Kamis, 22 Oktober 2015

Seuntai Ayat Barakah


كل امرذي بال لايبدا فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو اقطع (رواه الخطيب عن ابي هريرة رضي الله عنه) وفي رواية فهو اجذم وفي رواية فهو ابتر ومعني كل منها قليل البركة

Artinya: Setiap sesuatu yang punya nilai baik, yang tidak dimulai dengan basmalah, maka seperti hewan yang terpotong ekornya, seperti penyakit juẓām. Kira-kira seperti itu terjemahan hadis di atas. Makna dari keseluruhan riwayat adalah “kurang barakah”. 

Sebelum melebar terlalu jauh, mari kita bahas apa itu barakah. Barakah merupakan sepotong sighāt masdar dari fi‘l mādhī, baraka-yabruku-barakah (برك يبرك بركة) yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia. Secara etimologis, kata ini bermakna “kebahagiaan”, “keselematan” atau “penambahan”. Penulis lebih mengerucut pada makna ketiga.

Istilahnya, dengan makna yang lebih sempit adalah "kebaikan yang berkembang", sebagaimana yang dituturkan oleh Gus Nasihuddin Khazin. Ada juga yang mengatakan bahwa barakah merupakan lafaz yang pengertiannya murādif dengan lafaz taufīq, yaitu "pertolongan Allah kepada hamba-Nya dengan dipermudahnya melakukan kebaikan". Terlepas dari itu semua, barakah adalah suatu nilai baik yang menjadi tujuan di setiap rutinitas.

Masih tentang barakah, mereka yang menuntut ilmu di pesantren menjadikan barakah sebagai tujuan urutan pertama, bahkan di atas ilmu yang seharusnya menempati urutan sebelum barakah. Dalam hal ini mereka  mencarinya dari tiga poin terpenting, yaitu, guru, pondok pesantren dan sahabat (bahasa Madura: kancah ponduk). Alasan mereka sederhana terkait mengapa barakah yang paling diutamakan: karena dengan barakah, ilmu yang sedikit akan menjadi cukup, bermanfaat dan tentunya berkembang, apalagi banyak, begitulah kesederhanaan yang dimaksud penulis. Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang Alim di pondok, ketika pulang malah tidak seperti yang diharapkan. Na’ūdzu billāh! Begitupun sebaliknya, banyak orang-orang yang ketika mondok tidak tahu apa-apa, namun karena tindak-lampah yang sangat mengagungkan guru mereka mendapat al-futūḥ atau yang biasa kita sebut Ladunnī, karena mendapat barakah.

Pekerjaan yang kita lakukan setiap hari, baik karena hajat atau ibadat mestilah dimulai dengan basmalah supaya apa yang kita kerjakan akan semakin berkembang seiring barakah basmalah yang menyertai rutinitas kita sehari-hari. Hadis di atas sangat jelas dan gamblang, hanya membaca dengan mata telanjang saja, kita akan menangkap esensi hadis itu sendiri. Anjuran di dalamnya tak perlu tafsir. Selain karena faktor sunnah, memulai setiap rutinitas dengan basmalah, merupakan subyektivitas qur'ani, sebab kita juga termasuk orang yang selalu membaca ayat Alquran, dikarenakan ayat ini merupakan satu kesatuan surat Al-Fatihah sebagaimana yang kita kaji dalam berbagai literatur fiqih yang berhaluan  Syafi'iyah. Sudah maklum kiranya, sebuah hadis yang memberi tabsyīr (kabar gembira) kepada pembaca Alquran dengan pahala 10 dari setiap huruf yang terlantun. Kalau Alquran saja di setiap suratnya dimulai dengam basmalah bahkan ada satu riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad tahu kalau ini adalah awal surat karena Malaikat Jibril memulainya dengan Basmalah, maka alangkah mulianya basmalah, betapa agungnya bismillah dan sungguh, basmalah adalah himpunan semua kandungan Alquran.

Karena tujuan utama Alquran adalah memberi petunjuk kepada seluruh manusia dan jin agar tahu Tuhannya, dari mana dia berasal dan hendak kemana ia akan pulang dan hal itu sudah bisa kita dapatkan didalam basmalah. Selain itu dalam basmalah terdapat selaksa puja dan puji kepada Tuhan atas kesempurnaan Zat-Nya, keagungan sifat-Nya dan segala nikmat yang terlimpah-ruah ke seluruh mahluk di mikrokosmos kehidupan, hingga tak seorang pun yang bisa menghitung dan tak terjangkau oleh akal. Namun terkadang kita melihat basmalah sesederhana mungkin, sehingga perkara yang justru sederhana mengecoh pribadi kita.

Mungkin kita sering mendengar bahwa orang zaman dahulu bisa terbang hanya dengan basmalah, berjalan di atas air dengan basmalah, menghilang hanya berucap bismillah. Menyikapi kabar ini penulis sangat yakin, mereka bisa demikian karena i'tiqād yang kuat dan baik terhadap esensi basmalah sehingga istiqomah menjalankan sunnah Al-Musafā. Lantas bagaimana dengan kita? Mari kita jawab dan ejawantahkan dalam segala rutinitas kita.

Potongan Ayat atau surat yang hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan kepada Nabi Sulaiman as. ini adalah catatan pertama kali yang ditulis oleh Al-Qalam di lembaran lau mafūż. Mengapa demikian? Menanggapi pertanyaan ini penulis hanya bisa menjawab, karena keagungan basmalah.

Pembaca mungkin akan bertanya, dalam hal apa saja basmalah dianjurkan? Jawabnya, dalam segala hal, asalkan ia berstatus mubah seperti makan, minum, jimak dan berpakaian atau sunnah seperti wudhu apatah lagi perkara yang dihukumi wajib. Maka apabila ia mubah, basmalah akan mengantar amaliah kita ke derajat (pahala) sunnah, sebaliknya apabila ia sunnah pahala di dalamnya akan berlipat ganda, kecuali awal surat Al-Taubah, basmalah ada di status kukum kebalikannya. Namun yang terpenting dalam hal ini adalah sunnah-mengikuti tindak-lampah rasulillah saw. dan usaha menjadi insan qur'ani serta barakah yang mengantarkan kita kepada riḍā al-aqq.

Begitu pun status basmalah apabila dibaca untuk suatu perkara yang makruh atau haram, maka basmalah akan ikut pada hukum terkait. Penulis yakin pembaca bukanlah golongan ini.

Santri, atau biasa disebut kaum bersarung, mereka menjadikan bulan Muharam sebagai momen penting untuk merapal jimat dengan tulisan basmalah sebanyak angka yang hanya diketahui oleh mereka. Konon, jimat ini antik bacok, anti kalah, anti miskin dan anti air. Hach..!!

Mengapa demikian? Lagi-lagi karena keagungan basmalah.

Keagungan dan asrar basmalah secara luas diterangkan dalam kitab Khazīnah al-Asrār. Di dalamnya penulis temukan sebuah hikayat dua iblis LA. (gelar penyempurna iblis—La‘natullāh Alaih) yang satu gemuk karena mendapat giliran wajib tugas mengganggu orang kafir. Katanya, iblis ini bisa makan, minum dan tidur bahkan bisa menjimak istri si kafir tersebut sehingga badanya gemuk. Nahas bagi iblis yang ditugaskan menganggu orang Islam, badannya kurus tinggal tulang (kutilang) dan lemah karena dia tidak bisa tidur dan mencicipi makanan orang muslim, berikut minuman dan jimak, karena orang Islam setiap melakukan rutinitas tak pernah lepas dari seuntai ayat barakah ini. Beda halnya dengan orang-orang yang sama sekali tak tersentuh oleh pancaran barakah basmalah.

Mengapa demikian? Lagi-lagi karena keagungan basmalah.

Cewek pun, ketika ditembak oleh cowok bilangnya juga basmalah, dengan centilnya kaum hawa ini berkata: "Bismillah, iya aku terima." Sok-sokan gayanya seperti orang mau dilamar.

Mengapa demikian? Karena latang.

Setelah basmalah, hendaknya diiringi dengan hamdalah karena juga ada suatu riwayat yang berbunyi:

كل امرذي بال لايبدا فيه بالحمد لله فهو اقطع (رواه ابو داود وغيره، وحسنه ابن الصلاح) وفي رواية فهو اجذم وفي رواية فهو ابتر ومعني كل منها قليل البركة

Sepintas kedua hadis ini terjadi kontradiksi, padahal tidak, sebab permulaan itu ada dua: Ibtida’ aqīqī dan ibtida’ iḍāfī. Yang dimulai dengan basmalah adalah Ibtida’ aqīqī dengan artian permulaan yang tidak didahului oleh sesuatu apapun. Sebaliknya ibtida’ iḍāfī masih didahului oleh sesuatu yang lain. Keduanya saling terikat dan majemuk. Hendaknya tidak dibalik, karena menyalahi aturan yang sudah ditetapkan oleh mereka, para pakar kenamaan di khazanah keilmuan Islam.

Syahdan, ada seseorang yang mempunyai kuda, yang hanya bisa, dan pasti berjalan apabila diucapkan hamdalah dan berhenti apabila dikatakan basmalah. Suatu hari ada yang tertarik dengan kuda ini dan hendak membelinya, terjadilah kesepakatan antara keduanya. Ketika berjalan, orang ini dengan bangganya memacu kudanya yang baru dibeli secepat angin, satu hamdalah kecepatan bertambah, dua kali hamdalah bertambah lagi dan seterusnya. Tak lama berselang ia melihat di depan ada jurang, sedangkan kuda terus melaju, membalap angin, apabila kuda ini tidak berhenti risiko kematian bisa dipastikan. Alangkah kagetnya orang ini, ternyata ia lupa bacaan untuk menghentikan kudanya, ia berulang kali teriak membacakan hamdalah di telinga kudanya dengan mesra. Bukannya berhenti, kuda malah tambah kencang. Ketika jurang tinggal satu jengkal baru orang ini ingat. "Bismillah!" teriaknya keras. Kuda pun berhenti seketika, pas di bibir jurang. Saking bahagianya, pemuda ini berkata "Alhamdulillah!"

Cerita ini, penulis dengar dari mauidzahnya Gus Nasihuddin Khazin. mungkin cerita ini mengalami perubahan atau penambahan bahkan pengurangan sesuai dengan kuatnya daya tangkap IQ penulis, namun tetap dengan semangat yang sama yaitu, hendaknya tidak membolak balik ketentuan yang sudah dipatenkan dalam syariat atau berakibat fatal seperti cerita di atas. Alif ha. 

20/10/15 11:22. #MIFTAHULJANNAHBENGKULU

Penulis: Ahmad Nilam
(Santri PPRI 1 yang sedang bertugas mengabdi
di PP Miftahul Jannah, Bengkulu)

Sumber Gambar: hasmi.com
Previous Post
Next Post

2 komentar:

  1. Inspiratif, saya kenal betul dengan penulis ini, orangnya penuh dengan perenungan... lanjutkan kawan....

    BalasHapus