Selasa, 13 Oktober 2015

Kajian Puisi: Batasan Puisi dan Masalahnya




Pengertian Puisi
Apakah puisi itu? Pertanyaan sederhana itu ternyata tidaklah mudah menjawabnya. Batasan mengenai puisi sulit untuk diberikan. Pada bagian awal ini dicoba mencari batasan puisi melalui puisi para penyair, perhatikan beberapa puisi berikut ini.

SAJAK
O, bukannya dalam kata yang rancak
kata yang pelik kebagusan sajak.
O, pujangga, buang segala kata,
yang akan cuma mempermainkan mata,
dan hanya dibaca selintas lalu,
karena tak keluar dari sukmamu.

Seperti matahari mencintai bumi,
memberi sinar selama-lamanya,
tidak meminta sesuatu kembali,
harus cintamu senantiasa.
(Sanusi Pane)

SAJAK
Jari-jari dalam diri
bagai akar yang pernah berhenti
menggali bumi, makin dalam
makin dalam di dalam kelam

jari-jari yang menulis kata
makin keras makin keras
bagai pisau tajam
mengoyak-ngoyak badan

mimpi dalam urat-urat diri
mengalir berdebur-debur
bagai ombak, bagai gelombang
tak tahu pulang
(Wing Karjo)

PUISI 24
Puisi: bukanlah persinggahan
bagi petualang yang suntuk mengarungi
bukit-bukit
rumah abadi ia
tempat penyair mencuci jiwa
yang kerontang oleh kemarau panjang
(Tengsoe Tjahjono, 2003)

PUISI
Bukanlah kumpulan kata
kata yang menarik dan
memikat penglihatan,
bukanlah kalimat-kalimat yang
sulit dipahami dan dimengerti
tapi sebuah curahan hati curahan jiwa
curahan pikiran  dan imajinasi
dari hasil pengalaman pribadi
dalam hidup ini
dan alam mimpi.
(A.D)

Ada banyak penyair menulis puisi atau sajak mengenai puisi atau sajak itu sendiri. Tanpa sadar mereka mengungkapkan apa itu puisi bagi dirinya sendiri sebagai penyair.

Dalam puisi yang berjudul Sajak Sanusi Pane menunjukkan bahwa kebagusan puisi atau sajak bukan terletak pada keindahan bahasanya. Kata-kata indah hanya akan mempermainkan pembacanya jika tidak sungguh-sungguh keluar dari jiwa penyair.

Sajak bagi Wing Karjo lahir dari jari-jari penyair yang menggali secara mendalam persoalan yang muncul di bumi dan semesta ini. Kesadaran untuk menulis bagi penyair bagai panggilan yang terus-menerus membutuhkan n jawaban.

Namun, di sisi lain Tensoe Tjahjono memandang puisi bukan sebagai tempat pelarian bagi orang yang gagal atau letih menjalani hidupnya. Puisi baginya adalah rumah abadi tempat penyair mencuci jiwanya.

Sedangkan menurut A.D puisi adalah sebuah curahan hati, jiwa, pikiran dan imajinasi penyair berdasarkan pengalamannya dalam kehidupan nyata maupun alam mimpi. Bukan sekumpulan kata ataupun kalimat yang diperindah dan dipercantik sehingga memikat penglihatan pembaca.

Penyair-penyair tersebut terlihat tidak mempersoalkan bagaimana bentuk puisi itu seharusnya. Yang mereka kemukakan adalah bagaimana seharusnya kandungan dan amanat sebuah puisi. Kata-kata indah yang tidak keluar dari kejujuran jiwa hanya akan menyesatkan pembaca.

Secara etimologis kata puisi berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti membuat, poeisis yang berarti pembuatan, atau poeities yang berarti pembuat, pembangun atau pembentuk. Di Inggris puisi itu disebut poem atau poetry yang tidak jauh berbeda dengan to make  atau to create, sehingga pernah lama sekali di Inggris puisi itu disebut maker.

Puisi diartikan pembuat, pembangun, atau pembentuk karena pada dasarnya menulis suatu puisi adalah membuat, mambangun atau membentuk sebuah dunia baru secara lahir maupun batin.

Disamping itu puisi disusun dalam alur irama. Irama dibangun dengan mengulang bunyi-bunyi yang sama, mirip, atau homorgan (sedaerah artikulasi). Irama menjadi salah satu pembentuk efek estetik dan artistik sebuah puisi.

Sedangkan secara tipografis (ukiran atau lukisan bentuk) puisi juga berbeda dari prosa dan drama. Ungkapan dalam puisi secara tipografis dibentuk dengan rupa larik dan bait. Lirik dan bait menjadi ciri visual puisi. Prosa pada umumnya dibentuk dengan pola paragraf dan bab-bab. Naskah drama akan menonjolkan dialog dan narasi atau petunjuk laku dalam ekspresi tulis yang berbeda.

Yang tidak kalah pentingnya ialah penggunaan bahasa dalam puisi. Bahasa puisi berbeda dengan wacana yang lain karena dipengarui dua hal penting, yaitu kepadatan ekspresi dalam puisi dan koridor estetika. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa puisi adalah ungkapan pikir dan rasa yang berirama, dalam bentuk larik dan bait dengan memakai bahasa yang indah dalam koridor estetik.

MASALAH BATASAN PUISI
Karya sastra selalu erkembang seiiring dengan dinamika ekspresi pengarang. Pngarang, termasuk juga penyair, selalu berusaha mencari bentuk ungkap baru. Rendra tumbuh dari si burung merak karena puisi-puisinya di era kelahirannya sebagai penyair begitu ditaburi kata-kata bernuansakan alam yang indah,  menjadi Burung Elang ketika puisi-puisinya menjadi pamlet dan kritik sosial.

Puisi Sutardji Cazoum Bachri berkembang dari puisi neomantra ke sufi. Akibatnya batasan-batasan mengenai puisi justru tidak bisa mewadahi gerak tubuh organisme yng bernama puisi itu. Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono cenderung naratif, sehingga terkesan sebagai cerita pendek yang pendek.

Perhatikan kutipan berikut:

CATATAN MASA KECIL, 2
Ia mengambil jalan pintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkah-langkahnya. Langit belum berubah juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dn rhang-rahang bunga lalu berfikir apakah burung yang tersentak dari ranting lantaranitu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam-menerkam. Langit belum berubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur kemana pun dan bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin dan ia kesal lalu menyepak sebutir  kerikil. Ada yang terpekik di balik semak. Ia tak mendengarnya.

Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentih sekuntum bunga lalu tersangkut pada angin dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tak mendengarnya dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di tanggul sungai tetapi mereka yang berjanji menemuinya di sini ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Ia mamperhatikan ekor srigunting yang senantiasa bergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya keseberang sungai belum juga tiba dan ia menyaksikan butir-butir hujan mulai jatuh ke air dan ia memperhatikan lingkaran-lingkaran itu melebar dan ia membayangkan mereka tiba-tiba mengepungnya dan melemparkanya ke air.

Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tidak melihatnya. Ada.
(Sapardi Djoko Damono)

Jika kita perhatika sekilas puisi Sapardi Djoko Damono itu paerwajahan proslah yang tampak. Bahkan, jika kita simak perlhan puisi itu nyaris seperti cerpn-cerpen Danarto. Misalnya penggalan cerpen Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat berikut ini:

Akulah Jibril, mlaikat yang suka membagi-bagikan wahyu. Aku suka berjalan di antara pepohonan, jika angin mendesir: itulah aku; jika pohon bergoyang: itulah aku; yang sarat beban wahyu, yang dipercayakan tuhan ke pundakku. Sering wahyu itu aku naikkan seperti layang-layang, sampai jauh tinggi di awan, dengan seutas benang yang menghubungkannya; sementara itu langkahku melentur-lentur meayang di antara batang pisag dan mangga.

Akulah Jibril, malaikat yang telah membagi-bagikan wahyu kepada nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Isa, nabi Muhammad, dan kepada nabi-nabi yang lain, yang kedatanganku ditandai dengan gemerisiknya suara angin di antara pepohonan atau padang pasir.
............
(Danarto, 1982)

Membandingkan kedua karya sastra ini akan kesulitan membedakan mana puisi dan mana cerpen. Cerpen-cerpen Danarto juga terkesan padat dan penuh irama. Jadi, pada era penciptaan karya sastra pada saat ini, susah dicari batas-batas tengah antara genre sastra yang satu dengan genre sastra yang lain.

Danarto bahkan menulis puisi seperti melukis. Perhatikan puisinya berikut ini:









(Danarto)

Mengamati puisi Danarto ini, tentu tidak mudah kita menerimanya sebagai puisi. Tetapi, saat orang berbincang bahasa adalah simbol, garis-garis itupun bisa menjadi simbol. Bahasa bukan hanya verbal tetapi juga nonverbal.

Terlepas dari persoalan kualitas (karena kualitas dalam seni itu selalu amat subjektif) ragam puisi dalam khazanh sastra Indonesia itu amat beragam. Karena itu sebenarnya batasan puisi yang berlaku umum tidak mungkin bisa kita wujudkan. Batasan itu akan beragam pula bergantung pada puisi yang sedang kita hadapi.

Batasan puisi yang amat ketat justru akan bertentangan dengan sifat seni yang selalu berkembang. Dan sifat penyair yang rindu kemerdekaan berekspresi. Bahkan, bisa jadi puisi tidak mampu mewadai persoalan yang makin pelik dan kompleks ini.[]

Tulisan ini disarikan oleh Ahmad Darik  
dari buku Mendaki Gunung Puisi 
karya Tangsoe Tjahjono

Minggu, 04 Oktober 2015

Kalam Ilahi

Lantunan-lantunan syair

Terdengar indah nan syahdu

Dari bibir mulia

Menggema

Dalam kesucian raga



Tak pujanggapun menandingi

Para syu’ara juga tak menyaingi

Lirik-lirik kalam

Menggugah

Sadarkan setiap insan

Akan keagungan-Mu



Menyentuh pun harus suci

Membacanya pun harus suci

Membacanyapun harus dengan hati

Jiwa ikhlas

Merendah

Tenggelamkan rasa dalam makna



Itulah mushaf tanpa nada

Begitu mula nan terjaga

Membuka jati diri

Tinggalkan seribu rasa

Tanpa makna tanpa arti.

(Rif'an Fathoni) 

Sumber Foto: Lukisan karya Mahmoud Farschian, pelukis berkebangsaan Iran. Foto diambil di sini.

Sabtu, 03 Oktober 2015

Santri Apa




Berbanjar-banjar serumpun ilalang

Bergerak-gerak membenak hitam

tarik darah yang beriringan

Mendenyutkan nadi untuk terus terbang membayang

Dan pekat, melingkup alam malakut dalam khayalan



Pertanyaaan itu,

Mengujiku sebgai penuntut ilmu,

membuyarkan khayal penuntut ilmu

kuingat terus, dan tak satupun yang teringat

hanya,

 di malam itu

kita lingkari secangkir dengan diskusi

dan tak satu lembaran kuning kita kuliti

haha! Diskusi itu tentang santri putri.



waktu berjalan melanjut tanya

“sudahkah aku ahli ibadah?”

Aku pun linglung,

Corong-corong azan memanggil

Terbirit-birit aku lari

Terlihat shaf-shaf sahut-menyahut terisi

Aku masuk shaf awal kamar mandi

Dan di sini aku kencing berdiri,

Haha! keamanan aku salip dari kiri,

Langkah gemulai menyelinap

Memperdengar suara tausiyah

“bangunlah malam, untuk keluh kesah”

Aku pun berpeluh resah, berpeluh resah

Lalu sadar, aku pun basah



Terdengar suara titah

“abdikan kaki tanganmu untuk kyai”

Sudikah tanganku untuk kyai, sedang amarah membuncah menguasai diri

Sedang rotan tanganku mengincar para santri?



Akankah kuabdikan diri

Sedang kaki kuangkat pongah?

Kuangkat tegap, menitah, menyumpah, kadang bahkan menyampah

Aku tak tahu diri



Kedekatan dengan kyai kutunjukkan

Dengan membiarkan dihujani caci maki

Hujanan caci maki aku biarkan bertali-temali dengan birahi



posisi kopiah kumantabkan

gulungan sarung kunaikkan

hati baja kuiris dengan

fa‘ala yaf’ulu fa’lan

Gema suara di pelataran

Beranak-pinak dalam pikiran

Alhamdulilla alladzi qad wafaqoo

Syukur tunduk berbaris

Dalam iringan kalam nadzam di pendopo

Qala muhammadun huwa-bnu maliki

Teguhkan tali untuk awas diri

Doa restu kyai

Tak tebendung ingin kumiliki



 (Yusroful Kholili, 17 september 2015)

photo credit: here.

Minggu, 27 September 2015

Mendung

[sumber]
Oleh:Zainul Mustafid Asyari

Biasanya kau tidak redup
Kini matahari tertutup
Oleh tebalnya kabut

Pekat....
Gelap....
Takut....
Itulah yang aku rasa
Seakan bumi akan tertutup

Angin yang tertiup
Oleh para malaikat
Meranggut!
Mencabut!
Dan menghempaskan
Seakan dia memprotes kabut

Sinar pun mulai muncul
Dengan setitik cercah yang menciut
Melalui kumpulan kabut yang tercabut

Edisi mendung

Malang 27-09-2015

Sabtu, 09 Mei 2015

Kau...

Rasya al_fathoni*

Kau...
Terlukis didalam benakku
Tertulis dalam catatan sejarah hidupku



Kau...
Kau genggam rasaku
Bahagia
Terluka
Tersiksa
Suka dan dukaku milikmu jua

Kau...
Jika memang kau tulang rusukku
Tuk menjauhpun ku tak ada daya
Jika memang kau ditakdirkan untukku
Tuk meronta pun tak ada upaya

Biarlah takdir yang berkata
Biarlah waktu yang kan menjawabnya
Kau dan aku

Qona’ah dan pasrah itulah seharusnya

*Santri PPRU 1 Putra

Nafsuku

Rasya al_fathoni*

Aku datang untuk berlatih perang
Menahan gejolak melawan gelombang
Mencoba kuasai hati
Jalani hidup seiring tujuan pasti

Kamis, 23 April 2015

Mengenal al-Imam al-Haramain

Oleh : Ihya'ul Ulum *

Imam al-Haramain dilahirkan pada tanggal 12 Muharrahm 419 H./1027 M. Beliau memiliki nama lengkap Abd  al-Malik Bin Abu Muhammad Abd Allah Bin Yusuf Bin Abd Allah Bin Yusuf Bin Muhammad Bin Hayyuyah. Beliau dikenal sebagai pakar usul fiqh, ilmu kalam dan sastrawan. Tokoh ini dipanggil dengan sebutan Imam al-Haramain karena pernah menjadi pengajar di Makkah dan Madinah selama 4 tahun, pangilannya yang lain adalah Abu al-Ma‘ali Dliya’ al-Din dan al-Juwaini. Namun yang paling masyhur adalah Imam al-haramain.

Mengenal al-Imam al-Haramain
Mengenal al-Imam al-Haramain

Imam al-Haramain berasal dari keluarga yang religius. Ayahnya adalah seoraang ulama yang wara’, sangat hati-hati dengan makanan yang masuk kedalam perut, khususnya perut anak kesayangannya. Ayah Imam al-Haramain pernah berpesan kepada istrinya agar tidak menyusukan anaknya (Imam al-Haramain) kepada orang lain. Ayahnya sangat berhati-hati agar perut anaknya tidak kemasukan sesuatu yang subhat, tidak jelas halal maupun haramnya, apalagi yang jelas-jelas haram.

Biografi al-Subki

Oleh : Fathurrahman*

Nama lengkapnya adalah Tajjuddin Abdul Wahhab bin Ali bin Abdul Kafi al-Subki. Ia lahir di Kairo 727 H./1327 M. dan wafat di Damaskus tahun 771 H./1369 M. Ia merupakan seorang ulama terkemuka mazhab Syafi’i, ahli Ushul al-fiqh dan sejarawan yang penah memangku jabatan hakim agung (Qadli Al-Qudlah) kerajaan Turki Usmani di Damaskus.
Biografi al-Subki
Biografi al-Subki
Ia belajar Fikih dan Ushul Al-Fiqh pada ayahnya, Ali bin Abdul Kafi (w. 756 H). Ia menempuh pendidikan secara normal di Madrasah Al-Syamiyyah Al-Baraniyyah (sekolah agama yang dikelola langsung ole ayahnya) di Damaskus. Ia menimba Ilmu Hadis pada salah seorang ahli hadis ketika itu, Imam Abu Al-Hallaj Al-Dimasyqi al-Mazi, belajar sejarah pada Abu Abdillah Al-Fariqi yang lebih dikenal dengan sebutan imam Al-Zahabi, dan belajar bahasa Arab pada Abdul Aziz Muhammad bin Jama’ah bin Syakhir al-Kinani al-Syafi’i. 

Mengenal Lebih Dekat Syekh Yasin al-Fadani

Oleh : Ja’faris Shodiq*
Nama lengkapnya adalah Abul Faidl Alamuddin Muhammad bin Yasin bin Isa Al-Fadani. Beliau lahir di kota Makah pada tahun 1915 M. Nenek moyangnya berasal dari Padang, Sumatera Barat. Beliau adalah salah satu dari sekian banyak ulama Indonesia yang juga mengharumkan nama Indonisia di mata dunia.

Mengenal Lebih Dekat Syekh Yasin al-Fadani
Mengenal Lebih Dekat Syekh Yasin al-Fadani


Sejak kecil beliau sudah menunjukkan kecerdasan yang sangat luar biasa. Belajarnya beliau mulai dari asuhan dari ayahnya sendiri, kemudian di lanjutkan ke madrasah Ash-Shaulathiyah. Di sana beliau berguru ke pada ulama-ulama besar. Di antaranya Syekh Umar Mukhtar, Syekh Hasan al-Masysyath, Habib Muhsin bin Ali al-Musawa.

Kamis, 16 April 2015

Kiat Memilih Teman (Ikhtiyâr fî al-Shuhbah)

Kiat Memilih Teman
Kiat Memilih Teman 
Oleh : Rif'an*
Shuhbah (berteman) sangat eratkaitannya dengan kehidupan manusia, Terutama bagi kalangan remaja zaman sekarang. Bahkan, dalam dunia maya pun kata shuhbah sebetulnya sudah tidak asing lagi. Seperti dalam akun Facebook, Twitter, dan masih banyak yang lain. 

Namun, harus kita ketahui bahwa shuhbah tersebut mempunyai etika tersendiri dan, yang  lebih  penting lagi, harus tahu tatacara ikhtiyâr dalam shuhbah. Terutama bagi kalangan santri atau pelajar seperti kita.

Ada empat kriteria orang yang bisa diajak ber-shuhbah / teman:

Merealisasikan Sebuah Mimpi Yang Tertunda

Railah Mimpimu
Railah Mimpimu
Oleh: Bahauddin Hamzah*

Sering kali kita melihat orang sulit meraih impian-impiannya atau tidak sampai ke tahap yang mereka harapkan dan inginkan dalam mencapai kesuksesan. Disanalah sebenarnya peran kita dalam menentukan mimpi kita.

  • Specific (spesifik/detail)

Impian kita haruslah spesifik. Mengapa? Karena pikiran kita lebih mudah merespons dan mampu menjalankan perintah dengan baik, jika perintah yang diterimanya jelas. Pikiran diibaratkan anak kecil yang masih polos. Jika kita menyuruh anak kecil tersebut membeli sebuah gorengan, tanpa penjelasan yang jelas, kemudian anak kecil tersebut tanpa bertanya dan berpikir panjang langsung membelinya, entah itu gorengan tahu, Weci, dan lain-lain. Padahal sebenarnya Anda menginginkan pisang goreng. Mengapa? Karna tanpa kita sadari kita memberikan perintah yang tidak jelas, yaitu  membeli gorengan, bukan pisang goreng, akibatnya Anda gagal mendapatkan pisang goreng yang anda inginkan.

AL-QURAN


Pohon yang kau tanam begitu indah 
Akarnyapun mencakar alam luas
Seakan dunia hanya dalam batang
Yang bisa menyerap air lautan

Hukum yang kau cetus sangat  banyak
Seakan semuanya kau tahu
Padahal kau belum ada
Pada zaman dahulu kala
Air sedikitpun kau hukumi
Air kencingpun kau samai

Semuanya ada dalam barisanmu
Semuanya ada dalam rumahmu
Semuanya ada dalam daunmu
Semuanya ada dalam naunganmu
Engkau kitab suci 
Yang allah turunkan kepada nabi

Oleh : [By,zainul mustafid asy'ari]


sumber gambar: Di sini

Rabu, 01 April 2015

Abu al-Aswad al-Du'ali

Oleh : Miftahul Ulum *

http://www.ppru1.net/
Ibnu Aqil Syarah al-Fiyah
Ilmu Nahwu merupakan salah satu bidang ilmu yang mendapat perhatian besar di pesantren. Terbukti dari banyaknya kitab ilmu nahwu yang di pelajari para santri, seperti Al-Âjurûmiyah, Al-‘Imritî, dan AlfiyahIbnMâlik. Kitab-kitab tersebut biasanya dihafalkan para santri. Lalu siapakah orang yang dianggap sebagai pencetus ilmu Nahwu?
Dalam I’lam al-Bararahbil al-Mabadi’ al-Syarah karya Shâlih Ahmad bin Sâlim al-‘Idrus disebutkan bahwa pencetus ilmu Nahwu adalah Abû Aswad al-Du’alî atas perintah dari‘Alî bin Abî Thâlib. Nama lengkapnya adalah Dialim bin ‘Umar bin shafyân bin Jandal bin Ya‘mûr bin Hils bin Nafasah bin Udâf bin al-Du’alî bin Bakar bin Abd Manâf bin Kinânah bin Mudrikah bin Ilyâs bin Mudar bin Nazar. Dari pihakibuAbû al-Aswad al-Du’alî masih keturunan dari Banî Abd al-Dâr bin Qushai.