Friday, 27 January 2023

Bukan Untukku (Puisi)

 


Bukan Untukku

Tawamu bersamaku

Jatuh bangunnya dirimu bersamaku

Keluh dan kesah mu bersamaku

Namun takdirmu bukan bersamaku

 

Hingga takdir mengantarkanmu dengan yang lain

Membuatku kecewa dengan takdir yang telah ditentukan

Namun kucoba mengikhlaskanmu dengan yang lain

Walau dengan hati yang perih tak tertahankan

Dan biarkan aku untuk menikmati senyummu dari kejauhan.

 

 

Oleh: Siti Sofia
Alumni Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1

 

THE LABYRINTH (Resensi)


The Labyrinth

Oleh: Maátul Qonitatillah


Judul: The Labyrinth

Penulis: Syarifah Fatima Musawa

Penerbit: PT. Zamrud Khatulistiwa Media

Tahun: 2019

Tebal: 129 halaman

 

Pernah ngerasa nggak sih, berada di titik kegalauan tanpa sebab? Suatu kegalauan dan kegundahan yang berada pada diri kita adalah sebuah pilihan yang telah kita pilih sendiri untuk menyelimuti diri kita. Yang menjadikan kegundahan menjadi teman kita, kegalauan yang terkadang singgah pada diri kita, merupakan hal yang wajar seperti ketika kita mengingat-ingat kembali setiap detail kenangan menyedihkan yang pernah terjadi dan tanpa sadar menjadikan diri kita terlarut dalam lautan kesedihan.

Ketika terluka, sedih itu wajar, menangislah. Tapi setelah itu jangan pilih kesedihan. Sebab, kalau kamu pilihnya sedih, nanti akan muncul pertanyaan dalam diri kamu, bahwa “aku tidak pernah bahagia” atau “aku tidak tahu seperti apa kebahagiaan itu”. (hal 97)

Buku “The Labyrinth” ini dikelola dan disajikan kepada para pembacanya untuk lebih banyak lagi bermuhasabah (intropeksi diri). Sejatinya kebahagiaan dan kesedihan itu adalah pilihan dari kita sendiri. Suatu kebahagiaan tak pernah melangkah pergi, karena sesekali kebahagiaan mengunjungi diri kita lewat berbagai kejadian dalam hidup kita, akan tetapi seringkali dari kita tidak menyadarinya. Sebab, bagaimanapun jalan yang sering kita pilih adalah luka dibandingkan menyukuri segala pemberiannya, oleh karena itu, buku “The Labyrinth” ini hadir untuk menyadarkan kita semua tentang perihal tersebut.

Ada sebuah perkataan hikmah yang berbunyi sebagai berikut: “Kalau seorang hamba mengetahui apa yang terjadi di balik tabir takdir Allah SWT, maka dia tidak akan mengharap atau meminta apapun selain apa yang sudah ia memiliki. Kenapa? Karena Allah tahu yang terbaik untuk kita, meskipun yang terbaik itu tidak selalu kita sukai.

Terkadang Allah SWT tidak memberikan kita sesuatu yang kita inginkan, tapi memberikan sesuatu yang kita butuhkan, walau terkadang seringkali terjadi prasangka buruk (suudzon) pada diri kita terhadap Allah SWT. Sebagaimana di dalam hadist qudsi yang artinya: “Aku berada pada prasangka hamba-Ku, maka hendaknya ia berprasangka terhadap-Ku seperti apa yang dia inginkan”

Di dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana sikap yang harus kita ambil ketika kita berada di tengah-tengah lingkungan yang menilai kita “Sok Suci, sok syar’i, sok alim, dan sok sok yang lainya”. Dan ternyata sungguh menakjubkan bahwasanya Rasulullah SAW sudah pernah membahas perihal ini dari seribu empat ratus tahun yang lalu, saat agama kita mendapat cacian, hujatan, fitnah, dan lain-lain.

Mereka yang melakukan perbuatan tersebut terhadap agama Islam tak lain disebabkan karena mereka tidak tahu dan dangkalnya kepahaman mereka mengenai agam Islam. Dan alangkah baiknya kita, sebagai penganut agama Islam, sudi memberitahu dan membuat mereka mengerti dengan budi pekerti mulia yang penuh kasih saying, bukan dengan kata-kata yang semu.

Islam adalah agama yang indah, adil dan sama sekali tidak pernah menganjurkan umatnya untuk berburuk sangka pada sesama, bahkan kepada yang non-muslim sekalipun. Kita tetap diminta untuk berakhlak baik dan selalu berbaik sangka. Kalau bukan kita sendiri yang menerapkan apa yang telah diajarkan oleh agama kita, jangan salahkan orang lain ketika merek terus beranggapan buruk terhadap agama kita.

Buku “The labyrinth” adalah buku yang sangat pas dibaca ketika kita ingin memperbanyak merenungi diri dan menjadi pribadi yang lebih baik. Juga cocok dibaca oleh semua kalangan termasuk kalangan remaja, karena bahasanya yang ringan akan tetapi mengena di hati.

 

 

Oleh: Mar'atul Qonitatillah

Santri Aktif Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1

 






Sunday, 8 January 2023

Stop Bullying! - Oleh: Istiqlalia

 


Kita semua pasti sudah akrab dengan istilah bullying atau mungkin sudah ada juga yang pernah mengalaminya. Bullying adalah sebuah tindakan yang ditunjukkan untuk menghina, mempermalukan, dan mengintimidasi orang lain. Para pelaku bullying biasanya adalah mereka yang tidak menemukan atau mendapatkan bahagia di dalam dirinya karena suatu hal, hingga akhirnya mencari tempat meluapkan emosi.

Ada banyak jenis bullying, bisa menyakiti dalam bentuk fisik, seperti memukul, mendorong dan sebagainya. Dalam bentuk verbal bisa dengan menghina, membentak, dan menggunakan kata-kata kasar. Bullying bisa terjadi di manapun, baik di sekolah dan sebagainya, bahkan di pesantren pun juga ada. Dengan berbagai cara untuk mengintimidasi seseorang dengan menindas yang lemah, menindas yang lebih kecil maupun lebih besar, dan juga yang muda maupun yang tua.

Bullying itu sangat menyakitkan. Tiap hari direndahkan, di caci maki, di jelek-jelekan, dan di kucilkan, sehingga dapat menimbulkan trauma yang sangat menyakitkan serta menyerang mental dan psikis seseorang. Si pelaku bullying dengan bangga tertawa di atas kesedihan orang lain, dan malah bersenang-senang dengan bully-annya yang ia sebut sebagai hiburan.

Di kalangan pesantren, istilah bullying mungkin sudah tidak asing lagi. Santri baru di-bully oleh senior, atau santri biasa-biasa saja di-bully oleh yang luar biasa. Lalu, kita harus bagaimana jika menjadi korban bullying?

Pernah suatu ketika saya mendengar influencer muda, Sherly Annavita Rahmi, dimana dia menyampaikan apa yang dia pikirkan pada segmen “Pernah jadi pelaku atau korban bullying”. wanita berdarah aceh itu pernah menyampaikan solusi bagaimana cara menyikapi jika menjadi korban bullying; kalau bullying-nya sudah menyangkut kekerasan fisik, maka tentu solusinya adalah hindari si pelaku tadi.

Namun kalau bullying-nya hanya lewat gestur dan ucapan saja, maka tentu kita bisa menghadapi dengan hanya mengingatkan bahwa perbuatan itu adalah salah, atau bisa juga dengan mendiamkannya. Yang jelas, tidak perlu diambil hati ketika sedang dipermalukan atau diejek oleh seorang pem-bully, karena justru itulah yang mereka inginkan, mereka akan senang melihat kita terganggu atau tersinggung.

Baru-baru ini saya mendengar bahwa banyak di antara teman-teman pondok tidak kerasan karena menjadi korban bullying. Dari bullying ini kita bisa belajar bahwa mencari obat rasa sakit dan pengakuan dengan cara berlaku kasar, menghina dan meledek orang lain adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Kalau kita memang ingin mendapatkan kesembuhan hati, pengakuan, dan penghargaan dari orang lain, maka berusahalah menjadi pribadi yang bermanfaat dan hargai orang lain. Setuju kan, teman-teman?

So, mulai sekarang, STOP BULLYING!!!


Oleh: Istiqlalia

Alumni Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1

Usaha Tidak Akan Mengkhianati Hasil - Oleh: Nurul Qomariyah

Di balik keberhasilan pasti ada usaha yang diistiqamahkan, seperti kata-kata yang sering kita dengar: “usaha tidak akan mengkhianati hasil.Seberapa besar kita berusaha, sebesar itulah kita mendapatkan hasilnya.

Mencari ilmu ternyata tidak semudah yang kita pikirkan, karena kita harus melewati banyak rintangan. Di balik keberhasilan seseorang juga pasti ada cerita yang tidak pernah kita sangka. Seperti sosok Munjidatus Sholihah, salah satu santriwati PPRU 1 Putri yang tiba-tiba sangat dikenal di pesantren karena mampu menyetor hafalan Tashrifan sekali duduk dengan lancar.

Bagaimanakah mulanya?

keinginan saya untuk mondok itu banyak rintangannya, terutama faktor ekonomi, karena memang saya terlahir dari keluarga yang pas-pasan. Alhamdulillah, sekarang saya bersyukur sekali karena sudah bisa mondok.” Baginya, mondok adalah suatu hal yang sangat membanggakan. Dulu ia juga pernah bersekolah Diniyah, mempelajari ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kitab mutammimah, nahwu, ‘imrithi, menghafal tashrifan dan lain-lain.

Awal mula ia dapat dikenal oleh banyak santri adalah di mana saat pelajaran Bahasa Arab di Madrasah Aliyah, ia ditunjuk oleh guru pangampu untuk menerjemahkan sebuah teks berbahasa arab, ia pun dapat melakukannya dengan baik dan sangat lancar. “Kamu diniyah-nya kelas berapa?” Tanya Ning Anis, Sang guru pengampu. Ia menjawab kalau ia masih kelas 1 Ula. Karena dirasa sangat mampu, maka Ning Anis, yang juga merangkap sebagai guru diniyah pagi, berinisiatif untuk mengkonsultasikan Munjida agar naik ke kelas 3 Ula.

Beberapa hari kemudian, ia diminta untuk mempersiapkan tes lompat kelas setelah liburan, dengan syarat bahwa ia harus hafal tashrifan, faham fiqih juz 3 dan nahwu. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut, hingga ia menggunakan waktu liburan dengan sangat produktif.

"Waktu setelah subuh saya gunakan untuk muthola'ah sampai jam 6 pagi hingga jam 9 pagi, diselingi dengan bersih-bersih rumah. Setelah itu, saya pergunakan waktu saya untuk berkumpul bersama keluarga. Barulah, setelah shalat dhuhur atau jika ada waktu luang, saya pergunakan waktu tersebut untuk bermain handphone. Saya menambah hafalan tashrifan setelah menunaikan shalat asar. Setelah itu, saya setorkan di waktu maghrib kepada kakak saya. Namun, Kakak tidak Ingin jika saya hanya menyetor satu bab saja, minimal lima bab."

Setelah diistikamahkan selama satu bulan penuh, ia mengaku mampu dan bisa menguasai persyaratan di atas. Namum belum sampai di situ, setelah melakukan tes, ternyata Munjida masih masuk di kelas 2 Ula. Hingga akhirnya, ketika jam pelajaran Ning Dzirwah, Munjida menyetorkan hafalan Tashrifan-nya dengan sangat lancar.

"Bagaimana jika kamu saya naikkan ke kelas tiga?" Dawuh Ning Dzirwah Menawarkan, oyang kemudian ia sanggupi. Sehingga, untuk kedua kalinya, ia pun melaksanakan tes. Namun, untuk tes kedua tersebut, ternyata tidak sesuai dengan apa yang ia ekspektasikan. Salah satunya adalah men-tashrif lafadz yang tidak ada pada tashrifan. Ia pun sempat berputus asa.

“Saya mengingat betul kejadian sebelum mondok dulu. Saya butuh uang untuk biaya sekolah dan, Ketika melihat wajah orang tua saya yang seperti kelelahan karena baru pulang bekerja, disertai jumlah uang yang menipis, saya sadar bahwa orang tua saya sudah semakin menua. Jadi, saya tidak boleh mengecewakan mereka. Saya selalu ingin terus berusaha agar bagaiamana caranya saya tidak menyia-nyiakan kerja keras kedua orang tua saya.

Kakaknya juga sempat berpesan agar ia bersungguh-sungguh dalam belajar, karena di antara keluarganya, hanya ia yang dapat melanjutkan sekolah formal. Jika tiba-tiba ia merasa putus asa, ia pun langsung teringat kepada keluarganya. Karena di situlah titik dimana semangatnya dapat kembali berkobar. Ia juga percaya bahwa usaha tidak akan menghianati hasil, di samping juga selalu berdoa agar apa yang ia usahakan selama ini dapat terbalas.

Beberapa hari kemudian, ia diberitahu bahwa ia lolos tes dan masuk kelas 3 A Ula. Lalu ia menceritakan hal tersebut kepada keluarganya ketika jam kunjungan. Ia bertekad agar apapun yang ia ceritakan kepada keluarganya adalah kebaikan dan kebahagiaan. Ia juga berpesan agar bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan jangan sampai terbersit bahwa kita tidak bisa. Yakin dan niatkan pada Allah, juga kedua orangtua kita bahwa kita pasti bisa.

Oleh: Nurul Qomariyah
Santri Aktif Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1

Thursday, 18 March 2021

Bolehkah Santri Pulang dari Pesantrennya?

 



Bolehkah Santri Pulang dari Pesantrennya?

Oleh: Gus Shofi Mustajibullah

Jika ditanya apakah santri boleh pulang dari pesantrennya? Jawabannya jelas-jelas boleh. Bahkan, perlu ditanyakan jika ada santri yang murni betah di Pondok Pesantren dan tidak ingin pulang kerumahnya. Mana mungkin seorang santri bisa menahan kangen yang sudah membuncah, yang sudah lama ditahan untuk bertemu kahadibaan orang tua yang dinanti-nantikan. Namun, ketika tidak dikehendaki oleh para masyayikh, itu beda lagi ceritanya.

Malahan, santri yang pulang (baik itu sekedar liburan ataupun boyong) sebenarnya membawa misi dan tanggung jawab yang berat. Sama halnya dengan tugas-tugas yang diberikan beberapa pesantren untuk mengabdi kepada masyarakat. Loh kenapa? Bukankah itu hal yang menyenangkan? Bagi santri (seyogyanya), melepas lahiriyah dan bathiniyah dari pesantren merupakan pembawaan jati diri pesantren. Tidak ada satupun santri yang tidak membawa bendera kehormatan dari pesantren

Justru, hirarki terberat seorang santri adalah ketika ia sudah tidak ada di pesantren. Mampukah dirinya untuk tetap benar menjadi santri seperti yang dikatakan para masyaikh-masyikhnya. Tidak ada acuan etika di tengah-tengah masyarakat. Jadi, untuk penilaian etika di tengah-tengah masyarakat sendiri masih rancu. Terus menerus menjadi perdebatan. Karenanya, semua santri ditantang untuk memegang teguh etika ilahiyahnya yang dia bawa dari pesantren. Apalagi di saat kondisi seperti ini. Santri tetap dituntut menjadi seorang santri yang sebenarnya. Bukan sekedar membawa alamamater keliling kampung dan di pamerkan bahwasannya dirinya adalah seorang santri.

Kalau memang seorang santri memungkinkan untuk pulang kerumah, pulanglah! Selagi itu memenuhi kerinduan seorang santri terhadap orang tua, teman, tunangan, dan orang-orang rumah, maka pulanglah!

Namun perlu diingat, pesantren memiliki satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara keseluruhan dari bangunan pesantren itu sendiri, kyai, dan para santri. Ketika satu diantara itu semua berpisah, seperti contoh santri yang pulang, maka disitulah tumbuh sebuah kerinduan. Pesantren bukan sekedar bangunan turun temurun yang di wariskan, melainkan senyawa yang terus bersatu dengan para santri. Siapa yang tidur di pesantren? Ya santri. Siapa yang berdomisili di pesantren? Ya santri. Siapa yang merasakan suka duka di pesantren, cebok ilang, gak kebagian pajeak maem (makan), kotak sabun ilang (hilang), sendal sesean (sandal dengan waqrna yang berbeda? Ya santri. Kalau begini, siapa yang mau tanggung jawab akan kerinduan ini?

Maka dari itu, kembalilah kepesantren pada waktu yang sudah di tentukan. Penuhilah kerinduan ini yang akan segera berkabung kedepannya. Berjanjilah!

~Lihatlah! Sepasang mataku berlinang air mata. Wajahku pucat, mencoba meraih bibirmu yang sewarna batu akik~

(Maulana Jalaluddin Ar-Rumi)

Wallahu a’alamu bisshoab



 

Friday, 5 March 2021

JEJAK PPQ AL-QOSIMI PUTUKREJO GONDANGLEGI MALANG (history)



JEJAK PPQ AL-QOSIMI

PUTUKREJO GONDANGLEGI MALANG

Oleh: Gus Mad

Sejarah Singkat

Pondok Pesantren Al-Qur’an (PPQ) Al-Qosimi adalah pesantren tahfidz yang berdomisili di desa Putukrejo kecamatan Gondanglegi kabupaten Malang. Pesantren yang dikhususkan bagi santri putri itu tercatat lahir pada tanggal 03 Oktober 2014 M atau 08 Dzulhijjah 1435 H. Sejak tanggal 29 November 2016, nama pesantren tahfidz ini mengalami perubahan dari PPQ-RU 2 manjadi PPQ Al-Qosimi. Perubahan tersebut disebabkan oleh keinginan Ning Maria Ulfa, selaku Pengasuh, yang mendambakan berkah (tabarruk) dengan semudera ilmu dan karomah kemuliaan KH Qosim Bukhori sebagai pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2 Putukrejo Gondanglegi Malang.

Di awal-awal proses berdiri pesantren ini dimulai dari tiga orang santri yang berminat menyetorkan bacaan Al-Qur’an kepada Ning Maria Ulfa di rumahnya kala itu sudah berada di lokasi belakang dalam lingkungan PPRU 2. Ketiga santri putri tersebut adalah Nur Aini, Maftuhah dan Maulidiya, dengan ragam setoran; bil ghaib dan binnadzar. Pada mulanya, ning yang biasa dipanggil Ning Ulfa itu, enggan menyertai mereka berdua secara serius karena kesibukan sebagai guru di SMA RU 2 saat itu telah banyak menyita waktunya. Sejak tahun 2008, Ning Ulfa telah berperan aktif mengajar di unit formal, bahkan pada tahun 2011 sekian bulan seusai lulus dari IAI Al-Qolam Gondanglegi ia mengikuti pelatihan guru sertifikasi di Surabaya dan dinyatakan lulus pada tahuan 2012.

Namun kegigihan ketiga santri itu, akhirnya membuat hati Ning Ulfa berubah dari sedikit kesal menjadi trenyuh, sehingga bertekad menanggalkan status guru di unit formal demi meladeni santri-santri yang tetap getol melakukan setoran bacaan pada putri bungsu Yai Qosim itu. Secara bertahap jumlah peserta setor-baca Al-Qur’an yang dilakukan usai shalat Shubuh itu bertambah dan terus bertambah dari tiga, delapan, empat belas hingga akhirnya menjadi dua puluh lima santri. Memperhatikan grafik santri putri yang kian menanjak, membuat Ning Ulfa mulai berfikir persoalan tempat tinggal yang kemudian merelakan ruang makan disulap menjadi kamar inap mereka dengan menyekat kamar santap keluarga menjadi dua petak.


Logo Resmi PPQ AL-QOSIMI Malang

Setelah dilihat jumlah santri calon penghafal Al-Qur’an kian meroket, Ning Maria Ulfa mengutarakan kondisi tersebut sekaligus memohon doa restu kepada Nyah Hj. Zainab Qosim, maka pada pertengahan tahun 2015 Nyah Hj. Zainab Qosim meminta H. Lukman, agar mewakafkan tanah dan bangunan dibelakang rumah Ning Maria Ulfa untuk kepentingan hunian para santri penghafal Al-Qur’an. Di tahun itu, ruang hunian diperlebar ke arah timur sesuai luas tanah yang diberikan oleh salah satu ahli waris Abah Mahmudji tersebut.

Pada bulan Juni 2018, Pengasuh PPQ Al-Qosimi Putukrejo mengeluarkan informasi bahwa mengingat fasilitas pesantren yang terbatas, maka kuota penerimaan santri baru tahun ajaran 2018/2019 diancang hanya menerima 10 orang. Berkaitan dengan kabar itu, Ning Ulfa sebagai Pengasuh memohon maaf jika pendaftaran santri baru ditolak. Hal demikian dilakukan semata-mata demi kenyamanan santri, karena ruang huni mereka yang sudah tidak layak untuk ditambahkan santri baru.

Kondisi demikian ini membuat Nyah Hj. Zainab Qosim tergerak untuk kembali melobi keluarga (almarhum) Abah Mahmudji supaya mempertimbangkan lahan di utara rumah Ning Ulfa. Melalui berbagai proses, akhirnya pada bulan Agustus 2018, PPQ Al-Qosimi menerima hibah tanah seluas 736 M² dari keluarga besar (almarhum) Abah Mahmudji. Pelaksanaan pengukuran lahan kosong itu selain dihadiri wakil keluarga Abah Mahmudji, juga disaksikan oleh keluarga (almarhum) KH Qosim Bukhori. Pada tahun 2019 dimulai pembangunan gedung kamar yang diancang tiga lantai di atas lahan tersebut dengan proyeksi lantai pertama sebagai kamar hunian, lantai dua sebagai ruang aula dan lantai tiga ruang kelas.

Pada akhir tahun 2020 pembangunan gedung dua lantai telah dimulai. Pembangunan yang masih berlangsung ini (tahun 2021) diproyeksikan lantai bawah sebagai kamar kecil, lantai atas diperuntukkan sebagai tempat cuci dan jemuran.

 

Alm Kh. Qosim Bukhori


Tiga Landasan

Kelahiran pesantren yang di kemudian hari menjadi bagian dari unit PP Raudlatul Ulum 2 Putukrejo itu didasarkan pada tiga landasan pokok, yaitu:

Pertama, Firman Allah SWT:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

[QS. 08:02]

Kedua, pesan KH Qosim Bukhori: “Kalau diberikan rezeki anak perempuan, suruh menghafal Al-Qur’an saja di zaman sekarang. Biar lebih selamat.”

Ketiga, nalar ilmiah: Kemajuan teknologi disertai kebebasan tanpa batas yang melahirkan kehidupan paradoks dengan nilai-nilai agama membuat degradasi moral generasi muslim dipandang mulai mencapai titik nadir mengkhawatirkan. Sebab itulah, satu-satu solusi penyelamatan adalah kembali kepada pedoman agung dalam Islam.

Program Kegiatan

Rutinitas di PPQ Al-Qosimi memuat aspek hafalan: [1] Baca-simak (setoran) kepada Pengasuh bagi santri yang telah mencapai per-lima juz, dan kepada para ustadzah bagi santri yang belum mencapainya; [2] Pengulangan (muraja'ah) bagi santri yang memperlancar hafalan, baik individu maupun dengan teman sebaya. Ujian (imtihan) bagi santri yang telah menambah hafalan melalui tahapan ustadzah dan Pengasuh; [3] Baca umum (majelis qira'ah) bagi santri yang telah lulus verifikasi tertentu untuk membaca Al-Qur’an lewat pengeras suara; [4] Baca personal di makam Yai Qosim Bukhori bagi santri yang telah berhak memperoleh legalisasi dari Pengasuh.

Selain itu, ada pula program kegiatan yang memuat aspek ubudiyah: [1] Shalat berjamaah lima waktu yang harus diikuti oleh santri sejak suara adzan dikumandangkan dengan ketentuan mendengarkan, menjawab dan membaca doa setelah adzan secara bersama-sama, lalu ditutup dengan wiridan dan doa; [2] Shalat tahfidz malam Jumat secara berjamaah; [3] Ziarah maqbarah pendiri PP Raudlatul Ulum 2 Putukrejo setiap satu pekan sekali yang diikuti oleh seluruh santri guna memperkuat ikatan batin antara guru dan santri.

 

Sebagai perwujudan dari proses menghafal yang dilaksanakan secara bertahap, sejak tahun 2019 Ning Ulfa menerapkan seleksi santri baru hanya terdiri tingkat SMP, sedangkan untuk tingkat selain SMP akan di tes terlebih dahulu sebelum benar-benar di terima di PPQ Al-Qosimi. Seluruh santri yang lolos validitasi diwajibkan mengikuti program Metode Qiroaty, supaya proses hafalan terbebas dari ketidakmampuan bacaan. Pengasuh juga menganjurkan bagi santri senior agar mengikuti program Pembinaan Guru Metode Qiroaty sebagai bekal tambahan kelak ketika berada di tengah-tengah masyarakat.

 

Di luar rutinitas inti, para santri dibiasakkan menjaga kebersihan lingkungan dengan memilah sampah anorganik (sampah kering), dan sampah organik (sampah basah) sehingga pada akhir tahun 2020, para santri mampu menghasilkan dana dari pemberdayaan sampah ini. Di samping para santri diajari memasak dengan memberlakukan piket masak setiap pekan secara bergilir, mereka juga diberikan kesempatan berolah raga dengan mendatangkan instruktur senam dari luar setiap hari Jumat.

 

Dalam persoalan perizinan, Ning Ulfa memprioritaskan santri yang sakit. Bila berdomisili sekitar daerah Malang, maka diharuskan untuk pulang. Bila berasal dari wilayah yang jauh, maka pengurus segera melayani kesehatannya secara maksimal. Hal lain yang membuat PPQ Al-Qosimi berbeda dengan kebanyakan pesantren adalah kewajiban para santri berbahasa halus dengan sesama sahabat, tanpa memperdulikan strata santri senior atau yunior. Perilaku ini ternyata melahirkan sikap-sikap yang lebih kental dengan kesantunan antar sejawat.{gm/2021}


Akidah, Sifat, Visi dan Misi PPQ Al-Qosimi Putukrejo

 

Akidah: “Islam Ahlissunnah wal Jamaah”.

Sifat: “kekeluargaan, kemasyarakatan dan keagamaan”.

Visi: “Menghantar santri menjadi pembaca, penghafal dan pengajar Al-Qur’an”.

Misi: [1] Mencetak peserta didik yang mampu membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai ilmu tajwid; [2] Menciptakan peserta didik sebagai penghafal Al-Qur’an; dan [3] Menjadikan peserta didik yang memiliki kemampuan mengajarkan Al-Qur’an.