangkan! Jika setiap hari makan, berapa banyak racun yang mengendap dalam tubuh. Akhirnya, orang zaman sekarang sering terkena penyakit-penyakit berbahaya. Sampai ada perkataan dalam bahasa jawa, “Lek saiki penyakit aneh-aneh, pancen seng dipangan macem-macem,” yang artinya “Sekarang penyakit aneh-aneh karena yang dimakan macam-macam.”

Tentu pendapat mereka begitu, karena dulu makanannya dominan sayuran dan ikan yang masih segar dan higienis. Itulah tadi permasalahan konsumsi masyarakat Indonesia dan kalangan pesantren. Maka masing-masing individu harus sadar bahwa sehat itu mahal.

Sabtu, 14 September 2019

OPINI-ARIFNYA PITUTUR JAWA

Oleh: MUHAMMAD FARHAN

Tak dapat dimungkiri, pitutur-pitutur masyarakat pribumi pada masa lampau amatlah kental dengan kearifannya. Sedangkan kearifan itu sendiri, yang dalam sebagian literatur dinyatakan dalam kata-kata bijak, adalah salah satu etos yang sangat dianjurkan oleh agama manapun, termasuk agama dengan prosentase terbanyak di dunia, ad-diin al-haq, Islam.



Sebagai masyarakat pribumi dari salah satu suku di Indonesia, Jawa—yang oleh salah satu budayawan kondang Indonesia, M.H. Ainun Najib atau biasa disebut dengan Cak Nun, disebut sebagai masyarakat dengan peradaban tertua yang pernah ada di dunia—pitutur- pituturnya amatlah banyak dengan kearifan-kearifan yang amat mendalam, baik dari segi penalaran atau dari segi sipritual.

Ada Witing Trisno Jalaran Soko Kulino salah satu pitutur yang sangat sering disebutkan oleh para pujangga. Diakui atau tidak, salah satu sebab seseorang dapat merasakan akan adanya getaran hati karena rasa cinta yang membara adalah seringnya bersua. Diakui atau tidak, ketika Anda sering bersua dengan seorang perempuan, maka dalam lubuk hati Anda akan dirasakan getarnya hati yang entah dari mana rasa itu berasal dan tumbuh.

Dalam magnum opusnya, Ihya’ Ulum ad-Din, Al-Ghazali memberikan statemen yang senada dengan statemen di atas. Efek dari cinta adalah selalu menyebutkan nama dari kekasihnya tersebut. Para kiai pun juga menerapkan konsep itu. Pada setiap rampungnya salat, biasanya para kiai membiasakan para santrinya—atau dalam ranah formal disebut siswa/mahasiswa—untuk membaca wirid. Hal ini tak lain dan tak bukan hanyalah trik para kiai untuk membiasakan santrinya terbiasa bersua dengan rabb-nya. Dan dengan seringnya bersua inilah diharapkan bagi para calon cendekiawan muslim untuk dapat menumbuhkan rasa mahabbah mereka kepada rabb-nya, Allah Swt.

Contoh kedua dari pitutur arif Jawa adalah Tepa Selira, kata yang sangat singkat namun teramat padat. Tepa selira adalah ungkapan Jawa kuno yang mengandung makna “ukurlah perbuatan apa saja dengan diri kita.”

Jawa memang pandai dalam hal sindir-menyindir. Tak dapat kita menutup mata bahwa kebanyakan dari kita suka berbuat seenak hati—dalam ranah yang lebih keras menyebutkan semena-mena—namun tak mengukur dengan hati nurani.

Mereka memukul, namun tak mau dipukul. Mereka menginjak, namun tak mau diinjak. Mereka mencaci, namun tak mau di caci. Mereka mengkritik, namun tak mau dikritik. Mereka mencuri, namun tak mau dicuri. Aneh kau kata? Memang aneh dikata. Namun itulah kita. Terima atau tidak.

Pada masa sugeng-nya, yang mulia kanjeng rasul sayyiduna Muhammad saw. telah mewanti-wanti kita agar kita dapat mencintai saudara kita sedalam diri ini mencintai diri sendiri. Sulit kau kata? Memang sulit dikata. Namun semua memang berproses, tak dapat instan. Sabar.

Kita diajarkan dalam banyak kasus yang balasannya harus sepadan dengan perbuatan. Jinayah, misalnya. Ketika kita membunuh satu orang dengan motif terencana, maka balasannya pun tak lain dan tak bukan adalah balasan yang setimpal, mati. Atau ketika kita hanya melukai seseorang saja, maka balasannya pun tak lain dan tak bukan adalah balasan yang setimpal, dilukai dengan taraf yang sama. Harus sepadan, tak boleh ada ketimpangan. Harus sama rasa. Harus tepa selira.

Mbangane mati ngantuk, luwung mati umuk.  Mungkin inilah perwakilan dari pitutur Jawa yang syarat akan makna. Ma’na lughawi—etimologi—dari pitutur itu mungkin akan sangat bertentangan dengan batasan agama. “Dari pada mati hanya karena sebab mengantuk, lebih baik mati karena congkak.”

Allah mengajarkan kepada kita lewat rasul-Nya untuk menjauhi sifat tercela yang berupa sombong. Bukan tanpa sebab, karena memang hanya Si Super Power-lah yang pantas menyandang gelar tersebut, Allah Swt. semata. Banyak dari firman-Nya yang teramat mencela akan sifat ini.

Dalam Riyadh as-Shalihin, beliau yang mulia as-syaikh An-Nawawi menyebutkan beberapa hadis yang menerangkan konsekuensi pada si pelakunya, baik ketika di dunia atau ketika di akhirat nanti. Tak hanya dari si utusan, beliaupun juga menyebutkan kalam-kalam dari Pengutusnya, mulai dari larangan bagi si sombong untuk berjalan di muka buminya Allah hingga kisah tragis dari si sombong Qarun. Namun dalam pitutur itu bukan sombong yang sekadar sombong, melainkan sombong dengan penalaran yang agak jauh.

Sombong adalah suatu hal—atau dapat disebut juga dengan sifat—yang hanya dimiliki oleh orang sombong. Orang yang sombong tentunya mempunyai suatu hal yang patut disombongkan. Suatu hal yang patut disombongkan ini tentunya berada di atas rata-rata yang sudah ada. Suatu hal yang berada di atas rata-rata itu, misalnya, adalah sebuah karya. Sebuah karya tentunya butuh jerih payah yang luar biasa, yang dihasilkan dari etos kerja. Panjang? Memang agak panjang. Sederhana? Setidaknya agak saja.

Adapun pekerjaan mengantuk adalah suatu hal yang tak menghasilkan apa-apa. Tak ada jerih payah. Tak ada suatu hal yang luar biasa.  Tak ada yang istimewa. Tak ada etos kerja. Semua berjalan ala kadarnya. Biasa biasa saja.

Maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pitutur tadi mengajak kita untuk membuat suatu karya istimewa yang dapat dikenang oleh masa, bukan hanya sombong semata. Maka terjemah pas dari racikan bahan yang ditelaah adalah: “lebih baik mati dalam keadaan berkarya, daripada harus mati konyol belaka.”

Pitutur yang selanjutnya adalah aja cedhak kebo ghupak. Penalarannya cukup sederhana.  Ketika kita ingin bersihnya badan, maka jangan sekali-kali mendekat terhadap kerbau yang sedang berendam di kolam lumpur. Jika Anda ingin tetap bersih, maka jangan dekati mereka yang kotor. baik dari segi rohani ataupun perilaku jasmani. Namun sebaliknya, bila Anda kotor maka dekatilah mereka yang bersih. Hal ini sudah lumrah berlaku di masyarakat awam.

Syaikhuna Az-Zarnuji Al-Alim Al-Allamah dalam kitab karangannya, Ta’lim al-Muta’allim, menyebutkan bahwa jika diri Anda ingin tahu tentang seseorang, maka cukup bagi Anda untuk mengetahui siapa karibnya. Karib baik, baik pula ia. Karib buruk, buruk pula ia.

Lalu bagaimana dengan para preman? Apakah kita tak ada kewajiban untuk menjangkaunya dalam rangka dakwah? Apakah kita hanya ada kewajiban inkar bil qalbi saja? Ataukah kita tetap wajib ingkar bil yad dengan risiko kita akan tertular getah buruknya?

Tentu semua itu ada pertimbangannya. Tak dapat diputuskan tanpa adanya tafshil. Ketika ingin tetap bersih walau dalam keadaan dekat—atau bersentuhan langsung—dengan kerbau yang berendam di kolam lumpur, maka alternatf terampuh adalah melindungi diri kita yang bersih dengan mantel--atau  bisa disebut dengan pelindung tubuh—yang baik dan layak pakai. Masalahpun terselesaikan. Analogi yang sederhana.

Ketika kita ingin mengajak mereka, para preman jalan itu, untuk mengikuti jejak dari penjelajah spritual, maka tak lain dan tak bukan kita harus menyiapkan mantel iman dan mantel mental. Namun apalah daya ketika kita tak punya mantel keduanya, maka sebatas ingkar bil qalbi-lah kewajiban kita. Tak lebih dan tak kurang.

Kearifan kelima tentang pitutur Jawa terletak pada kata ngono yo ngono, ning ojo ngono. Kaidah inilah yang mungkin diaplikasikan oleh para Wali Songo. Beliau-beliau memang ahli dalam strategi. Beliau-beliau menerapkan konsep ini dalam strategi dakwah beliau di tanah Jawa.

Dalam banyak literatur, banyak disebutkan bahwa beliau-beliau tak pernah dengan keras menyatakan bahwa ini haram, ini bid’ah, ini dosa, dan lain sebagainya. Namun bukan lantas beliau-beliau mendiamkan suatu perkara yang mungkar tersebut, tetapi belau-beliau lebih memilih dengan menerapkan strategi dakwah yang halus.

Beliau-beliau mengambil cara terbaik. Mengambil poros tengah. Beliau-beliau mengambil jalan yang sekiranya tak akan berbenturan antara agama dengan adat masyarakat pribumi pada umumnya.

Banyak sampel yang dapat diambil sebagai contoh. Misal, ketika dulu masyarakat pribumi menaruh sepiring—atau dalam jumlah yang lebih besar disebut dengan talam—sesajen di pojok rumah atau di bawah kayu yang dianggap keramat, maka para Wali Songo tak lantas mengharamkan, melainkan dengan cara mengubahnya menjadi ajang shilaturrahmi yang dilengkapi dengan amal baik yang berupa sedekah.

Atau ketika para wali berdakwah menggunakan seni rupa yang berupa musik. Mulai dari yang bernama Bonang hingga yang bernama lain. Mereka malah membuka pertunjukan mereka kepada semua kalangan—tak memandang agama—untuk mengikuti acara seni tersebut dengan hanya membayar tiket berupa dua kalimat syahadat. Assyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadarrsuulullah.

Bijak sekali. Sungguh arif bahasamu, suku Jawaku.