Senin, 01 Februari 2021

Metafisika Khas Pesantren (opini)

 



Metafisika Khas Pesantren

Oleh: Gus Shofi Mustajibullah

 

Apa itu metafisika? Ringannya, hal-hal yang tidak dapat dijangkau secara logis maupun empiris oleh manusia. Metafisika merupakan cabang dari filsafat yang sudah di rancang sedemikian rupa oleh para filsuf beratus-ratus tahun lamanya.

Pesantren memiliki metafisika yang khas, apakah itu? Tidak lain adalah Barokah. Sesuatu yang tidak pernah bisa dilihat namun bisa di rasakan. Mundake kebegusan. Semakin bagus keseharian seseorang, maka ia dikatakan mendapatkan barokah.

Lalu, apa tujuan barokah? Menurut KH. Isroqunnajah barokah bertujuan untuk mewarisi tradisi para ulama’ terdahulu dengan harapan bisa meniru mereka (Tabaruk). Banyak sekali contohnya, salah satunya meminum sisa minumannya soerang kyai. Kanjeng nabi sendiri sudah menerapakan sistematika tabaruk yang di sebut Tahnik.

Di satu sisi, tabaruk dapat memperkuat tali rantai keilmuan. Ahalussunah wal Jama’ah memiliki pendirian dalam beragama, bahwasannya semua orang perlu berkonsultasi dengan kitab-kitab yang dianggap otoratif, yang di tulis oleh para ulama’ empat madzhab supaya rantai transmisi pengetahuan Agama Islam tidak terputus.

Toh, ujung dari Tabaruk adalah Kanjeng Nabi Muhammad S.A.W.

Dunia ini tampak seperti rahim. Itulah alasannya kau di beri makan darah, kembali ke sel bawah tanah rahin ini sampai penciptaanmu jangkap.

(Maulana Jalaluddin Ar-Rumi)

 

Refrensi:

Fathul Wahab.

Tradisi Pesantran, Zamakhsyari Dhofier.

Wallahu a’alamu bisshoab

A Nga Nga (sosok)

 



A Nga Nga

Oleh: Abilu Royhan

Siapa yang tidak tahu kitab yang membeberkan tentang etika belajar. Yang sangat masyhur di kalangan pondok pesantren. Yakni kitab ta’limul muta’allim atau yang akrab dengan sebutan kitab taklim mutaklim (lidah jowo dan medureh). Kitab yang dikarang oleh syekh Azzarnuji karena beliau melihat banyak dari pencari ilmu yang tidak dapat meraih ilmu yang dia cita-citakan. Atau dia telah meraih ilmu itu, tapi ilmu itu tidak bermanfaat baginya kecuali hanya sedikit. Itu karena mereka salah atau bahkan tidak tahu tentang etika mencari ilmu. Dalam kitab ini ada sebuah keterangan tentang etika berguru atau mencari guru. Disitu diterangkan bahwa sebaiknya murid itu mencari guru yang lebih alim, lebih wira’i, lebih tua darinya dan lain sebagainya.

Siapa yang tidak tahu kitab yang menerangkan tentang tasawuf. Kitab yang sering dikaji dimana-mana. Yakni kitab bidayatul hidayah karangan Imam Abu Hamid Al-Ghazali atau yang masyhur dengan nama Imam Al-Ghazali. Kitab yang banyak menerangkan tentang ilmu tata krama dan juga anjuran untuk meninggalkan maksiat-maksiat yang dilakukan oleh seluruh anggota tubuh, baik dhohir atau batin. Di sana teman akan menemukan keterangan tentang macam-macam maksiat yang dilakukan oleh anggota tubuh seperti mata, mulut, telinga, dan yang lainnya termasuk hati. Termasuk maksiat hatiadalah al-kibr yakni merasa lebih baik dari orang lain dan menganggap yang lain itu lebih buruk darinya.

Dan satu lagi, siapa yang tidak tahu orang yang satu ini. Kelahiran Malang 7 oktober tahun 1994, yakni Ustadz Rif”an Fathoni. Salah satu asatidz Pondok Pesantren Raudlatul Ulum satu (PPRU 1) putra. Beliau mulai menimba ilmu di PPRU 1 ini pada tahun 2013, setelah beliau menimba ilmu di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin di Ampel Gading sana, dekat dengan rumah beliau. Beliau mulai nyantri di Pondok Pesantren Raudlatut thalibin sejak kelas 3 MI, tepatnya tahun 2003 sampai 2013, yang seterusnya beliau melanjutkan rihlahnya mondok di PPRU 1 ini. Maka jika dihitung-hitung sampai saat ini (2021), beliau kira-kira telah mondok 18 tahun. Hebat bukan?Beliau adalah guru dari sang penulis sendiri. Tepatnya guru ketika penulis duduk di karpet Isadarma (bukan ‘bangku Isadarma’, karena sistem pondokan, selain itu Isadarma tidak punya bangku) kelas dua dan tiga. Ketika itu yang diajarkan oleh beliau adalah dua kitab yang telah disebutkan di atas. Kitab yang banyak memaparkan keterangan tingkah laku  dalam mencari ilmu dan tingkah laku sehari-hari.

Salah satu keterangan yang telah tertulis dalam paragraf kedua diatas, yakni “termasuk maksiat hati adalah al-kibr yakni merasa lebih baik dari orang lain dan menganggap yang lain itu lebih buruk darinya”. Sebagian senior di pondok pesantren itu tidak mudah akrab dengan santri yang junior. Itu mungkin di dalam hati mereka terdapat rasa al-kibr. Sehingga mereka merasa tidak level berteman dengan santri junior. Atau mereka takut kehilangan harga dirinya, karena berkumpul dengan santri yang lebih junior. Tapi beliau tidak seperti mereka. Beliau bahkan hampir akrab dengan seluruh santri. Beliau tidak takut diremehkan oleh santri yang lebih junior. “Kita harus bisa mengambil hati mereka dulu, baru kita dapat mengatur mereka” karena itu prinsip dari pengurus ketua bidang taklimiyah yang satu ini.

Adapun paragraf sebelumnya ada sebuah keterangan, yakni “etika berguru atau mencari guru”. Penulis merasa tidak salah dalam memilih guru. Karena disamping beliau mengajarkan ilmu secara lahiriyah, yakni dengan memberi kajian dua kitab di atas kepada muridnya. Beliau juga mengajarkan muridnya melalui perilaku beliau setiap harinya. Artinya beliau juga memberi nasehat sikap, bukan hanya nasehat ucapan belaka. Itu dapat dilihat dari kebiasaannya sehari-hari. Mulai dari pakaian yang tidak terlalu mewah. Seperti yang dikatakan dalam kitab ta,lim muta’allim bahwa “pencari ilmu sebaiknya tidak terlalu menyibukkan dirinya dengan urusan dunia”. Atau perilaku beliau yang lain. Contoh, beliau mempunyai sifat tawakal yang bisa dikatakan cukup tinggi. Itu bisa diketahui dalam keseharian penulis ketika bersama beliau. Penulis pernah bertanya tentang seragam Isadarma yang belum dibayar. Beliau hanya menjawab “tenang ae, iku opo jare emben-emben”. Setiap penulis menanyakan suatu hal yang butuh sesuatu, sering beliau menjawab seperti itu. Tapi disamping itu beliau bukan berarti hanya diam saja. Nggak. Beliau tetap berusaha mencarikan jalan terbaik dalam setiap masalah yang dibincangkan dengan penulis.

Termasuk etika dalam belajar adalah pencari ilmu sangat dianjurkan untuk berkhidmah kepada guru atau yang biasanya disebut dengan ‘mengabdi’, bukan hanya mengaji saja. Karena dengan mengabdi kepada guru merupakan jalan untuk mendapat barokah guru. Dan itu telah banyak dilakukan oleh para Kyai dan Ulama terdahulu, termasuk para Kyai dan Ulama Indonesia. Beliau pernah bercerita kepada penulis, bahwasanya ayah beliau pernah memberi pesan kepada beliau sebelum beliau berangkat mondok. Ayah beliau memberi pesan yang cukup sederhana tapi penuh makna “leee... kamu tidak boleh boyong, sebelum kamu bisa menuangkan air kedalam gelas”. Pesan ayahanda itu tidak di mengerti oleh beliau ketika ayahnya berpesan saat itu. Tapi lambat laun, setelah beliau banyak menimba ilmu di pondok pesantren yang pernah beliau singgahi. Akhirnya beliau mengerti pesan dari sang ayah itu “jangan boyong, sebelum kamu mendapat barokah dari gurumu” kata beliau. Beliau mengibaratkan ilmu itu sebagai air, adapun gelas itu adalah barokahnya. “jadi... ketika seseorang telah mendapatkan ilmu tapi dia tidak mempunyai barokah dari gurunya, maka ya... akan tumpah” begitulah lanjut ucapan beliau. Sehingga beliau mempunyai sebuah kata mutiara‘A Nga Nga’  singkatan dari ‘ayo ngaji ayo ngabdi’. Mungkin itu terinspirasi dari kata ayahanda beliau. Semoga kita dapat meneladani cerita beliau diatas, sehingga kita dapat menerapkan kata  mutiara beliau ‘A Nga Nga’. Kata itu menganjurkan para pencari ilmu untuk tidak hanya mengaji saja tapi juga mengabdi.

Solidaritas ala Pesantren (opini)



Solidaritas ala Pesantren

Oleh: Gus Shofi Mustajibulloh

 

Membangun kepercayaan antara satu pihak dengan pihak lainnya merupakan keniscayaan yang harus di terapkan. Sebab manusia memang di titahkan sebagai makhluk sosial, bukan individual. Apalagi seseorang yang tergabung dalam organisasi tertentu benar-benar harus memiliki rasa saling mempercayai. Itulah yang di namakan ‘Solidaritas’.

Di pesantren sendiri, solidaritas merupakan kurikulum tak tertulis. Mustahil setiap santri ketika menjalani kegiatan sehari-harinya tidak tumbuh rasa solidaritas. Ada santri yang satu lemari dengan temannya, ada santri yang satu rak kitab dengan temannya, bahkan ada juga santri yang bergantian dalam memakai sepasang sandal. Dengan semua itu, rasa persaudaraan sesama santri menjadi semakin erat hingga mereka keluar dari pesantren.

Pentingkah solidaritas? Justru dengan seseorang memiliki jiwa solidaritas, ia akan menguatkan komunitasnya, organisasinya, hingga bangsanya. Dalam dirinya akan tumbuh rasa kepercayaan antar sesama. Bukanlah keraguan, sebab manusia adalah satu kesatuan organisme yang saling membutuhkan. Di sisi lain, solidaritas menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan yang kuat dan kokoh. Menjauh dari perpecahan yang menyebabkan musibah. Perpecahan adalah dusta, perpecahan adalah malapetaka.

Rasulullah sendiri mengajarkan pada para sahabat agar tidak terpisah (tidak bersatu) sekalipun itu hanya fisik. Dari Abi Tsa’laba RA. beliau berkata:

                                                             

كان الناس إذا نزلوا منزلا تفرقوا في الشعاب والاودية. فقال رسول الله صلى

الله عليه وسلم: ان تفرقكم في هذه الشهاب والاودية انما ذلكم من الشيطان، فلم ينزلو بعد ذلك منزلا الا انضم بعضهم الي بعض

 

“Suatu ketika para sahabat berpencar saat beristirahat di lereng pegunungan dan juga jurang. Kemudian Rasulullah bersabda: sesungguhnya berpencarnya kalian di tempat ini adalah perbuatan syaitan. Maka untuk kedepannya, kalian harus menyatu antara satu dengan lainnya.” (HR. Imam Abu Dawud, Riyadhus Sholihin).

Tak heran jika semua generasi santri terhubung dalam ikatan fisik maupun batin yang sangat erat. Karena sedari dulu saat di pesantren mereka sudah terbiasa saling membangun kepercayaan.

Ketika dua orang berhubungan satu sama lain, tanpa diragukan lagi ada kesamaan di antara mereka. Bagaimana bisa seekor burung terbang kecuali dengan jenisnya sendiri? Masyarakat yang tidak bersahabat adalah kuburan dan makam.

(Maulana Jalaluddin Ar-Rumi) Wallahu a’alamu bisshoab

 

Refrensi:

Riyadhus Sholihin

Semesta Matsnawi

Brainly

Kamis, 31 Desember 2020

LOMBA DAN DOMBA SAMA-SAMA BERBAHAYA

 

Ilustrasi dibuat oleh Mukhlis akmal hanafi

LOMBA DAN DOMBA SAMA-SAMA BERBAHAYA

Oleh: Mukhlis Akmal Hanafi


Jika didalam buku Animal farm karya George orwel menyajikan si babi tua bijaksana yang mampu menggulingkan kekuasaan manusia dari tahtanya. Aku juga punya cerita perihal domba yang sering digunakan sebagai istilah di edisi yang berbeda-beda. Tentunya istilah ini akan dipakai sesuai kondisi yang beda juga.

Domba? Ada apa dengannya? 

Beberapa tahun yang lalu saya begitu cinta dan begitu bangga pemotongan domba ada dimana-mana. Ia begitu rela diambil dagingnya, dipotong kakinya, sampai ada juga yang dipenggal kepalanya. Sekedar dijadikan soto kambing yang kemudian akan mengisi isi perut keluarga. Ada juga yang diiris bagian daging yang masih tersisa, biasanya santapan itu dijadikan sate sebagai santapan pembuka. Pemotongan itu berlangsung sangat istimewa. Selain perayaan Idul Adha tiba. Ada juga kisah yang menarik bagi para pembaca.

Sejak saat itu saya sengaja menjadi pengamat domba amatiran. Karena berbagai macam kejadian saya mendadak mencari beberapa hal yang mungkin akan jadi hiburan. Sekedar menghilangkan dahaga yang masih membekas di kepala. Ya, meski domba juga sama sama menjengkelkan sebagaimana hewan yang lain pada umumnya. Seperti membuang kotoran sembarangan dijalan, memakan tanpa aturan, sampai meninggalkan beberapa potongan kecil di kandang. Tapi tetap saja saya begitu bangga dengannya. Sebab saya sendiri masih diberikan kemampuan menikmati bagian daging darinya. 

Tapi ada juga masa-masa domba itu begitu menakutkan. Mereka tanpa khawatir panjang melakukan perkelahian dengan teman domba yang lainnya. Mengasah ujung tombaknya, mengadu kepala, sampai ada juga yang rela menemani malam kita dengan penuh petayaan besar. Mengapa meraka para domba saling mengadu kepala? Apakah memang mereka punya dendam yang perlu diselesaikan bersama.  

Menarik kesimpulan dengan dua kata Lomba dan domba. Meski memiliki makna yang berbeda. Tapi entah kenapa mata batinku sungguh sangat suka dengan tulisannya. Selain hampir sama dalam bentuk artikulasi penulisan. Keduanya juga sama-sama memiliki makna yang terkesan. Bahkan para pembaca juga tidak akan menduga dengan lomba dan domba. Hingga sebegitukah istemewanya bagi saya. 

Berangkat dari kata lomba? 

Bagaimana saya suka dengannya? Apakah memang dia pernah bersetubuh dengan saya. Tentunya itu bukan jawaban yang pas. Lomba; merupakan sebuah ajang atau kompetisi yang biasanya kata juara jadi incaran bagi mereka. Tak sedikit bagi mereka yang ikut dalam kompetisi apapun bentuknya menjadikan juara pertama kedua sampai ketiga sebagai motivasi akhir bagi mereka. Bahkan ada juga yang menghalalkan segala cara demi kemengan ada dipihak mereka.

Siapa sih yang tidak ingin juara? 

Siapapun orangnya, sebodoh apapun dia. Kata juara adalah incaran bagi manusia normal pada umumnya, bahkan serendah apapun kelas juaranya. Mustahil rasanya bagi orang yang mengikuti kompetisi kejuaraan justru mengharapkan kekalahan yang mutlak dari musuhnya. Misalnya “Memusnahkan musuh pertama serta mengistemewakan musuh yang kedua.” Mungkin istilah ini sering terdengar. Dan bukan hal yang wajar jika dalam satu kesempatan kita akan kaget dengan kejuatan yang mereka berikan. 

Seberapa sering kita mendengarkan kata domba di telinga? begitu banyak kisah yang harusnya diangkat dari kata domba. Bahkan bukan hanya disebut diserial satu tahun sekali saat pemotongannya Idul Adha. Ada begitu banyak yang harusnya diyakini sebagai anugrah bagi manusia. 

Kalau dipikir pikir, ada banyak orang dengan kualitas dan tipikal yang sama macam domba atau kambing. Saya yakin ada beberapa orang justru berteman dengan salah satunya, atau setidaknya ada juga yang pernah mengenal sejenak saja. 

Ya, ada saja jenis-jenis manusia yang pada dasarnya menjengkelkan. Misalnya saja meminjam buku tidak dikembaikan, menjatuhkan martabat kemanusian seolah dia adalah makhluk yang paling benar, hingga memaki demi sebuah guyonan, Bukankah itu suatu yang menjengkelkan. tapi entah kenapa kita selalu jatuh dalam tipu daya oleh nasihat yang ia berikan.

Uniknya lagi. Begitu banyak politikus yang memakai filosofi lomba dan domba. Merasa dirinya lebih berwarna dan disayang oleh masyrakatnya, memberikan kualitas keilmuan yang terbaik namun sayang itu hanya bagian dari stateginya, bahkan ada juga yang meninggalkan beberapa potongan kecil di telinga sebagai janji saja. 

Kita juga sering mendengarkan beberapa gosip dan berita di sosial media, yang sontak menjadi viral dan membuat geram masyarakat yang sudah percaya kepada salah satu paslon dari mereka. Beberapa diantaranya, saling mengsasah adu tangkap dan berselisih dengan musuhnya, saling menjatuhkan martabat dengan dalih ia juga pernah bersetubuh dengan siapa, dan tentunya ada juga yang menafikan sifat kemanusiaan dengan menyebut jejak digitalnya. 

Tentunya ini adalah pertanyaan besar. Mengapa mereka saling menjatuhkan. Siapakah sebenarnya mereka? Akankah ada jenis domba dalam dirinya, kita juga tidak bisa ambil keputusan, sebab kita betul-betul tidak kenal. 

Tapi saya rasa, saya juga sering berpikir, bahwa alangkah bahayanya jika kedua kata ini “lomba dan domba” digabungkan menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Sebagai domba kerjanya hanya bisa mengadu kepala tanpa bisa terbayang sedikit pun rasa sakit dan malapetaka yang akan terjadi sesudahnya. Begitu juga politikus, ia akan ikut menghibur masyrakat dengan mengadu isi kepalanya tanpa ada pikir panjang apa yang harus mereka lakukan lima tahun kedepan. Lafad ini akan menjadi pragraf penting yang justru memotifasi kata merendahkan. 

Meskipun begitu tidak semua orang suka domba atau kambing. Bukan hanya sebagai orang yang sok filosofi. Teman saya sampai sekarang takut sama domba dan kambing. Ia akan menghindar satu langkah kedepan dan berusaha untuk tidak ikut dalam sesi makan-makan. Lagi pula alangkah membosankan jika dunia hanya dihadiri oleh domba dan kambing. Bahkan manusia juga ikut sadar jenis-jenis hewan lain dengan filosofi masing-masing tetap dibutuhkan. 

Saya juga tidak begitu peduli sama politikus yang mengandalkan politik adu domba yang siap mengancurkan semua kerukunan yang ada. Saya lebih sering melamun oleh suatu perkara yang harusnya tidak perlu dipikirkan. 

Jika dalam satu kesemptatan kalian sadar akan kemampuan kalian, bisa dipertimbangkan masuk pergaulan politik sebagai domba atau kambing, dan saya rasa ada begitu banyak yang berbakat menjadi keduanya, dengan segala filosofi yang ada, mampu membaca gerak gerik lawannya, serta dapat menaku-nakuti musuhnya. Itu sebabnya ada begitu banyak lowongan kerja disana. Tugasmu cukup sebagai domba yang selalu mengadu kepala, dan resiko terbesarnya harus rela dipenggal kepalanya. []

Seklumit Tentang Syariat

 Seklumit Tentang Syariat

Oleh: Abilu royhan

Banyak dari orang beragama yang tidak mengetahui bahwa semua aturan yang mereka lakukan itu banyak dampak dan cerita yang tidak diketahui. Mereka tidak tahu dengan beberapa kemungkinan. Pertama memang dia tidak belajar dan mencari alasannya. dia merasa puas hanya menjadi abid saja dan tidak begitu ingin menjadi abid yang alim. Kedua memang mungkin dia tidak ingin mencari alasan dengan dalil “semua aturan-aturan dalam agama itu sudah di tentukan oleh Allah SWT dalam alquran dan dijelaskan oleh Rosulullah SAW dalam hadits. Kita cukup taat melakukan perintah itu dan menjauhi apa yang dilarang. Maka kita tidak usah mencari alasan-alasannya. Karena kalau kita masih mencari alasan-alasan dari perintah-perintah tersebut, maka iman kita masih belum sempurna karena kita tidak sepenuhnya menjalankan aturan-aturan tersebut dengan ikhlas” ya.. memang seperti itu.

      Tapi sebagai manusia yang beragama dan masih bisa dikatakan ‘imannya masih tipis’. Maka tidak ada salahnya jika kita mencari alasan-alasan, cerita ataupun hikmah atas perintah agama. Dengan demikian, kemungkinan besar kita lebih bersemangat dalam menjalankan perintah-perintah-Nya. Bukan tidak ikhlas. Bukankah tingkatan ikhlas itu ada tiga. Yang pertama melakukan sesuatu murni karena mencari ridho Allah, tidak mengharapkan pahala dan bukan karena takut akan siksa. Yang kedua melakukan sesuatu karena mencari pahala dan takut kepada Allah. Termasuk juga mencari-cari alasan atau hikmah supaya lebih semangat dalam beribadah kepadanya. Dan yang ketiga melakukan sesuatu karena untuk mendapatkan materi dunia seperti membaca surah Al-waqi’ah  agar rizkinya lancar, dan yang terakhir ini dia tidak mendapat pahala dari apa yang dia lakukan kecuali dunia saja.

Dengan demikian tidaklah masalah jika kita mencari alasan, cerita ataupun hikmah. Baik dalam bidang fiqh, diantaranya dalam pembahasan najis. Yakni dalam masalah najis, bahwa najis itu ada tiga tingkatan yaitu mukhoffafah, mutawassithoh dan mugholladhoh. dan dalam najis mukhoffafah ini adalah air kencingnya anak laki-laki yang belum genap berumur dua tahun dan masih belum makan atau minum sesuatu kecuali air susu ibu (ASI). Sedangkan air kencingnya anak perempuan itu masuk najis mutawassithoh, meskipun belum makan sesuatu apapun. Mengapa? Sebagian ulama memberi alasan bahwa air kencingnya anak laki-laki itu lebih encer daripada anak perempuan, maksudnya lebih kental atau lebih pesing air kencing anak perempuan daripada anak laki-laki, dan itu terbukti oleh sebagian pengurus senior putra bidang perairan ketika memperbaiki saluran air yang mati di kamar mandi putri “baunya beda, lebih menyengat disana” begitulah kira-kira kata beliau. Dan alasan yang lain yakni kecenderungan seseorang itu lebih senang menggendong anak laki-laki daripada menggendong anak perempuan. Dan masih banyak lagi alasan tentang hal ini.

       Contoh yang lain dalam bidang ilmu fiqh ketika seusai melakukan sholat subhuh di makruhkan untuk melakukan sholat, begitu juga seusai sholat ashar. Alasannya karena pada saat terbit dan tenggelamnya matahari, matahari itu berada di atas tanduk setan dan pada saat itu juga orang-ornag kafir menyembah matahari. Supaya tidak sama dengan orang kafir dalam waktu penyembahan pada Tuhan. Dan juga makruh melakukan sholat pada waktu istiwa. Alasannya karena  pada saat itu neraka jahannam sedang dibakar. Sehingga pada saat itu hawanya sangat panas. Dan jika sholat pada saat itu akan menganggu konsentrasi dan kekhusyukkan sholat.

       Adapun dalam bidang doa-doa yang di ajarkan, itu juga ada alasan dan hikmahnya. Seperti ketika seseorang hendak tidur dianjurkan membaca basmalah duapuluh satu kali. Tujuan atau faidahnya yaitu karena orang yang membaca basmalah duapuluh satu kali ketika hendak tidur maka pada waktu itu dia akan di jaga oleh Allah dari godaan setan, rumahnya dijaga dari kejahatan pencuri, di selamatkan darimati mendadak dan bahaya-bahaya yang lain. Contoh lain yakni ketika menjelang sore dianjurkan membaca empat surah. Pertama surah assyams, karena orang yang membaca surah tersebut ketika menjelang sore maka dia akan diberi pemahaman dan kecerdasan yang kuat dalam menyelesaikansegala hal. Kedua surah allail, karena orang yang membaca surah tersebutketika menjelang sore maka dia akan dijaga aibnya, sehingga tidak di ketahui orang lain. Ketiga surah alfalaq, karena orang yang membaca surah tersebut ketika menjelang sore maka dia akan dijaga dari keburukan. Keempat surah annas, karena orang yang membaca surah tersebut ketika menjelang sore maka dia akan dijaga dari bahaya dan di jauhkan dari godaan setan. Dan barang siapa melanggengkan empat bacaan di atas maka dia akan di lancarkan rizkinya bagai hujan. Dan tentunya itu semua atas izin Allah SWT.

Sedangkan dalam bidang ilmu nahwu, ada cerita bahwa salah satu ulama nahwu yang masyhur dan pendapatnya telah diikuti banyak ulama ilmu nahwu yang lain yaitu Imam Sibawaih. Beliau bermimpi, dalam mimpinya beliau diberi kemuliaan yang agung oleh Allah SWT. Disebabkan Imam Sibawaih telah memberi komentar bahwa lafadz Allah (lafdzul jalalah) itu a’roful ma’arifyakni paling makrifat di atas isim makrifat yang lain, yakni isim dlomir dan yang lainnya.

       Dan masih banyak lagi alasan, cerita ataupun hikmah dalam bidang ilmu yang lainnya. Dengan semua itu diharapkan kita semakin semangat dalam belajar dan beribadah kepada Allah SWT. Dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

TEKADKU (puisi)

 



TEKADKU

Oleh: Misbahus soleh

 

Ku berdiri sendiri

Dengan seribu cahaya

Berharap akan terbang

Mengintari dunia

Waktu melangkah

Seiring tetesan nafas

Kan tetap  ada

Tak patah hati

Walau berat perih

Jalan ini

Dengan senyum mengembang

Ini waktu

Ganas mengigit

Tiap langkah

Penuh arti

Salahkan bila

Nyanyian menjadi bisu?

Hampa terasa

Tak ada yang tau

Hanya tirai tirai nafas

Yang selalu menemani

Langkah demi langkah

Di penghujung waktu (puisi)

 



Di penghujung waktu

Oleh: Abdul Mannan

 

2020

Berbagai bulan dua ribuh dua puluh

Desember telah melepuh

Beragam Porak poranda berlabu

Covid begitu betah bersarang ditubuh

Hampir genap setiap bulan mandiri berteduh

Tetap saja kerumunan manusia menyemut paluh

Di ombang ambing kebutuhan keluarga dirumah kumuh

Kami semua berdo'a cepatlah sembuh

 

2021

Rongewu rongpolo siji

Januari mulai berkomedi

Kesehatan, jadilah kau abadi

Covid, meninggalah, kami merido'i

Masker, izinkan kami menjadikanmu alat cuci piring didapur bersih

Darah darah,  janganlah kau menjadi saksi lagi

Flu batuk dan demam,  sudahlah kau menjadi PKI bagi kami

NAMANYA FAHAM (sosok)


    

  NAMANYA FAHAM

Oleh: Muhammad farhan

Namanya faham, Mungkin, itulah makna yang digantungkan di lauhul Mahfudz sana oleh kedua orang tuanya.

Sosok yang baru mondok beberapa hari ini, sebetulnya sosok yang sudah tinggal lama di bawah birunya langit desa santri. Walaupun masih berada dikelas tiga III MI (madrasah ibtidaiah) tapi lihatlah! Niatnya untuk mondok tak dapat ditumbangkan oleh angin yang menerjang. Bahkan bujukan orang tuanyapun untuk mondok ketika hendak kelas enam (VI MI) tak dapat mempengaruhi niatnya yang tertancap mantap dalam hati.

Namanya Fahmi. Untuk maknanya? Untuk sementara ini, anggap saja, makna dari nama yang disematkan oleh kedua orang tuanya adalah faham.

Setidaknya, harapan itulah yang oleh kedua orang tuanya terus ditumpuk dalam lubuk. Bukan hanya sebatas memahami suatu kata demi kata dalam buku bacaan, tapi tentu lebih dari itu. Dapat juga memahami gores demi gores yang dicipta oleh si-esa. Dengan harapan itulah, kedua orang tua nya menamainya dengan fahmi.

Bukankah memang sangat penting hukumnya bila kita harus bisa memahami suatu perkara? Bukankah apa yang ada di dunia sebetulnya hanya berdasarkan pada pemahaman belaka? Tidak dengan lainnya. Bukankah memang seperti itu adanya.

Tapi jangan sampai dilupa bahwa untuk memahami suatu hal yang dianggap penting, akan dihadapkan dengan kondisi yang genting. Bukankah suatu hal yang mewah harus juga dihadapi dengan susah payah?

Berlian misalnya. Berlian yang berada di dasar samudra atau yang sudah ada di muka dunia, esensinya sama, susah untuk mendapatkannya. Untuk dapat memiliki berlian yang masih berada dasar samudra, tentu dibutuhkan keberanian. Untuk berlian yang ada di muka dunia, tentu dibutuhkan banyak pengeluaran.

Sudah jelas bukan bahwa esensi dari padanya sama, walau di dua tempat yang berbeda. Bila berlian itu masih berada di dasar samudra, maka tentu harus berani untuk berhadapan dengan ikan buntal yang ganas, ikan pari yang menyengat,bahkan ikan hiu yang mematikan. Bukan hanya keberanian, harga dari nyawa yang konon tak terhingga, kini juga harus dipertaruhkan, bila kegiatan menyelam sudah dilakukan.

Bila berlian itu sudah berada di muka, bila anda ingin memilikinya, kumpulan koin yang berasal dari tetesan keringat yang terkumpul bertahun-tahun lamanya, akan hilang dalam sekejap mata. Bayangkan saja, untuk Anda yang ingin memiliki 1 karat berlian dengan kualitas yang buruk, uang yang harus anda keluarkan minimal dikisaran harga 7.500.000. Namun bila yang ingin anda miliki adalah 1 karat berlian dengan kualitas terbaik, maka uang yang harus anda keluarkan minimal dikisaran harga 438.656.000. fantastis bukan? Itu artinya, bila anda ingin mempunyai berat minimum dari sebuah berlian, Anda setidaknya terhadap uang 7.500.000 harus mengeluarkan.

Pemahaman juga demikian. Baik yang masih berada di dasar samudra atau yang sudah berada di muka, harga dari kata paham, hingga kini, untuk dimiliki, masih terlampau tinggi.

Layaknya berlian yang harganya tak dapat dijual di toko-toko pinggir jalan, kata pemahaman pun juga demikian. Untuk dapat memiliki kata paham dengan kualitas yang buruk saja, sekaligus kuantitas yang minimum, anda harus merogoh lebih dalam kerja keras yang ada dalam diri anda, bila ia masih berada di dasar samudra. Namun bila ia sudah berada di muka, maka yang harus anda keluarkan adalah sejumlahrupiah.Bahkan sepupu dari utusan agung muhammad, ali bin abitholib, pernah berkata bahwa harga dari satu huruf bisa mencapai dikisaran 4.600.000.

Dari kesulitan demi kesulitan tadi itulah, maka patut kiranya orang yang memiliki kata paham akan berbangga hati sekaligus berbangga diri. Walaupun, untuk yang kedua, dalam tatanan agama, masih haram hukumnya. Karena memang tak semua orang dapat menyelam di samudra lepas atau terhadap teringat selalu memeras.

Dari panjang lebarnya keterangan, setidaknya ada 1 benang merah yang dapat kita tarik dari rangkai demi rangkai benang hitam yang sudah dijelaskan. Bahwa, bila sudah seperti itu adanya, maka makna dari kata Fahmi, yang digantungkan dilauh mahfudz, saat ini bukanlah bermakna pemahaman, melainkan sudah bermetamorfosis menjadi berlian.

Menakjubkan bukan?

 

 

 

 

 

Belajar Menikmati Hidup dari Pesantren

foto ini diambil saat acara maulid di aula lantai II 

Bahanya Tradisi Buruk bagi Pesantren

Oleh: Shofi Mustajibullah

Didalam peradaban pesantren. Kental sekali istilah riyadhoh yang disebut tirakat. Semua pesantren selalu dan pasti memahami akan hal itu. Bahkan ada beberapa pesantren yang memang disitu dikhususkan untuk konsisten dalam menjalani beberapa riyadhoh atau tirakat tertentu. Banyak sekali jenis dari tirakat dan tidak pasti seperti apa itu tirakat. Yang jelas, sesuatu apapun jika itu di niati tirakat disertai dengan niatan yang lillahi taala, sudah bisa di katakan sebuah tirakat.

Namun, apakah tirakat sebuah penyiksaan? Mungkin ada beberapa orang berpendapat seperti itu. Menganggap pesantren sebagai “penjara suci" dan perumpamaan lainnya. Lalu, apakah pesantren sebuah tempat penyiksaan?

Jawabannya jelas bukan. Hidup bukan melulu tentang bersenang-senang, selalu ingin memuaskan hasrat tubuh, mengejar kesenangan dengan anggapan merupakan kebaikan tertinggi. Bukan seperti itu kebaikan tertinggi. Dalam menanggapi hal ini, filsuf asal Yunani Plato memaparkan beberapa poin: (1) Kesenangan bukanlah kebaikan tertinggi bagi manusia. (2) Apabila Anda memburu kenikmatan sebagai kebaikan tertinggi, sebagai akhir moral Anda, itu akan menghancurkan Anda.

Lanjutnya, kebaikan tertinggi bagi apa pun, manusia atau bukan manusia, ialah untuk memenuhi kodratnya sendiri. Seperti apa kodratnya manusia? kodrat manusia adalah Ibadah kepada Allah. Di sisi lain, menurut Imam Ghozali di dalam kitabnya Minhajul Abidin ada empat perkara yang menghambat seseorang bertaubat, salah satunya ialah nafsu. Cara untuk mengendalikan nafsu agar seseorang bisa mencapai Aqabah Taubat adalah dengan riyadhoh/tirakat.

Di pesantren, semua santri di gembleng untuk mau berriyadho/tirakat. La budda. Supaya mereka bisa mencapai kodratnya sebagai manusia sekaligus mencapai kebaikan tertinggi dan bisa menikmati kehidupan.

Roman ragawi, Seperti raga itu sendiri, adalah pinjaman, jangan tetapkan hatimu terarah pada mereka, karena mereka hilang hanya dalam satu jam. Carilah roman ruh itu yang bertempat di atas langit. (Maulana Jalaluddin Ar-Rumi)

Wallahu a’alamu bisshoab

Refrensi :

Lavine, T.Z. 2020, From Socrates to Sartre, Immortal Publishing dan Octopus, Yogyakarta.

Rumi, Jalaluddin. 2019, Semesta Matsnawi , Forum, Yogyakarta