Minggu, 02 Juni 2019

Analisa Kaderisasi KH Qosim Bukhori

Oleh : Gus Mad

Analisa Kaderisasi KH Qosim Bukhori

PP Raudlatul Ulum 2 Putukrejo kini memasuki generasi kedua, setelah KH Qosim Bukhori sebagai pendiri sekaligus pengasuh pertama mangkat sekian tahun yang lalu. Sekalipun tipologi kepemimpinan beliau lebih banyak tampil demokratis, namun saat itu beliau masih sendiri dalam mengasuh santri-santrinya.

Sekarang jajaran kepengasuhan pesantren di desa yang memiliki destinasi wisata "Sumber Sira" itu bercorak kolektif. Sebab, seluruh generasi Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah itu, baik putra maupun menantu, diberikan ruang luas untuk berperan melanjutkan dan mengembangkan warisan beliau.

Kepiawaian kiai Qosim Bukhori mempetakan posisi masing-masing putra-putra beliau inilah yang akan dicermati penulis dalam kolom singkat ini.
~~~

Di luar anak putri, beliau dikaruniai dua anak laki-laki, yaitu Gus Ja'far Shodiq (Gus Faris) dan Gus Muhammad Yusqi (Gus Yusqi). Kemudian ditambah putra menantu beliau, yakni Gus Muhammad Sulthoni (Gus Sulthon), Gus Muhammad Hamim Kholili (Gus Hamim) dan Gus Muhammad Madarik Yahya (Gus Mad).

Kelima putra inilah yang kini meneruskan jejak peninggalan beliau. Hebatnya, masing-masing didudukkan pada porsi yang sesuai keahliannya.
~~~

Gus Faris Dan Gus Yusqi

Mereka berdua diangkat oleh ayahnya sebagai pengganti yang memperjuangkan dzikir (Khalifah Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah). Proses regenerasi kepemimpinan ritual olah hati ini dilakukan oleh KH Qosim Bukhori jauh sebelum beliau jatuh sakit dengan surat "Washuiyah bil Khair" berisikan hasil istikharah yang dilakukan di tanah suci Mekkah.

Bahkan kenyataan bahwa Gus Faris senantiasa diikutsertakan dalam setiap agenda kegiatan Yai Qosim, menjadi simbol yang acapkali dimaknai oleh masyarakat sesungguhnya putra tertuanya itu sedang di gadang-gadang untuk menggantikan beliau.

Sedangkan kepada Gus Yusqi, kiai Qosim menjamin pemeliharaan perkembangan putra ketiga itu, walaupun masa-masa remajanya seringkali dinilai "agak nakal" oleh sebagian alumni.

Kaderisasi kedua putranya ini cukup maklum, karena disamping lahir dan besar dari "rahim pesantren", keduanya pernah mengenyam pendidikan pesantren.

Gus Mad (penulis)
Hampir semua anggota keluarga menilai bahwa penulis dirancang oleh beliau sebagai pihak yang patut berjibaku dengan segala problematika di dunia pendidikan. Tidak seperti kedua putranya yang diarahkan melalui wasiat, kadar kualifikasi penulis di takar oleh beliau lewat isyarat-isyarat.

Dua dari sekian banyak isyarat tersebut adalah:
Pertama, beliau tidak saja menyuruh penulis melanjutkan akademik ke jenjang S2, namun rela menanggung separo biayanya.
Kedua, penulis merupakan satu-satunya keluarga yang dibebani amanah "pengajian kitab Ta'lim Muta'allim" setiap Sabtu pagi bagi santri.

Arahan beliau terhadap penulis juga tidak mengherankan, sebab semenjak kecil hingga dewasa, penulis besar dalam buaian pendidikan pesantren dan perguruan tinggi agama Islam.

Gus Hamim
Salah satu putra pengasuh PP Miftahul Ulum/PPRU IV Ganjaran itu jelas-jelas diperintahkan oleh KH Qosim Bukhori untuk berdagang dan berjuang di ranah politik.

Model regenerasi ini agak aneh, pasalnya cucu KH As'ad Ismail itu diposisikan berada di luar ekspektasi keilmuan yang dialaminya. Diketahui bahwa Gus yang kini menjadi Ketua Dewan Syuro PKB Malang itu sejak kecil berada di lingkungan pesantren, belajar di pesantren kemudian meneruskan ke tingkat perguruan tinggi agama. Namun ternyata Yai Qosim Bukhori menitahkan Gus Hamim untuk berniaga dan masuk ke gelanggang politik.

Ada apa dibalik perintah itu ? Tentu Yai Qosim lebih faham mengenai hal itu. Kalangan orang awam mungkin kesulitan menangkap nalar dibalik fakta ini, tetapi bagi kaum akademisi masih dapat direka-reka melalui pendekatan normatif.

Dalam membaca potret kaderisasi Yai Qosim terhadap Gus satu ini dibidang bisnis, bisa diteropong melalui pendekatan hadits:

ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ [إلَى آخَر الرِّوَايَة].
فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِين.
فَاخْتَلَفْنَا بَيْنَنَا. فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ: تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، حَتَّى يَكُونَ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ.
(رواه البخاري)
فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ.  (رواه مسلم)

Sementara dibidang politik, dapat dipahami melalui hadits:

أَبْلِغُوْا حَاجَةَ مَنْ لاَ يَسْتَطِيْعُ إِبْلاَغَ حَاجَتِهِ
فَمِنْ أَبْلَغَ سُلْطَانًا مَنْ لاَ يَسْتَطِيْعُ إِبْلَاغَهَا ثَبَّتَ اللهُ تَعَالَى قَدَمَيْهِ عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الطبرانى)

Gus Sulton 
Sedangkan Gus ini berada di garda depan dalam persoalan supranatural. Apalagi suami Ning Bariroh itu merupakan salah satu sosok yang ditokohkan di dunia persilatan lewat naungan perserikatan persilatan BS (Bintang Surya).

Kendatipun komunikasi Gus Sulthon di masa hidup mertuanya tidak begitu intens, tetapi berdasarkan atas pengakuannya, setelah wafat Yai Qosim Bukhori, Gus asal Pulau Garam itu seringkali mendapat petunjuk-petunjuk dari mendiang Yai Qosim.

Fakta ini menggambarkan bahwa sosok yang memiliki lima putra itu secara tidak langsung diposisikan sebagai generasi yang mempunyai spesifikasi di bidang "kanuragan".

Hal demikian itu bisa dicermati dari perjalanan hidupnya yang didedikasikan untuk membantu kepentingan orang banyak, seperti menolong tetangga yang sedang pailit, sesama yang tengah dilanda sakit, pihak-pihak yang lagi memikul hajat politik dan bahkan tidak jarang para santri dari beberapa pesantren yang di rundung lara serta ragam pengaduan yang harus diatasi lewat "kekuatan ghaib".

Analisa Kaderisasi KH Qosim Bukhori


Alhasil, Yai Qosim Bukhori memancang menantu kedua ini dalam spesifikasi "dunia luar nalar" bagi pesantren PPRU 2 Putukrejo. Sekalipun tidak merta memainkan peran di dalam perkembangan pesantren, tetapi secara implisit Gus Sulthon telah banyak memeras keringat terhadap keberlangsungan peninggalan Yai Qosim Bukhori dari luar pagar pesantren.
~~~

Semoga berkah.

Minggu, 10 Maret 2019

SEKELUMIT SIKAP WIRA'I GUS MA'RUF KHOZIN

SEKELUMIT SIKAP WIRA'I GUS MA'RUF KHOZIN
Gus Ma'ruf Khozin

Siapa yang tidak kenal beliau, mungkin sudah banyak orang yang mengenal beliau, baik di media sosial maupun di layar kaca tv9. Beliau adalah Gus Ma'ruf Khozin.

Saya pun tak tahu orang-orang menilai beliau seperti apa ? Tetapi saya yakin kebanyakan mereka menilai beliau pasti bersifat positif.

Jangan sampai aku, kamu beserta anak-anak kita memakan uang yang ada di dalam amplop ini


Namun sifat kehati-hatian beliau di dalam memilih rejeki, mungkin banyak orang yang tidak mengetahuinya.

Inilah sekelumit pengalaman tentang sikap kehati-hatian dalam memilah rejeki, selama saya menyertai beliau:

Pertama, beliau pernah di undang kegiatan pengajian di Dinas Perpajakan (kalau tidak salah mungkin sudah tiga kali).  Tetapi apa setelah beliau kembali ke rumah, ternyata beliau memberikan amplop itu tanpa melihatnya terlebih dahulu. Beliau hanya berkata:

"Jangan sampai aku, kamu beserta anak-anak kita memakan uang yang ada di dalam amplop ini !"

"kenapa Yah ?" Tanya saya.

SEKELUMIT SIKAP WIRA'I GUS MA'RUF KHOZIN
Gus Ma'ruf bersama  Istri dan Putra-putrinya

"Saya mengaji di tempat perpajakan. Pihak-pihak yang membayar pajak itu banyak; ada pajak kendaraan, pajak rumah sakit, dan lain-lain, termasuk ada pajak hiburan malam. Lha, saya khawatir uang yang saya terima ini dari uang hiburan malam/diskotik."


Kedua, suatu waktu beliau  di undang acara "Santunan Anak Yatim", dan ternyata beliau melihat orang-orang yang menyantuni itu adalah non muslim, sedangkan anak-anak yang disantuni banyak kalangan yang berbeda agama.

Setelah sampai di rumah, beliau pun tak melihat isi amplop itu (karena kondisi beliau masih menggunakan helm), lalu beliau hanya berkata kepada saya:

"Sampeyan dan anak-anak jangan sampai makan uang itu !"

"Kenapa Yah ?"

"Entahlah, saya tidak enak saja, kalau anak-anak saya menggunakan uang itu." Jawab beliau.

Ketiga, tadi malam beliau pulang ke rumah, tiba-tiba beliau menyodorkan amplop yang besar dan isinya lumayan banyak.

"Uang ini jangan kau makan !" Ucap beliau.

"Uang apa ini Yah ?"

Kemudian beliau hanya berkata:

"Ini uang suap (sogok)."

"Kalau ini banyak lho, Yah. Untuk dibelikan pulsa, mungkin cukup 1 tahun, atau lebih malah."  Canda saya.

Karena biasanya, setiap rejeki yang menurut beliau syubhat, selalu saya belikan pulsa.
~~~

SEKELUMIT SIKAP WIRA'I GUS MA'RUF KHOZIN
Salah satu dokumentasi saat Gus Makruf menjadi Pembicara di salah satu seminar Aswaja

Dan pernah suatu ketika, beliau di undang di daerah Lumajang. Beliau langsung memberikan semua amplopnya untuk pembangunan masjid tanpa tersisa. Para hadirin merasa takjub dan seraya bertanya-tanya dalam benak mereka:

 "Kok bisa, jauh-jauh dari Surabaya tidak menyisakan untuk ongkosnya saja."
Peristiwa semacam ini (menerima amplop, tetapi langsung didermakan) sama seperti yang sering dilakukan Gus Dur.

Semoga kita bisa meneladaninya. Amin.

Gus Ma'ruf Khozin adalah Direktur Aswaja NU Center Jawa Timur. Alumni PP Al-falah Ploso Kediri yang kini tinggal di Surabaya ini berasal dari desa Ganjaran Gondanglegi Malang.

( Sejumlah cerita ini disadur dari Wia Raokib dan Abdur Rofik, ditulis ulang oleh GM (Gus Mad) )

Senin, 01 Oktober 2018

Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori - KH. Muhammad Madarik

Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori - KH. Muhammad Madarik

Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori

Oleh: Gus Muhammad Madarik*

Hingga wafatnya, KH Qosim Bukhori  dikenal sebagai sosok tokoh yang mampu beradaptasi dan berperan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini terindikasi dari kiprah beliau dalam berbagai sisi kehidupan keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi.

Tetapi saat kiai Qosim Bukhori mangkat kembali ke rahmat Allah SWT, maka kalangan pesantren Raudlatul Ulum 2, secara khusus, dan segenap masyarakat, secara umum, benar-benar merasakan kehilangan seseorang yang memiliki talenta memimpin semacam beliau yang sedemikian kompleks.


Sekilas soal seorang kiai Qosim, model kepemimpinan dan perjuangannya di pesantren Raudlatul Ulum 2 itulah yang coba diulas penulis dalam kolom singkat ini. 

TOKOH MULTI

Pribadi kiai asal desa Ganjaran Gondanglegi Malang itu memang diakui banyak pihak sebagai pemuka agama yang mempunyai kompetensi di dalam memerankan kiprahnya dalam segi sosial-keagamaan, pendidikan, ekonomi dan politik.

Keterlibatan pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2 Putukrejo itu dapat dilihat dari beberapa aktifitas, misalnya dalam lingkup ekonomi, beliau sebagai konseptor pengembangan zakat sehingga berdiri Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh (Bazis) Putukrejo Gondanglegi Malang.

Dalam ranah politik, beliau terpilih sebagai Ketua Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Cabang Malang di masa-masa awal era kepemimpinan Gus. Abdur Rohman (Gus. Dur).
Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori - KH. Muhammad Madarik
Dari kanan: KH. Qosim Bukhori, Gus. Dur, KH. Mujtaba Bukhori
Bahkan intensitas beliau di dalam dunia politik, mengantarkan beliau sempat menjadi calon legislatif (caleg) wilayah Jawa Timur melalui partai yang dipimpinnya. Pencalonan beliau ini dikenal sebagai proses politis yang sangat bersih tanpa permainan kotor sebagaimana banyak diungkap beberapa alumni bahwa cara beliau sangat terjaga dari praktik uang (money politic).

Sesungguhnya kiprah beliau tidak  hanya pada aspek ekonomi dan politik belaka, tetapi jasa dan peran yang didermakan beliau di berbagai aspek tidak dapat dihitung.

MERABA TIPOLOGI KEPEMIMPINAN

Terlepas dari berbagai jejak-jejak putra KH Bukhori Ismail Ganjaran itu di tengah-tengah masyarakat, perjuangan beliau di dalam mendirikan dan sekaligus mengembangkan pesantren Raudlatul Ulum II cukup bernilai untuk ditelusuri kembali.

Dari sekian gambaran sosok pribadi beliau dalam rentang sejarah pesantren tersebut, setidaknya dapat diringkas menjadi dua poin penting:

Pertama, sikap sabar. Sejak awal,  keberadaan kiai Qosim Bukhori di desa Putukrejo merupakan seorang pendatang dari desa Ganjaran. Secara psikologis, status ini kurang menguntungkan untuk menjadi orang idealis.

Betul saja, rintangan yang dihadapi beliau di awal-awal membuka pesantren adalah respon negatif dari beberapa tokoh masyarakat yang tidak jelas alasannya. Kondisi ini semakin diperburuk oleh tingkah polah anak kampung yang acapkali memusuhi para santri. Tetapi dengan sabar, beliau hadapi situasi demikian hingga pesantren yang dibinanya kian berkembang.

Di sisi lain, ketabahan beliau semakin tampak dari cara membimbing para santri. Sebagai pengasuh, beliau menghadapi para santri penuh kesabaran, walau terkadang dari sekian banyak ragam watak santri terdapat beberapa orang yang berperilaku kurang mengenakkan hati.

Berbagai macam karakter anak santri dengan ragam latar belakang yang berbeda-beda, menyebabkan problematika yang sulit disatukan dalam ritme yang sama. Lebih-lebih kenakalan yang seringkali menabrak kegiatan dan aturan yang sudah baku, menumbuhkan rasa kesal bagi mayoritas para pembimbing . Namun dengan kesabaran luar biasa, secara perlahan beliau menggiring santri agar mengikuti aktifitas dan menuruti aturan-aturan yang telah ada.

Kedua, sikap demokratis. Salah satu yang menonjol dari gaya kepemimpinan KH Qosim Bukhori adalah senantiasa terbuka terhadap usulan-usulan para santri, terutama ide-ide dari pengurus atau alumni. Dalam berbagai kesempatan melakukan rapat dengan mereka, beliau senantiasa mendahulukan ide-ide dari peserta rapat. Dengan sabar beliau memposisikan diri menjadi pendengar setia dari polemik yang berkembang, dan bahkan justeru sikap yang tak jarang ditampakkan beliau adalah membiarkan suasana rapat gaduh oleh debat antar mereka.

Baru jika keadaan memanas dan dinilai perlu dinetralisir, beliau angkat bicara atau forum membutuhkan keputusan akhir, dengan bijaksana beliau mengeluarkan putusan final. Itupun beliau lakukan setelah melalui proses penyederhanaan tema masalah dengan kesimpulan-kesimpulan.

PRIBADI KUKUH SEJAK DINI

Sikap teguh yang telah menjadi bagian dari kepribadian kiai Qosim serta demokratisasi yang dikembangkan menjadi nilai-nilai dasar berinteraksi sosial, pasti dimulai dari landasan diri beliau yang telah kokoh.

Hal ini tercermin dari keberadaan beliau sebelum merintis lembaga pendidikan agama sudah tampil sebagai sosok yang kukuh dengan prinsip agamanya. Konon, di masa-masa lajang sekalipun, beliau merupakan pemuda yang sudah terdidik melaksanakan aktifitas religi secara istiqamah. Sehingga begitu mengarungi bahtera rumah tangga dan membangun peradaban melalui pendidikan, beliau telah siap secara matang.

Oleh karenanya, bimbingan yang terefleksikan melalui didikan dan ajaran kepada para santri tidak serta merta hanya imbauan kosong tanpa makna. Contoh kecil yang bisa dibuat gambaran dalam persoalan ini, antara lain ketika beliau mengajarkan tentang anjuran shalat dluha kepada segenap santri, maka beliau lah orang pertama di lingkungan pesantren yang telah lama terbiasa menunaikan shalat sunnah itu.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa beliau telah menjadi teladan sebelum mengajar dan menjadi contoh setiap perintahnya.

MENGHIBAH USIA

Dalam konteks pesantren Raudlatul Ulum 2, pendampingan terus menerus hingga akhir hayat merupakan bukti bahwa usia beliau didarmabaktikan seluruh umurnya demi kepentingan mengajarkan jalan yang benar kepada segenap anak didiknya.

Di luar kesempatan mendakwahkan norma-norma islami di tengah-tengah umat yang majemuk, nyaris seluruh waktu beliau semata-mata dimanfaatkan untuk menuntun para santrinya.
Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori - KH. Muhammad Madarik
KH. Qosim Bukhori bersama istrinya Nyai Zainab Qosim
Sebagai pendidik yang menebarkan nilai-nilai kebajikan dan pemimpin yang mengajarkan demokratisasi, beliau patut dinobatkan sebagai satu-satunya tokoh sentral di lingkungan pesantren Raudlatul Ulum 2 yang pantas ditiru oleh tidak saja para penuntut ilmu di lingkungan pesantrennya, namun setiap kalangan masyarakat nahdliyyin yang memproklamirkan dirinya sebagai penganut Ahlussunah Waljamaah ala Thariqah Nahdlatil Ulama.

Semoga berkah.

* Penulis: Direktur Kepesantrenan PP Raudlatul Ulum 2 Putukrejo Gondanglegi Malang.

Minggu, 07 Januari 2018

Ahmad Shonif, Kawula Aktifis Bersarung - PPRU 1

Ahmad Shonif, Kawula Aktifis Bersarung - PPRU 1

Ahmad Shonif, Semua Merindukan Canda Tawamu

Oleh: Abdul Mannan

Ahmad Shonif, itulah sebutan bagi santri yang selalu mengaku namanya "Saya Mushonnif", sosok yang berotot baja, pekerja keras, Sosok yang jarang sekali memejamkan mata sebab keaktifannya di dunia perAbdian dan jika sesekali terlanjur memejamkan mata, susah minta ampun dibangunkan. Mungkin sebutan manusia tak kenal lelah itu sudah pantas ia sandang. Karena kesehariannya yang padat, sedikit waktu senggang dan jarang sekali dirinya absen dari melakoni pekerjaan yang ekstrim alias peras keringat banting tulang.

Santri unik asal gunung semeru (Lumajang) yang dilahirkan pada tahun 02 agustus 1996. Dan tepatpada usianya yang ke 16 kemarin Mushonnif mulai nyantri di pesantren Raudlatul Ulum 1. Pria yang biasa dipanggil Cak sonnif ini, di samping melakoni kegiatan pondok pesanten, dirinya juga melakoni aktivitas-aktivitas di dalemnya gus Ghozali Khozin. Ia melakukan pengabdian dengan jalur tak disangka-sangka. Semenjak melakoni hidup barunya sebagai abdi dalem itulah dia disandangi titel baru oleh santri lainnya dengan julukan "Manusia tak Kenal Lelah" Selalu dan selalu bekerja, mulai dari sang surya melontarkan senyum indahnya hingga melambaikan tangan hendak menghilang.

Tak perduli udara pagi yang menyerang ataupun rayuan mata untuk terpejam seperti santri-santri yang lain, cak Shonnif ini harus memenuhi panggilan Nyai Maftuhah ke ndalem (Jawa Inggil) di setiap pagi yang di laluinya. Entah tugas apalagi hari ini yang harus dia selesaikan. Untuk segera pula dapat tidur nyaman ketika guru menerangkan pelajaran di kelas III Madrasah Diniyah, maka diapun tertuntut untuk segera menyelesaikan semua tugas ndalemnya.Sesekali datang pertanyaan "kenapa selalu tidur?" jawabannyapun simpel "Biasa ladunni" dengan cengir kudanya yang khas membuat penanya ikut terbawa kembung sebab tawa.
Tatkala jarum jam menodong angka sepuluh, diapun merasa tertodong untuk segera membuang kantuknya dengan segarnya air wudhu. Bagaimana tidak? Dia harus lagi meluncur ke ndalem, penulis pribadi tidak faham betul apa yang dia kerjakan. Entah itu menggoreng tempura atau pekerjaan yang lain. Jelasnya, ketika dia datang, wajah yang ceria selalu dibalut dengan raut lusuh tak bersenyum.

Semua mata terarah pada langkah kakinya ketika datang dari ndalem, khususnya siang hari. Mata santri memang selalu mencari hal yang dapat memuaskan perutnya. Dan hal itu selalu dibawa Cak Shonif yang sering mengemban nampan berisi tempura yang sudah di goreng untuk dibawanya ke pendopo. Tentunya dijual dengan di iringi sayupan suaranya yang merdu "TEMPURA.. TEMPURA..." setelah tempura telah tuntas terjual, Cak Shonif pun akhirnya bisa melonjorkan kedua kakinya dan memejamkan mata untuk sedikit memijat lelah otaknya. meski istirahat tersebut bisa di bilang sebentar, mungkin lebih lama ketika jam pertama di sekolahan. Tapi itulah waktu terlonggarnya untuk merebahkan tubuh. Selepas itu, kerja, berdiri, mengikuti kegiatan dan, ketiduran di manapun dia mengantuk

Bagi kang santri yang lain tatkala Sore meredup, dengan di iringi udara yang mengundang lelah, memang waktunya bersantai ria sembari menikmati bungkusan nasi yang dibawa dari sana sini. Namun lain bagi kang Shonif. Baginya tak punya kesempatan untuk merasakan waktu lelah itu, seperti udara pagi yang bersemilir pada sore hari, dirinya lagi-lagi harus menuju ke ndalem, kalau pagi tadi dirinya berkewajiban mengeluarkan sepeda, sore haripun dirinya harus berkewajiban memasukkan sepeda, menyiram taman dan lain sebagainya.

Ketika azdan maghrib berkumandang, dan setelah sholat maghrib telah rampung ditunaikan, dirinya harus kembali ke ndalem untuk memenuhi kebutuhan keluarga ndalem yang diampunya. Entah perintah apa saja yang gus perintahkan, yang pasti dirinya harus ke ndalem karna disana Cak Shonif pasti akan menerima perintah baru yang harus ia lakukan sampai adzan isya’ berkumandang.

Aktifitas Cak Shonif yang sangat padat di ndalem tak membuat dirinya merasa tak lagi berkewajiban akan kegiatan pondok pesantren, dirinya tetap melakukan kegiatan pondok pesantren mulai dari musyawaroh, hingga jam 10:30 dimana Cak Shonif harus mengajar santri-santri yang berasal dari lumajang, kota yang terkenal akan buah salaknya.

Itulah aktifitas Cak Shonif di pondok pesantren. Pekerjaan sangat padat, sedikit waktu senggang, tetap istiqomah dan sabar meski di saat tubuh tak lagi tegak bersinar. Namun ada hal yang perlu santri lain ambil dari pribadi Cak Shonif ini dimana dia selalu berkeyakinan bahwa apa yang dia kerjakan dengan ikhlas di pondok pesantren, akan ia tuai nanti ketika di masyarakat. Masya'allah... Semoga Barokah Cak.. Sekarang Engkau Sudah berada di Masyarakat...

@Divisi_Publikasi_PPRU 1

Minggu, 01 Oktober 2017

Saputra Mubarroqh, Menempuh Sukar Demi Masa Depan Ummat

Saputra Mubarroqh, Menempuh Sukar Demi Masa Depan Ummat
"Saputra Mubarroqh" Santri termuda PPRU1
     Saputra Mubarroqh, demikianlah nama buah cinta dari Rahmat Ramadhani dan Nurhasanah yang lahir di Pontianak pada tanggal 26 September 2009 ini. Santri kecil ini berhenti menempuh pendidikan formal saat kelas 2 SD demi melanjutkan pendidikan agama dengan nyantri di Pondok Pesantren “Raudlatul Ulum 1” Ganjaran, Gondanglegi, Malang. Dan perlu diketahui bersama, bahwa inisiatif untuk berangkat ke pesantren timbul atas niat dirinya sendiri.

     Di usia yang pada umumnya masih menikmati indahnya masa kecil, bermain dan bermanja pada orang tuanya, justru sebaliknya bagi seorang ernama Syaputra ini. Putra (panggilan akrabnya) mengaku bertujuan hendak menghafal Al-Qur’an, menjadi hafizh qur’an sebagamana yang sering dia lihat di TV. “Kalau hafal Qur’an, nanti Putra bisa masuk TV”, dengan kobar semangatnya, begitulah jawaban darinya saat ditanya tentang perihal yang memicu adanya niat untuk menghafal Al Qu’an.

     Di kalangan pesantren, Putra adalah santri dengan usianya yang paling dini dan di perlakukan secara khusus dalam segala sisi. Dan kini P. Muslimat (Bendahara 1 PPRU 1) selaku Pengurus Pesantren  mendapatkan amanat dari orang tua Putra untuk mengurusinya. Begitulah Putra, Anak kecil pemberani ini menjalani masa kecilnya yang bisa dikatakan terlalu dini untuk jauh dari orang tua, “Kangen, tapi nggak dipikirin, kan udah banyak teman”, jawabnya lucu.

    Pada kehidupan sehari-harinya, Putra bisa dikatakan berbeda dengan santri lain. dimana ia sering bermain dari pada belajar dan hal itu wajar adanya. Ada beberapa hal lucu tentang kisah kesehariannya di pondok. Bahwa dia sering ngompol, dan alangkah beratnya tugas pengurus pesantren dengan kebiasaan anak kecil yang satu ini.

Disisi lain, ia juga sering menangis seorang diri karena teringat akan kedua orang tuanya di rumah. Sebagai penawar saat ia menangis, cukup sajikan serial Upin dan Ipin. Tontonan kesukaan anak seusianya di jaman ini. Menurut keterangan Ustadz Syifa’ur Romli (Ketua Publikasi PPRU 1), santri kecil ini bisa dikatagorikan cerdas, sebab tak sedikit dari apa yang diajarkan pengurus pesantren dapat ia tangkap dan hafal dengan baik tanpa pengulangan.

Pepatah berkata, belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, oleh karena itu, semoga dengan usia gemilang yang dimilikinya, Putra dapat menggapai apa yang ia cita-citakan, dan semoga ia menjadi anak sholih. Sebab, menuntut ilmu seusianya masih belum begitu kenal dengan dunia bebas yang cenderung merusak ini.

Dengan ini, maka harapan besar digantungkan bagi pondok pesantren secara khusus untuk dapat mempertahankan kiprahnya demi dapat mengangkat derajat kedua orang tua dan menjadi putra yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama.

Oleh: Jihad Fisabilillah
@Devisi_Publikasi