Senin, 19 Februari 2024

Pandangan Islam terhadap Ilmu Weton: Perspektif Terhadap Penggunaan Tradisi Jawa dalam Konteks Agama

PPRU 1 Fiqh | Dalam konteks masyarakat Jawa, ilmu weton merupakan suatu tradisi yang sangat dipegang kuat dan menjadi peneropong masa depan sebuah hubungan pernikahan. Konsep ini menggunakan perhitungan berdasarkan tanggal dan bulan kelahiran kedua calon mempelai. Meskipun menjadi bagian dari warisan budaya yang turun temurun, pandangan Islam terhadap ilmu weton mengajukan pertimbangan yang berbeda.

Ada dua pendekatan yang digunakan dalam menilai ilmu weton dalam konteks Islam:

  1. Ilmu Weton berdasarkan Riset: Jika ilmu weton didasarkan pada riset ilmiah dan objektif, seperti penelitian astronomi atau ilmu pengetahuan lainnya, maka dalam pandangan Islam, ilmu ini dianggap sebagai ilmu mubah (boleh). Penggunaan ilmu weton dalam konteks ini dianggap sah, sebagaimana penggunaan ilmu astronomi untuk menentukan tanggal peristiwa atau perhitungan hari baik.
  2. Ilmu Weton berdasarkan Pendapat: Namun, jika ilmu weton didasarkan pada pendapat subjektif seseorang tanpa dasar riset yang jelas, maka hal tersebut membutuhkan penilaian lebih lanjut dalam Islam. Jika orang yang mengeluarkan ramalan weton adalah seorang yang saleh dan memiliki kualitas diri yang dapat dikonfirmasi oleh syariat, maka penggunaan weton dalam konteks ini mungkin diperbolehkan.

Namun, secara umum, Islam menegaskan bahwa segala sesuatu, termasuk nasib seseorang, sepenuhnya dalam kehendak Allah SWT. Keyakinan bahwa weton atau ramalan memiliki pengaruh yang tidak dapat diubah terhadap nasib seseorang adalah pandangan yang bertentangan dengan prinsip keimanan Islam.

Dalam praktiknya, sikap yang tepat bagi umat Islam adalah tetap berbaik sangka kepada Allah SWT bahwa apapun wetonnya, pasti itu adalah hari yang baik. Keyakinan bahwa nasib seseorang ditentukan semata oleh Allah SWT harus tetap dipegang teguh, tanpa mengaitkannya secara mutlak dengan ramalan atau ilmu weton.

Minggu, 18 Februari 2024

Model Suksesi Kepemimpinan dalam Sejarah Islam: Menyelami Prinsip Politik dan Syariat

PPRU 1 Fiqh | Dalam Islam, prinsip politik merupakan bagian integral dari hukum sosial (mu’amalah). Prinsip dasar hukum sosial adalah ibahah, yang menyatakan bahwa dalam fiqih, semua hal diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dengan demikian, prosedur politik dalam Islam tidak selalu memerlukan dalil yang spesifik dari teks agama; prinsip-prinsip umum moral yang bersifat universal juga menjadi pedoman.

Dasar Pembentukan Pemerintahan dalam Islam

Dalam Islam, pembentukan pemerintahan didasarkan pada kemaslahatan umum, yang tergambar dalam prinsip-prinsip umum dalam berbagai seruan moral. Secara operasional, Islam memberikan fleksibilitas dan kesesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu tata negara.

Mekanisme Pengangkatan Pemimpin

  1. Bai’at: Bai’at adalah janji dan sumpah setia ketundukan terhadap seorang pemimpin untuk menjalankan segala urusan dirinya dengan rakyat. Dalam sejarah Islam, bai’at pertama kali terjadi pada pengukuhan Abu Bakar sebagai pemimpin, melalui musyawarah yang dilakukan dengan para sahabat.
  2. Istikhlaf: Istikhlaf adalah wewenang khusus seorang pemimpin untuk menunjuk pengganti setelahnya, berdasarkan pertimbangan maslahat. Abu Bakar contohnya, menunjuk Umar bin Khatthab sebagai penggantinya dengan mempertimbangkan kebutuhan umat.
  3. Taghallub: Taghallub adalah pemaksaan atau penggulingan pemimpin sebelumnya (kudeta), tanpa melewati proses bai’at atau istikhlaf. Meskipun tidak prosedural, keabsahan taghallub diperbolehkan dalam kondisi tertentu, seperti untuk menghindari kerusakan yang lebih besar.

Hikmah dalam Mekanisme Kepemimpinan

Masing-masing mekanisme pengangkatan pemimpin dalam Islam memiliki hikmah tersendiri. Nabi Muhammad saw memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menentukan cara yang paling maslahat dalam memilih pemimpin, sesuai dengan tuntutan zaman, tempat, dan kondisi sosial.

Dengan demikian, Islam memberikan pedoman yang luas dan fleksibel dalam pengaturan politik dan kepemimpinan, dengan prinsip utama kemaslahatan umum sebagai landasan utamanya.

Dengan menelusuri model-model suksesi kepemimpinan dalam sejarah Islam, kita dapat mengambil pelajaran berharga tentang kebijaksanaan dan kebijakan politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Hal ini membuka ruang bagi umat Islam untuk terus mengembangkan sistem politik yang adil dan berkeadilan, sesuai dengan tuntutan zaman dan nilai-nilai agama.

Sabtu, 17 Februari 2024

3 Tugas Seorang Suami Menurut Ajaran Islam: Memahami Tanggung Jawab Keluarga dalam Perspektif Agama

PPRU 1 Fiqh | Dalam kehidupan berumah tangga, peran seorang suami tidak hanya sebatas mencari nafkah, namun juga mencakup tanggung jawab yang lebih luas sesuai dengan ajaran Islam. Dalam artikel ini, kita akan membahas tentang 3 tugas utama seorang suami menurut ajaran Islam, serta pentingnya memahami tanggung jawab keluarga dalam perspektif agama.

Memberi Nafkah: Tanggung Jawab Finansial

Salah satu tugas utama seorang suami dalam Islam adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Hal ini sejalan dengan ajaran Al-Qur'an yang menegaskan bahwa ayah bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya. Sebagaimana yang disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 233:

"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf."

Ini menunjukkan bahwa pembagian peran dalam keluarga Islam tidak hanya berpusat pada mencari nafkah, tetapi juga mencakup tanggung jawab untuk memberikan perlindungan finansial kepada istri dan anak-anak.

Mengajarkan Aqidah: Menjadi Pembimbing Rohani

Selain tanggung jawab finansial, seorang suami juga memiliki peran penting dalam mengajarkan aqidah kepada keluarganya. Ini termasuk memperkenalkan konsep-konsep dasar dalam Islam kepada anak-anak sejak dini. Sebagaimana yang disebutkan oleh Habib Abdullah bin Husain Ba'alawi, bahwa wali anak perlu mengajarkan anak-anak tentang shalat dan konsep halal dan haram setelah mencapai usia tertentu.

Ini menunjukkan bahwa sebagai pembimbing rohani dalam keluarga, seorang suami bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan agama kepada istri dan anak-anaknya, membimbing mereka menuju pemahaman yang lebih dalam tentang aqidah Islam.

Menjadi Pembimbing: Memperkuat Hubungan Keluarga

Sebagai kepala keluarga, seorang suami juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi pembimbing bagi istri dan anak-anaknya dalam segala aspek kehidupan. Ini mencakup memberikan nasihat, memimpin dengan contoh yang baik, dan memastikan hubungan keluarga tetap harmonis.

Dalam melakukan tugas ini, seorang suami perlu memahami bahwa pendekatan yang lembut dan penuh kasih sayang lebih efektif daripada kekerasan atau otoritas yang berlebihan. Menurut Syaikh Muhammad Salim Ba Bashil al-Syafi’i, seorang suami harus memberikan pelajaran pada istri yang telah dewasa dan memperbaiki perilakunya, namun dengan cara yang lembut dan penuh kesabaran.

Dengan memahami dan melaksanakan tugas-tugas ini sesuai dengan ajaran Islam, seorang suami dapat membangun keluarga yang kokoh dan harmonis, serta membawa berkah dan keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.

Penutup

Dalam Islam, seorang suami tidak hanya bertanggung jawab untuk mencari nafkah, tetapi juga memiliki peran yang lebih luas dalam memimpin, membimbing, dan memberikan perlindungan kepada keluarganya. Dengan memahami dan melaksanakan tugas-tugas ini sesuai dengan ajaran agama, seorang suami dapat membawa keberkahan dan kesuksesan dalam kehidupan berumah tangga.

 

Jumat, 16 Februari 2024

Tempat Bersejarah di Masjid Al-Aqsa Terkait Isra' dan Mi'raj: Membahas Keagungan Spiritual di Tanah Suci

PPRU 1 Sejarah | Masjid Al-Aqsa atau Baitul Maqdis adalah sebuah tempat suci yang penuh berkah, terhitung sebagai salah satu dari tiga masjid suci dalam Islam bersama dengan Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Masjid Al-Aqsa tidak hanya memiliki nilai sejarah yang luar biasa, tetapi juga menjadi tempat penting dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj, yang digambarkan dalam Al-Qur'an.

Keagungan Masjid Al-Aqsa dalam Isra' dan Mi'raj

Dalam perjalanan Isra' dan Mi'raj, Rasulullah SAW mengalami momen luar biasa di Masjid Al-Aqsa. Ia bertemu dengan para nabi dan rasul sebelum mengimami mereka dalam shalat. Hadis-hadis yang menggambarkan pengalaman ini menambah keistimewaan tempat suci ini dalam pandangan umat Islam.

Tempat-Tempat Bersejarah di Masjid Al-Aqsa

  1. Tembok Buraq: Tempat di mana Rasulullah mengikat Buraq sebelum memasuki Masjid Al-Aqsa. Tembok ini memiliki nilai spiritual yang mendalam bagi umat Islam.
  2. Kubah Batu: Di dalam Masjid Al-Aqsa, terdapat kubah yang menyimpan batu besar yang diyakini sebagai pijakan Rasulullah dalam peristiwa Mi'raj.
  3. Mihrab Nabi Muhammad: Tempat ini adalah tempat di mana Rasulullah mengimami shalat para nabi dan rasul, memperkuat ikatan spiritual dengan tempat tersebut.

Hubungan Dengan Sejarah

Masjid Al-Aqsa, yang dibangun oleh Nabi Sulaiman, memiliki hubungan sejarah yang kuat dengan Masjid al-Haram di Makkah. Jarak waktu pembangunannya yang diperkirakan 40 tahun setelah Masjid al-Haram menambah nilai sejarahnya.

Kebangkitan Spiritual

Mengunjungi Masjid Al-Aqsa tidak hanya memberikan pengalaman spiritual yang mendalam tetapi juga memperkaya pemahaman kita akan sejarah Islam. Perjalanan Isra' dan Mi'raj merupakan contoh konkret dari keajaiban yang Allah berikan kepada Rasulullah sebagai bukti kebenaran ajaran Islam.

Kesimpulan

Masjid Al-Aqsa adalah tempat yang sarat dengan nilai sejarah dan spiritual bagi umat Islam. Peristiwa Isra' dan Mi'raj memperkuat ikatan antara tempat suci ini dengan kehidupan Rasulullah SAW. Mengenal lebih dalam tentang tempat-tempat bersejarah di Masjid Al-Aqsa tidak hanya meningkatkan pemahaman kita akan sejarah Islam tetapi juga memperdalam keimanan dan kecintaan kita kepada agama ini.

Kamis, 15 Februari 2024

Keabsahan Peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad: Tafsir Surat An-Najm Ayat 13-15

PPRU 1 Hikmah | Ayat-ayat Surat An-Najm ayat 13-15 sangat penting untuk memahami peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad saw. Meskipun ayat-ayat tersebut singkat, mereka mengandung makna yang dalam dan menjadi bukti keabsahan peristiwa tersebut. Dalam tafsir ayat-ayat tersebut, para ulama menggunakan mereka sebagai dasar untuk menjelaskan peristiwa Isra' dan Mi'raj, yang terjadi sebelum hijrah Nabi Muhammad saw ke Madinah.

Dalam tafsir Al-Misbah karya Profesor Quraish Shihab, ayat-ayat ini dianggap sebagai dasar tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj. Sumpah pada awal surat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw sangat jujur dalam menyampaikan berita tentang perjalanannya ke langit dalam peristiwa Mi'raj. Ayat-ayat tersebut juga menjelaskan bahwa apa yang dilihat oleh Nabi Muhammad saw adalah sesuatu yang nyata dan tidak melebihi batas.

Beberapa ulama berpendapat bahwa yang dilihat oleh Nabi Muhammad saw adalah Tuhan. Namun, ada penolakan terhadap pendapat ini, dan dikatakan bahwa apa yang dilihat oleh Nabi Muhammad saw adalah Malaikat Jibril. Dalam tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw melihat Jibril dalam wujud aslinya saat peristiwa Mi'raj. Ayat-ayat ini menegaskan kebenaran peristiwa tersebut dan bahwa Nabi Muhammad melihat Jibril dalam wujud aslinya, bukan hanya sekali, tetapi dua kali selama hidupnya.

Dalam tafsir Marah Labib karya Syekh Nawawi Banten, dijelaskan bahwa peristiwa Isra' Mi'raj terjadi di langit ketujuh, di dekat pohon sidratul muntaha. Pohon ini digambarkan sebagai pohon yang penuh dengan keindahan dan kemegahan, di sebelahnya terdapat Surga Ma'wa. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya di dekat pohon tersebut.

Secara keseluruhan, ayat-ayat Surat An-Najm ayat 13-15 memberikan bukti keabsahan peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad saw. Mereka menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya selama peristiwa tersebut, yang merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan beliau.

Rabu, 14 Februari 2024

Isra' Mi'raj dalam Perspektif Sejarah Islam: Hukum, Pengertian, dan Kontroversi

PPRU 1 Fiqh | Isra' Mi'raj, peristiwa luar biasa dalam sejarah Islam, telah menjadi subjek perdebatan dan kontroversi di antara umat Islam. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi hukum, pengertian, dan kontroversi seputar Isra' Mi'raj, serta relevansinya dalam kehidupan umat Islam modern.

Pengertian Isra' Mi'raj dan Kontroversinya

Isra' Mi'raj merujuk pada perjalanan luar biasa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di Palestina, dan dari sana menuju Sidratul Muntaha. Perjalanan ini dianggap sebagai bukti kebesaran dan mukjizat Nabi Muhammad SAW.

Meskipun banyak umat Islam meyakini kebenaran Isra' Mi'raj, namun ada juga yang mengingkari atau meragukannya. Kontroversi terutama muncul terkait dengan sifat perjalanan tersebut, apakah bersifat fisik atau ruhaniah, serta kebenaran detail-detailnya.

Hukum Mengingkari Isra' Mi'raj Menurut Perspektif Islam

Dalam ajaran Islam, meyakini Isra' Mi'raj adalah kewajiban. Mengingkari peristiwa ini dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak tepat dan dapat membawa konsekuensi serius, bahkan hingga pada kekufuran.

Meskipun ada perbedaan pendapat di antara ulama terkait sifat perjalanan Isra' Mi'raj, namun mayoritas sepakat bahwa peristiwa ini adalah perjalanan fisik yang sebenarnya, bukan hanya pengalaman ruhaniah semata.

Relevansi Isra' Mi'raj dalam Kehidupan Umat Islam Modern

Meskipun Isra' Mi'raj terjadi pada masa lampau, namun relevansinya tetap terasa dalam kehidupan umat Islam modern. Peristiwa ini mengajarkan umat Islam tentang kebesaran Allah SWT, kekuatan iman, dan keteguhan keyakinan dalam menghadapi tantangan.

Peringatan Isra' Mi'raj juga menjadi momen untuk merefleksikan hubungan spiritual dengan Allah SWT, serta untuk memperkokoh ikatan keagamaan dalam komunitas Muslim. Hal ini menjadi penting dalam menjaga keberagaman umat Islam dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam.

Penutup

Isra' Mi'raj adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang memiliki dampak yang besar dalam pengembangan ajaran Islam. Meskipun kontroversinya, keberadaannya tetap menjadi landasan iman bagi umat Islam di seluruh dunia. Semoga pemahaman yang lebih baik tentang Isra' Mi'raj dapat membawa umat Islam menuju kehidupan yang lebih bermakna dan berarti.

Selasa, 13 Februari 2024

Posisi Hak Suara dalam Pemilu Menurut Islam: Kewajiban Syariat dan Implikasinya

 

PPRU 1 Fiqh | Pemilihan pemimpin di Indonesia adalah hak warga negara, yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 30/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun, perspektif Islam juga memberikan pandangan unik terkait hak suara dalam pemilu. Dalam Islam, memilih pemimpin adalah bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban syariat.

Hak Suara Menurut Hukum Islam

Menurut pandangan Islam, memilih pemimpin adalah kewajiban yang diatur oleh syariat. Rasulullah Muhammad SAW bahkan menjelaskan bahwa para sahabat telah sepakat akan pentingnya memilih pemimpin setelah beliau wafat. Artinya, hak suara bukan hanya sekadar hak, tetapi juga amanah yang harus dipenuhi dengan penuh tanggung jawab.

Implikasi Pemilihan Pemimpin dalam Islam

  1. Mewujudkan Kepemimpinan yang Baik: Hak suara adalah alat untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil dan bijaksana. Dalam Islam, saling tolong-menolong dalam mewujudkan kebaikan adalah ajaran yang ditekankan. Oleh karena itu, memilih pemimpin yang baik adalah bagian dari kewajiban umat Muslim.
  2. Hak Suara Sebagai Amanah: Hak suara kita adalah amanah yang dipercayakan oleh negara kepada rakyatnya. Tidak menggunakan hak suara dianggap sebagai tindakan berkhianat terhadap negara, sesuai dengan ajaran Al-Qur'an yang melarang perbuatan khianat.
  3. Wujud Permushawaratan: Memilih pemimpin melalui pemilu adalah wujud dari prinsip musyawarah dalam Islam. Dalam sejarah, para sahabat Umar bin Khattab bahkan menggunakan sistem musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam.

Kesimpulan

Dalam Islam, hak suara bukan sekadar hak, tetapi juga kewajiban yang diatur oleh syariat. Memilih pemimpin yang baik adalah bagian dari tanggung jawab umat Muslim dalam mewujudkan kebaikan dan keadilan dalam masyarakat. Dengan memahami pentingnya hak suara dalam Islam, kita diingatkan akan tanggung jawab kita sebagai warga negara untuk memilih pemimpin yang terbaik bagi kepentingan bersama.

Senin, 12 Februari 2024

Perbedaan Suap dan Hadiah dalam Fiqih Islam: Pemahaman dan Implikasinya

 

PPRU 1 Fiqh | Dalam konteks hukum Islam, penting untuk memahami perbedaan antara suap dan hadiah. Keduanya merupakan bentuk pemberian, namun memiliki implikasi hukum yang berbeda. Artikel ini akan menjelaskan konsep, pandangan fiqih Islam, dan implikasi hukum positif terkait dengan suap dan hadiah.

Perbedaan Konseptual antara Suap dan Hadiah

Suap atau risywah adalah pemberian dengan motif agar penerima suap bersedia melakukan hal-hal yang menyimpang. Di sisi lain, hadiah atau sedekah adalah pemberian murni atas dasar sukarela dengan motif ukhrawi seperti pahala atau dengan tujuan memuliakan orang.

Pendekatan Fiqih Islam terhadap Suap dan Hadiah

Menurut Imam Al-Ghazali, istilah pemberian mencakup hadiah, sedekah, dan suap. Namun, yang membedakan ketiganya terletak pada motif pemberian. Suap dilarang dalam Islam karena memiliki motif yang tidak benar dan bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.

Implikasi Hukum Positif

Dalam ilmu Hukum Pidana, ada perbedaan pada adanya "meeting of minds" atau kesepakatan antara pemberi dan penerima suap. Dalam tindak pidana suap, terdapat kesepakatan antara keduanya, sementara dalam pemberian hadiah atas dasar kewenangan tidak terdapat kesepakatan seperti itu.

Kesimpulan

Memahami perbedaan antara suap dan hadiah adalah penting dalam konteks hukum Islam dan hukum positif. Suap tidak hanya melanggar prinsip-prinsip agama, tetapi juga melanggar hukum positif yang mengatur tindak pidana suap. Oleh karena itu, penting untuk menghindari praktik suap dan memahami implikasi hukumnya.

Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat menjaga integritas dan keadilan dalam masyarakat serta mematuhi prinsip-prinsip agama Islam.

Minggu, 11 Februari 2024

Tasaruf Uang Politik Perspektif Fiqih dan Hukum Positif

PPRU 1 Fiqh | Politik uang, yang secara jelas dinyatakan sebagai perbutan haram dalam fatwa MUI, Bahtsul Masail NU, dan Majelis Tarjih Muhammadiyah, serta diatur dalam hukum positif, seringkali masih menjadi masalah dalam penyelenggaraan pemilu. Namun, ketika seseorang sudah terlanjur menerima uang politik, bagaimana seharusnya penanganannya?

Perspektif Fiqih

Menurut fiqih, uang yang diperoleh dari politik uang disamakan dengan risywah, atau suap, yang hukumnya haram. Bagi yang sudah menerimanya, tidak diperbolehkan untuk memiliki atau menggunakan uang tersebut. Sebaliknya, uang tersebut harus dikembalikan.

Berikut adalah langkah-langkahnya, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab

  1. Mengembalikan kepada pemilik atau wakilnya. Jika pemiliknya meninggal, uang tersebut diserahkan kepada ahli warisnya.
  2. Jika pemiliknya tidak diketahui, maka uang tersebut dialokasikan untuk kemaslahatan umum atau disedekahkan kepada fakir miskin.
  3. Jika qadhi tidak dapat dipercaya, uang tersebut diserahkan kepada orang yang dianggap cakap dalam urusan agama.

Dengan demikian, uang yang diperoleh dari politik uang harus diserahkan kepada yang berhak atau dialokasikan untuk kepentingan umum.

Perspektif Hukum Positif

Dalam hukum positif, menyalurkan uang haram dari politik uang ke sektor kemaslahatan umum atau fakir miskin dapat termasuk dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), sebagaimana diatur dalam UU No. 8/2010. TPPU mengatur bahwa setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan harta hasil tindak pidana pencucian uang dapat dipidana dengan kurungan penjara hingga 20 tahun dan denda hingga Rp10 miliar.

Dengan demikian, yang sesuai baik dalam perspektif fiqih maupun hukum positif adalah mengembalikan uang tersebut kepada negara, atau diserahkan kepada qadhi untuk kemudian ditasarufkan sesuai peruntukannya.

Kesimpulan

Dalam menyikapi uang politik yang sudah diterima, penting untuk mematuhi prinsip-prinsip agama dan hukum yang berlaku. Dengan mengikuti pedoman fiqih dan hukum positif, kita dapat menjaga kebersihan dan keadilan dalam praktek politik serta menegakkan nilai-nilai moral dan keadilan dalam masyarakat.