Jumat, 01 November 2019

Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim

oleh: Yusroful Kholili, santri PPRU I

Faqrou (Festival Musabaqah Raudlatul Ulum I) ini salah satu momen rutin di PP. Raudlatul Ulum I. Setelah setengah semester bergelut dengan pelajaran pesantren, memeras otak untuk menghafal bait-bait nadhom imrithi, maqsud, alfiyah dan bahkan mantiq dan balagahnya, di Faqrou ini santri menemukan momen untuk berlibur. Ya, sebenar-benarnya berlibur dan merefresh otak dengan sebenar-benarnya
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
suasana Pembukaan FAQRO-U di Halaman PPRU I


Faqrou tidak bisa dibayangkan sebagai hiburan biasa. Ia tak seperti karaoke, dangdut, atau macam-macam hiburan sebagai mana biasa ada dalam imej masyarakat di luar santri. Faqrou murni sebagai ajang, ajang berlomba, ajang berselancar dengan pikiran, kreatifitas dan karya. Ya, di Faqrou santri diberi medan untuk saling unjuk kebolehan baca kitab, hafalan, pidato dan bahkan olahraga.

Sebab medan ini milik bersama, maka dari medan ini akan lahir para pemenang dan yang belum menang. Pemenang menjadi jawara, dan ini hiburan yang pertama. Kedua, yang belum menang. Bukan kalah tapi belum menang. Catat! Belum menang bisa saja jadi pemenang di masa depan. Ketika peserta gagal menjadi pemenang, dalam penampilannya sudah bisa dipastikan akan mendapat hadiah gojlokan dari santri yang lain. Panas rasanya, saya salah satu saksi hidup yang pernah merasakan sendiri.
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
suasana Pembukaan FAQRO-U di Halaman PPRU I

 Lain itu, berkat berani turun di gelanggamg perlombaan ini, peserta akan tahu dengan sendirinya apa yang belum, apa yang kurang, apa yang tak dipahami dan apa yang salah dengan cara dia belajar, apa yang dia dapat ketika belajar dan apa yang belum sempat ia pelajari selama setengah semester. Di ajang Faqrou ini semua akan tersingkap dengan seterang-terangnya. Ini terang, sangat terang meski tanoa tuntunan dari guru kelas dan tuntutan nilai. Ini alami dari hati nurani. Kebanyakan, oleh-oleh ini, gojlokan santri, pertanyaan dari juri, dan melihat sendiri bahwa hadiah dibawa teman sendiri bahkan teman sekamar, benar-benar melecut emosi untuk belajar lebih banyak dan giat lagi. Ada banyak teman-teman yang sebelumnya kalah, lalu menjadi pemenang di Faqrou selanjutnya. Catat, saksinya saya sendiri. Hehe. Dan kebahagiaan tersendiri. Semacam orgasme intelektual yang klimaks ketika menang setelah sebelumnya sempat kalah.

Itulah, kebahagiaan yang ditawarkan kepada tiap santri di ajang Faqrou ini. Kesenangan yang lain, Faqrou ini mesti dilakukan setelah ujian pesantren dan menjelang liburan. Ketika Ajang Faqrou ini dibuka, kegiatan pesantren habis tinggal solat jamaah. Di sinilah momen kebahagiaan yang tak kalah lumayan. Ya, Faqrou menjadi penanda bagi kalangan santri RU, bahwa di saat itulah, ia terbebas dari padatnya kegiatan dan bau-bau liburan mulai tercium begitu tajam. Alamak, senang sekali rasanya.

Faqrou 2019 ini ada bonus kesenangan yang lain. Sebab di pembukaan Faqrou kali ini, Gus Abdrurrohim Said membeberkan simulasi sistem informasi simatren. Simatren ini adalah aplikasi informasi data santri. Dengan mengakses aplikasi ini kita akan mendapat informasi data santri, mulai dari identitasnya, track-record pendidikannya di pesantren.
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
Penjelasan tentang simatren oleh Gus Rohim

 Bagi santri, aplikasi ini menyediakan fitur money virtual. Dengannya, santri menitipkan uangnya ke pengurus pesantren sebagaimana di bank. Uniknya fasilitas ini non-bunga. Hanya dengan Kartu Santri yang sudah memiliki barcode, santri bisa mengecek nilai uangnya, bisa menggunakannya untuk transaksi di kantin pesantren meski tanpa menggunakan uang kertas, dan bahkan bisa mencairkan uang yang ia titipkan. Sekali lagi, ini non-bunga.
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
Penjelasan Gus Rohim tentang simatren

Kabar baiknya aplikasi ini sudah online. Bagi Wali santri, dengan bekal NIS (Nomor Induk Santri) sudah bisa mengakses informasi tentang putra via internet. Yah, aplikasi ini dibuat sesuai dengan sistem ala Santri PP. Raudlatul Ulum I. Menurut pembuatnya, aplikasi ini bisa digunakan di pesantren lain dan mudah didesain menyesuaikan sistem pondok pesantren terkait. Yah, aplikasi ini lahir dari santri tulen, belum pernah belajar teknologi secara formal di sekolah atau perguruan tinggi, santri nglontok kitab kuning, saat ini menjabat sebagai Kepala PP. Raudlatul Ulum I, beliau Gus Abdurrohim Said.

Untuk lebih jelasnya aplikasi ini bisa dilihat di simatren.com

Senin, 26 Agustus 2019

Pidato Kemerdekaan; Hubbul Waton Ala Santri Atas Dasar Mahabbah (Gus Athok)

(Berikut adalah amanah dalam upacara 17 Agustus 2019 di PP. Raudlatul Ulum I, yang disampaikan oleh Gus Athok Lukman selaku Pembina dalam Upacara tersebut).

Saya teringat salah seorang Indosianis dari Amerika, tahun 60-an dia berbicara tentang nasionalisme di Indonesia. Salah-satunya kesimpulan dari hasil risetnya tentang kebangsaan di Indonesia adalah bahwa Nasionalisme di Indonesia, Kebangsaan di Indonesia, sumbangsih terbesar disumbang oleh umat Islam. Kontribusi pembangunan dalam Nasionalisme di Indonesia, itu diberikan oleh umat Islam.
Pidato Kemerdekaan; Hubbul Waton Ala Santri Atas Dasar Mahabbah (Gus Athok)


Kalau kemudian pertanyaan ini dilanjutkan, umat Islam yang mana yang memberikan kontribusi besar di dalam Nasionalisme atau Kebangsaan, Cinta Tanah Air di Indonesia? Maka, saya dapat memastikan bahwa Muslim terbesar (dalam memberikan kontribusi besar di dalam Nasionalisme di Indonesia) adalah Muslim yang punya afiliasi terhadap Pesantren. Jadi, Kalian (para santri) adalah turunan-turunan secara genealogis pengetahuan yang memberikan kontribusi besar terhadap kebangsaan di Indonesia ini. Sehingga sangat wajar, dan ini harus disadari oleh semua santri, bahwa Indonesia berdiri, saham terbesarnya adalah dari kalangan Muslim, khususnya adalah kaum pesantren. 

Dalam konteks ini, maka ketika kemerdekaan sudah diraih, Bung Karno mengatakan  “ kemerdekaan adalah jembatan emas untuk pencapaian keadilan sosial, kemerdekaan adalah jembatan emas bagi pencapaian cita-cita kebangsaan”. Bagi kaum santri, Cinta Tanah Air, Kemerdekaan dan pemaknaan terhadap kemerdekaan itu tidak boleh dilepaskan dari cinta Allah, cinta kepada Rasulullah. Sehingga Hubbul waton-nya santri atau kontribusi santri terhadap pengisian kemerdekaan ini adalah ekspresi terhadap cinta Allah dan Rasulnya. Sehingga, Nasionalisme ala santri itu bukan nasionalisme ala chauvanistik ala Eropa, yang kemudian membenarkan rasnya sendiri atau golongannya sendiri, tapi nasionalisme yang berakar kuat terhadap kebatinan kita sebagai hamba Allah, yang kemudian harus menterjemahkan ke dalam realitas kehidupan sosial untuk kebaikan rahmatan lil alamain.

 Jadi,  hubbul waton atau cinta  tanah air harus berangkat dari kecintaan kita kepada Allah dan Rasul. Kalau kita ambil sampel tentang bagaimana Rasullah menyatukan umat di  Madinah. Pada waktu itu Islam hanya sepertiga dari komunitas Madinah. Kemudian disatukan oleh Rasulullah dengan Piagam Madinah. Dengan Piagam Madinah itu, kemudian proses sosial yang terjadi adalah untuk kebaikan bersama. 

Nah, dengan ini, kalau kita melihat Pancasila di Indonesia, sebenarnya memiliki kesamaan dengan Piagam Madinah. Sehingga, bagi santri sudah tidak ada namanya NKRI bersyariah. Sudah tidak ada pertanyaan apakah Indonesia ini Thagut atau bukan? perlu khilafah atau bukan? Tidak. Indonesia sudah final. Dengan Pancasila tahun 45 yang dirumuskan oleh BPUPKI dan lain sebagainya, sudah menjelaskan bahwa Bangsa Indonesia atau Negara Indonesia tidak bertentangan dengan agama Islam. 

Dengan ini, santri tidak mencita-citakan Negara Syariah atau Khilafah di Indonesia. Karena bentuk final hari ini adalah pencapaian, tidak hanya pencapaian pengetahuan tapi juga pencapaian spiritual yang direpresentasikan oleh semisal Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahid Hasyim dan sebagainya, yang notabene itu adalah kiai-kiai kita. Intinya, satu, jangan terlena dengan bujukan-bujukan untuk menciptakan khilafah di Indonesia. Bohong. Bohong semua (bujukan) itu. 

Jangan terlena dengan bujukan menciptakan NKRI bersyariah, itu kamuflase.
 Seakan-akan yang diciptakan, didirikan, dirembuk oleh Kiai Hasyim Asy’ari, yang dirembuk oleh Kiai Wahid Hasyim, itu belum bersyariah.
Tidak! Sudah! Tanpa embel-embel resmi bersyariah, Indonesia ini, secara nilai,  tidak bertentangan dengan Agama Islam. Dan ini penting untuk diketahui oleh para santri. 

Sehingga nanti ketika kalian sudah kembali ke masyarakat dan berkontribusi terhadap pembangunan kemerdekaan ini, maka yang tidak boleh hilang adalah kecintaan kepada Allah dan Rasulnya. Dan kemudian ekspresi bagaiamana kalian berkontribusi terhadap masyarakat adalah sesuai dengan peran masing-masing. Anda Boleh berperan sebagaia apapun, apapun secara sosial. Tetapi, orientasi dari semua itu adalah ketauhidan, mahabbah kepada Allah dan Rasulullah.

lihat versi videonya di chanel youtube kami : Asy-Syafaah TV

Rabu, 14 Agustus 2019

Sedekah Mengubah Segalanya



Oleh: Efendi

Sedekah, mungkin kata ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Pasti semua orang pernah melakukan hal semacam ini meskipun tidak kita sadari.

Sedekah merupakan hal positif yang berada di sekitar kita. Dari kegiatan ini kita bisa membantu sesama. Tapi dari semua itu, ada juga sisi negatif dari sedekah yang marak dan sudah terjadi di sekitar  kita. Salah satunya kemalasan.

Banyak orang jadi malas bekerja. Mereka hanya mengandalkan belas kasihan dari orang-orang yang nota-bene berduit tapi murah hati. Banyak oknum tidak bertanggung jawab yang menyelewengkan kesempatan ini. 

Perlu diketahui,  sejatinya mereka itu orang orang  yang bisa dianggap mampu. Tapi karena dorongan nafsu, mengingat hasil dari seperti halnya mengemis itu lumayan besar, maka mereka pun tergoda.

Kalau kita ingat-ingat lagi tentang tradisi yang marak dan berkembang di tanah tercinta ini, Indonesia sangat lekat dengan kemistisannya. Di tanah ini pula pernah berdiri banyak kerajaan Islam. Banyak umat Islam di tanah Jawa ini yang mempunyai ibadah atau rutinan yang tidak dimiliki oleh bangsa atau negara lain.

Kebiasaan ini, yang tersebar luas seiring dengan perkembangan Islam dan persebaran orang-orang Islam di Jawa, adalah seperti tahlilan, salawatan (muludan) dan  kegiatan lain yang bernafaskan Islam. Kegiatan ini tak lepas dari makanan dan minuman yang dihidangkan (disedekahkan) kepada sanak atau saudara yang diundang. 

Peran penting dari sedekah atau hidangan ini, pertama, adalah untuk disedekahkan pahalanya kepada orang (keluarga) yang sudah meninggal, syukuran, menunjukkan rasa bahagia yang disalurkan kepada saudara-saudara atau pada tetangga.

Sedekah Mengubah Segalanya
Aneka macam berita tentang sedekah pun akan terus berlanjut seiring dengan berkembangnya zaman. Pada era milenial ini, yang ditandai dengan berkembangnya teknologi, tentu banyak berita yang sudah tersebar luas tentang mega-sedekah yang dilakukan saudagar-saudagar kaya seperti Bill Gates dan istrinya yang membangun sebuah gedung di Afrika. Gedung ini dibangun untuk menyebarkan bantuan yang berasal dari kedua orang ini. Berikutnya adalah Mark Zuckerberg yang telah membantu dengan melunasi hutang Afrika kepada Jepang.

Sebagai makhluk yang berakal, seharusnya kita tidak berpikiran sempit mengartikan masalah sedekah. Sedekah itu banyak sekali macamnya, seperti zakat, infak, hibah dan lain sebagainya.

Kita dapat pula memerinci artinya dari hal-hal di atas, seperti sedekah adalah sesuatu yang dikeluarkan baik berupa benda fisik maupun non fisik. Zakat merupakan materi yang berupa harta yang wajib dikeluarkan dan penerimanya pun harus orang-orang tertentu dan tidak sembarang orang menerimanya. Adapun pengertian dari infak adalah sesuatu yang dikeluarkan dengan penerima siapa saja.

Perlu diketahui memang dampak dari sedekah itu lumayan besar. Banyak bangsa yang hidup dari sedekah itu sendiri, sepeti negara Palestina. Negara ini dari dulu sampai sekarang tidak habis-habisnya dijajah sehingga tidak mengherankan kalau banyak orang yang tidak bisa bekerja. Mereka hanya bisa pasrah untuk urusan masalah perut. Jangankan untuk makan, bernafas saja mereka kesulitan. Sehingga, banyak negara yang berbondong-bondong untuk meluncurkan bantuan ke wilayah Palestina, khususnya jalur Gaza. Salah satunya adalah Indonesia.

Kalau dilihat dari jumlah warganya, tak heran jika Indonesia bisa menghidupi warga atau masyarakat di negara lain. Dengan kalkulasi atau perhitungan,  apabila warga Indonesia sendiri menyumbang per orang 1000 rupiah, yang uang ini mungkin menurut kita kecil, jika dikalikan dengan penduduk Indonesia  yang berjumlah  -+370 jutaan, maka negara kita bisa menghidupi Negara-negara yang butuh bantuan atau kekurangan.

Kamis, 25 Juli 2019

BERMASYARAKAT SETELAH PULANG DARI PONDOK



oleh: Abilu Royhan

Bagi kita yang telah masuk pondok pesantren untuk menuntut ilmu agama, kata “bermasyarakat” menjadi suatu hal yang harus kita perhatikan. Harus kita pelajari bagaimana caranya menghadapi masyarakat ketika kita pulang dari tempat yang penuh dengan berkah para masyayikh kita ini.tujuannya adalah agar kita dapat mengambil hati masyarakat sekitar kita, lalu kita ajak ke ajaran-ajaran yang di-nas oleh Alquran, hadis dan keputusan para ulama.
       Salah satu cara agar kita dapat bermasyarakat adalah dengan memanfaatkan momen liburan pondok pesantren untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan bersama orang-orang sekitar. Salah satunya adalah dengan mengikuti acara-acara yang ada di kampung halaman kita, seperti Tahlilan, Yasinan, Tadarus Ramadan, dan lain-lain,agar kita bisa berbaur dan berdialog dengan mereka. Dengan adanya liburan, selain untuk menenangkan sejenak otak-pikiran kita yang setiap hari setiap jam setiap menit telah kita gunakan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, juga kita gunakan untuk mempraktikkan ilmu-ilmu yang sudah kita dapat selama satu tahun atau lebih ini.Liburan juga menjadi ajang latihan bermasyarakat ketika kita sudah pulang atau berhenti dari pondok pesantren, supaya kita tidak tergolong dengan orang yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Ruslan dalam Nazam Zubad-nya:

فعالم بعلمه لم يعملن * معذب من قبل عبادالوثن

Orang yang tahu akan ilmu tetapi dia tidak melakukannya, maka dia akan disiksa terlebih dahulu sebelum para penyembah berhala disiksa .

Na’udzubillah!
            Kita harus peka terhadap orang-orang sekitar, terhadap perilaku dan kesehariannya. Dan hal inilah yang paling sulit, karena kita tidak dapat mengetahui karakter-karakter orang yang jauh lebih tua dari kita.Kita hanya dapat bersosialisasi, berkomunikasi dengan anak-anak seumuran kita dan, walaupun ada yang senior, tidak terlalu jauh umurnya dari kita. Terus, bagaimana kita bisa belajar bermasyarakat yang akan kita praktikkan ketika liburan, sedangkan kita berada di pondok pesantren?
BERMASYARAKAT SETELAH PULANG DARI PONDOK

Dengan sebaik mungkin kita berperilaku kepada teman, baik senior maupun junior, akan mengajari kita cukup banyak tentang cara kita berbaur dengan masyarakat nanti.Begitu juga kepada para kiai dan pengurus pondok pesantren.Dengan cara inilah kita dapat belajar cara bermasyarakat di pondok pesantren.Kita akan dihadapkan pada momen yang mana kita harus belajar lebih banyak bersabar pada teman senior dan junior kita, yaitu ketika menjadi pengurus. Pada masa inilah kita akan menjumpai momen-monmen tidak mengenakkan, yaitu belajar bersabar, disiplin dan yang lebih penting lagi yaitu menjaga sikap. Ketika masa ini kita akan lebih banyak belajar bagaiman cara bermasyarakat.Ketika kita diangkat menjadi pengurus, sebagian teman kita pasti ada yang tidak suka dan memusuhi kita.Pada momen ini juga, kita dapat memanfaatkan rasa ketidakkesukaan mereka itu untuk melatih kita bagaimana sikap yang baik dan benar dalam menghadapi cobaan itu. Jadi, dengan adanya cobaan-cobaan yang kita hadapi, baik di pondok pesantren, di rumah ataupun di manapun juga, akan menjadikan kita lebih dewasadan menumbuhkan rasa sabar dan disiplin dalam menghadapi semua itu, karena Allah pasti memberikan hikmah di balik cobaan itu semua.
Sebenarnya di pondok itu sama seperti hidup di lingkungan biasanya, karena kita bisa menjadi orang baik dan bisa menjadi orang yang kurang baik.Semua itu tergantung pada kita,bagaimana kita mencari teman yang sesuai dan layak untuk kita jadikan teman karib. Akan tetapi itu semua semu.Artinya, ketika kita pulang nanti,kita bisa menjadi orang yang sebaliknya.Tapi, pondok pesantren itu menjadi cerminan kita untuk bekal bermasyarakat nanti.Maka dari itu, kita harus bisa menjadi orang yang peka bak air yang bisa bertempat sesuai dengan bentuk yang ia tempati.Kita sepatutnya seperti itu.
Tanggung jawab seorang anak bersongkok hitam itu lebih besar daripada anak yang bertopi, apalagi yang tak bertudung kepala sama sekali.Hal ini karena anak yang bersongkok hitam itu dipandang bagaikan raja hutan yang harus menjaga hutannya dari kejahatan manusia pemburu.Begitu pula santri akan dipandang oleh masyarakat untuk menjadi pemimipin, ketika dia pulang dari pondok menuju tanah kelahirannya. Maka dari itu, kita di pondok ini juga harus belajar ilmu-ilmu yang lain, agar kita siap untuk menjadi pemimpin orang-orang di sekitar rumah kita yamg mayoritas tak bersongkok.Dan itu sesuaidengan syair yang dilantunkan oleh seorang waliyullah yang tidak asing lagi di telinga kita, Gus Abdurrohman Wahid yang akrab di panggil Gus Dur, yaitu:

Duh bolo konco prio wanito
Ojo mung ngaji syareat bloko
Gor pinter ndongeng nulis lan moco
Tembe mburine bakal sangsoro

Itulah secuil syair Gus Dur yang penuh sejuta tafsir dan makna.Dari syair itu kita dapat memahami bahwa kita juga harus belajar tentang ilmu-ilmu yang lain, salah satunya adalah ilmu bermasyarakat, agar kita tidak menyesal di kemudian hari dikarenakan hanya belajar ilmu-ilmu syariat saja.Dan ilmu bermasyarakat itu bisa kita dapatkan di pondok pesantren ini.[]

Senin, 22 Juli 2019

PESAN AYAH SAAT MENJENGUK ANAKNYA DI PESANTREN

oleh: Gus Mad

Nak, Coba letakkan HP itu ! Matikan saja. Aku datang ke pesantren ini supaya kamu dapat melepaskan rasa rindu kepadaku. Akulah ayahmu, bukan justeru engkau "bermesraan" dengan barang itu.

Ayah berhak cemburu, sebab engkau adalah darah dagingku. Engkau lahir dari rahim ibumu, bukan terbuat dari elektronik itu.

Aku ini bukan konglomerat, tetapi tergolong kelas ekonomi melarat. Aku datang ke sini, menanggung segala resiko. Waktu bekerja kutanggalkan, hasil usaha berkurang demi dirimu, dan rela berkorban kehujanan atau kepanasan karena hanya motor yang kupunya. Ternyata engkau lebih peduli pada HP itu ketimbang menomorsatukan aku.

Nak, Engkau sanggup bersekolah, engkau bisa berpakaian layak dan engkau mampu melahap makanan hingga hari ini.
Lihatlah dibalik itu semua, ayah peras keringat banting tulang dan bahkan ayah bersusah payah mencari pinjaman, mengurangi makan dan tak jarang menjual barang kesayangan ibumu.
Untuk apa semua ini ? Agar engkau tidak terhina, supaya kebutuhanmu terpenuhi.

Ketika kau di pesantren, seakan begitu terhimpit urusan penting, ayah di suruh datang tepat waktu tanpa tawar lagi. Padahal tidak perlu kau perintah, pasti ayah menjenguk demi mengirim dan mengetahui kondisimu.
Tetapi nak, Sesampai di sini, kau lebih asyik dengan HP itu seakan-akan keberadaanku tak berarti.

Sejauh menyusuri jalan, besar harapan ayah dapat bercengkrama dan bersenda gurau denganmu. Ayah ingin mendengar celotehmu tentang dunia lain di luar lingkungan rumah kita. Apa saja cerita kehidupan sehari-hari bersama sahabat, kakak senior, dan para ustadz-ustadzmu.

Bahkan ayah sangat senang jika anak ayah menceritakan tentang pengalaman serta hasil belajarmu selama ini. Ayah suka saat kamu berkeluh-kesah, mengadu dan bertingkah manja di hadapan ayah.  Tersanjung rasa hatiku ketika butiran bening air mata menghias pipimu karena persoalan-persoalan yang melilitmu dengan detail kau ungkapkan lewat bibirmu.
Terasa sekali akulah ayahmu.

Tetapi sayang, kini kau sengaja mengganti posisi orang tuamu ini hanya dengan HP itu.
Senyum renyah, dan tawa kecilmu kau persembahkan pada sebatang alat itu.
Aku seakan hanya seorang satpam yang menjaga tuannya. Sungguh tegamu telah melewati rasa asih pada ayahmu...

Tatkala aku bertanya, kau hanya mengucapkan satu dua kalimat tanpa memperlihatkan perhatian. Bahkan seringkali kau merespon dengan anggukan. Nyata betul kau enggan menjawab kata-kata ayahmu ini.

Nak, sebegitu berharga barang itu bagimu hingga kehadiran ayahmu ini tak lagi bermakna.
Andai bukan karena rasa sayang sosok ayah pada anaknya, mungkin aku kembali ke rumah lebih awal dari waktunya.

Padahal begitu kau merasa kekurangan bekal, tanpa segan kau memaksa bagai prompak yang tengah menjarah. Seakan ayahmu tak boleh berkelit dengan secuil alasan.
Sebagai kepala rumah tangga, pasti ayah akan mengejar kemanapun rupiah ditemukan sekalipun harus menukar harga diri, sebagai bentuk tanggungjawab ayah.

Tak mengapa, bagi ayah garis hidup ini merupakan lika-liku yang harus dijalani. Pertemuan yang membelah jarak dan waktu antara dirimu dan ayah telah membasmi lelah.
Tetapi nak... Saat kita dekat, kau jauhkan dirimu dariku. Kau lebih memilih berselancar di dunia maya, bahkan kau memprioritaskan pertemanan.

Nak, di mana kau peroleh perilaku demikian ? Tidak mungkin guru-gurumu mengajarkan tentang ini semua.
Jika dalam sekian tahun yang kau habiskan hanya mampu memperlihatkan kelihaianmu bermain barang itu, berarti keberadaanmu di tempat ini tak ubahnya seperti anak-anak kampung kita. Mereka tak berpendidikan, namun mereka piawai menjalankan aplikasi HP-nya. Lalu buat apa kau memungut pundi-pundi dari ayah, bila eksistensimu hanya sebanding mereka ?
~
Semoga berkah
PESAN AYAH SAAT MENJENGUK ANAKNYA DI PESANTREN