Rabu, 07 Agustus 2019

Beda Jalan Satu Tujuan


Oleh: A. Imam Fathoni


Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita tentang pengeboman di beberapa daerah, baik di luar maupun di dalam negeri.Seperti yang terjadi di Surabaya beberapa saat yang lalu, seorang wanita berjubah hitam bersama anaknya lari ke arah gereja dengan tujuan ingin meledakkan diri di dalam gereja. Akan tetapi wanita itu dapat dicegah oleh satpam penjaga gerbang.

Di Jawa Tengah, entah di mana tepatnya, seseorang ditangkap karena menjadi terduga teroris. Dengan barang bukti berupa bahan-bahan kimia yang diduga digunakan untuk meracik bom, orang tersebut pun digerebek petugas. Bahkan di beberapa kasus lain, sang terduga teroris ada yang sempat melawan, hingga ada yang sampai ditembak mati. Mereka (terduga teroris) melakukan aksi-aksi tersebut tidak secara individual, tapi pergerakan mereka itu sudah terorganisir.

Menurut kesaksian para tetangganya, sang terduga teroris merupakan orang yang sangat taat beribadah, seorang yang baik pada tetangga. Tidak ditemukan sifat kriminal pada mereka, meski ada dari sebagian dari sang terduga merupakan sosok yang anti sosial (tertutup). Kebanyakan dari mereka adalah pendatang, yang terkadang mereka enggan menjawab dari mana mereka berasal. Kemungkinan alasan mereka berpindah adalah untuk lebih dekat dengan target atau menghindar dari sisiran aparat.

Menurut hasil identifikasi, mereka (sang terduga) adalah seorang Muslim, yang rata-rata adalah alumni pesantren. Maka banyak orang yang sudah sangat kesal dengan aksi mereka menyatakan bahwa pesantren adalah “sarang teroris’’. Kata-kata yang sangat menyakitkan bagi masyarakat Muslim, khususnya yang ada di lingkungan pesantren seperti santri dan kiainya, bahkan alumni.

Pada kenyataanya pondok pesantren bukanlah tempat pelatihan para teroris atau militer. Lah wong pemilik pesantren itu hanya kiai sepuh yang mungkin jika diberi senjata bingung mau diapakan. Yang diajarkan di pesantren hanyalah bagaimana menjadi Muslim yang baik dan benar sesuai dengan syariat agama melalui kitab-kitab klasik yang isinya hanya tentang bagaimana berperilaku yang baik, tata cara salat dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ajaran tentang “jihad” pun dimengerti dalam maknanya yang luas, tidak hanya bermakna berperang melawan orang yang beda agama, namun juga berkhidmah kepada masyarakat melalui pelayanan pendidikan, pemberdayaan ekonomi, atau menjaga kerukunan masyarakat.

Ada beberapa kemungkinan sang alumni pesantren yang menjadi terduga teroris bisa melakukan hal tersebut. Mungkin tidak terlalu pintar dalam masalah agama (alim). Mereka salah dalam menafsiri pokok dasar agama (Quran-hadis), sehingga mereka merasa benar untuk melakukan aksi-aksi tersebut.

Kemungkinan yang lain,  mereka masuk ke dalam Islam jalur radikal, yang awalnya mereka hanya diyakinkan bahwa Islam yang seperti inilah yang benar menurut aturan Tuhan dan utusannya, sehingga mereka percaya dengan aliran tersebut. Atau memang mereka sudah didoktrin mulai sejak kecil oleh orang tuanya, seperti dipertontonkan adegan cara membunuh sandra atau tahanan, atau adegan kekejaman yang lainya. Pada dasarnya kejadian seperti itu memang ada di negeri ini.
Beda Jalan Satu Tujuan


Oleh karenanya Indonesia membubarkan kelompok-kelompok Islam radikal di negeri ini, seperti pembubaran HTI, atau kelompok radikal lainya. Meski secara organisasi dibubarkan, tapi gerakan mereka masih tetap berjalan, meskipun hanya di bawah tanah (diam-diam). Masyarakat yang anti radikalisme memang lebih banyak di negeri ini, tapi bukan berarti kaum radikal yang sedikit tidak bisa berkutik. Bisa jadi yang sedikit itu lebih aktif daripada yang banyak.

Untuk kaum yang non radikal, biasanya mereka memilih jalan yang lebih damai untuk melakukan aksinya, seperti mengadakan pengajian, istighosah, atau acara-acara yang berbau keagamaan yang lebih bersahabat dan tidak mengganggu ketenangan orang lain. Semua itu adalah syiar (ajakan) untuk mempersatukan masyarakat, atau islamisasi secara halus.

Mereka semua, baik yang teroris, Islam radikal, ataupun non radikal, mempunyai tujuan yang sama, yaitu memperbaiki agama, membuat Islam agar lebih baik. Meskipun cara yang mereka lakukan berbeda-beda. Kita sebagai masyarakat biasa, bukan berarti hanya bisa pasrah dengan keadaan yang ada. Kita juga bisa bergerak untuk memperbaiki agama agar menjadi lebih baik, seperti memberi bantuan kepada yang lebih membutuhkan, atau menjaga keluarga kita agar tidak terperangkap ke dalam aliran-aliran yang meresahkan.

Kamis, 01 Agustus 2019

Islam Tidak Harus Arab



Oleh : A. Imam Fathoni

Mula-mula Islam berasal dari Nabi sang pembawa risalah yang berkebangsaan Arab. Sosok pemimpin masyarakat Muslim pertama itu bernama Nabi Muhammad. Kemudian diteruskan oleh empat pengganti (khalifah) yang meneruskan kepemimpinanya secara berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya menuntut Islam dipimpin dengan sistem kerajaan (monarkhi).
            Islam menyebar luas ke seluruh dunia. Perkembangan-perkembangan pun terjadi, bahkan ada sekian negara atau kerajaan yang mengklaim dirinya sebagai negara atau kerajaan Islam. Dengan ideologi  politik yang berbeda-beda dan bahkan saling bertentangan, mereka menyatakan diri sebagai “ideologi Islam. Jika di bidang politik saja sudah berbeda-beda, apa lagi di bidang lain, seperti misalnya budaya, atau yang lainya?
Islam Tidak Harus Arab
Image by Pixabay

            Islam awalnya hanya berbentuk seruan atau ajakan, kemudian berkembang menjadi fikih yang dimasukkan ke dalam beberapa buah mazhab. Masing masing dari mazhab tersebut mempunyai metode dan pemikiran tersendiri.
            Terkemudian lagi muncullah sederet pembaruan Islam, mulai dari yang radikal, setengah radikal, dan ada pula yang tidak radikal sama sekali. Pembaruan demi pembaruan pun dilancarkan. Mereka mengajukan klaim memperbaiki fikih dan menegakkan agama yang sebenarnya, yang biasa mereka sebut dengan “syariat,” meskipun penganut fikih dari madzhab lain pun menamai anutan mereka sebagai syariat.”
            Gerakan-gerakan itulah yang menuntut perubahan Islam di berbagai negara, terutama di bidang kebudayaan. Seperti yang terjadi di negeri kita ini, masjid yang beratap genteng susun tiga yang sarat dengan simbolisasi lokal dituntut untuk dikubahkan. Gending Jawa yang berisi ajakan untuk masuk Islam diganti dengan qosidah yang berbahasa Arab. Bahkan ikat kepala lokal atau udeng sudah digeser oleh sorban atau imamah yang kesemuanya itu agar Islam bisa seragam.
            Tak hanya pada bidang budaya, cara pengambilan hukum pun harus diseragamkan dan diformalkan, yakni harus ada pengambilan formalnya yaitu Alquran dan hadis. Tidak seperti dulu yang cukup dengan apa kata kyai.
            Kalau memang seperti ini, berarti masyarakat muslim di negeri ini, khususnya, dan di Negara Negara lain harus kehilangan kebudayaannya. ketika masyarakat Hindu menemukan kekhusyukan rohaninya melalui gending tradisional Bali, apakah kaum muslimin masih “berqosidahan Arab” dan melupakan “pujian” berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?
            Dan juga mengapa harus menggunakan kata salat jika kata “sembahyang” juga benar? Dan mengapa harus di musallakan padahal dahulu hanya cukup dengan kata langgar? Dahulu tuan guru atau kiai, sekarang ustaz dan syaikh baru berwibawa. Kalau memang demikian berarti Islam telah mencabut kebudayaan dari berbagai dunia.
            Yang mereka lakukan seharusnya Islamisasi, bukan Arabisasi. Untuk menjadi orang Islam itu tidak harus menjadi orang Arab atau seperti orang Arab. Apa salahnnya jika ada istilah Islam tanah Jawa ?

Sabtu, 27 Juli 2019

DESA SANTRI



oleh: Rian Hidayatullah

Ganjaran itulah salah satu nama desa di daerah Malang yang mendapat julukan desa santri, karena mayoritas di daerah itu banyak pemuda-pemudi yang menimba ilmu di beberapa pondok pesantren di sana. Mereka datang dari berbagai penjuru kota di Indonesia, seperti Pontianak, Madura, Lumajang, Sulawesi, tak lupa pula dari Malang sendiri. Tak ayal, kadang-kadang perbedaan itu membuat perselisihan antara mereka timbul.
DESA SANTRI


Desa yang berjulukan Desa Santri bukanlah Ganjaran saja, tapi Singosari juga pernah dinobatkan sama seperti Ganjaran. Pesantren demi pesantren didirikan dan minat para orang tua untuk memondokkan putra-putri mereka semakin meningkat. Alasannya mungkin agar anak-anak mereka tidak terlalu bebas di perkembangan zaman yang sangat fana ini.
Pondok pesantren di Malang tidaklah bercorak salaf saja, tapi pondok modern juga telah terwujud, seperti Ar-Rifai dan An-Nur. Namun meski dikatakan pondok modern, mereka tak melupakan apa yang ada di pondok pesantren salaf, yakni kajian kitab kuning. Suasana di sana memang agak sedikit  berbeda dengan pondok salaf, mungkin dari fasilitasnya yang lengkap dan terjamin.
Kalau desa sudah dijuluki desa santri, maka lembaga-lembaga di desa itu juga berkultur santri, yakni sekolahannya yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Terasa hampa ketika dalam suatu kelas gak ada lawan jenis. Tapi apa mau dikata, kenyataannnya memang seperti itu, sehingga kadang membuat siswa-siswi geregetan ketika papasan di pinggir jalan. Pandangan mungkin ke depan, tapi lirikan mata menyebar ke kiri dan ke kanan.
Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri. Berbagai macam acara ditampilkan di hari itu, seperti upacara, istighasah, salawatan, dan lain-lain. Sebagian santri berkumpul untuk menghadirinya. Dengan sumringah mereka berjalan menuju acara itu karena setahun sekali, katanya. Jarang sekali mereka bisa keluar dari pondoknya kalau tidak ada keperluan. Apalagi santri putri, mereka lebih sulit untuk keluar kompleks pesantren.
Keberadaan santri-santri itu juga membawa rejeki bagi orang-orang sekitarnya dengan membuka usaha rumah makan. Toko mereka bisa mendapat rejeki lebih banyak dari biasanya. Para santri pun merasa sangat nyaman dengan hal itu, membuat mereka leluasa mendapatkan apa yang mereka butuhkan.
Cukup 4000 rupiah, santri di sana bisa mendapat nasi dengan lauk-pauk ala kadarnya. Ya kalau ingin lauk lebih enak lagi tinggal merogoh gocek agak dalam, tapi tetap harganya tidak terlalu mahal dibanding warung-warung di luar desa santri sana. Para penjual mengerti dengan keadaan santri itu, bagaimana kondisi keuangan mereka. Meskipun kirimannya banyak, ada saja yang membuat kantong meringan tanpa terasa.
Desa yang dipenuhi pemuda-pemudi berpeci dan berkerudung tidaklah selamanya tercium baik bagi masyarakat di sana. Terkadang pertemuan antara dua insan di tempat sunyi itu yang membuat bau harum santri berubah menjadi bau busuk sebab perbuatan tidak bermoral itu. Sebusuk bangkai binatang yang sudah lama mati.
Ketika rintik hujan mulai mengguyur desa kemudian membasahi songkok atau kerudung yang tidak dilindungi dengan payung pada waktu berangkat maupun pulang dari madrasah mereka, itulah sekilas dari  kesederhanaan yang dimiliki santri. Kesederhanaan itu tidaklah menjadi penyurut semangatnya, tapi sebaliknya menjadi penyemamgat mereka menimba ilmu.
Desiran angin malam itu adalah sebuah suasana sunyi yang menandakan para santri sudah berada di balik jeruji besi pondok mereka. Entah apa yang dikejakan para santri ketika itu, tapi biasanya mereka ada yang belajar, ada yang tidur, ada yang begadang sampai larut malam dengan dibarengi secangkir kopi yang sudah dingin.[]

Kamis, 25 Juli 2019

BERMASYARAKAT SETELAH PULANG DARI PONDOK



oleh: Abilu Royhan

Bagi kita yang telah masuk pondok pesantren untuk menuntut ilmu agama, kata “bermasyarakat” menjadi suatu hal yang harus kita perhatikan. Harus kita pelajari bagaimana caranya menghadapi masyarakat ketika kita pulang dari tempat yang penuh dengan berkah para masyayikh kita ini.tujuannya adalah agar kita dapat mengambil hati masyarakat sekitar kita, lalu kita ajak ke ajaran-ajaran yang di-nas oleh Alquran, hadis dan keputusan para ulama.
       Salah satu cara agar kita dapat bermasyarakat adalah dengan memanfaatkan momen liburan pondok pesantren untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan bersama orang-orang sekitar. Salah satunya adalah dengan mengikuti acara-acara yang ada di kampung halaman kita, seperti Tahlilan, Yasinan, Tadarus Ramadan, dan lain-lain,agar kita bisa berbaur dan berdialog dengan mereka. Dengan adanya liburan, selain untuk menenangkan sejenak otak-pikiran kita yang setiap hari setiap jam setiap menit telah kita gunakan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, juga kita gunakan untuk mempraktikkan ilmu-ilmu yang sudah kita dapat selama satu tahun atau lebih ini.Liburan juga menjadi ajang latihan bermasyarakat ketika kita sudah pulang atau berhenti dari pondok pesantren, supaya kita tidak tergolong dengan orang yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Ruslan dalam Nazam Zubad-nya:

فعالم بعلمه لم يعملن * معذب من قبل عبادالوثن

Orang yang tahu akan ilmu tetapi dia tidak melakukannya, maka dia akan disiksa terlebih dahulu sebelum para penyembah berhala disiksa .

Na’udzubillah!
            Kita harus peka terhadap orang-orang sekitar, terhadap perilaku dan kesehariannya. Dan hal inilah yang paling sulit, karena kita tidak dapat mengetahui karakter-karakter orang yang jauh lebih tua dari kita.Kita hanya dapat bersosialisasi, berkomunikasi dengan anak-anak seumuran kita dan, walaupun ada yang senior, tidak terlalu jauh umurnya dari kita. Terus, bagaimana kita bisa belajar bermasyarakat yang akan kita praktikkan ketika liburan, sedangkan kita berada di pondok pesantren?
BERMASYARAKAT SETELAH PULANG DARI PONDOK

Dengan sebaik mungkin kita berperilaku kepada teman, baik senior maupun junior, akan mengajari kita cukup banyak tentang cara kita berbaur dengan masyarakat nanti.Begitu juga kepada para kiai dan pengurus pondok pesantren.Dengan cara inilah kita dapat belajar cara bermasyarakat di pondok pesantren.Kita akan dihadapkan pada momen yang mana kita harus belajar lebih banyak bersabar pada teman senior dan junior kita, yaitu ketika menjadi pengurus. Pada masa inilah kita akan menjumpai momen-monmen tidak mengenakkan, yaitu belajar bersabar, disiplin dan yang lebih penting lagi yaitu menjaga sikap. Ketika masa ini kita akan lebih banyak belajar bagaiman cara bermasyarakat.Ketika kita diangkat menjadi pengurus, sebagian teman kita pasti ada yang tidak suka dan memusuhi kita.Pada momen ini juga, kita dapat memanfaatkan rasa ketidakkesukaan mereka itu untuk melatih kita bagaimana sikap yang baik dan benar dalam menghadapi cobaan itu. Jadi, dengan adanya cobaan-cobaan yang kita hadapi, baik di pondok pesantren, di rumah ataupun di manapun juga, akan menjadikan kita lebih dewasadan menumbuhkan rasa sabar dan disiplin dalam menghadapi semua itu, karena Allah pasti memberikan hikmah di balik cobaan itu semua.
Sebenarnya di pondok itu sama seperti hidup di lingkungan biasanya, karena kita bisa menjadi orang baik dan bisa menjadi orang yang kurang baik.Semua itu tergantung pada kita,bagaimana kita mencari teman yang sesuai dan layak untuk kita jadikan teman karib. Akan tetapi itu semua semu.Artinya, ketika kita pulang nanti,kita bisa menjadi orang yang sebaliknya.Tapi, pondok pesantren itu menjadi cerminan kita untuk bekal bermasyarakat nanti.Maka dari itu, kita harus bisa menjadi orang yang peka bak air yang bisa bertempat sesuai dengan bentuk yang ia tempati.Kita sepatutnya seperti itu.
Tanggung jawab seorang anak bersongkok hitam itu lebih besar daripada anak yang bertopi, apalagi yang tak bertudung kepala sama sekali.Hal ini karena anak yang bersongkok hitam itu dipandang bagaikan raja hutan yang harus menjaga hutannya dari kejahatan manusia pemburu.Begitu pula santri akan dipandang oleh masyarakat untuk menjadi pemimipin, ketika dia pulang dari pondok menuju tanah kelahirannya. Maka dari itu, kita di pondok ini juga harus belajar ilmu-ilmu yang lain, agar kita siap untuk menjadi pemimpin orang-orang di sekitar rumah kita yamg mayoritas tak bersongkok.Dan itu sesuaidengan syair yang dilantunkan oleh seorang waliyullah yang tidak asing lagi di telinga kita, Gus Abdurrohman Wahid yang akrab di panggil Gus Dur, yaitu:

Duh bolo konco prio wanito
Ojo mung ngaji syareat bloko
Gor pinter ndongeng nulis lan moco
Tembe mburine bakal sangsoro

Itulah secuil syair Gus Dur yang penuh sejuta tafsir dan makna.Dari syair itu kita dapat memahami bahwa kita juga harus belajar tentang ilmu-ilmu yang lain, salah satunya adalah ilmu bermasyarakat, agar kita tidak menyesal di kemudian hari dikarenakan hanya belajar ilmu-ilmu syariat saja.Dan ilmu bermasyarakat itu bisa kita dapatkan di pondok pesantren ini.[]

Senin, 22 Juli 2019

PESAN AYAH SAAT MENJENGUK ANAKNYA DI PESANTREN

oleh: Gus Mad

Nak, Coba letakkan HP itu ! Matikan saja. Aku datang ke pesantren ini supaya kamu dapat melepaskan rasa rindu kepadaku. Akulah ayahmu, bukan justeru engkau "bermesraan" dengan barang itu.

Ayah berhak cemburu, sebab engkau adalah darah dagingku. Engkau lahir dari rahim ibumu, bukan terbuat dari elektronik itu.

Aku ini bukan konglomerat, tetapi tergolong kelas ekonomi melarat. Aku datang ke sini, menanggung segala resiko. Waktu bekerja kutanggalkan, hasil usaha berkurang demi dirimu, dan rela berkorban kehujanan atau kepanasan karena hanya motor yang kupunya. Ternyata engkau lebih peduli pada HP itu ketimbang menomorsatukan aku.

Nak, Engkau sanggup bersekolah, engkau bisa berpakaian layak dan engkau mampu melahap makanan hingga hari ini.
Lihatlah dibalik itu semua, ayah peras keringat banting tulang dan bahkan ayah bersusah payah mencari pinjaman, mengurangi makan dan tak jarang menjual barang kesayangan ibumu.
Untuk apa semua ini ? Agar engkau tidak terhina, supaya kebutuhanmu terpenuhi.

Ketika kau di pesantren, seakan begitu terhimpit urusan penting, ayah di suruh datang tepat waktu tanpa tawar lagi. Padahal tidak perlu kau perintah, pasti ayah menjenguk demi mengirim dan mengetahui kondisimu.
Tetapi nak, Sesampai di sini, kau lebih asyik dengan HP itu seakan-akan keberadaanku tak berarti.

Sejauh menyusuri jalan, besar harapan ayah dapat bercengkrama dan bersenda gurau denganmu. Ayah ingin mendengar celotehmu tentang dunia lain di luar lingkungan rumah kita. Apa saja cerita kehidupan sehari-hari bersama sahabat, kakak senior, dan para ustadz-ustadzmu.

Bahkan ayah sangat senang jika anak ayah menceritakan tentang pengalaman serta hasil belajarmu selama ini. Ayah suka saat kamu berkeluh-kesah, mengadu dan bertingkah manja di hadapan ayah.  Tersanjung rasa hatiku ketika butiran bening air mata menghias pipimu karena persoalan-persoalan yang melilitmu dengan detail kau ungkapkan lewat bibirmu.
Terasa sekali akulah ayahmu.

Tetapi sayang, kini kau sengaja mengganti posisi orang tuamu ini hanya dengan HP itu.
Senyum renyah, dan tawa kecilmu kau persembahkan pada sebatang alat itu.
Aku seakan hanya seorang satpam yang menjaga tuannya. Sungguh tegamu telah melewati rasa asih pada ayahmu...

Tatkala aku bertanya, kau hanya mengucapkan satu dua kalimat tanpa memperlihatkan perhatian. Bahkan seringkali kau merespon dengan anggukan. Nyata betul kau enggan menjawab kata-kata ayahmu ini.

Nak, sebegitu berharga barang itu bagimu hingga kehadiran ayahmu ini tak lagi bermakna.
Andai bukan karena rasa sayang sosok ayah pada anaknya, mungkin aku kembali ke rumah lebih awal dari waktunya.

Padahal begitu kau merasa kekurangan bekal, tanpa segan kau memaksa bagai prompak yang tengah menjarah. Seakan ayahmu tak boleh berkelit dengan secuil alasan.
Sebagai kepala rumah tangga, pasti ayah akan mengejar kemanapun rupiah ditemukan sekalipun harus menukar harga diri, sebagai bentuk tanggungjawab ayah.

Tak mengapa, bagi ayah garis hidup ini merupakan lika-liku yang harus dijalani. Pertemuan yang membelah jarak dan waktu antara dirimu dan ayah telah membasmi lelah.
Tetapi nak... Saat kita dekat, kau jauhkan dirimu dariku. Kau lebih memilih berselancar di dunia maya, bahkan kau memprioritaskan pertemanan.

Nak, di mana kau peroleh perilaku demikian ? Tidak mungkin guru-gurumu mengajarkan tentang ini semua.
Jika dalam sekian tahun yang kau habiskan hanya mampu memperlihatkan kelihaianmu bermain barang itu, berarti keberadaanmu di tempat ini tak ubahnya seperti anak-anak kampung kita. Mereka tak berpendidikan, namun mereka piawai menjalankan aplikasi HP-nya. Lalu buat apa kau memungut pundi-pundi dari ayah, bila eksistensimu hanya sebanding mereka ?
~
Semoga berkah
PESAN AYAH SAAT MENJENGUK ANAKNYA DI PESANTREN

Selasa, 16 Juli 2019

Kerasan Gak Kerasan Tetap Santri


oleh: Zainur Roziqin

            Pesantren merupakan salah satu lembaga berbasis agama yang keberadaannya cukup terkenal dikalangan masyarakat Indonesia, mulai dari petani, penyanyi sampai pejabat tinggi. Oleh karena itu banyak masyarakat yang antusias memondokkan anaknya di pesantren, meskipun sebagian orang tidak berpendapat demikian.
            Tak luput dari itu, pondok pesantren banyak menerima murid (santri) baru. Ada macam-macam alasan yang membuat mereka masuk pondok pesantren,ada yang karena keinginan sendiri, di suruh orang tua, punya permintaan yangharus dikabulkan, bahkan ada yang tidak mempunyai alasan sama sekali.
         ***
            Di  awal-awal masuk pesantren, ada hal-hal yang mengganggu santri yaitu rasa tidak kerasan, perasaan yang mengganggu santri itu sendiri, juga bahkan orangtuanya. Itu semua terjadi karena mereka kepikiran dengan masa-masa di rumahnya. Di saat temannya yang tidak mondok bisa bermain bebas, santri baru dituntut untuk disiplin tinggi, mengikuti peraturan-peraturan yang ada.
Kerasan Gak Kerasan Tetap Santri
Santri Baru PPRU I mengikuti kegiatan rutin pesantren

             “Nggak kerasan” juga didorong adanya santri lama yang suka usil, lebih-lebih santri baru yang masih berusia dini.  Perlakuan santri senior yang  berlebihan seperti, menggotong mereka sering sekali terjadi, disertai dengan ancaman agar mereka mau menuruti perintah seniornya.
            Bukan hanya itu  sebab santri baru “nggak kerasan”.  Air juga tergolong sebab paling berpengaruh, terutama untuk pondok yang daerahnya rawan musim kemarau semisal di Madura. Untuk minum saja santri masih harus ngantri. Coba bayangkan! Bagaimana perasaaan santri baru? Sumpek, gaes.Sumpah sumpek.
            Apalagi ditambah dengan kegiatan yang super-duper  padatnya, mulai dari subuh harus melek untuk salat berjemaah, dilanjutkan dengan ngaji Alquran dan kegiatan yang lainnya sampai jam 12 WIB, habis itu baru bisa tidur dengan pulas.
            Terus bagaimana solusi santri baru itu bisa kerasan? Yang menarik disini. Ada banyak hal yang biasa santri lama berikan kepada santri baru, contohnya:
santri baru harus sering-sering mengambil air minum, agar cepat kerasan
 (kok aneh ya, ngambil air bisa bikin kerasan?). Diyakini atau tidak, hal semacam ini ampuh membuat santri baru kerasan. Asalkan yakin.
            Tidak berhenti di situ, santri lama biasanya juga sengaja usil menyuruh santri baru melakukan pekerjaan aneh. Misalkan disuruh minum air kamar mandi (jeding:baca madura). Menurut sebagian orang di luar sana (bukan santri) minum air jeding bisa menyebabkan kerasan serta gratis tanpa harus mengurangi jatah kiriman. Aneh bukan?.
Pergi ziarah makam masyayikh juga menjadi solusi agar santri baru cepat kerasan, dengan cara bertawasul mulai dari membaca surat Yasin, tahlilan dan zikir-zikir thoyyibah lainya.
 Namun, seiring dengan berkembanganzaman yang begitu cepat, pondok pesantren kini bermacam bentuknya, ada yang bertahan dengan salafiyahnya dan ada juga yang berevolusi menjadi pesantren modern. Sehingga momen-momen santri yang saya uraikan sebelumnya juga sudah jarang sekali terjadi, terutama untuk pondok pesantren yang berbasis modern.
Kalau masih belum kerasan bagaimana? Oke, sebentar, gaes. Kerasan adalah hidayah dari Tuhan yang bisa kita peroleh dengan usaha, dan masih banyak usaha yang bisa dilakukan selain yang saya sebutkan di atas. Jadi hasil nggak pernah mengkhianati usaha, gaess.Yang penting dilakoni dulu.
                                                                        ***
Momentum ini (masa-masa berjuang untuk kerasan) akan menjadi kenangan manis yang akan selalu diingat para santri, serta menjadi bahan cerita ketika muncul santri baru lainnya.
            Maka:
jangan jadikan nggak kerasan itu cobaan, tapi jadikanlah sebuah mimpi buruk yang ketika terbangun akan hilang begitu saja

Bersabarlah duhai santribaru dan yakinlah Allah itu Mahamengetahui serta tidak pernah tidur.




Kamis, 13 Juni 2019

SANTRI UNTUK DESA SANTRI



Menjadi Kepala Desa pada saat ini tidak hanya perkara memenangi pemilihan saja. Visi dan misi harus jelas dari tiap calon dan tentu saja tidak sekedar janji yang bermuara pada pengingkaran. Sebab, kesejahteraan ekonomi warga desa memiliki peran yang sangat penting atas pembangunan negeri.

Situasi desa jaman sekarang berbeda dari yang tempo dulu sebelum UU Desa dibuat. Jika dahulu pedesaan ditempatkan pada pos-pos bagian paling belakang dengan porsi bantuan yang terbilang sedikit, dan kurang terurus secara serius, sehingga perangkat desa hanya berkutat pada masalah-masalah administratif belaka, maka di masa kini perangkat desa diandaikan tidak saja lihai mengelola manajemen administrasi, tetapi juga harus memiliki konsep yang jelas untuk kesejahteraan warga. Karena perhatian pemerintah pusat terhadap perkembangan desa-desa yang dibuktikan dengan ragam bantuan, disamping perlu diolah berlandaskan nilai-nilai juga butuh kompetensi dari segenap jajaran perangkat desa.

Itu artinya di masa-masa mendatang, Kepala Desa tidak hanya tampil sebagai pemuka masyarakat, tetapi lebih dari itu ia di tuntut dapat memerankan diri sebagai pemimpin struktural sekaligus kultural.

Apalagi perkembangan desa saat ini terbilang pesat. Dalam bidang ekonomi, misalnya, sekat desa dan kota kini tidak terlalu menganga. Selain karena besaran bantuan yang cukup prospektif, masyarakat pedesaan sebagaimana perkotaan juga diuntungkan oleh adanya perkembangan media sosial.  Penggunaan dan penguasaan internet bukan lagi monopoli masyarakat kota, namun telah menjalar kepada hampir semua penduduk pedalaman.

Oleh karenanya, jika perangkat desa mampu mendorong masyarakat untuk lebih kreatif lagi dalam menggunakan internet, maka jarak ekonomi desa dan kota semakin tipis.

Terlebih desa Ganjaran yang beberapa tahun silam ditetapkan dan diresmikan sebagai "Desa Santri", maka sosok Kepala Desa di wilayah yang memiliki 18 pesantren itu diimpikan pribadi yang mempunyai kemampuan-kemampuan antara lain:
1. Menjunjung, mempertahankan dan mengedepankan tinggi nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari.
2. Mengkoordinasikan sekaligus mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan antar semua unsur yang ada di desa.

Tentu saja periode jabatan tidak akan mampu menampung kepuasan setiap pihak, tetapi paling tidak terdapat aspirasi rakyat yang bisa diwujudkan, terutama dalam bidang pemberdayaan ekonomi, pemerataan pendidikan dan sistem hidup berbasis keagamaan.

Oleh karena itu pada Pilkades kali ini, merupakan cerminan dari masyarakat desa Ganjaran. Dari proses seleksi calon Kepala Desa ini akan diketemukan corak masyarakat yang benar-benar menjadi warga desa disebut-sebut sebagai "Desa Santri".

Bukan soal sosok yang maju sebagai calon, tetapi bagaimana tahapan demi tahapan pemilihan dilaksanakan sesuai nilai-nilai agama yang hingga kini diagung-agungkan. Secara sederhana dapat dikatakan, mampukah masyarakat desa Ganjaran mempraktikkan cara memilih pemimpin sesuai ajaran Islam ?

Sebab mencermati masing-masing calon yang telah siap merebut suara masyarakat, seluruhnya diyakini memiliki bekal keagamaan yang sudah mumpuni, walaupun dari sisi kompetensi keilmuan beragam. Tetapi paling tidak, masing-masing calon pernah mengenyam pendidikan berbasis agama.
~~~
SANTRI UNTUK DESA SANTRI

Berikut riwayat singkat keempat calon Kepala Desa Ganjaran:
***

Calon 01
Nama: Syaifulloh
Tempat/Tgl Lahir: Malang, 3 Juni 1987.
Alamat: Jl. Sumber Agung Ganjaran RT/RW: 32/4.
Istri: Imriti
Anak:
1. Muhammad Shonhaji.
2. Sayyidah Fatimah Azzahra.
Pendidikan Terakhir: IAI Al-Qolam.
Pengalaman Organisasi:
1. Anggota BEM IAI Al-Qolam 2007-2008.
2. Ketua Pengurus PP Raudlatul Mubtadiin 2006-2008.
***

Calon 02
Nama: Ali Shodiqin.
Tempat/Tgl Lahir: Malang, 14 Agustus 1980.
Alamat: Ganjaran RT/RW: 38/04.
Istri: Mutmainnah.
Anak:
1. Muhammad Badruttmam.
2. Syifa Maulani Azizah.
Pendidikan terakhir: MA Raudlatul Ulum.
Pengalaman organisasi:
1. IPNU.
2. Pramuka.
3. Bakti Husada, Baladika Jaya, dan beberapa kegiatan sosial lainnya.
***

Calon 03
Nama: Sinweni
Tempat/Tgl Lahir: Malang, 08 Februari 1982.
Alamat: Ganjaran RT/RW: 22/03.
Istri: Innas Shofa.
Anak:
1. Elina NF.
2. M. Hasbiallah al-Barizi.
3. Ahmad Assapura
Pedidikan terkahir: MA. Raudlatul Ulum.
Pengalaman Organisasi:
1. GP Ansor Ganjaran Gondangleg Malang.
***

Calon 04
Nama: Moh. Saiful.
Tempat/Tgl Lahir: Malang, 12 April 1985.
Alamat: Ganjaran.
Istri: Lailatul Alfia.
Pendidikan Terakhir: MA Raudlatul Ulum.
Pengalaman Organisasi:
..............
~~~
SANTRI UNTUK DESA SANTRI


Persoalan pilihan sepenuhnya berada di dalam hati nurani masyarakat desa Ganjaran. Tetapi jika proses Pilkades kali ini dikotori oleh perilaku kotor, maka pasti cerita akhirnya akan menghasilkan hal kotor pula.

Kondisi Pilkades saat ini adalah cermin dari masyarakat "Desa Santri".
~~~
Semoga berkah.
Penulis: Nilamic Tanjung
Editor: Gus Mad

Minggu, 02 Juni 2019

Analisa Kaderisasi KH Qosim Bukhori

Oleh : Gus Mad

Analisa Kaderisasi KH Qosim Bukhori

PP Raudlatul Ulum 2 Putukrejo kini memasuki generasi kedua, setelah KH Qosim Bukhori sebagai pendiri sekaligus pengasuh pertama mangkat sekian tahun yang lalu. Sekalipun tipologi kepemimpinan beliau lebih banyak tampil demokratis, namun saat itu beliau masih sendiri dalam mengasuh santri-santrinya.

Sekarang jajaran kepengasuhan pesantren di desa yang memiliki destinasi wisata "Sumber Sira" itu bercorak kolektif. Sebab, seluruh generasi Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah itu, baik putra maupun menantu, diberikan ruang luas untuk berperan melanjutkan dan mengembangkan warisan beliau.

Kepiawaian kiai Qosim Bukhori mempetakan posisi masing-masing putra-putra beliau inilah yang akan dicermati penulis dalam kolom singkat ini.
~~~

Di luar anak putri, beliau dikaruniai dua anak laki-laki, yaitu Gus Ja'far Shodiq (Gus Faris) dan Gus Muhammad Yusqi (Gus Yusqi). Kemudian ditambah putra menantu beliau, yakni Gus Muhammad Sulthoni (Gus Sulthon), Gus Muhammad Hamim Kholili (Gus Hamim) dan Gus Muhammad Madarik Yahya (Gus Mad).

Kelima putra inilah yang kini meneruskan jejak peninggalan beliau. Hebatnya, masing-masing didudukkan pada porsi yang sesuai keahliannya.
~~~

Gus Faris Dan Gus Yusqi

Mereka berdua diangkat oleh ayahnya sebagai pengganti yang memperjuangkan dzikir (Khalifah Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah). Proses regenerasi kepemimpinan ritual olah hati ini dilakukan oleh KH Qosim Bukhori jauh sebelum beliau jatuh sakit dengan surat "Washuiyah bil Khair" berisikan hasil istikharah yang dilakukan di tanah suci Mekkah.

Bahkan kenyataan bahwa Gus Faris senantiasa diikutsertakan dalam setiap agenda kegiatan Yai Qosim, menjadi simbol yang acapkali dimaknai oleh masyarakat sesungguhnya putra tertuanya itu sedang di gadang-gadang untuk menggantikan beliau.

Sedangkan kepada Gus Yusqi, kiai Qosim menjamin pemeliharaan perkembangan putra ketiga itu, walaupun masa-masa remajanya seringkali dinilai "agak nakal" oleh sebagian alumni.

Kaderisasi kedua putranya ini cukup maklum, karena disamping lahir dan besar dari "rahim pesantren", keduanya pernah mengenyam pendidikan pesantren.

Gus Mad (penulis)
Hampir semua anggota keluarga menilai bahwa penulis dirancang oleh beliau sebagai pihak yang patut berjibaku dengan segala problematika di dunia pendidikan. Tidak seperti kedua putranya yang diarahkan melalui wasiat, kadar kualifikasi penulis di takar oleh beliau lewat isyarat-isyarat.

Dua dari sekian banyak isyarat tersebut adalah:
Pertama, beliau tidak saja menyuruh penulis melanjutkan akademik ke jenjang S2, namun rela menanggung separo biayanya.
Kedua, penulis merupakan satu-satunya keluarga yang dibebani amanah "pengajian kitab Ta'lim Muta'allim" setiap Sabtu pagi bagi santri.

Arahan beliau terhadap penulis juga tidak mengherankan, sebab semenjak kecil hingga dewasa, penulis besar dalam buaian pendidikan pesantren dan perguruan tinggi agama Islam.

Gus Hamim
Salah satu putra pengasuh PP Miftahul Ulum/PPRU IV Ganjaran itu jelas-jelas diperintahkan oleh KH Qosim Bukhori untuk berdagang dan berjuang di ranah politik.

Model regenerasi ini agak aneh, pasalnya cucu KH As'ad Ismail itu diposisikan berada di luar ekspektasi keilmuan yang dialaminya. Diketahui bahwa Gus yang kini menjadi Ketua Dewan Syuro PKB Malang itu sejak kecil berada di lingkungan pesantren, belajar di pesantren kemudian meneruskan ke tingkat perguruan tinggi agama. Namun ternyata Yai Qosim Bukhori menitahkan Gus Hamim untuk berniaga dan masuk ke gelanggang politik.

Ada apa dibalik perintah itu ? Tentu Yai Qosim lebih faham mengenai hal itu. Kalangan orang awam mungkin kesulitan menangkap nalar dibalik fakta ini, tetapi bagi kaum akademisi masih dapat direka-reka melalui pendekatan normatif.

Dalam membaca potret kaderisasi Yai Qosim terhadap Gus satu ini dibidang bisnis, bisa diteropong melalui pendekatan hadits:

ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ [إلَى آخَر الرِّوَايَة].
فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِين.
فَاخْتَلَفْنَا بَيْنَنَا. فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ: تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، حَتَّى يَكُونَ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ.
(رواه البخاري)
فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ.  (رواه مسلم)

Sementara dibidang politik, dapat dipahami melalui hadits:

أَبْلِغُوْا حَاجَةَ مَنْ لاَ يَسْتَطِيْعُ إِبْلاَغَ حَاجَتِهِ
فَمِنْ أَبْلَغَ سُلْطَانًا مَنْ لاَ يَسْتَطِيْعُ إِبْلَاغَهَا ثَبَّتَ اللهُ تَعَالَى قَدَمَيْهِ عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الطبرانى)

Gus Sulton 
Sedangkan Gus ini berada di garda depan dalam persoalan supranatural. Apalagi suami Ning Bariroh itu merupakan salah satu sosok yang ditokohkan di dunia persilatan lewat naungan perserikatan persilatan BS (Bintang Surya).

Kendatipun komunikasi Gus Sulthon di masa hidup mertuanya tidak begitu intens, tetapi berdasarkan atas pengakuannya, setelah wafat Yai Qosim Bukhori, Gus asal Pulau Garam itu seringkali mendapat petunjuk-petunjuk dari mendiang Yai Qosim.

Fakta ini menggambarkan bahwa sosok yang memiliki lima putra itu secara tidak langsung diposisikan sebagai generasi yang mempunyai spesifikasi di bidang "kanuragan".

Hal demikian itu bisa dicermati dari perjalanan hidupnya yang didedikasikan untuk membantu kepentingan orang banyak, seperti menolong tetangga yang sedang pailit, sesama yang tengah dilanda sakit, pihak-pihak yang lagi memikul hajat politik dan bahkan tidak jarang para santri dari beberapa pesantren yang di rundung lara serta ragam pengaduan yang harus diatasi lewat "kekuatan ghaib".

Analisa Kaderisasi KH Qosim Bukhori


Alhasil, Yai Qosim Bukhori memancang menantu kedua ini dalam spesifikasi "dunia luar nalar" bagi pesantren PPRU 2 Putukrejo. Sekalipun tidak merta memainkan peran di dalam perkembangan pesantren, tetapi secara implisit Gus Sulthon telah banyak memeras keringat terhadap keberlangsungan peninggalan Yai Qosim Bukhori dari luar pagar pesantren.
~~~

Semoga berkah.