Keberadaan COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) sebagai pandemi telah melumpuhkan beberapa lini di Nusantara. Baik dari sisi lini lembaga kepemerintahan, pendidikan, ekonomi dan lainnya. Bahaya yang ditimbulkan dari keberadaan virus ini telah membuat pemerintah harus mengeluarkan keputusan-keputusan yang tak jarang menuai pro kontra. Berupa upaya pencegahan kemungkinan adanya kerumunan masa dalam jumlah banyak. Termasuk lembaga pencetak generasi bangsa; pendidikan. Baik formal ataupun non formal. Dalam hal ini pesantren sebagai sorotan utama dalam pembahasan.
Pesantren sebagai sebuah lembaga non formal islam turut menjadi
perhatian pemerintah dalam upayanya memutus mata rantai penyebaran virus.
Diakui atau tidak, lingkungan pesantren merupakan salah satu di antara banyak
komunitas yang memungkinkan adanya kerumunan masa dalam jumlah banyak. Baik
pemerintah ataupun pihak terkait pondok pesantren telah menyadari hal tersebut.
Langkah pemberhentian kegiatan sementara pun telah dilakukan sebelumnya.
Diliburkannya kegiatan para santri dari pesantren dalam waktu yang cukup lama
hingga diberlakukan kembali dengan langkah kebijakan New Normal.
Dari sini, terlihat peran pesantren tidak begitu pro aktif dalam
kontribusinya terhadap pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran
Covid-19. Padahal secara tidak langsung, seharusnya justru pesantren yang
memiliki konsep memutus mata rantai penyebaran Covid-19 (dalam hal ini) dalam
nilai-nilai yang dikaji di dalamnya. Juga pesantren yang memiliki kesempatan
besar dalam menerapkan sistem social distanting sebagai bentuk upaya.
1.
Tiga Prinsip
Tiga prinsip yang dimaksud adalah salah satu ajaran penerapan
prinsip secara Individual dalam
menjalani setiap perkara. Tiga prinsip itu antara lain upaya dzhahir
(Ikhtiyar), upaya spiritual (Do’a) dan kepasrahan (Tawakkal). Setidaknya tiga
prinsip tadi dapat mencapai kata cukup bilamana diterapkan sebagai bentuk upaya
partisipasi terhadap pemerintah dalam tujuan memutus mata rantai.
Pertama, Ikhtiyar mau
tidak mau harus terlebih dahulu meyakini bahwa kejadian ini benar adanya. Dalam
hal ini virus memang telah dinyatakan ada dan berbahaya bagi manusia.
Hubungannya dengan konsep Maqashid Syari’ah Hifdz an-Nafs, maka prinsip ini
seharusnya menuntut personality pesantren untuk melakukan langkah pemangkasan
penyebara Covid-19 sebagaimana yang telah dianjurkan pemerintah meliputi;
social distanting, physical distanting, dan berbagai upaya lainnya.
Kedua, do’a merupakan
prinsip penting terhadap paradigma pesantren sebagai bentuk keyakinan bahwa
datang dan perginya segala wabah, bahaya dan penyakit itu berada di ranah
kekuasaan tuhan. Do’a sebagai upaya batin (spiritual) dalam posisinya
ditempatkan pada posisi kedua setelah seseorang menjalani upaya dzahir seorang
hamba. Maka tidaklah menjadi paradigma pesantren untuk meyakini sesuatu dapat
berubah dengan sendirinya tanpa adanya upaya real dari seorang hamba.
Ketiga, Tawakkal
dijadikan sebagai penguat dari dua prinsip sebelumnya. Bahwa dalam hal ini,
maka pasrah akan segala ketetapan harus menepati tahap dimana kedua tahap
sebelumnya telah dilakukan secara optimal. Secara tidak langsung pula, tawakkal
membentuk sebuah karakter penting bagi seseorang dalam meyakini bahwa ketetapan
tuhan (Qudratullah) tidak dapat diterka. Tawakkal akan memiliki nilai optimal
bilamana telah dilakukan dua tahapan prinsip di atas sebagai bentuk peluang
bagi seorang hamba.
Maka dari poin pertama yang memuat tiga prinsip di atas tadi, dapat
realisasikan oleh paradigma pesantren sekaligus sebagai bukti kongkrit bahwa
sudah sebenarnya pesantren lah yang terlebih dahulu harus dapat menerapkan
upaya pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19. Sekaligus sebuah refleksi
tidak hanya mengatas namakan kata iman namun melupakan aspek ikhtiyar dalam
langkahnya.
2.
Optimalisasi Regulasi
Diakui atau tidak, pesantren sebagai sebuah komunitas yang
berkemungkinan besar melakukan adanya perkumpulan masa dalam skala besar. Namun
dalam kiprahnya pesantren memiliki regulasi larangan bagi santri untuk
membatasi ruang gerak serta interaksinya dengan dunia luar secara bebas. Dalam
hal ini, maka pesantren telah memiliki pijakan awal sebagai bentuk pemutusan
mata rantai Covid-19 dalam hal membatasi interaksi secara
bebas. Lantas bagaimana dengan para santri sendiri dalam kegiatannya di
pesantren?
Optimalisasi regulasi yang telah ada merupakan langkah
pemecahannya. Bagaimanapun virus akan menyebar dari seseorang yang telah
dinyatakan positif. Maka tidak berbahaya apabila suatu perkumpulan dilakukan
oleh masa yang seluruhnya dinyatakan negatif Covid-19. Maka tahapan sebagai
optimalisasi seperti:
·
Rapid
tes bagi santri yang kembali
·
Karantina
selama 14 hari (sebagaimana ketentuan medis)
·
Menerapkan
protokol Covid-19
·
Membatasi
lalu lintas santri ke luar kompleks
·
Membatasi
masuknya pihak dari luar
Akan menjadi sebuah langkah optimal bagi pesantren sebagai bentuk
upaya partisipasi pemerintah dalam memutus penyebaran virus corona. Adapun
kasus “Klaster Pesantren” yang terjadi, kurang memperhatikan dua poin utama di
atas sebagai pijakan pesantren yang sebenarnya telah ada dan diajarkan.
0 comments: