Jumat, 27 Januari 2023

The Labyrinth (Resensi) - Oleh: Maátul Qonitatillah



Judul: The Labyrinth

Penulis: Syarifah Fatima Musawa

Penerbit: PT. Zamrud Khatulistiwa Media

Tahun: 2019

Tebal: 129 halaman

 

Pernah ngerasa nggak sih, berada di titik kegalauan tanpa sebab? Suatu kegalauan dan kegundahan yang berada pada diri kita adalah sebuah pilihan yang telah kita pilih sendiri untuk menyelimuti diri kita. Yang menjadikan kegundahan menjadi teman kita, kegalauan yang terkadang singgah pada diri kita, merupakan hal yang wajar seperti ketika kita mengingat-ingat kembali setiap detail kenangan menyedihkan yang pernah terjadi dan tanpa sadar menjadikan diri kita terlarut dalam lautan kesedihan.

Ketika terluka, sedih itu wajar, menangislah. Tapi setelah itu jangan pilih kesedihan. Sebab, kalau kamu pilihnya sedih, nanti akan muncul pertanyaan dalam diri kamu, bahwa “aku tidak pernah bahagia” atau “aku tidak tahu seperti apa kebahagiaan itu”. (hal 97)

Buku “The Labyrinth” ini dikelola dan disajikan kepada para pembacanya untuk lebih banyak lagi bermuhasabah (intropeksi diri). Sejatinya kebahagiaan dan kesedihan itu adalah pilihan dari kita sendiri. Suatu kebahagiaan tak pernah melangkah pergi, karena sesekali kebahagiaan mengunjungi diri kita lewat berbagai kejadian dalam hidup kita, akan tetapi seringkali dari kita tidak menyadarinya. Sebab, bagaimanapun jalan yang sering kita pilih adalah luka dibandingkan menyukuri segala pemberiannya, oleh karena itu, buku “The Labyrinth” ini hadir untuk menyadarkan kita semua tentang perihal tersebut.

Ada sebuah perkataan hikmah yang berbunyi sebagai berikut: “Kalau seorang hamba mengetahui apa yang terjadi di balik tabir takdir Allah SWT, maka dia tidak akan mengharap atau meminta apapun selain apa yang sudah ia memiliki. Kenapa? Karena Allah tahu yang terbaik untuk kita, meskipun yang terbaik itu tidak selalu kita sukai.

Terkadang Allah SWT tidak memberikan kita sesuatu yang kita inginkan, tapi memberikan sesuatu yang kita butuhkan, walau terkadang seringkali terjadi prasangka buruk (suudzon) pada diri kita terhadap Allah SWT. Sebagaimana di dalam hadist qudsi yang artinya: “Aku berada pada prasangka hamba-Ku, maka hendaknya ia berprasangka terhadap-Ku seperti apa yang dia inginkan”

Di dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana sikap yang harus kita ambil ketika kita berada di tengah-tengah lingkungan yang menilai kita “Sok Suci, sok syar’i, sok alim, dan sok sok yang lainya”. Dan ternyata sungguh menakjubkan bahwasanya Rasulullah SAW sudah pernah membahas perihal ini dari seribu empat ratus tahun yang lalu, saat agama kita mendapat cacian, hujatan, fitnah, dan lain-lain.

Mereka yang melakukan perbuatan tersebut terhadap agama Islam tak lain disebabkan karena mereka tidak tahu dan dangkalnya kepahaman mereka mengenai agam Islam. Dan alangkah baiknya kita, sebagai penganut agama Islam, sudi memberitahu dan membuat mereka mengerti dengan budi pekerti mulia yang penuh kasih saying, bukan dengan kata-kata yang semu.

Islam adalah agama yang indah, adil dan sama sekali tidak pernah menganjurkan umatnya untuk berburuk sangka pada sesama, bahkan kepada yang non-muslim sekalipun. Kita tetap diminta untuk berakhlak baik dan selalu berbaik sangka. Kalau bukan kita sendiri yang menerapkan apa yang telah diajarkan oleh agama kita, jangan salahkan orang lain ketika merek terus beranggapan buruk terhadap agama kita.

Buku “The labyrinth” adalah buku yang sangat pas dibaca ketika kita ingin memperbanyak merenungi diri dan menjadi pribadi yang lebih baik. Juga cocok dibaca oleh semua kalangan termasuk kalangan remaja, karena bahasanya yang ringan akan tetapi mengena di hati.

 


 






Previous Post
Next Post

Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 adalah pesantren salaf yang didirikan oleh KH. Yahya Syabrowi, Menggenggam Ajaran Salaf, Menatap Masa Depan

0 comments: