Jumat, 05 Maret 2021

SEPOTONG EPISODE (cerpen)

 


SEPOTONG EPISODE

Oleh: Afro Makia 

Fajar menyingsing dengan indahnya. Awan tergumpal dilangit angkasa raya pertanda cuaca mendung tak seperti biasa. Mungkin ada yang bersedih hati, batinku tersenyum. Dia menghela napas panjang “tugas dari ning bikin sumpek”.

Kini ulas senyum nyata terukir di bibirku. “gak apa-apa, Ning, hanya percaya sama kamu untuk menyelasaikan tugas yang kamu sebut aneh itu.” Tugas yang dibicarakan sebenarnya tak aneh. Tak lebih dari tugas menerjemah kitab yang diminta dari Ning.

Namanya Andira, murid berprestasi yang disegani seantero pesantren karena ia termasuk ustadzah termuda sejak umurnya baru 15tahun. “masalahnya menenerjemah kitab jawahirul bukhori yang tebalnya lebih dari 500 halaman.” Ia menekuk wajah. “apalagi ditambah Ning pengen dibuat kisah menarik disetiap babnya bisa-bisa aku bikinin skripsi aja. Sama aja aku lagi meneliti, iyya kan?” lanjutnya mendumel. Aku merogoh sesuatu di saku kemeja ku, memperlihatkan kepadanya seraya berkata, “ La Tahzan, Innallaha ma’a shobirin“ dia mengambil kertas berisi surat keputusan rapat tentang kepulangan santri. “ Ini beneran? Tuh kan, Gayatri Rumi the best! kamu dapat darimana?” Dia berbinar-binar, menjawil pipiku. “Apasi Ra? Coba di buka!” ia pun bergegas membuka lipatan dan mendesah kecewa. Aku tertawa, menatap kertas yang ku temukan di sampah bagian kertas dimana surat keputusan rapat yang tak rampung dibagian penetapan tanggal.

Mataku menatap alihsesosok santriwati yang berjalan ke arah kami, dengan tergesa ia berkata, “Ditimbali Ning Auli.” Aku melotot kaget, sedangkan Dira malah kelewat santai “Makasi,” katanya. Aku menarik tangannya “Ayo” Dira menggeleng “Paling di tanyain tugas anehnya” ucap Dira. Aku tak menghiraukan, berjalan ke arah panggilan. Hafal betul, karenaDira akan menyusul dan berkata “Iya deh iya”,

Sesampainya di ndalem, beliau malah menyuruhku ke teras depan dimana mobil Ayla berwarna Dark Grey sudah terparkir disana. Aku terheran “Yeay diajak jalan-jalan”Ujar Dira. “Masuk Mbak” suara dari belakang kami mengejutkan. Aku tahu ini siapa, dengan memendam segala tanya aku mengambil langkah dan melaksanakan perintah. Aku dan Dira duduk berdampingan di jok tengah serta Ning Anjani Aulidi jok depan bersama Gus Fikhar Emran-kakak kedua beliau. Mobil melenggang pergi, hanya menyisakan lengang sepanjang jalan.

***

Mobil menepi ke rumah yang aku sendiri tak tahu. NingAuli sudah melangkah jauh bersama Gus Emran serta aku dan Dira yang sedang membuntuti. Aku faham, bendera kuning di pelataran rumah menandakan salah satu penghuni rumah kembali kepada-Nya.

“2.3.2-2.7.2?” oke, Dira membisikkan kode-kode percakapan kita agar tak ada yang tahu. Yang berarti, ada apa?

“8.2.52.94.43.93.2.42” Aku menanggapi pendek. “74.43.2.7.2?” Dia kembali bertanya. Aku mengedikan bahu.

Seperti acara takziah lainnya, khas dengan suka cita, menyalami, acara tahlilan, dsb. Aku berfikir ini salah satu rumah alumni pesantren. “Umur kamu berapa Rum?” Ning Auli memandang kearahku. Alisku bertaut, “Dua puluh Ning”. Kembali hening.

Gus Emran bergabung dengan sebangsanya. “Jenazah masih disholatkan. Namanya Mbah Darsuki santri pertama Abah Yai. Beliau wafat tadi shubuh dengan umur 89 tahun. Masya Allah,” ujar Ning Auli. Aku takjub, beliau mendapat bonus umur dua puluh enam tahun. “Dikarenakan apa Ning? Sakitkah?” Dira bertanya antusias.

“Sudah waktunya. Beliau hanya tinggal bersama cucunya. Cucu beliau menemukan Mbah Darsuki tergeletak diatas kasur seperti baru pulang dari masjid, terlihat dari baju koko yang beliau kenakan,”

“Masya Allah” gumamku tanpa sadar.

“Selain karena rumah beliau yang berdekatan dengan masjid beliau memang sudah terbiasa sholat berjamaah sejak dipesantren dulu, kata Abah” tambah Ning Auli.

Terdengar suara kaum adam yang keluar dari masjid seberang rumah. Jenazah mungkin akan diantar ke peristirahatan terakhir. Aku yang hendak berdiri ditahan oleh Ning Auli, “Sebenarnya, saya mengajak kalian untuk menghadiri pemakaman Mbah Darsuki” jeda 3 detik “Saya tidak suka pemakaman” lanjut beliau tersenyum.

“Jadi rumor njenengan takut hantu itu bener Ning?” Tanya Dira spontan. Beliau terkekeh disertai pipi yang merona.

“Saya bukan takut hantu, saya takut tempat makamnya, kuburan.” Aku dan Dira menanggung-ngangguk patuh. “ TapiRumi saja yang ikut, Dira disini bersama saya.” Dira mendesah kecewa.

“Tapi saya takut salah Ning.” Ning Auli tersenyum. “Nanti saya suruh kak Ran menemani” aku menghela nafas kaget. Belum sempat aku  merespon, suara gus Emran terdengar “Auli, ayo.” Ning Auli mengusap lenganku. Aku melangkah, mengangguk kepada Gus Emran dan bergegas ke arah jalanan.

***

Sepanjang jalan tadi, tidak ada terik panas dan jarak terasa dekat. Sungguh lagi-lagi aku dibuat kagum. Ketika hampir sampai, suara-suara penduduk terdengar heboh, aku dibuat heran “apa yang terjadi?” batinku. Maklum, aku berada di barisan paling belakang. Namun, disampingku muncul sosok Gus Emran. Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang ikut mengantar serempak berucap “Subhanallah” Aku semakin dibuat linglung, ketika aku berjinjit dan sedikit menerobos barulah aku mengerti. Disana, ada sesosok jenazah yang kain kafannya masih putih bersih dan tubuh si jenazah tidak sedikitpun menjadi kerangka. “Itu siapa, Bu?” aku memberanikan diri bertanya pada Ibu-ibu disebelahku. “oh, itu istrinya Mbah Darsuki, beliau berwasiat agar dimakamkan berdampingan. Saatdigali ternyata jenazah Umi Rukmana masih utuh. Tidak heran, mereka sepasang suami istri yang taat. Makanya, kita takjub. Kekuasaan Allah.” Jelasnya.

Tak sadar air mataku menetes. Berulang kali aku berucap takbir dalam hati.

Sepanjang prosesi pemakaman aku sungguh merasa sangat tentram. Ini pengalaman menyenangkan bagiku. Tidak ada yang tahu seperti apa jalan takdir seseorang. Bukan seberapa baik hidup di dunia. Tapi seberapa pantas ia berada di surga. Bahkan banyak kisah orang-orang yang awalnya memiliki perangai buruk menjadi seorang yang sangat berpengaruh dalam Islam. Dalam cerita Mbah Darsuki dan Umi Rukmana, aku tak tahu apa keistimewaan mereka tapi dapat disimpulkan mereka adalah sepasang kekasih yang berjalan di jalan-Nya.

Sekembalinya aku kerumah Mbah Darsuki, sepanjang jalan Gus Emran berada dekat denganku seakan-akan gerak-gerikku diawasi oleh beliau. Aku berusaha bersikap sewajar mungkin meski tanpa sadar kami saling melempar senyum.

***

 Namun ekspektasi tidak sesuai kenyataan, padahal aku tidak sabar untuk menceritakan kejadian aneh tadi pagi. Tatkala rumahnya terlihat, mereka malah beringsut keluar dari pekarangan rumah seraya berkata“ Ayo Rum, hampir dhuhur sebaiknya kita sholat dijalan,” Aku mengangguk. Jelas aku tak bisa bercerita saat ini. “Goodnews” bisikku didekat Dira. “Apa?” ia merespon dengan mata berbinar. Namun aku sedikit memberi jeda dengan memasuki mobil.

Barulah dimobil aku menceritakannya kepada Dira dan Ning Auli yang serta merta ikut mendengarkan. Aku antusias melihat mereka tampak berkaca-kaca, “Tapiapa ya Rum, keistimewaan beliau?” Tanya Dira. “Jelas mereka adalah orang yang taat beribadah” Ning Auli mendahului jawabanku. Aku tersenyum “dan pastinya sangat pantas berada di surga-Nya.” Lanjut Ning Auli.

“Dari yang tadi aku dengarkan dari Abah Yai, beliau berdua tidak pernah meninggalkan masjid. Bukan hanya untuk sholat lima waktu, tapi beliau juga membersihkan masjid tanpa pamrih. Sembilan puluh persen pembangunan masjid beliau donaturnya.” Ujar Gus Emran mengimbangi percakapan.

“Juga dari penjelasan Ning Auli, Mbah Darsuki tergeletak diatas kasur. Saya membayangkan betapa mudahnya sakarotul maut beliau” lanjutku.

“Ini sama seperti penjelasan kitab Jawahirul Bukhari dalam hadist nomor 104 tentang keutamaan masjid dan tujuh orang yang akan diberi naungan di padang mahsyar. Salah satunya pada nomer tiga, orang yang hatinya terkoneksi pada masjid” Dira tak mau kalah. Aku menangguk faham, lagi-lagi hatiku bergetir.

“Hadistnya seperti ini bukan?وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ .” Imbuhku, Dira memberiku dua jempol.

“Benar, saya agak lupa tentang hadistnya” aku Ning Auli

Kemudian hening, euforia kagum akan kisah beliau berdua terpatri pada wajah kami. “Rum, 4.82.74 - 6.32.53.43.73.43.52” ujar Dira yang berarti, Gus melirikmu. Aku terdiam dan melihat kearah kaca spion dimana mata kami saling bertemu. “6.32.53.43.73.43.52 - 5.2.53.2.62” ujarku menepis firasat Dira. Aku tahu apa yang difikirkannya. “Bukan hanya sekali ini saja kan?”Benar sih, tapi aku yakin  mungkin beliau hanya iseng.

“Bye The Way, didalam hadist tadi semoga kita termasuk ya Dir, bukankah nomor empatnya adalah orang yang saling mencintai karena Allah, bersatu dan berpisahnya pun karena Allah.” Kataku, melarikan diri dari firasat.

Serempak kami menjawab “Aamiin”

“Walaupun tidak,di nomer dua kalian sudah mendapat naungan di padang mahsyar karena mengorbankan masa muda dan berjuang, beribadah, belajar dijalan Allah, tempat Allah, pesantren” Ning Ara menambahkan.

Aku dan Dira tersipu sambil mengamininya.Setidaknya suasana mobil tidak seperti tadi yang berteman sepi.

“Aku banyak belajar tentang ini.” Ucap syukur dalam hati.Sampai akhirnya Gus Emran berkata hal yang membuat Ning Auli dan Dira bertanya-tanya. Sedang aku bingung merespon bagaimana.

“74.32.6.63.4.2 – 52.43.8.2 – 8.32.73.6.2.74.82.52, nomor empat ya Rum?”

Aku melupakan gelar filsafat yang melekat pada Gus Ran, selanjutnya entah bagaimana aku tak sadar. Aku dibuat berujar oleh alam semesta.

“Aamin” disebelahku, Dira seakan mengerti dengan memandang aneh kepadaku seakan berkata, “Tuhkan, apa kubilang.”

 

Previous Post
Next Post

Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 adalah pesantren salaf yang didirikan oleh KH. Yahya Syabrowi, Menggenggam Ajaran Salaf, Menatap Masa Depan

0 comments: