Selasa, 01 Oktober 2013

Hadits Menurut Pandangan Syi'ah

Oleh: Abdurrohim Said

al-Kafi, salah satu kitab Hadits Sekte Syi'ah
 
A.      PROLOG
Al-Hadits adalah salah satu sumber tasyri’ penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penfasir al-Qur’an, bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen sebagaimana al-Qur’an sendiri. Itulah sebabnya, di kalangan Ahl al-Sunnah, menjadi sangat penting untuk menjaga dan “mengawal” pewarisan al-Sunnah ini dari generasi ke generasi. Mereka –misalnya- menetapkan berbagai persyaratan yang ketat agar sebuah hadits dapat diterima (dengan derajat shahih ataupun hasan). Setelah meneliti dan membuktikan keabsahan sebuah hadits secara sanad, mereka tidak cukup berhenti hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk mengkaji matannya; apakah ia tidak syadz atau mansukh –misalnya-. Demikianlah seterusnya, hingga mereka dapat menyimpulkan dan mendapatkan hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah.

Di samping metodologi Jumhur –sebagai salah satu kelompok Islam terbesar-, ternyata Syiah Imamiyah –sebagai salah satu kelompok Syiah terbesar- juga memiliki perhatian khusus terhadap al-Hadits. Namun mereka memiliki jalur sanad dan sumber khusus dalam menerima hadits yang berbeda dengan sanad dan sumber Jumhur. Ini tentu saja tidak mengherankan, sebab Syiah Imamiyah memiliki pengertian tersendiri tentang Jumhur. Maka perbedaan ini tidak pelak lagi kemudian memunculkan perbedaan antara Jumhur dengan mereka dalam persoalan keaqidahan maupun kefiqihan.
Oleh karena itu, tentu menjadi menarik untuk mengetahui lebih jauh tentang hadits menurut Syiah  secara umum, tanpa membahas perpecahan golonngan ini.


B.       PEMBAHASAN
1.      Sekilas Tentang Syiah
Syiah menurut bahasa berarti “pengikut”, sedangkan menurut Istilah Syiah berarti sekolompok orang yang mengagumi, mengikuti Ali bin Abi Thalib. Belakangan, golongan ini memiliki beberapa istilah, yaitu al-Rafidhah, al-Imamiyah, al-Itsna ‘Asyariyah, dan Ja’fariyah[1].
Para penulis Sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syi’ah. sebagaian menganggap syiah lahir langsung setelah wafatnya Rasulullah saw. yakni pada saat perebutan kekuasaan antara  golongan Muhajirin dan Anshar. Dibalai pertemuan Bani Saqifah Bani Saidah. Pada saat itu terdapat suara yang menuntut ke-khalifah-an Ali bin Abi Thalib dari bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin.
Pendapat lain menyebutkan bahwa syiah muncul pada akhir masa khalifah ketiga, Utsman bin Affan Ra. atau tepatnya pada awal pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Namun pendapat yang paling populer dikalangan para sejarawan, bahwa syiah lahir setelah gagalnya perundingan antar pihak pasukan Ali bin Abi Thalib Ra. dengan pihak Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dipihak lain, pada saat perang siffin[2].
Hanya saja, fitnah dengan tameng kecintaan berlebihan kepada Ali bin Abi Thalib sebenarnya telah didengungkan oleh Abdullah bin Saba’[3]. Sehingga keterikatan antara golongan Syiah dengan sosok Abdullah bin Saba’ ini tidak dapat dihilangkan.

2.      Hadits Menurut Syiah
a.      Definisi Hadits dan Pembagiannya
Definisi syiah terhadap hadits Nabi Muhammad tidak sebagaimana pandangan Sunni. Terdapat perbedaan yang bersifat prinsipil baik mengenai epistemologi, jalur periwayatan, penerimaan maupun penggunaannya. Definisi sunnah versi Syi’ah adalah “ setiap sesuatu yang muncul dari orang yang ma’shum, baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan”[4]. Sementara orang yang Ma’shum menurut mereka adalah Rasulullah saw. dan dua belas Imam.
Kedua-Belas-Imam yang diakui oleh Mazhab Syiah Dua-Belas-Imam adalah sebagai berikut:
1.      Ali ibn Abi Thalib “al-Murtadha” (w. 40 H/661 M)
2.      Al-Hasan ibn ‘Ali “al-Zaky” (w. 49 H/669 M)
3.      Al-Husain ibn ‘Ali “Sayyid al-Syuhada’” (w. 61 H/680 M)
4.      Ali ibn Al-Husain, Zain Al-Abidin “Zainal ‘Abidin” (w. 95 H/714 M)
5.      Abu Ja’far Muhammad Ali “Al-Baqir” (w. 115 H/733 M)
6.      Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad “Al-Shadiq” (w. 148 H/765 M)
7.      Abu Ibrahim Musa bin Ja’far “Al-Kazhim” (w. 183 H/799 M)
8.      Abu Hasan Ali bin Musa “Al-Ridha” (w. 203 H/818 M)
9.      Abu Ja’far Muhammad bin Ali “al-Jawad” Al-Taqi (w. 220 H/835 M)
10.  Abu Hasan Ali bin Muhammad “al-Hadi”(w. 254H/868 M)
11.  Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali “Al-Askari” (w. 260 H/874 M)
12.  Abu al-Qasim Muhammad bin Hasan “Al-Mahdi”, Al-Qa’im Al-Hujjah (memasuki kegaiban besar pada 329    H/940 M)[5]
Sehingga dalam versi Syiah, dua belas Imam memiliki porsi yang sejajar dengan Rasulullah saw. Selain itu, tidak terdapat perbedaan pula antara orang yang masih kecil (bocah) dan yang sudah matang dari kedua belas Imam tersebut. Sebab menurut pandangan mereka ke-dua belas Imam ini telah terjaga dari salah dan lupa sepanjang hidupnya.
  Selain itu, syiah berkeyakinan bahwa hadits-hadits yang bersumber dari para Imam adalah shahih tanpa perlu kesinambungan riwayat (Ittishal al-Sanad) dengan Rasulullah saw. sebagaimana persyaratan keshahihan hadits dikalangan Sunni.
Pandangan di atas sudah menjadi cara pandang kalangan syiah secara umum, baik yang ekstrem maupun syiah yang lunak. Yang modern lebih-lebih yang klasik.
Apa yang disebut Sunnah atau Hadist oleh Syiah bukan hanya berupa ucapan, perilaku, sikap, kebiasaan Nabi, tapi juga seluruh Ma’shum yang berjumlah 12. Dengan demikian, Era wurud Sunnah tidak berhenti dengan wafatnya Nabi Besar Muhammad–seperti kepercayaan Ahlus Sunnah–melainkan berlanjut terus hingga masa kegaiban besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H.[6]
Dalam sekte syi’ah hadits terbagi menjadi tiga macam besar hadits, yaitu hadits Mutawatir, dan hadits Ahad[7]. Hadist Mutawattir versi Syiah ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kalangan sunni, yakni hadist yang diriwayatkan oleh sebuah jama'ah yang mencapai jumlah yang amat besar sehingga tidak mungkin mereka berbohong dan salah. Hadist seperti ini adalah hujjah dan harus dijadikan landasan dalam beramal.  Namun, sepertinya kalangan syiah dalam hal definisi hadits Mutawatir, memebrikan syarat, “hadits mutawatir tidak membawa pembaca pada kesalahan, dan justru mendapatkan kebenaran”. Sepertinya mereka tetap menekankan pentingnya “Imamah” Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu, guna melancarkan akidahnya, dalam kaitannya dengan haits Mutawatir, mereka berkata “dengan Syarat tersebut, maka hujjah orang yang menolak Nash Hadits tentang Imamiyah Ali bin Abi Thalib menjadi tertolak sebagai hadits Mutawatir”[8]
Sedangkan hadist Ahad adalah hadist yang tidak mencapai derajat tawatur, rawi yang diriwayatkannya satu atau lebih. Kemudian, hadist Ahad diklasifikasikan menjadi empat bagian:
1)      Shahih
Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seorang penganut Syi'ah Imamiah yang telah diakui ke-adalah-annya dan dengan jalan yang shahih.
Dari definisi hadits Shahih ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun hadits shahih kecuali jika rawinya berasal dari kalangan dua belas Imam yang ma’shum[9].
2)      Hasan
Yaitu jika rawi yang meriwayatkannya adalah seorang Syi'ah Imamiah yang terpuji, tidak ada seorangpun yang jelas mengecamnya atau secara jelas mengakui ke-adalah-annya.
3)      Muwats-tsaq
Yaitu hadits dari seorang yang ma’shum dan diriwayatkan oleh rawi yang bukan Syi'i, namun ia adalah orang yang tsiqat dan terpercaya dalam periwayatan.
4)      Dla'if
Yaitu hadist yang tidak mempunyai kriteria-kriteria tiga kelompok hadist di atas, seperti misalnya sang rawi tidak menyebutkan seluruh rawi yang meriwayatkan hadist kepadanya.[10]
Dari uraian hadits diatas, secara umum dapat disimpulkan bahwa hadits versi syiah hanya dapat diterima apabila terdapat unsur kepercayaan “Imamiyah”, sehingga sebuah hadits tidak dapat diterima (menurut syi’ah) ketika akidah tentang Imamiyah ini diabaikan
b.      Al-Jarhu wa al-Ta’dil
Serperti halnya definisi hadits yang memiliki perbedaan antara syi’ah dan mayoritas umat Islam, begitu juga tentang Al-jarhu wa al-Ta’dil versi syi’ah memiliki perbedaan yang prinsipil. Hal ini dikarenakan al-Jarhu wa al-Ta’dil menurut mereka harus dilandasi dengan akidah “Imamiyah”. Sehingga profil para rawi dalam kitab-kitab mereka tidak akan selamat dari cacian, dan legitimasi pembohong, kecuali rawi yang mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang sah setelah Rasulullah saw. beberapa kitab tentang Rijal Hadits versi Syi’ah ini, yaitu : Rijal al-Burqi, Rijal al-Kasyi, Rijal al-Syaikh al-Thusi, Fahrasatuhu, Rijal al-Najasyi[11].
c.       Kitab Hadits Syiah
Dalam hal penulisan hadits, syiah mengklaim bahwa penulisan hadits mereka sudah dimulai sejak zaman Nabi seperti halnya dalam keilmuan Ahlussunnah. Akan tetapi selanjutnya yang membuat beda adalah, bahwa menurut syiah, orang pertama yang melakukan adalah Nabi itu sendiri. Yaitu melalui tangan Imam pertama, Ali bin Abi Thalib ra. dalam catatan sejarah syiah, Nabi saw. memiliki sebuah shahifat, lembar-lembar kertas yang selalu  digantungkannya di bahu pedang beliau. Kemudian Rasulullah saw. mendektekan hadits-haditsnya pada Imam Ali ra. untuk disalin kedalam shahifahnya. Tatkala Rasulullah saw. meninggal dunia Imam Ali ra. memelihara shahifah tersebut dengan baik. Shahifah tersebut kemudian lebih dikenal dengan nama Shuhufat Ali.
Terlepas dari perdebatan seputar asal mula penulisan hadits, antara syiah dan sunni. Dikalangan syiah terdapat empat kitab hadits yang dianggap paling shahih, yang dikenal dengan al-Kutubu al-Arb’ah. yaitu :
1)        Al-Kafi
Merupakan kitab yang pertamakali disusun. Pengarangnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini. Kitab ini tidak sekedar memuat tentang hadits-hadits mengenai fiqih, akan tetapi juga mencakup hadits-hadits tentang akidah ushul dan furu’[12], sejarah para ma’shumin (orang-orang yang ma’shum) menurut syi’ah. dan empat belas orang-orang suci, yakni Nabi saw, Sayyidah Fatimah ra. dan kedua belas Imam.
Kitab yang memuat 16099 Hadits ini, menempati posisi paling istimewa diantara ketiga kitab lainnya yang termasuk dalam al-Kutub al-Arba’ah.Syiah memandang keistimewaan dalam al-Kafi antara lain karena faktor-faktor berikut:
Pertama, penyusunan terjadi padamasa kegaiban sementara atau al-Ghaibah al-Shughra, yang berarti bahwa ada kemungkinan penyusunnya bertemu dengan Imam Mahdi melalui wakil-wakilnya .menurut syiah, kemungkinan itu semakin di perkuat dengan fakta bahwa al-Kulaini tinggal di Baghdat,oleh karena itu, al-Allamah al-Muhaddits an-Nuri, tokoh hadis Syiah terkenal,cenderung percaya bahwa kitab al-Kafi sempat di perlihatkan kepada Imam mahdi,dan sang imam mengakuinya .Konon,Imam Mahdi memberi komentar untuk kitab tersebut:’’Kafin  li syi’atina’(Kitab ini representatif untuk pengikut kita).
Kedua, penyusunannya dilakukan selama 30 tahun, melalui pengembaraan yang panjang dari satu negeri ke negeri yang lain.sesuatu yang mencemirkan kehati-hatian sang penyusun untuk tidak mencatat kecuali hadits-hadits yang dapat dipercaya.
Ketiga, Kitab al-Kafi disusun dengan cara yang teratur,sistematis,jeli,jauh dari hadits bi al-ma’na (periwayatan secara makna)dan tidak ada campur tabgan pihak luar dalam hadits –haditsnya.
Keempat, Penyusunnya adalah seorang yang dalam pandangan Syiah diakui baik oleh kawan maupun lawan,sebagai orang yang ahli dalam bidangnya,dan dihormati semua pihak, karena ketinngian ilmu dan takwanya.An-Najasi (tokoh syiah terkemuka)menyatakan :’’al-kulaini adalah orang yang palin dipercaya, autsaqu an-nas dan paling komit,’’Al-majlisi(ulama Syiah terkemuka ,penulis Bibar al-Anwar)menulis:Syekh al-kulaini adalah seorang syekh,ulama besar yang selalu jujur,dipercaya, diterima oleh seluru orang, dan dipujioleh orang-orang Syiah sendiri  maupun mereaka yang luar Syiah[13]
2)        Man la Yahdurhu al-faqih
Penyusun kitab besar ini adalah Syekh Abu Ja’far Muhammad Ibn Ali Babuwaih al-Qummy[14], yang lebih dikenal dengan julukan Syekh ash-shaduq atau maha guru yang jujur’. Kitab ini terdiri
Dalam kepercayaan orang Syiah, ia lahir berkat doa Imam mahdi yang mendoakannya agar menjadi seorang ulama terkemuka.konon,Syekh Shaduq sangat tekun memburu setiap hadits yang di dengarnya, sehinnga ia harus mengembara dari satu kota ke kota lain, hanya untuk menerima periwayatan sebuah hadist dari seorang syekh.Ada tidak kurang dari 260 Syekh hadist yang ia terima periwayatannya.
Menurut penuturan orang-orang Syiah, syekh Shaduq adalah tokoh hadis yang cukup produktif.Karya-karyanya terutama dibidang hadist,cukup dominan dalam khazanah keilmuan syiah.Bagi umat syiah,yang paling monomentaltentunya adalah karyanya yang di atas,yaitu Man La Yahdurhu al Faqih. Tapi krya-karyanya yang lain, seperti at-Tuhid, Kamal ad-Din wa Tamam an Ni’mah, Ilal asy-syarayi’,al-Khisbal, Uyun Akhbarar-Ridha dan yang lain,tidak kalah populernya.
Kitab Man la Yahdhurhu al-Faqih adalah karya  hadits ahkam atau hadist-hadist mengenai hukum. di dalamnya tertampung 9044[15] hadist, dengan 2050 hadist mursal, hadis yang terputus periwayatannya dan sisanya adalah hadist-hadist musnad bersambung periwayatannya menurut persepsi Syiah[16].
3)        & 4) Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar
            Kedua kitab di atas di susun oleh tokoh yang di anggap paling utama dalam madrasah(madzhab) Ahlul Bait pada zamannya, yakni syekh Abu Ja’fa Muhammadibnu Hasan ath-Thusi atau yang lebih dikenal dengan sebutan ath-Thusi. Syekh al-Thusi lahir tahun 385 H. dan meninggal pada tahun 469 H.
          Pada zaman terjadinya fitnah besar yang memaksa pengikut Ahlul Bait meninggalkan kampung halaman mereka di bagdhad, Syekh ath-Thusi mengungsi ke Najaf, sebuah kota kecil tempat dimakamkanya Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. al-Thusi membangun pusat pendidikan ilmu baru,yang kemudian dikenal dengan nama  Hauzah Ilmiyah Najaf.
Dalam pandangan Syiah, Syekh ath-Thusi adalah seorang tokoh besar. Bersama dengan itu, ia pun melahirkan karya-karya yang luar biasa. Selain kedua kitab di atas , karya-karya tentang tafsir  al-Qur’an, yakni kitab Tafsir  al-Tibyan merupakan karya cukup fenomenal bagi orang-orang Syiah. Ath-Thusi juga masih memiliki karya-karya lain, semisal al-Gha’ibah, sebuah buku yang menjelaskan tentang Imam Mahdi,dan Talkhish asy-Syafi yang menjelaskan tentang imamah.
Adapun kitab Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar, sebagaimana disinggung  di atas, bagi umat Syiah, merupakan karya besar ilmu hadist dan sejajar  dengan kitab  Man La Yahdhurhu al-Faqih. Kedua kitab ini juga lebih bercorak hadist-hadist ahkam. Akan tetapi yang membedakannya dengan kitab Syiahyang serupa,bahwa disamping periwayatan tentang hadist-hadist ahkam.dalam kaca mata Syiah, kitab tahdzib al-ahkam dan al-Istibshar penuh dengan analisis fiqhi dan visi-visi argumentas, serta isyarat-isyarat tentang kaidah ushul- al-Fiqh dan rijal.Di samping itu,dalam kedua karyanya ini, ath-Thusi juga dianggap berhasil menngabungkan hadist;-hadist yang saling bertentangan.
Jumlah dalam Tahdzib sebanyak 13590 hadits, sedangkan dalam al-Istibshar sebanyak 5511 hadits.  Hadits-hadits di dalam dua buku ini, selain periwayatan yang dilakukan oleh syeikh al-Thusi sendiri, sebagian yang lain merupakan salinan atas hadits-hadits yang terdapat dalam al-Ushul al-Arba’ah dan kitab-kitab hadits kecil lain[17].
C.      KESIMPULAN
Dari paparan diatas, maka dapat kami simpulkan beberapa point tentang syiah serta hadits menurut pandangan mereka:
1.         Benih-benih Syiah merupakan golongan yang telah tumbuh sejak masa gejolak awal Islam, tepatnya propaganda Abdullah bin Saba’.
2.         Hadits dalam pandangan syi’ah memiliki perbedaan yang prinsipil dengan hadits menurut Jumhur (Ahlussunnah wal Jama’ah). dalam syi’ah terdapat syarat akidah Imamiyah. Terutama dalam menentukan keshahihan hadits dan tidaknya.
3.         Dalam syi’ah terdapat empat kitab hadits yang disucikan.



D.      DAFTAR PUSTAKA
al-Harabi, Mamduh. “Mujmalu ‘Aqaidi al-Syi’ah Fi Mizani Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah” cet. 1, 2009/ 1430 H (al-Jizah; Imraniyyah Lil Aufasat)
al-Jizawi, Asyraf. “Ilmu al-Hadits Baina Ashalati Ahli al-Sunnah wa Intihali al-Syi’ah” 2009. (Mesir: Darul Yaqin)
al-Salusi, Ali Ahmad. “Ma’a al-Itsna Asyariyah Fi al-Ushul wa al-Furu’” 2003. Cet. VII (Mesir; Daru al-Quran)
al-Turkumani, Ahmad Muhammad. “Ta’rifun Bi Madzhabi al-Syi’ah al-Imamiyah”. 1983. (Oman; Jam’iyah ‘Ummal al-Mathabi’ al-Ta’awuniyah)
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam “Ensiklopedi Islam”, Cet. 4. 1997. (Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve).
Dhahir, Ahsan Ilahi. “al-Syi’ah wa al-Sunnah” 1979 (Pakistan; Ma’arif)
Hossein Nasr, Seyyed, Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam diterjemahkan dari History Of Islamic Philosophy, Cet. I, (Mizan, Bandung, 2003)
Tim Penulis Buku Pustaka SIDOGIRI “Mungkinkah Sunnah-Syiah Dalam Ukhuwah?” Cet. I, 2007 (Pasuruan; Pustaka Sidogiri)

Website :
http://www.abna.ir/data.asp?lang=12&Id=295052
http://media.isnet.org/islam/gapai/Syiah03.html


[1] Mamduh al-harabi, “Mujmalu ‘Aqaidi al-Syi’ah Fi Mizani Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah” cet. 1, 2009/ 1430 H (al-Jizah; Imraniyyah Lil Aufasat) 9
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam “Ensiklopedi Islam”, Cet. 4. 1997. (Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve). 5. Pendapat yang populer ini dapat dilihat dalam kitab  Dr. Ahmad Muhammad al-Turkumani “Ta’rifun Bi Madzhabi al-Syi’ah al-Imamiyah”. 1983. (Oman; Jam’iyah ‘Ummal al-Mathabi’ al-Ta’awuniyah) 9
[3] Orang yahudi yang masuk Islam, dan mengobarkan fitnah dikalangan kaum muslimin sejak masa Utsman bin ‘Affan. Salah satu fitnah yang disebarkan adalah “Fanatisme berlebihan” kepada Ali bin Abi Thalib ra, dengan mengatakan “bahwa Ali bin Abi Thalib seperti halnya Yusya’ bin Nuh dikalangan yahudi”. Dinukil dari perkataan al-Naubakhti  dalam Ahsan Ilahi Dhahir, “al-Syi’ah wa al-Sunnah” 1979 (Pakistan; Ma’arif) 28
[4] Ali Ahmad al-Salusi “Ma’a al-Itsna Asyariyah Fi al-Ushul wa al-Furu’” 2003. Cet. VII (Mesir; Daru al-Quran) 703
[5] Hossein Nasr, Seyyed, Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam diterjemahkan dari History Of Islamic Philosophy, Cet. I, (Mizan, Bandung, 2003) 213-214. Lihat juga dalam Dr. Ahmad Muhammad al-Turkumani “Ta’rifun Bi Madzhabi al-Syi’ah …… Op. Cit. 11-12
[6] http://www.abna.ir/data.asp?lang=12&Id=295052 (diakses pada 21-09-2013. Jam : 19:00 Wib)
[7] Ali Ahmad al-Salusi “Ma’a al-Itsna Asyariyah …… Op. Cit. 706
[8]Ibid. 705
[9] Ibid.  706
[10] http://media.isnet.org/islam/gapai/Syiah03.html (diakses pada 21-09-2013. Jam : 19:00 Wib)
[11] Ali Ahmad al-Salusi “Ma’a al-Itsna Asyariyah …. Op. Cit. 705
[12] Asyraf al-Jizawi. “Ilmu al-Hadits Baina Ashalati Ahli al-Sunnah wa Intihali al-Syi’ah” 2009. (Mesir: Darul Yaqin) 109
[13] Tim Penulis Buku Pustaka SIDOGIRI “Mungkinkah Sunnah-Syiah Dalam Ukhuwah?” Cet. I, 2007 (Pasuruan; Pustaka Sidogiri) 71-72
[14] Asyraf al-Jizawi. “Ilmu al-Hadits Baina Ashalati …. Op. Cit. 109
[15] Ibid. 109
[16] Tim Penulis Buku Pustaka SIDOGIRI “Mungkinkah Sunnah-Syiah …. Op. Cit.  73-74
[17] Ibid. 74-75
Previous Post
Next Post

0 comments: