Minggu, 23 September 2018

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren - KH. Madarik Yahya

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Oleh: Gus Muhammad Madarik*

PENDAHULUAN

Seperti kebanyakan pesantren-pesantren lain, keberadaan sampah di PP Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang juga masih menjadi problematika bidang kebersihan.

Padahal jika difikirkan secara bersama, maka sampah merupakan salah satu potensi pemberdayaan. Sehingga serakan barang sisa-sisa itu bukanlah suatu momok yang menjijikkan, namun bakal menjelma sebagai lumbung dana yang menguntungkan.

Menggali nilai harta dibalik sesuatu yang dianggap tak berguna itulah yang kini akan coba dikupas penulis dalam kolom singkat berikut ini.

TINJAUAN AGAMA

Dari sisi ajaran agama, Islam sangat mempardulikan kebersihan. Sebagai agama suci dalam segala dimensinya, Islam senantiasa memperingatkan umatnya agar menaruh perhatian khusus terhadap masalah kebersihan. Salah satu anjuran Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Sungguh, Allah menyukai orang yang bertobat dan menyenangi orang yang menyucikan diri." [QS. 02:222]

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

"Dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) keji." [QS. 07:04-05]

Ada ungkapan Arab yang di klaim sebagai hadits oleh sebagian kalangan, tetapi dianggap hanya merupakan pribahasa oleh sementara pihak yang lain, yaitu:
اَلنَّظَافَةٌ مِنَ اﻻِيْمَانِ٠
Artinya:"Kebersihan itu sebagian dari iman."

Namun dalam sumber lain, Nabi bersabda:
الطُّهُورُشَطْرُالْإِيمَانِ
Artinya: "Kesucian adalah sebagian dari iman." [HR. Muslim]

Di luar keabsahan manakah hadits-hadits tersebut, hal yang pasti sabda Rasulullah itu makin memperkuat eksistensi Islam sebagai agama suci.

Hal ini dapat ditilik dari bukti kosa kata dan sekaligus implementasinya menggunakan istilah dan praktik yang lebih luas. Sebab secara bahasa, "kesucian" (الطًُهْر) dalam istilah fiqh memuat makna terjaga dari najis dan hadas, sedangkan "kebersihan" (النَّظَافَة) cenderung  diartikan terhindar dari kotoran belaka.

FENOMENA DAN MASALAH NASIONAL

Total penanganan sampah di Kota Malang saja sekitar 639 ton per-hari atau mencapai 96% dari volume (produksi) domestik (rumah tangga) maupun industri yang mencapai 664,2 ton per-hari.

Maka tidak heran apabila sampah dinilai sebagai persoalan publik. Bahkan pemerintah pusat mengkampanyekan penanganan sampah secara nasional, baik melalui program-programnya maupun pemanfaatan dan pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA).

Wajar saja apabila pemerintah menjadikan persoalan sampah sebagai problematika sosial berskala nasional. Sebab, para ahli lingkungan menyimpulkan setidaknya ada 10 dampak negatif yang dimunculkan dari sampah, yaitu:
  1. Pencemaran dalam kehidupan.
  2. Penyebab penyakit.
  3. Penyumbatan saluran air dan banjir.
  4. Menurunkan estetika lingkungan.
  5. Kerumitan baru dari sistem kelola kebersihan.
  6. Menambah siklus beban masyarakat yang tak kunjung usai.
  7. Terganggunya kesehatan dan kenyamanan masyarakat.
  8. Persoalan sampah tidak fleksibel, jika menumpuk menambah masalah baru.
  9. Memperkeruh persoalan lalu lintas.
  10. Berdampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi masyarakat.

HAL IHWAL SAMPAH DI PPRU I

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Terlihat seorang santri membuang sampah di tong sampah yang sudah penuh
Pertanyaan yang perlu dikemukakan ialah bagaimana persoalan sampah di lingkungan pesantren kita?
Jawaban itulah yang seyogyanya menjadi bahan renungan semua kalangan di pesantren yang didirikan KH. Yahya Syabrawi ini. Bukan saja karena sampah dianggap sebagai persoalan bersama, tetapi ketika hal semacam itu ditindaklanjuti dengan solusi yang tepat akan membuahkan kreasi sekaligus materi.

Beranjak dari wacana tersebut, maka pertama-tama yang harus dihimpun adalah identifikasi masalah yang menyelimuti PP Raudlatul Ulum I:

1. Serakan Sampah

Adanya sampah memang sebuah fakta di setiap tempat, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sampah di lingkungan pesantren kita masih menjadi bagian persoalan yang belum tuntas hingga kini.

2. Minim Lahan dan Kering Budaya

Sebenarnya ragam persoalan sampah di lingkungan pesantren kita bersumber dari lokasi yang kurang memadai. Sebagaimana kita tahu bahwa luas area sudah tidak mencukupi jika dilakukan pengembangan bangunan, kecuali menjalar ke atas.

Oleh sebab itu, fasilitas-fasilitas pendukung, termasuk bidang kebersihan, sudah tak menemukan tempat lagi. Hal ini dapat dicermati dari gerobak sampah (di lokasi pesantren putri) berada jalan strategis para santri.

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Potret Sampah di Jalan Lalu Lintas Keseharian Santri Putri PPRU 1
Kondisi demikian ini masih diperburuk oleh tingkat kesadaran semua pihak terhadap aspek kebersihan yang terbilang masih rendah. Walaupun dunia pesantren kaya dengan khazanah keilmuan, namun secara praktis dalam hal budaya kebersihan, para santri (termasuk di PP Raudlatul Ulum I) belum seindah doktrin-doktrin dalam referensinya.

3. Butuh Komitmen

Dari sekian ulasan di atas, apabila lontaran wacana ini ingin benar-benar diwujudkan dalam bentuk gerakan, maka hal pertama yang harus dikedepankan adalah komitmen semua pihak.

Tekad bersama merupakan tumpuan lahirnya kebersihan di pesantren kita. Kita tidak menemukan almamater ini menjadi asri, jika kemauan menuju ke arah itu tidak serempak.

Kaitan dengan komitmen bersama, hal penting yang perlu di bangun adalah membangkitkan kesadaran santri agar menjadi manusia berbudaya bersih. Sehingga kepedulian santri terhadap pengelolaan lingkungan berjalan selaras dengan peran mereka memberdayakan ketempilan untuk memperoleh keuntungan (profit oriented). 

4. Pesantren Hijau

Kebersihan lingkungan pesantren kita pasti menjadi impian semua pihak, tetapi mewujudkan asa tersebut memerlukan banyak tahapan. Tingkat awal yang harus dinomor-wahidkan ialah komitmen bersama untuk peduli terhadap lingkungan.

Apabila tahapan demi tahapan telah ada, maka pesantren kita bukan hanya tampil sebagai lembaga yang hijau dan bersih (green and clean), bahkan besar kemungkinan akan menjadi lumbung santri kreatif mendaur ulang barang-barang yang cenderung tak dinilai.

PENUTUP

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Aktivitas piket santri merupakan salah satu usaha menangani sampah tak bertuan.
Sampah dengan segala problematikanya merupakan persoalan tersendiri di pesantren Raudlatul Ulum I, tetapi pemberdayaan santri menjadi bagian dari solusi. 

Apabila harapan pada titik itu disertai komitmen semua pihak, maka terciptanya semisal "tas", "dompet", "pot bunga" dari barang rongsokan bukan hal tidak mungkin. Dan pada akhirnya, kita bakal menyaksikan pesantren kita ini  mampu menyulap barang hina menjadi dana.

Semoga berkah.

*Penulis: Ketua Yayasan Kiai Yahya Syabrawi PP RaudlatuUlum I Ganjaran Gondanglegi Malang.

Senin, 17 September 2018

Pola Kepengasuhan PP Raudlatul Ulum 1 - KH. M. Madarik Yahya


Pola Kepengasuhan PP Raudlatul Ulum 

Oleh : KH. M. Madarik Yahya

Kendati bukan menjadi titik awal wujudnya pendidikan keagamaan, tetapi keberadaan KH Yahya Syabrawi (1907-1987) dalam mendirikan Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I merupakan fenomena menarik yang turut menuangkan warna lain di dalam proses keberagamaan umat di wilayah Malang selatan, khususnya di seputar daerah Gondanglegi dan sekitarnya.

Dikatakan cukup fenomenal, karena animo besar yang ditunjukkan masyarakat, menjadi pertanda betapa eksistensi pesantren yang biasa disebut PPRU I itu benar-benar dilirik oleh khalayak.

Keberadaan PPRU I dinilai eksis hingga kini, dapat dilihat dari beberapa indikasi-indikasi, antara lain:
  • Para santri tidak saja berasal dari sekitar Kabupaten Malang, melainkan datang dari berbagai daerah selain Malang, bahkan dari luar Jawa.
  • Jumlah grafik para penuntut ilmu di PPRU I yang menggambarkan tren menanjak, sekalipun pada masa sekarang telah memasuki generasi ketiga.
  • Keberadaan para santri PPRU I yang selalu diperhitungkan di berbagai kegiatan, baik dalam ranah kompetisi seperti lomba baca kitab kuning Kemenag maupun dalam forum-forum ilmiah semisal bahtsul masail NU.

Fakta demikian ini tentu bukan semata-mata karena kapabilitas kiai Yahya, sebagai tokoh sentral di masanya, namun pasti terdapat faktor lain yang membuat pesantren yang berdiri tahun 1949 itu bisa bertahan sampai detik ini, meskipun peran pendirinya juga tidak kecil.

*************
Kunci utama keberlangsungan seluruh proses pendidikan di lingkungan PPRU I memang tidak dapat dilepaskan dari sosok kiai Yahya Syabrawi. Tetapi keikutsertaan beberapa tokoh lain yang menyertai beliau juga merupakan bagian dari faktor kekokohan pondasi PPRU I yang tak tergoyahkan.

Ketika KH Yahya Syabrawi memegang kemudi kepemimpinan di pesantrennya, jelas-jelas beliau tidak menerapkan konsep-konsep pendidikan modern apalagi menganut teori-teori manajemen pendidikan Islam masa kini. Apa yang dilakukan kiai asal Sampang Madura itu sangat konvensional sebagaimana lazimnya pesantren-pesantren tradisional lainnya.

Sungguh pun demikian tata kelola lembaga pendidikan, namun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan yang diselenggarakan beliau di pesantrennya tidak serta merta menyusut. Bila ditelusuri secara seksama, diakui atau tidak, kiai Yahya Syabrawi bukanlah satu-satunya tokoh yang mempunyai andil dalam hal pengembangan pesantren, tetapi terdapat kontribusi cukup besar dari beberapa sosok lain selain beliau. Sosok lain tersebut ialah KH Khozin Yahya (1939 - 2000) dan KH Mursyid Alifi (1944 - 1991).

Sebagai pendiri, kiai Yahya Syabrawi telah mengawali dan bahkan sudah menancapkan arah pendidikan, yaitu menciptakan generasi muslim yang memiliki rasa takwa kepada Allah SWT. Tetapi dari sisi metode pengajaran, beliau hanya menerapkan cara bandongan dan sorogan yang biasa dipraktikkan di berbagai pesantren-pesantren tradisional lainnya.

Kedua tokoh berikutnya inilah yang kemudian memainkan peran-peran penting dalam melestarikan dan mengembangkan PPRU I.


******************
Pola Kepengasuhan PP Raudlatul Ulum 1
Alm. al-Maghfurlah KH. Khozin Yahya (Pengasuh ke-2 PPRU 1)
KH Khozin Yahya lebih kentara di dalam keberlanjutan tradisi pengajaran yang telah ditanamkan pendahulunya. Melalui kealiman beliau ini, metode pembelajaran tetap terjaga persis seperti pendirinya. Kendati tambal sulam kitab-kitab kuning sesuai ragamnya tingkatan dan tema dilakukan oleh kiai Khozin Yahya, tetapi materi-materi kitab yang dahulu pernah dikaji oleh kiai Yahya Syabrawi tidak digeser dari sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa putra pertama kiai Yahya Syabrawi itu tetap mempertahankan tradisi kajian-kajian kitab kuning yang telah berproses.

Meskipun sikap kiai Khozin Yahya tetap memperteguh khazanah keilmuan sekaligus program pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan PPRU I, bukan berarti sosok yang lebih terlihat kesabarannya itu, tidak melakukan pengembangan pendidikan.

Salah satu hasil ide kiai Khozin Yahya dalam pengembangan pendidikan adalah berdirinya madrasah diniyah Raudlatul Ulum.

Dalam hal ini, kiai Khozin Yahya pernah berkomentar:
"Sengkok cek leburreh ke akhlakkah nak kanak diniyah."
(Saya sangat menyenangi akhlak anak-anak madrasah diniyah).

Dalam pendangan beliau, keistiqamahan santri madrasah diniyah, terutama di dalam shalat lima waktu, mampu menjadi penenang beliau dibandingkan satuan pendidikan yang lain.

**********************
Alm. al-Maghfurlah KH. Mursyid Alifi
Dalam penampilan berbeda dari kakak iparnya, kiai Mursyid Alifi lebih banyak mencari terobosan-terobosan baru dalam dunia pendidikan di PPRU I. Memang latarbelakang pendidikan kiai Mursyid tidak cuma pesantren belaka, namun beliau pernah mengenyam bangku perguruan tinggi. Oleh karena itu, inovasi pengembangan wawasan keilmuan para santri yang diciptakan putra kiai Senamah Ganjaran itu selalu terbarukan sejalan perkembangan zaman.

Di antara pengembangan yang dilakukan beliau adalah berdirinya PGA (Perguruan Guru Agama) di lingkungan madrasah Raudlatul Ulum desa Ganjaran Gondanglegi Malang. Tentu saja fenomena ini membuat sebagian besar mata tokoh masyarakat menjadi terbelalak, sebab ide tersebut dicurigai sebagai misi tertentu yang terselubung.

Sayangnya, konflik antar tokoh mengenai seputar fakta dan sikap berkaitan dengan ide beliau, menyebabkan unit sekolah ini terkubur oleh ketidaksepakatan.

Selain mengkaji kitab kuning di dalam PPRU I, kiai Mursyid Alifi juga acapkali memfasilitasi kegiatan-kegiatan di luar program rutinitas pesantren. Salah satu aktifitas yang pernah dipandegani beliau adalah pelatihan jurnalistik bagi santri. Program yang mendatangkan pembicara kompeten di bidangnya dan atas kerjasama pesantren dengan pihak luar itu ditargetkan mampu menghasilkan santri-santri yang memiliki kepiawaian pengetahuan di dalam dunia pemberitaan.

************************
Keseimbangan model kepengasuhan kiai Khozin Yahya dan kiai Mursyid Alifi sedemikian rupa bagai dua baling-baling yang membuat seluruh proses-proses di PPRU I seperti elang yang tengah mengepakkan dua sayapnya.

Kiai Yahya Syabrawi memang telah tiada, tetapi warisan peninggalan berupa lembaga pendidikan tetap tegak berdiri di tengah-tengah gulungan zaman yang kian menghantam dunia pesantren. Tentu keberlangsungan pendidikan di pesantren ini disebabkan oleh eksistensi model kepemimpinan para pengasuh yang berimbang antara tradisional dan modern. Sehingga sampai sekarang pun -generasi ketiga - jargon NU:

الْمُحَافَظَة عَلَى الْقَدِيْم الصّالِح وَالْأخْذ بِالْجَدِيْد الْأصْلَح

di PP Raudlatul Ulum I enar-benar terejawantah.

Semoga berkah. Amin.

* Staf Pengajar di IAI Al-qolam Gondanglegi Malang.


Kamis, 06 September 2018

Merajut Akhlaq Karimah Dengan Shalat - Tinjauan Dua Dimenasi

Merajut Akhlaq Karimah Dengan Shalat - Gus Zamzami Alifi
Merajut Akhlaq Karimah Dengan Shalat - Dua Dimensi Sholat
Oleh: Gus Zamzami Alifi

Ironi Moralitas

….. Sesungguhnya shalat dapat mencegah (manusia) dari perbuatan keji dan mungkar”. Begitulah kiranya arti dari penggalan ayat al-Qur’an surah al-‘Ankabut: 45. bahwa pada hakikatnya, melaksanakan shalat, yang sebenar-benarnya akan menghantarkan orang yang melaksanakannya terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik atau tidak terpuji. Dengan kata lain, melaksanakan shalat akan mendorong hatinya untuk selalu melakukan kebajikan dalam kehidupannya sehari-hari.

Akhir-akhir ini sering kita jumpai banyak orang-orang yang menyandang status Ustadz, Gus, Kyai, bahkan Ulama yang sudah barang tentu label yang disandangnya itu pastilah menuntut dirinya untuk melaksanakan shalat. Namun ironinya, dibalik ibadah yang selalu mereka laksanakan, bahkan ibadah-ibadah selain shalat, banyak orang-orang yang tidak tenang, damai, sejahtera, bahkan tersakiti oleh perbuatannya.

Bukankah Nabi SAW. telah berasabda dalam hadis:

"المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده ..." رواه البخاري ومسلم

Yakni; seorang muslim yang sejati adalah ia yang senantiasa membawa kesejahteraan bagi saudara-saudaranya? Mereka selalu terlindung dan aman dari perkataan dan perbuatan buruknya? Jika kita kembali hayati kembali arti dari penggalan surah al-‘Ankabut di atas, sebenarnya shalat macam apa yang telah mereka laksanakan? Kenapa masih saja mereka gemar berbuat keji, mungkar, dan perbuatan tidak baik lainnya?

Dalam hal ini, perlu kiranya kita merekonstruksi kembali sampai ke aspek terdalam dari shalat kita. Yang dengan demikian, diharapkan ibadah shalat yang kita laksanakan tidak hanya sebagai tuntutan religius belaka, namun juga dapat merangkul aspek kebutuhan spiritual kita, yang pada akhirnya pencapaian yang kita harapkan dari shalat kita dapat diraih dengan optimal, yakni berperilaku kepada yang lain dalam koridor al-Akhlaq al-Karimah dalam kehidupan sehari-hari, atau dalam bahasa ayat diatas terhindar dari suka melakukan perbuatan yang keji dan mungkar.

Dua Dimensi Shalat

Selama ini, kita mengenal bahwa shalat adalah rukun islam yang menempati posisi kedua setelah syahadah. Sebagai sebuah ritual ibadah dengan gerakan dan bacaan tertentu yang diawali dengan Takbirat al-Ihram disertai Niat serta diakhiri dengan salam, dilaksanakan dalam waktu yang tertentu, seperti yang telah dijelaskan panjang lebar dalam kitab-kitab fiqih. Inilah bentuk shalat yang berada dalam Dimensi Lahir, atau dalam ilmu tasawwuf, dimensi ini merupakan bentuk shalat yang berada pada tingkatan syari’at.


Pada dimensi ini, seorang muslim memiliki keterikatan intruksional dengan peraturan-peraturan peribadatan yang telah diarahkan dan ditegaskan dalam al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab fiqih. Semua bentuk larangan, hal-hal yang membatalkan, juga yang membuat shalat tidak sah harus ditinggalkan. Sebaliknya, shalat juga memiliki syarat-syarat, kewajiban, serta rukun-rukun yang harus dilaksanakan. Semua ketentuan ini harus dipatuhi oleh seorang muslim dalam melaksanakan shalat. Jika tidak, konsekuensi seperti batal dan bahkan dosa harus ditanggung oleh pelakunya.

Namun dari pada itu semua, terdapat sebuah dimensi batin dalam shalat, yang apabila dimensi ini tidak dilaksanakan, maka yang didapatkan dari shalatnya tersebut hanyalah sebatas olah raga dan oleh mulut saja. Hal ini diistilahkan oleh para Wali Songo dengan istilah Sembah Rogo (ibadah ragawi). Sebab dalam pelaksanaannya, hanya yang digunakan. Seperti halnya puasa yang telah disinggung oleh Nabi dalam haditsnya: 

"كم من صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش" رواه أحمد

Ada sebagian orang yang melaksanakan ibadah puasa yang mana ia hanya mendapatkan rasa lapar dan haus dari puasanya itu”. Dalam al-Qur’an pun telah disinggung dalam surah al-Furqan: 23 sebagaimana berikut:

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا

Dan kami datangi sebuah amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan

İni berarti ibadah yang dilaksanakannya hanya sebatas Sembah Rogo saja, atau hanya melaksanakan ibadah pada dimensi lahirnya. Tidak sampai memenuhi apa yang menjadi tujuan dan implikasi dari sejatinya ibadah dalam kehidupan nyata.

Oleh karena itu, penting juga untuk kita perhatikan dimensi kedua dari shalat ini, yakni Dimensi Batin. Sebuah dimensi dimana shalat lepas dari berbagai macam ketentuan-ketentuan ibadah ragawinya. Tidak hanya berbentuk gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan, akan tetapi juga menyertakan Khusyu’, Khudlu’, Penghayatan, dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata di luar shalat.Dimensi ini diistilahkan oleh para Wali Songo dengan Sembah Cipto (ibadah cipta), yang dalam bahasa tasawwuf, shalat semacam ini menempati tingkatan thariqoh.

al-Khusyu’ dan al-Khudlu'

Dua hal ini bukan termasuk syarat-syarat, kewajiban, atau rukun dalam shalat. Seperti kita ketahui bersama, tidak ada ketentuan dalam kitab-kitab fiqih yang menyatakan bahwa shalat seseorang yang tidak disertai dengan khusyu’ dan khudlu’ difonis dengan konsekuensi batal bagi shalatnya. Namun shalat yang ia laksanakan masih dikategorikan sah secara syar’i selama prinsip rukun-rukun shalat yang telah ditentukan tetap dilaksanakannya. 

Khusyu’ bukan berarti hanya mengingat kepada Allah SWT dan melupakan yang lain. Sebab, bagi kita, hal yang demikian itu sembilan puluh sembilan persen adalah tidak mungkin, kecuali bagi orang-orang yang ‘arif billah (para wali Allah). Pikiran manusia, secara otomatis, pasti selalu mengingat-ingat dan terbayang-bayang hal-hal yang pernah diinderanya. Sedangkan Allah SWT, Tidak pernah tampak oleh indera kita.

Arti yang cocok dari khusyu’ adalah menfokuskan pikiran dan bayangan kita dengan apa yang sedang kita lakukan yang dalam hal ini adalah shalat. Di samping itu juga menghadirkan hati kita dengan menghayati gerak demi gerak dan bacaan demi bacaan yang ada dalam shalat.

Suasana shalat yang demikian ini, dapat kita lakukan dengan cara khudlu’. Kata ini berarti berperilaku yang menggambarkan sikap “kepatuhan”, yang diindikasikan dengan terhindarnya semua anggota tubuh kita dari perbuatan-perbuatan yang tidak ada hubungannya dengan shalat. Oleh karenanya, dalam ketentuan fiqih, gerakan-gerakan kecil berapapun banyaknya, atau gerakan besar yang tidak melebihi tiga kali gerakan yang berturut-turut, meskipun tidak ada hubungannya dengan shalat, tidak dikategorikan sebagai gerakan yang membatalkan shalat. Sebab ketentuan ini adalah dalam rangka mengantarkan kita untuk melaksanakan shalat dengan khudlu’.

Perilaku yang menggambarkan sikap “kepatuhan” ini (khudlu’) telah disinggung secara ekplisit dalam definisi al-Ihsan yang terdapat dalam penggalan hadis berikut:

"... أن تعبد الله كأنك تراه، وإن لم تكن تراه فإنه يراك. ..." رواه مسلم

Yang artinya adalah “Ketika kita beribadah kepada Allah (yang dalam hal ini adalah shalat), maka sebisa mungkin diri kita berperilaku seakan-akan kita melihatNya. Atau kalau tidak demikian, maka kita nyatakan dalam keyakinan kita bahwa saat ini Allah sedang melihat, memperhatikan, dan mengawasi shalat kita.” Sehingga dengan demikian, kita menjadi takut dan khawatir untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak menggambarkan “kepatuhan” yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan shalat kita. Dengan begitu, ibadah shalat kita ini dilaksanakan dengan khudlu’, yang juga mengantarkan kita untuk khusyu’.

Penghayatan dan Implementasi

Jika pada bagian sebelumnya khusyu’ dan khudlu’ dilaksanakan ketika melaksanakan shalat, maka pada bagian ini merupakan bentuk dari elemen shalat batin yang dilaksanakan di luar shalat. Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak terikat oleh ruang dan waktu, seperti halnya khusyu’ dan khudlu’ yang pelaksanaannya terikat oleh waktu ketika dijalankannya shalat.

Penghayatan ini berarti meresapi, memikirkan, mengangan-angan tentang makna-makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap detail dari ibadah shalat yang sudah dilaksanakan, baik berupa gerakan ataupun bacaan. Bisa juga diartikan dengan tafakkur, tadabbur, atau ta-ammul. Makna dan nilai yang telah diresapi, dipikirkan, dan diangan-angani tadi tidak hanya dibiarkan mengendap dalam otak dan hati kita. Namun lebih dari itu, perlu juga untuk diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Dengan demikian, meskipun dalam kehidupan nyata kita hanya menjalankan aktifitas sosial kita dengan sesama manusia dan alam, namun dalam sejatinya di setiap aktifitas kita terpancar cahaya shalat. Sehingga setiap saat pun kita tetap melaksanakan shalat yang disertai dengan khusyu’ dan khudlu’.

Tidak ada lagi perbuatan-perbuatan buruk yang akan kita lakukan, baik kepada sesama ataupun kepada alam lingkungan kita. Sebab setiap saat kita melaksanakan shalat batin, meskipun sedang melakukan aktifitas-aktifitas sehari-hari. Hidup kita menjadi cahaya yang selalu menerangi orang lain dan lingkungan sekitar kita.

Urip iku urup. Hidup itu menyala, bagaikan pelita yang menerangi alam di sekelilingnya. Menghalau setiap kegelapan dengan cahayanya. Begitulah seharusnya hidup kita. Allah SWT telah menakdirkan kita menjadi makhluk hidup. Oleh karenanya sudah seharusnya kita mampu menyinari segala hal di sekitar kita dengan cahaya kebaikan, serta menepisnya dari gelapnya keburukan. Hal ini adalah seperti yang telah diwasiatkan oleh Sunan Kalijaga.

Dari penjelasan panjang lebar di atas, jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan buruk, yang telah disinggung dalam surah al-‘Ankabut dengan al-fakhsya’ wa al-munkar, penyebabnya tidak lain adalah shalat yang hanya dilaksanakan hanya dari sisi lahirnya saja. Sehingga serajin apapun shalat yang kita laksanakan tidak akan membuat diri kita suci dari perbuatan-perbuatan buruk. Shalat kita tidak mendarah daging dengan diri kita. Makna dan nilai sejati dalam shalat tidak ikut serta menghiasi dan menerangi setiap langkah dan aktifitas kita.

Jadi tidaklah mengherankan jika banyak orang-orang yang menyandang label ustadz, gus, kyai, bahkan ulama yang masih saja suka menhujat, menghina, mencela, menyesatkan, atau bahkan mengkafirkan, perbuatan mereka tidak menggambarkan dirinya sebagai man salima al-muslimun min lisanihi wa yadihi, seperti yang telah disinggung oleh hadis di atas. Label yang mereka sandang tidak menjadikan mereka sebagai li utammima makarim al-akhlaq (untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur), tidak mendorong mereka menjadikan agama mereka sebagai rahmatan li al-‘alamin (untuk menebar kasih sayang bagi semesta alam). Padalah, mereka menyandang label Ulama yang seharusnya berperan sebagai waratsah al-anbiya’ (pewaris keluhuran para Nabi).

*****

Selasa, 21 Agustus 2018

Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren? Yuk Simak Selengkapnya...

Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren?
Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren?
Oleh: Syifa'ur Romli
Raudlatul Ulum 1 - Momen hari raya idul Adha memang menjadi satu-satunya momen yang paling berkesan bagi umat islam untuk dirayakan. Lebih berkesan lagi jika dirayakan bersama keluarga dan sanak saudara. Termasuk di antara peraya dari hari bersar islam ini adalah kamu bersarung; Santri.

Pesantren Radulatul Ulum 1 memang tak membolehkan santrinya untuk pulang ke rumah. Itu artinya, peraturan tertulis mengharuskan mereka berIdul Adha di pesantren bersama para santri senasib seperjuangan yang lainnya.

Lantas, apa yang biasanya mereka lakukan ketika Idul Adha jika tak bersama keluarga? Tentunya di pesantren. Berikut beberapa list favorit hal yang mereka lakukan di pesantren bersama santri lainnya:


1. Menangis

Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren? Yus Simak Selengkapnya...
Terlihat salah seorang santri mungil tengah meratap
Daftar "Menangis" menempati urutan pertama sebab banyaknya santri yang melakukakannya. Khususnya bagi para santri baru. mereka yang belum bisa Move On dari kehidupannya sehari-hari bersama keluarga. Tentunya jalan terbaik untuk meluapkan kerinduannya untuk bertakbir dan bersenda bersama keluarga adalah dengan cara Menangis sebab terjeda dinding pesantren.
  • Cara menangis mereka pun bermacam-macam. Berikut listnya:
  • Menyendiri di tempat sepi sambil berteman sunyi
  • Berselimut dengan pura-pura tidur, padahal brebes mili
  • Nangis ber-Jama'ah bersama teman yang lain
  • Menangis sembari menatap awan gelap
  • Menangis di kamar mandi sambil berbasah pipi agar tak ketahuan

Namun, mereka menangis demi merajut asa untuk masa depan gemilangnya. Jadi, kebiasaan seperti ini telah wajar dilakukan di pesantren lain.

2. Lomba Takbir

Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren? Yus Simak Selengkapnya...
Para Santri ketika mengikuti Lomba Takbir Idul Adha
Di Raudlatul Ulum 1 sendiri, setiap malam lebaran Idul Adha selalu diadakan lomba seni takbir. Hal itu dilakukan demi memecah kesunyian dan kesedihan tak bersama keluarga. JAdi, jika mereka tak berani mengikuti lomba dan tampil di hadapan ratusan santri yang lain, maka mereka memilih menonton dan mengisi kekosongan hati.

Di antara santri yang mengikuti lomba, diharuskan untuk memilik beberapa personil yang terdiri dari: Vokalis, Penari dan Pemukul alat musik seadanya (Misal: Gayung, Timba, Botol Sprit dan lainnya).

3. Menelfon Orang Tua

Berlebaran di pesantren tidaklah menghalangi mereka untuk tidak bermaafan dan berbagi kesedihan dengan orang tua. Kini zaman sudah modern. Pesantren menyediakan alat elektronik berupa HP untuk membantu santri tetap bisa menghubungi keluarga ketika di pesantren. Tak jarang pula ada yang menelfon sambil menangis tersedu-sedu.

4. Bertemu Keluarga

Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren? Yus Simak Selengkapnya...
Bertemu Keluarga: Salah seorang santri dijenguk keluarganya.
Bertemu keluarga bukan berarti pulang. Sebab, pesantren tetap dengan sangat lues memberikan kebebasan pada wali santri untuk menjenguk keluarganya di pesantren. Tapi bukan berarti pula boleh Dibawa Pulang. Maka dengan kunjungan wali santri ke pondok pesantren, maka kesempatan bertemu keluarga akan terbuka lebar. Sekalipun tak di rumah. Jika tak dijenguk, maka Menangis adalah pilihan terbaik.

5. Bercanda

Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren? Yus Simak Selengkapnya...
Bercanda: Salah satu hal untuk menutupi kesedihan...
Karena pesantren tak membolehkan santrinya untuk pulang, maka kegiatan pesantren sebagaimana biasanya diliburkan pada malam Idul Adha hingga sore hari. Selepas itu, tamatlah kebebasan mereka.

Salah satu gal yang tepat bagi santri yang tak suka menangis adalah bergurau dan bercanda bersama teman santri yang lain. Hal itu tak lain untuk mengisi kesedihan hatinya. Maka, mereka menghabiskan 24 jam untuk libur belajar dan terfokus hanya untuk menghibur diri pada momen Idul Adha.

6. Makan-Makan

Selain diburkan 24 jam, gerbang juga terbuka untuk waktu selama itu. Artinya, mereka bebas untuk keluar masuk area pesantren untuk keperluan membeli makanan yang beranek macam jenisnya di luar pesantren. Bahkan berarti tanpa pengawasan. Jika lengah sedikit, Hukuman tetap aktif pada santri yang melanggar undang-undang.

Sekalipun tak bersama Sate Kambing, Gulai atau jenis olahan kambing lainnya, santri punya cara tersendiri untuk membalas dendamnya tak bertemu daging kurban. Berikut list makanan yang biasa mereka pilih demi mengisi hari tak bersama keluarga di rumah:
  • Bakso (Pedaas)
  • Nasi Ayam/Hati
  • Mie Ayam/Pangsit
  • Nasi Goreng
  • Gorengan
  • Minuman Dingin dan,
  • Snack Terjangkau

Mereka tak canggung untuk meminta kiriman lebih demi melunasi haus dahaga mereka untuk ingin pulang berjumpa keluarga. Dan pastinya, setiap orang tua pasti mengerti dengan perasaan putra-putrinya masing-masing bukan?

Berikut tadi adalah  hal-hal yang biasa dilakukan oleh santri ketika Idul Adha di Pesantren dan tak bersama keluarga. Apapun halangannya, jalan terbaik adalah tetap berada di pesantren dan manut terhadap undang-undang. Apa lagi alasan yang paling puncak selain harapan diakui sebagai "Santri KH. Yahya Syabrowi"? [Red]

Jumat, 17 Agustus 2018

Upacara Bendera - Uforia Kemerdekaan Indonesian ala Santri Raudlatul Ulum 1

Upacara Bendera - Uforia Kemerdekaan Indonesian ala Santri Raudlatul Ulum 1
Potret: Pengibaran Bendera Merah Putih pada Upacara HUT RI ke-73
Raudlatul Ulum 1Suasana berbeda terjadi pada hari Jum'at (17 Agustus 2018) kemarin. Tidak sebagaimana biasanya terjadi di PonPes Raudlatul Ulum 1 Malang. Pasalnya, hari itu bertepatan dengan peringatan HUT ke-73 Republik Indonesia. Santri yang biasanya menghabiskan waktu libur kegiatannya dengan bermain bola, bersantai sembari menghabiskan waktu untuk tidur pulas serta ada pula yang bersenda ria melepas rindu bersama para keluarga (jika dikirim. Jawa; Kiriman) kemarin tidak terlihat lagi.

Yang ada hanya pemandangan berwarna biru putih serta ada sebagian yang berseragam rapi dan khusus. Mereka diharuskan mengikuti upacara bendera demi memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan keadaan yang serba terbatas, tak ada alasan apapun untuk menghalangi para santri untuk turut merayakan hari paling bersejarah untuk bangsa ini.


Meskipun tak didampingi sanak keluarga. Upacara hari kemenangan itupun dijalani dengan penuh uforia kemenangan, kebersamaan, khidmat dan penuh kegembiraan.

Momen yang diselenggarakan atas kerja sama Madrasah Diniyah Raudlatul Ulum 1 Putra dan PonPes Raudlatul Ulum 1 itu berlangsung dengan tertib. Upacara dimulai tepat pada jam 07.00, setelah sebelumnya dilakukan gladi resik.
Upacara Bendera - Uforia Kemerdekaan Indonesian ala Santri Raudlatul Ulum 1
Pembina Upacara HUT RI ke-73 PPRU1: Gus. Abdur Rohim Sa'id
Gus. Abdur Rohim (Kepala Pesantren PPRU1 PA) sebagai pembina upacara memberikan amanat "Mari kita jadikan momen kemerdekaan bangsa Indonesia ini sebagai momen untuk kita semua agar senantiasa selalu giat dalam melaksanakan kegiatan pondok pesantren, serta menjauhi apa yang dilarang oleh pondok pesantren".

Ust. Abdur Rofik yang juga salah satu penyelenggara acara upacara bendera tersebut melakukan kerja sama dengan NUtizen untuk bersediara mensponsori acara tersebut dan berkenan melnayangkan Live Streaming di salah satu FansPage ternama itu.

Upacara bendera diikuti oleh hampir seluruh santri Raudlatul Ulum 1 Putra, dewan pengurus, dewan asatidz Madrasah Diniyah dan beberapa tamu undangan. Para santri secara serentak berseragamkan baju putih, songkok putih dan atribut wajib sarung biru ala PPRU 1. Terkecuali petugas upacara, yang bercelana hitam dan bersongkok nasional hitam juga. Semua berjalan lancar tanpa adanya hambatan.
Upacara Bendera - Uforia Kemerdekaan Indonesian ala Santri Raudlatul Ulum 1
Uforia para santri PPRU1 ketika mengikuti upacara bendera HUt RI ke-73
Selain lagu wajib Indonesia Raya tatkala pengibaran sangsaka Merah Putih, ada beberapa lagu yang turut dinyanyikan dalam acara tersebut. Diantaranya Ya Lal Wathon, Hiymne Madrasah dan 17 Agustus 1945. Demikian sebab adalah ciri khas santri. Khususnya pula santri NU. Pada penghujung upacara, do'a dipimpin oleh Ust,. Khoiron Halim dan diakhiri dengan potong tumpeng bersama. [Red]

Minggu, 05 Agustus 2018

#Info Pesantren - Cuaca Dingin Mencapai 18' C, Santri Tetap Aktif

#Info Pesantren - Cuaca Dingin Mencapai 18' C, Santri Tetap Aktif
Suasana Pagi PP. Raudlatul Ulum (Suhu mencapai 18' Celcius)
PPRU1.NET-Akhir-akhir ini daerah Malang dan Kabupaten Malang tengah dilanda musim kemarau. Akibatnya, intensitas suhupun semakin menurun dan membuat cuaca menjadi sangat dingin. Bahkan bisa dikatakan cuaca dingin kali ini sangat berbeda dengan biasanya.

Hal itu terbukti sejak (Senin, 6/8/2018). Berdasarkan berita yang dilansir oleh situs Berita ter-Update Detik.com, cuaca di daerah kab. Malang mencapai titik suhu 19' - 18' Celcius. Penyebab utamanya adalah tengah adanya musim kemarau. Sehingga, suhu diperkirakan masih akan turun sampai titik 14' Celcius hingga akhir bulan Agustus 2018.

Dengan adanya duhu yang tak umum terjadi di daerah yang biasanya panas dan hangat tersebut tersebut, membuat penduduk kab. Malang termasuk penduduk santri PP Raudlatul Ulum 1 menjadi resah. Pasalnya, mereka harus menjalani kegiatan yang super padat dengan kondisi tubuh diuji dengan dinginnya cuaca.


Terlebih lagi menghadapi kegiatan ketika suhu dingin mencapai titik puncak dinginnya; dinihari - pagi. Mereka diharuskan tetap menjalani kegiatan semenjak mata mereka terbuka jam 04.00 - 07.00 tentunya dengan sengatan dingin yang menyayat. Kendati demikian, mereka tetap dikawal untuk selalu konsisten dalam melakukan kegiatan oleh pihak pengurus.

#Info Pesantren - Cuaca Dingin Mencapai 18' C, Santri Tetap Aktif
Nadzoman Bersama - Terlihat ekspresi semangat santri meski disengat dingin
Sholat jama'ah Shubuh menjadi awal mereka harus menahan pedihnya menjadi bakal seorang ulama' dan pilihan Allah SWT. Sekalipun mereka harus sulit sekali untuk dibangunkan sebab dinginnya hawa dan enggan menyentuh air. Hal itu pula yang menjadi beberapa beban dan hambatan bagi pengurus keamanan yang bertugas penting membangnkan mereka. Kendati demikian, semua berjalan lancar.

Tak berhenti di sholat jama'ah, mereka diharuskan mengaji kitab Tafsir al-Jalalain dan mengaji al-Qur'an (bagi kelas ula), dilanjut dengan nadzoman bersama. Dengan posisi tangan yang selalu berdekap serta badan menggigil tertutup sorban, mereka tetap semangat dan insyaAllah akan selalu semangat. [Red]

Rabu, 25 Juli 2018

KBIH As-Syafa'ah - Tahun Ini, Memegang Rekor Jama'ah Haji Terbanyak

KBIH As-Syafa'ah - Tahun Ini, Memegang Rekor Jama'ah Haji Terbanyak

Jamaah Haji As-Syafa'ah - PPRU 1

KBIH As-Syafa'ah -Sejumlah 146 jama'ah haji Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) As-Syafa'ah diberangkatkan kemarin (Senin, 23 Juli 2018) dari Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1, Ganjaran, Malang. Jumlah ini merupakan jumlah terbanyak dari tahun-tahun sebelumnya.

KBIH yang dibimbing langsung oleh salah satu dewan pengasuh PonPes Raudlatul Ulum 1; KH. Ahmad Hariri Yahya ini berangkat dengan nomor kloter 23 dan memiliki rombongan berjumlah sebanyak 4 bus pariwisata kelas A.
KBIH As-Syafa'ah - Tahun Ini, Memegang Rekor Jama'ah Haji Terbanyak
Sholat Dhuhur Berjamaah menjelang keberangkatan jamaah
Prosesi pemberangkatan berjalan dengan lancar serta aman terkendali. Hal ini tak lepas dari usaha panitia pemberangkatan jamaah haji yang terdiri di antaranya dari pengurus pesantren sebagai petugas birokrasi, Banser gondanglegi sebagai pengaman dan pihak kepolisian sebagai keamanan pemerintah daerah.

Baca Juga: Nonton Bareng Piala Dunia Ala Santri? Yang Penting Happy!

Selain jumlah jama'ah haji yang lebih banyak dari pada tahun sebelumnya, ada yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Antara lain; tersedianya pos penukaran uang rupiah-real yang diselenggarakan atas kerja sama panitia dengan Bank Syari'ah Mandiri Malang. Hal ini memudahkan sekaligus menambah fasilitas kenyamanan para calon jamaah haji.

KBIH As-Syafa'ah - Tahun Ini, Memegang Rekor Jama'ah Haji Terbanyak
Salah satu jamaah haji beserta pengantarnya
Akibat jumlah jama'ah haji yang semakin melunjak, kemacetan tak kuasa dihindarkan lagi. Hal ini terjadi akibat jumlah kendaraan pengantar sekaligus para sanak keluarga jama'ah yang turut mengantar kepergian para calon jama'ah haji dalam menunaikan ibadah haji menuju tanah suci.

Tidak ada kasus kehilangan atau kejadian yang tidak diinginkan lagi dalam pemberangkatan jama'ah haji tahun ini. Semua berjalan lancar dan aman terkendali.

KBIH As-Syafa'ah - Tahun Ini, Memegang Rekor Jama'ah Haji Terbanyak
Terlihat petugas banser dan kepolisian dalam menertibkan keamanan
"Alhamdulillah, sekalipun jumlah jama'ah haji semakin bertambah signifikan, namun tak didapatkan hal-hal yang tak diinginkan pada tahun ini. Semua berkat kerja sama antara panitia, banser, kepolisian dan warga setempat sendiri" Ujar P. Shinwani (petugas Banser) kala diwawancarai Tim Publikasi kemarin. [Red]

Selasa, 24 Juli 2018

MA'RUFI - Santri Baru, Membawa Wajah Baru dan Era Baru

MA'RUFI - Santri Baru, Membawa Wajah Baru dan Era Baru

MA'RUFI - Santri Baru, Membawa Wajah Baru dan Era Baru

Salam santri Kyai Yahya Syabrowi! Salam Tafaqquh Fiddin...

Ma'rufi atau kepanjangan dari masa ta'arruf santri yang diadakan selama satu tahun sekali meruapakan salah satu cara membiasakan santri untuk dapat menyesuaikan lingkungan pesantren serta pendidikan karakter paling awal bagi mereka.

Tahun ini, Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 menerima jumlah santri baru sebanyak 96 orang. Lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya. Namun, jumlah bukanlah prioritas utama. Sebab memang begitulah fluktuasi lembaga pendidikan manapun.

MA'RUFI - Santri Baru, Membawa Wajah Baru dan Era Baru
Wajah Santri Baru
Pada tanggal (16-17 Juli 2018) kemarin, sebanyak jumlah santri baru tersebut, mereka melakukan kegiatan yang diadakan oleh pengurus pusat pesantren yang diprogramkan khusus untuk para santri baru. Acara yang hampir mirip dengan Masa Orientasi jika di pendidikan formal; MA'RUFI.

Ada beberapa catatan berbeda dari para daftar santri yang nyantri di PPRU 1 tahun ini. Berikut kami ulas satu persatunya:

1. Sulawesi - Torehan Domisili Santri Baru

Ada kurang lebih empat santri baru di tahun ini yang berasal dari salah satu deretan pulau besar di negri Nusantara ini yaitu; Sulawesi. Merupakan daftar baru sepanjang catatan berdirinya pondok pesantren ini. Empat santri baru tersebut mengaku memiliki sanak saudara yang berada di wilayah Malang serta merupakan keluarga HISANIYAH PPRU 1. Oleh karenanya, mereka kemudian berminat menyantrikan dirinya di Raudlatul Ulum 1.

2. Syaputra Mubarroqh bukan Lagi satu-satunya

Jika di tahun kemarin adalah salah satu tahun ajaran dimana Syaputra Mubarroqh menjadi pemecah rekor santri termuda di Raudlatul Ulum 1, maka kini dia sudah tak sendiri lagi. Sebab, ada santri baru yang menyamai umur serta kecilnya yang berada di pesantren.


MA'RUFI - Santri Baru, Membawa Wajah Baru dan Era Baru
Evander Ozora Arsyadzakwan (Nama santri sebaya Syaputra)
Santri itu bernama "Evander Ozora Arsyadzakwan" Seorang yatim berasal dari kota Sidoarjo, Jawa Timur. Dia sudah ditinggal Ayahnya kala masih bayi. Hidup bersama ibu serta dua saudaranya di kepadatan kota membuatnya menjadi anak kurang berpendidikan. Demi mengatasi masa depan suram. Ibu memasrahkannya kepada Kyai Athok Lukman Hakim untuk nyantri di Raudlatul Ulum 1.

Memiliki umur dan postur yang sama dengan Syaputra, yakni 9 tahun membuat mereka berdua secara langsung menjadi sahabat karib semenjak kenal. Kemanapun Syaputra melangkah, ada Evan di sampingnya. Sebaliknya, ada Evan, maka ada Syaputra.

3. Santri dengan rata-rata umur dini

Sudah menjadi gejala hampir di seluruh pondok pesantren di NUsantara, santri yang semakin memuda dan mendini, dalam hal Usia. Di tahun ini saja, Pondo Pesantren Raudlatul Ulum 1 menerima rata-rata santri dengan status latar belakang pendidikan baru lulus pendidikan dasar. Bahkan hampir 60-70% di antaranya, melanjutkan pendidikan di MTs, SMP & Madrasah Diniyah.

Namun bukan lagi sebuah kekhawatiran bagi pesantren saat ini. Dan untuk sementara, penyebab dari semakin mendininya usia santri baru dari tahun ke tahun ini disebabkan oleh pergaulan bebas dalam lingkungan luar yang menimbulkan kekhawatiran terhadap setiap orang tua dan lebih memilih untuk memondokkan anaknya di lembaga pesantren yang memiliki visi misi caracter building.