Minggu, 29 September 2024

Keseimbangan antara Menaati Pemerintah dan Menyampaikan Kritik dalam Islam

Ilustrasi Penyampaian Kritik 

PPRU 1 Fikih | Kepatuhan terhadap pemerintah yang sah merupakan bagian dari kewajiban seorang Muslim. Dalam ajaran Islam, menaati pemimpin dianggap sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa' ayat 59. Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta ulil amri di antara kalian". Ulil amri di sini merujuk kepada pemimpin yang sah.

Sebagai warga negara, kita diwajibkan untuk mematuhi setiap kebijakan pemerintah selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dalam konteks kehidupan bernegara, stabilitas pemerintahan sangat penting untuk menjaga kemaslahatan umat. Menaati pemerintah adalah salah satu pilar yang menjaga tatanan sosial dan politik tetap stabil.

Kritik yang Konstruktif dalam Pandangan Islam

Namun, Islam juga memberikan ruang kepada warga negara untuk menyampaikan kritik. Kritik yang konstruktif dapat menjadi sarana checks and balances dalam pemerintahan. Kritik dalam Islam termasuk bagian dari amar ma'ruf nahi munkar dan harus disampaikan dengan cara yang bijak dan etis. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran ayat 104, "Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar".

Dalam demokrasi, kritik terhadap pemerintah adalah hak konstitusional yang harus digunakan dengan bijak. Kritik tidak hanya menjadi sarana untuk memperbaiki kebijakan yang keliru, tetapi juga sebagai wujud partisipasi aktif warga negara dalam mengawal jalannya pemerintahan. Kendati demikian, kritik harus disampaikan dengan cara yang baik dan tidak anarkis, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS An-Nahl ayat 125, "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik."

Mengkritik Pemimpin dengan Etika

Dalam sejarah Islam, kita menemukan berbagai teladan dalam menyampaikan kritik kepada pemimpin. Nabi Musa AS, misalnya, diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan kritik kepada Fir’aun dengan cara yang lemah lembut (QS Thaha: 43-44). Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, menyampaikan kritik harus dilakukan dengan penuh etika dan kelembutan, meskipun kepada pemimpin yang zalim sekalipun.

Kritik yang disampaikan dengan cara yang kasar atau mengandung unsur kekerasan justru dapat merusak tatanan sosial dan politik. Oleh karena itu, Islam menekankan pentingnya menggunakan pendekatan yang sopan dan bijaksana dalam memberikan masukan kepada pemimpin.

Kesimpulan

Dalam ajaran Islam, keseimbangan antara menaati pemerintah dan menyampaikan kritik sangatlah penting. Menaati pemerintah yang sah adalah kewajiban, namun di sisi lain, warga negara juga berhak memberikan kritik yang konstruktif. Kritik harus disampaikan dengan etika yang baik, tanpa merusak kewibawaan pemimpin atau tatanan sosial. Dengan begitu, stabilitas negara tetap terjaga dan pemerintahan dapat berjalan dengan amanah sesuai dengan ajaran Islam. Wallahu a'lam.


Selasa, 03 September 2024

Dinasti Politik di Indonesia: Hukum Islam Tentang Problematika Tak Kunjung Usai

Dinasti Politik di Indonesia

PPRU 1 Fikih
| Dinasti politik di Indonesia telah menjadi problematika yang tidak kunjung usai. Proses regenerasi kekuasaan yang mengarah pada keluarga tertentu terus terjadi dan berkembang seiring berjalannya waktu. Pola politik ini telah muncul sejak era kemerdekaan dan terus menjadi bagian dari siklus kekuasaan di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Muh Khamdan dalam bukunya Politik Identitas dan Perebutan Hegemoni Kuasa, dinasti politik terus mewarnai sejarah politik tanah air (Banten, A-Empat: 2022, halaman 27).

Dinasti Politik dalam Pandangan Islam

Menurut kajian fiqih siyasah oleh Syekh Abdul Wahab Khalaf, seorang pakar fiqih asal Mesir, pemenuhan hak, termasuk hak dalam berpolitik, tidak boleh mengistimewakan golongan atau keluarga tertentu. Dalam pandangan Islam, setiap individu memiliki hak yang sama tanpa ada diskriminasi. Khalaf menyatakan, “Islam tidak membedakan seseorang dengan orang lain dalam menikmati hak. Islam tidak menjadikan status atau hak istimewa bagi anggota keluarga tertentu” (As-Siyasiyah As-Syar’iyah, Kairo, Darul Anshar: 1977, halaman 41).

Dalam konteks ini, seluruh anak bangsa memiliki hak yang sama untuk menyampaikan aspirasi, mengaktualisasikan bakat, dan mengekspresikan potensi, serta berpartisipasi dalam mengambil kebijakan dan keputusan politik sesuai aturan yang berlaku. Prinsip kesetaraan ini juga tercermin dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab atas non-Arab, dan sebaliknya. Tidak ada kelebihan berdasarkan warna kulit, kecuali karena takwa.

Keteladanan Rasulullah dalam Kepemimpinan

Nabi Muhammad SAW, meskipun diakui sebagai pemimpin utama, tidak menggunakan pendekatan dinasti untuk melanjutkan perjuangan kebangsaan dan kenegaraan. Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa Rasulullah tidak mengangkat seorang pun sebagai pengganti untuk mengurus umat, dan jika kekuasaan bersifat turun-temurun, ia pasti akan mempercayakannya kepada sahabat terdekatnya. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kepemimpinan tidak diwariskan secara eksklusif kepada keluarga atau individu tertentu.

Sebagai seorang nabi dan pemimpin negara, Rasulullah SAW tidak pernah melegitimasi dirinya lebih istimewa daripada orang lain. Ia menegaskan bahwa dirinya adalah manusia biasa yang hanya mendapat wahyu. Ini menjadi cerminan bagi para pemimpin negara untuk memastikan hak-hak semua warga negara setara dan tidak mewariskan otoritas kepemimpinan hanya kepada keluarga tertentu.

Implikasi Negatif Dinasti Politik

Abdul Wahab Khalaf menegaskan bahwa mengarahkan regenerasi kekuasaan untuk keluarga tertentu tidak memiliki dasar syar'i dari Al-Qur’an dan hadis. Jika kepemimpinan hanya berputar pada keluarga tertentu, hal ini akan memutuskan asa generasi bangsa untuk berkontribusi dan berpartisipasi dalam membangun negeri. Selain itu, dinasti politik juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antara keluarga dan negara, yang pada akhirnya dapat mengganggu roda pemerintahan.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa dalam fiqih siyasah, kepemimpinan bukan milik keluarga tertentu. Semua warga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi. Politik yang dibangun atas dasar hubungan keluarga cenderung berdampak buruk bagi pemerintahan. Tidak hanya memutus kesempatan bagi kader lain untuk berkontribusi, tetapi juga menimbulkan konflik kepentingan dalam menjalankan mandat negara.

Penting bagi Indonesia untuk memahami bahwa dinasti politik bukanlah solusi untuk regenerasi kepemimpinan. Setiap warga negara harus memiliki kesempatan yang sama untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan membangun bangsa, tanpa terhambat oleh ikatan keluarga atau hubungan darah.

Kamis, 22 Agustus 2024

Hukum Shalat Kurang Rakaat: Haruskah Mengikuti Peringatan Orang Lain?

Ilustrasi Orang Sedang Shalat

PPRU 1 Fikih | Dalam menjalankan ibadah shalat, terkadang kita menghadapi situasi di mana ada perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaat yang telah dilakukan. Misalnya, setelah melaksanakan shalat Ashar, seseorang diingatkan oleh orang lain bahwa shalatnya kurang satu rakaat. Namun, orang tersebut yakin bahwa ia telah melaksanakan empat rakaat secara sempurna. Bagaimana hukum dalam kasus seperti ini? Apakah kita harus mengikuti peringatan orang lain?

Kisah Nabi Muhammad SAW dan Dzul Yadain

Sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah memberikan gambaran tentang bagaimana Nabi Muhammad SAW menangani situasi serupa. Suatu ketika, Nabi SAW melaksanakan shalat Dhuhur atau Ashar bersama para sahabat. Setelah mengakhiri shalat, seorang sahabat bernama Dzul Yadain (Khirbaq bin Amr dari Bani Sulaim) mengingatkan bahwa shalat belum lengkap empat rakaat. Nabi SAW kemudian bertanya kepada para sahabat lainnya, dan setelah mendapatkan konfirmasi, beliau melanjutkan shalat dengan menambahkan dua rakaat yang kurang, diikuti dengan sujud sahwi. 

Fiqih Shalat dan Peringatan Orang Lain

Dalam konteks fiqih, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam kitab Fathul Qarib, jika seseorang ragu tentang jumlah rakaat yang telah ia laksanakan, ia harus mengambil jumlah yang yakin, yaitu yang lebih sedikit. Setelah itu, ia dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi sebagai bentuk kompensasi atas keraguannya. Namun, jika seseorang yakin bahwa rakaat shalatnya sudah genap, maka ia tidak boleh mengikuti peringatan orang lain yang mengatakan bahwa shalatnya kurang, meskipun yang memperingatkan itu banyak orang dan terpercaya.

Ketentuan dalam Situasi Yakin dan Ragu

  1. Saat Yakin Jumlah Rakaat: Jika seseorang sudah yakin bahwa rakaat shalatnya telah genap, meskipun ada orang lain yang mengingatkan bahwa jumlah rakaatnya kurang, ia tidak perlu mengikuti peringatan tersebut. Keyakinan yang dimiliki lebih utama dibandingkan dengan ucapan orang lain, terutama jika hanya satu orang yang mengingatkan.
  2. Saat Ragu Jumlah Rakaat: Apabila seseorang ragu apakah ia telah melaksanakan tiga atau empat rakaat, maka ia harus mengambil jumlah yang lebih sedikit, yaitu tiga, dan menambah satu rakaat lagi. Setelah itu, dianjurkan melakukan sujud sahwi untuk menutupi kekurangan.

Perbedaan dengan Ibadah Tawaf

Perlu dicatat bahwa hukum ini berbeda dengan ibadah tawaf. Dalam tawaf, jika ada seseorang yang adil dan terpercaya memberitahu bahwa putaran tawaf kurang, maka dianjurkan untuk mengikuti peringatan tersebut, meskipun individu tersebut yakin bahwa putaran tawafnya sudah lengkap.

Kesimpulan

Dalam situasi di mana seseorang yakin bahwa rakaat shalatnya telah sempurna, meskipun ada peringatan dari orang lain tentang kekurangan rakaat, ia tidak perlu mengikuti peringatan tersebut. Keyakinan pribadi lebih diutamakan kecuali ada alasan kuat untuk meragukan keyakinan tersebut, seperti adanya banyak saksi yang memperingatkan. Dalam hal ini, mengingat contoh dari Nabi Muhammad SAW, jika memang setelah diingatkan seseorang jadi teringat dan sadar akan kekurangan rakaatnya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya dan melakukan sujud sahwi.

Semoga penjelasan ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan kita dalam melaksanakan ibadah shalat dengan lebih baik.

Rabu, 31 Juli 2024

Ada Nabi di Antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad? Ini Pendapat Ulama

Ilustrasi Makkah Sebelum Nabi Muhammad SAW

PPRU 1 Sirah
| Sejak kecil, kita diajarkan untuk menghafal nama-nama 25 nabi dan rasul. Namun, di luar nama-nama tersebut, jarang kita mendengar tentang nabi-nabi lainnya kecuali beberapa nama terkenal seperti Nabi Khidir as. Salah satu periode yang menarik untuk dibahas adalah masa antara Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw, yang sering disebut sebagai masa fatrah, atau masa terputusnya pengiriman rasul-rasul. Periode ini kurang lebih berjarak 600 tahun.

Apakah Ada Nabi di Masa Fatrah?

Dengan jarak waktu yang cukup jauh antara Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw, mungkin kita bertanya-tanya, apakah ada nabi-nabi lainnya yang diutus pada masa ini? Beberapa literatur keislaman menyebutkan adanya diskusi mengenai hal ini. Misalnya, dalam kitab tafsir *Ruhul Bayan* karya Isma’il Haqqi, disebutkan adanya nabi setelah Nabi Isa as, salah satunya adalah Khalid bin Sinan. Khalid bin Sinan dikatakan berusaha menyampaikan keyakinan tentang akhirat dan siksa kubur kepada kaumnya, namun pesannya tidak diindahkan.

Konon, ketika putri Khalid bin Sinan datang kepada Nabi Muhammad saw, beliau berkata kepadanya, “Selamat datang wahai putri dari seorang nabi yang telah disia-siakan oleh kaumnya sendiri.” Namun, riwayat ini diperdebatkan keotentikannya. Misalnya, As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits yang merujuk kepada Khalid bin Sinan ini tidaklah shahih, karena bertentangan dengan hadits-hadits shahih lainnya.

Bantahan Terhadap Eksistensi Nabi di Masa Fatrah

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menolak adanya nabi yang diutus setelah Nabi Isa as. Menurutnya, setelah masa Isa as, manusia mulai kehilangan arah, dan penyembahan berhala semakin marak. Dalam konteks ini, kehadiran Nabi Muhammad saw dianggap sebagai anugerah besar bagi umat manusia. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lainnya, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah yang paling dekat dengan Nabi Isa as baik di dunia maupun di akhirat.

Pendapat mayoritas ulama menyimpulkan bahwa tidak ada nabi lain yang diutus antara Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw. Meski ada tokoh-tokoh seperti Khalid bin Sinan dalam literatur, mereka lebih dianggap sebagai orang-orang saleh yang mengajak kepada kebaikan daripada sebagai nabi yang diutus. 

Pada akhirnya, pengutusan Nabi Muhammad saw sebagai penutup para nabi merupakan konsensus dalam Islam, membawa risalah terakhir, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Kesimpulan

Perdebatan tentang apakah ada nabi antara Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw memang ada. Namun, mayoritas ulama bersepakat bahwa tidak ada nabi lain yang diutus dalam masa ini. Nabi Muhammad saw adalah penutup para nabi, dan risalah yang dibawanya adalah yang terakhir bagi umat manusia.

Selasa, 23 Juli 2024

Kremasi dalam Perspektif Islam: Hukum dan Penjelasannya

Ilustrasi Mayit

PPRU 1 Fikih | Kremasi atau pengabuan adalah praktik menghilangkan jenazah manusia setelah meninggal dengan cara membakarnya. Setelah proses kremasi selesai dilakukan, abunya disimpan oleh pihak keluarga atau ditebar di tempat tertentu, seperti laut. Kremasi dipercayai untuk menyempurnakan jenazah kembali ke Sang Pencipta. Namun, pertanyaannya adalah, bolehkah kremasi dilakukan untuk jenazah Muslim atas permintaan keluarga?

Hukum Kremasi dalam Islam

Agama Islam telah mengatur penanganan jenazah dengan cara yang sangat jelas, yaitu dengan menguburnya di dalam tanah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an:

اَلَمْ نَجْعَلِ الْاَرْضَ كِفَاتًاۙ اَحْيَاۤءً وَّاَمْوَاتًاۙ 

Artinya: "Bukankah Kami menjadikan bumi sebagai (tempat) berkumpul, bagi yang (masih) hidup dan yang (sudah) mati." (Al-Mursalāt: 25-26).

Menurut Ibnu Asyur (w. 1393 H), ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjadikan bumi layak untuk mengubur mayit. Allah telah mengilhamkan hal itu kepada anak Adam ketika dia membunuh saudaranya (Qabil dan Habil), seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Ma'idah. Dari ayat ini, beliau menyimpulkan bahwa wajib mengubur mayit di dalam tanah kecuali dalam situasi darurat, seperti jika seseorang meninggal di kapal jauh dari daratan atau tidak bisa berlabuh, atau jika berlabuh akan membahayakan penumpang. Dalam kasus ini, jasad tersebut boleh dilemparkan ke laut dan diberi pemberat agar tenggelam ke dasar laut.

Pada akhir penjelasannya, beliau mengatakan:

"Dan karena itu, tidak diperbolehkan membakar mayit seperti yang dilakukan oleh Majusi India, atau seperti yang dilakukan oleh beberapa bangsa Romawi, ataupun meletakkannya untuk dimakan burung pemangsa seperti yang dilakukan oleh Majusi Persia. Orang-orang jahiliyah dahulu memuji mayit yang dimakan oleh binatang buas atau serigala, yaitu orang yang mati terbunuh di padang gurun." (Muhammad at-Thohir Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, [Tunis, Dar-At-Tunisia: 1984 M], juz 29 halaman 433).

Al-Bahuti (w. 1051 H), ulama mazhab Hanbali dalam kitabnya Kisyaful Qina' juga menegaskan keharaman membakar bagian dari tubuh mayit:

"Haram memotong bagian dari tubuh mayit, menghancurkan tubuhnya, atau membakarnya, berdasarkan hadits: 'Mematahkan tulang mayit sama seperti mematahkan tulang orang hidup,' dan karena kehormatannya masih tetap ada. Dan meskipun mayit tersebut berwasiat untuk hal itu, yaitu tentang pemotongan, penghancuran, atau pembakaran, maka tidak boleh melaksanakan wasiatnya karena ini termasuk hak Allah Ta'ala. Tidak ada kewajiban ganti rugi (diyat) pada mayit jika bagian tubuhnya dipotong, dihancurkan, atau dibakar. Namun, wali mayit harus melindunginya dan menolak dari orang yang ingin memotong bagian tubuhnya dengan cara yang paling mudah, seperti menolak penyerang yang mengancamnya." (Manshur bin Yunus al-Bahuti al-Hanbali, Kisyaful Qina' [Saudi, Wazirotul Adl: 2008] Juz IV, cet I, halaman 224).

Kesimpulan

Dengan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam syariat Islam, jenazah harus dikubur di dalam tanah. Tidak diperbolehkan membakar bagian tubuh mayit, apalagi seluruh tubuhnya, karena membakar jenazah bukan tradisi agama Islam. Selain itu, membakar mayit dapat merusak kemuliaan dan kehormatan mayit. Pembakaran jenazah tidak boleh dilaksanakan walaupun itu adalah keinginan atau wasiat dari mayit sendiri. Dalam Islam, kehormatan mayit masih tetap terjaga sebagaimana ia hidup.

Wali mayit atau pihak keluarga seharusnya menolak dan menjaga agar tidak sampai terjadi pembakaran terhadap mayit, terutama yang beragama Islam. Sebab yang demikian itu tidak dibenarkan dalam syariat Islam. Adapun keluarganya yang non-Muslim seharusnya tidak memaksakan diri untuk mengikuti tradisi kepercayaan agamanya, sebab di Indonesia menjamin keragaman beragama dan menjunjung tinggi toleransi beragama, sesuai ajaran agamanya masing-masing.

Selasa, 18 Juni 2024

Hukum Panitia Kurban Mendapat Dua Jatah Daging

Ilustrasi Hewan Kurban

PPRU 1 Fikih | Dalam Islam, terdapat aturan terkait pembagian daging kurban, termasuk bagi panitia kurban. Berikut penjelasannya:

Hukum Dasar

  • Panitia kurban dihukumi sebagai wakil dari orang yang berkurban dalam penyembelihan dan pembagian daging kurban.
  • Keputusan panitia kurban harus mendapat persetujuan dari orang yang berkurban.
  • Dilarang memberikan daging kurban kepada panitia sebagai upah atas jasanya.

Bolehkah Panitia Kurban Mendapat Dua Jatah Daging?

Jawabannya:

Boleh, dengan beberapa syarat

  • Disetujui oleh orang yang berkurban: Baik secara lisan maupun dari kebiasaan (‘urf).
  • Bukan atas nama upah: Pemberian daging kurban tidak boleh atas nama upah, melainkan sebagai sedekah bagi fakir miskin atau pemberian hidangan (ith’am) bagi orang mampu.
  • Mempertimbangkan dampak sosial: Pemberian jatah lebih kepada panitia tidak menimbulkan kecemburuan atau kesalahpahaman di masyarakat.

Penjelasan

  • Panitia kurban berhak menerima daging kurban: Sebagai sedekah jika tergolong fakir miskin, dan atas nama ith’am (pemberian hidangan) dalam kurban sunah, jika tergolong orang yang mampu atau kaya.
  • Pemberian daging kurban tidak boleh atas nama upah: Karena dianggap jual beli daging kurban yang dilarang dalam agama.
  • Memperhatikan keseimbangan: Pemberian jatah daging kurban kepada panitia dan fakir miskin harus seimbang dan adil.

Kesimpulan

Memberikan dua jatah daging kurban kepada panitia boleh jika memenuhi syarat di atas. Pastikan persetujuan dari orang yang berkurban, tidak atas nama upah, dan memperhatikan dampak sosialnya.