Jumat, 05 Maret 2021

Refleksi Pandemi; Pesantren dan Peran Partisipasi (Opini) Oleh: Syifa’ur Romli

 


 Keberadaan COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) sebagai pandemi telah melumpuhkan beberapa lini di Nusantara. Baik dari sisi lini lembaga kepemerintahan, pendidikan, ekonomi dan lainnya. Bahaya yang ditimbulkan dari keberadaan virus ini telah membuat pemerintah harus mengeluarkan keputusan-keputusan yang tak jarang menuai pro kontra. Berupa upaya pencegahan kemungkinan adanya kerumunan masa dalam jumlah banyak. Termasuk lembaga pencetak generasi bangsa; pendidikan. Baik formal ataupun non formal. Dalam hal ini pesantren sebagai sorotan utama dalam pembahasan.

Pesantren sebagai sebuah lembaga non formal islam turut menjadi perhatian pemerintah dalam upayanya memutus mata rantai penyebaran virus. Diakui atau tidak, lingkungan pesantren merupakan salah satu di antara banyak komunitas yang memungkinkan adanya kerumunan masa dalam jumlah banyak. Baik pemerintah ataupun pihak terkait pondok pesantren telah menyadari hal tersebut. Langkah pemberhentian kegiatan sementara pun telah dilakukan sebelumnya. Diliburkannya kegiatan para santri dari pesantren dalam waktu yang cukup lama hingga diberlakukan kembali dengan langkah kebijakan New Normal.

Dari sini, terlihat peran pesantren tidak begitu pro aktif dalam kontribusinya terhadap pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Padahal secara tidak langsung, seharusnya justru pesantren yang memiliki konsep memutus mata rantai penyebaran Covid-19 (dalam hal ini) dalam nilai-nilai yang dikaji di dalamnya. Juga pesantren yang memiliki kesempatan besar dalam menerapkan sistem social distanting sebagai bentuk upaya.

1. Tiga Prinsip

Tiga prinsip yang dimaksud adalah salah satu ajaran penerapan prinsip secara Individual  dalam menjalani setiap perkara. Tiga prinsip itu antara lain upaya dzhahir (Ikhtiyar), upaya spiritual (Do’a) dan kepasrahan (Tawakkal). Setidaknya tiga prinsip tadi dapat mencapai kata cukup bilamana diterapkan sebagai bentuk upaya partisipasi terhadap pemerintah dalam tujuan memutus mata rantai.

Pertama, Ikhtiyar mau tidak mau harus terlebih dahulu meyakini bahwa kejadian ini benar adanya. Dalam hal ini virus memang telah dinyatakan ada dan berbahaya bagi manusia. Hubungannya dengan konsep Maqashid Syari’ah Hifdz an-Nafs, maka prinsip ini seharusnya menuntut personality pesantren untuk melakukan langkah pemangkasan penyebara Covid-19 sebagaimana yang telah dianjurkan pemerintah meliputi; social distanting, physical distanting, dan berbagai upaya lainnya.

Kedua, do’a merupakan prinsip penting terhadap paradigma pesantren sebagai bentuk keyakinan bahwa datang dan perginya segala wabah, bahaya dan penyakit itu berada di ranah kekuasaan tuhan. Do’a sebagai upaya batin (spiritual) dalam posisinya ditempatkan pada posisi kedua setelah seseorang menjalani upaya dzahir seorang hamba. Maka tidaklah menjadi paradigma pesantren untuk meyakini sesuatu dapat berubah dengan sendirinya tanpa adanya upaya real dari seorang hamba.

Ketiga, Tawakkal dijadikan sebagai penguat dari dua prinsip sebelumnya. Bahwa dalam hal ini, maka pasrah akan segala ketetapan harus menepati tahap dimana kedua tahap sebelumnya telah dilakukan secara optimal. Secara tidak langsung pula, tawakkal membentuk sebuah karakter penting bagi seseorang dalam meyakini bahwa ketetapan tuhan (Qudratullah) tidak dapat diterka. Tawakkal akan memiliki nilai optimal bilamana telah dilakukan dua tahapan prinsip di atas sebagai bentuk peluang bagi seorang hamba.

Maka dari poin pertama yang memuat tiga prinsip di atas tadi, dapat realisasikan oleh paradigma pesantren sekaligus sebagai bukti kongkrit bahwa sudah sebenarnya pesantren lah yang terlebih dahulu harus dapat menerapkan upaya pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19. Sekaligus sebuah refleksi tidak hanya mengatas namakan kata iman namun melupakan aspek ikhtiyar dalam langkahnya.

2. Optimalisasi Regulasi

Diakui atau tidak, pesantren sebagai sebuah komunitas yang berkemungkinan besar melakukan adanya perkumpulan masa dalam skala besar. Namun dalam kiprahnya pesantren memiliki regulasi larangan bagi santri untuk membatasi ruang gerak serta interaksinya dengan dunia luar secara bebas. Dalam hal ini, maka pesantren telah memiliki pijakan awal sebagai bentuk pemutusan mata rantai Covid-19 dalam hal membatasi interaksi secara bebas. Lantas bagaimana dengan para santri sendiri dalam kegiatannya di pesantren?

Optimalisasi regulasi yang telah ada merupakan langkah pemecahannya. Bagaimanapun virus akan menyebar dari seseorang yang telah dinyatakan positif. Maka tidak berbahaya apabila suatu perkumpulan dilakukan oleh masa yang seluruhnya dinyatakan negatif Covid-19. Maka tahapan sebagai optimalisasi seperti:

·         Rapid tes bagi santri yang kembali

·         Karantina selama 14 hari (sebagaimana ketentuan medis)

·         Menerapkan protokol Covid-19

·         Membatasi lalu lintas santri ke luar kompleks

·         Membatasi masuknya pihak dari luar

Akan menjadi sebuah langkah optimal bagi pesantren sebagai bentuk upaya partisipasi pemerintah dalam memutus penyebaran virus corona. Adapun kasus “Klaster Pesantren” yang terjadi, kurang memperhatikan dua poin utama di atas sebagai pijakan pesantren yang sebenarnya telah ada dan diajarkan.

Previous Post
Next Post

Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 adalah pesantren salaf yang didirikan oleh KH. Yahya Syabrowi, Menggenggam Ajaran Salaf, Menatap Masa Depan

0 comments: