Jumat, 05 Maret 2021

Ngaji Sak Sekolah'e (Editorial) - Oleh: Abilu Royhan

 

 

Pujian kepada Tuhan patut kita panjatkan. Yang telah mengutus seorang utusan. Panutan insan bahkan rahmat sekalian alam. Yakni kanjeng Nabi Muhammad SAW. Beliau diutus oleh Allah SWT dengan membawa Agama Islam yang penuh dengan segudang Ilmu Syariat dan aturan. Dengan wafatnya Nabi Muhammd SAW, beliau mewariskan ilmu-ilmu itu kepada para Ulama. Guna untuk disebarkan kepada seluruh umatnya sampai hari kiamat.

Dengan berkembangnya zaman, tentu ilmu semakin banyak macamnya. Ilmu yang dahulu tidak ada, kini telah banyak bermunculan dan berkembang dimana-mana. Karena itu banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu baru itu. Hampir seluruh dunia mengajarkannya. Seiring dengan semakin meningkatnya populasi manusia di muka bumi ini. Sehingga banyak sekali orang yang nganggur alias tidak mempunyai pekerjaan. Dengan salah satu sebab inilah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama atau ilmu syariat seperti pondok pesantren mulai sedikit peminatnya.

Adapun dalam lembaga pendidikan formal (sebutan akrab bagi lembaga yang mengajarkan ilmu umum atau bukan ilmu agama) jarang atau bahkan tidak ada pendidikan tentang moral dan etika. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang mencari ilmu tidak sesuai dengan etika mencari ilmu. Misalnya membakang perintah guru, tidak menghormati guru, bahkan ada yang sampai melawan gurunya. Dengan pemandangan seperti ini para guru dan orang tua atau wali murid banyak yang mengeluhkannya.

Beda dengan lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama seperti pondok pesantren. Pondok pesantren yang kental dengan sebutan “santri yang akhlaknya mulia”, tentu di pondok pesantren mereka diajari ilmu tentang moral dan etika. Baik kepada ilmu, guru, orang tua dan lain sebagainya. Dan itu memang kunci untuk mendapat ilmu yang nantinya bisa bermanfaat dan barokah.

Dengan demikian para orang tua atau wali murid memiliki dua kegundahan. Pertama mereka harus memikirkan masa depan anaknya, yang khususnya lebih mengarah pada mempunyai pekerjaan. Kedua semakin menurunnya pendidikan tentang moral dan etika, seperti contoh diatas. Sehingga mereka bingung dengan putra putrinya, antara dimasukkan ke pondok pesantren atau disekolahkan ke lembaga formal.

Baru-baru ini marak lembaga pendidikan formal yang berpromosi dengan iming-iming sekolah sak ngajine, sekolah sak mondoke, yo ngaji yo sekolah, kuliah sak ngajine dan semacamnya. Mungkin itu untuk menarik peminat para orang tua untuk mengatasi dua kegundahan diatas. Sehingga dengan embel-embelsak ngajine atau sak mondoke, para orang tua akan lebih tertarik untuk memasukkan anaknya ke lembaga tersebut, “karena masih ada ngaji-ngajinya atau dengan mondok” mungkin itu yang ada dalam pikirannya.

Maka tidak sedikit dari para orang tua yang mulai tertarik. Sehingga putra putrinya dimasukkan kelembaga tersebut. Dampak dari itu yakni pondok pesantren menjadi sasaran empuknya. Mereka disekolahkan sekaligus dipondokkan. Mungkin karena sekolah yang lebih di kedepankan, pondok hanya dijadikan tempat mandi, makan dan tidur. Mungkin itu karena dilandasi dengan komitmennya yang telah disebut yaitu “sekolah sak mondoke, sekolah sak ngajine, kuliah sak ngajine atau yang sebagainya” alias dengan mengedepankan sekolah dari pada ngajinya atau mondoknya. Makasering ditemukan anak yang sekolah sak mondoke tidak betah di pondok pesantren dan akhirnya berhenti (boyong). Dan melanjutkan sekolahnya dengan sistem pulang pergi, yakni berangkat dari rumahya. Itu karena kegiatan lembaga formal itu banyak yang tidak sesuai dengan peraturan pondok pesantren. Dan itu hanya semakin menambah kesedihan orang tua.

Tapi sekolah sak mondoke, sekolah sak ngajine dan semuanya itu, itu hanya sebuah promosi. Untuk mencapai yang dicita-citakan, para murid harus menumbuhkan dalam hatinya sendiri apa yang ingin dia capai. Jikasang pembaca itu santri. Maka harus ditumbuhkan dalam hati “ngaji sak sekolahe” yakni lebih mengedepankan pondok daripada sekolah. Itu karena mengingat tujuan pembaca masuk ke pondok pesantren ini. Jika dia ingin lebih mendalami ilmu agama, maka sebaiknya mengedepankan pondok pesantrennya. Begitu juga sebaliknya. Memang dalam segala hal itu pasti ada pengorbanan. Tapi lebih baik lagi jika dia dapatmenyeimbangkan keduanya. Sehingga dia tidak hanya mendalami satu ilmu saja. Akan tetapi mendapat banyak ilmu dari taman ilmu. Dan inilah yang harus kita harapkan dan pikirkan bagaimana caranya. Sabarlah mencari cara itu dan semoga kuat menjalainya. Aamiin.

Senin, 01 Februari 2021

MEMBACA SEJARAH DARI AMANAH (resensi)



MEMBACA SEJARAH DARI AMANAH

Oleh: Mukhlis Akmal Hanafi (M.A.H)

Resensi

AMANAH Media Komunikasi Informasi

Judul

Masa Depan Ummat Ditangan Pemuda

Penerbit

Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1

Tahun

28 Oktober 1928 – 1986

Tebal

27 Halaman

 

Mungkin beberapa dari alumni atau santri masih belum menyadari beberapa majalah pondok pesantren yang saat ini masih tersimpan rapi dilemari perpustakaan. Majalah AMANAH Media Komunikasi Informasi awal diterbitkan pada tahun 1928 sampai dengan 1986. Masa depan ummat ditangan pemuda sebagai sampul buku, diawali dengan tulisan yang berjudul Da’wah dan perubahan Sosio Kultural. Meski beberapa dari kalangan santri akan cukup kesulitan memahami  teks yang disampaikan dalam buku, akibat perputaran zaman yang memaksa para pembaca harus mengatuhi situasi perkembangan pada masa itu, setidaknya ada beberapa poin penting yang mestinya diketahui bersama, dan harusnya memicu adrenalin para pembaca.

Salah satunya perihal Pesantren dimasa dulu khususnya tahun 80-an. Dalam bukunya dijelaskan bahwa pesantren kemarin, kini dan esok adalah yang harus diperhatikan dalam-dalam. Bagaimana tidak, pesantren yang dulunya terkenal sebagai lembaga kolot kontroversial, kini harus berkompetisi dan bersaing baik dibidang pendidikan maupun hal yang berkaitan dengan moral. Dalam bukunya juga disebutkan oleh salah satu Pimpinan Redaksi pemred Hanafi M. Khalil, bahwa pesantren Pada awal berdirinya tak ubahnya hanya menjadi padepokan-padopakan kecil di pedalaman, yang dimaksudkan sebagai benteng terakhir dari sebuah serangan sang bule (belanda).

AMANAH dengan tema masa depan ummat ditangan pemuda adalah bagian pertama dari dua bagian Amanah yang tersisa, buku ini secara seluruh menjelaskan dunia pendidkan dan islam, lebih-lebih pesantren yang beraliran Ahlussunnah wal Jama'ah dan Nahdlatul ulama.

Tokoh utama dalam penerbitan AMANAH edisi 80-an ini salah satunya Kh Yahya Syabrawi pengasuh utama sekaligus sebagai pelindung, atau yang lebih kita kenal sekarang dengan sebutan penanggung jawab, ditemani oleh Drs. HM. Subairi. Drs. HA. Mursyid Alifi dan Kh. Khozin Yahya sebagai penasehat.

***

Membaca AMANAH mengajak kita kepada tabir masa lalu, mengajak para pembaca untuk mengenal lebih dekat dengan sejarah yang sudah terjadi sebelumnya, hingga bukan suatu hal yang mudah jika dalam satu kesempatan pembaca tidak mampu memahami teks yang disampaikan. Pembaca juga dituntut mencari refrensi buku yang lainnya, sebagai motivasi mengatahui historis yang telah terjadi lama sebelum kita dilahirkan.

Jika kita lebih teliti dengan ulasan yang diberikan oleh buku AMANAH sendiri, kita akan sering mendengarkan berbagai macam istilah yang kemungkinan besarnya akan menghadapi kesulitan bagi para pembaca sendiri, salah satunya Repelita. Singkatan dari Repelita sendiri adalah  Rencana pembangunan lima tahun, yang kemudain akan menentukan pemerintahan ke jalur yang lebih baik, dan menjadi arah yang harus dilakukan oleh pemerintahan itu sendiri.

Repelita sendiri hadir pada tahun yang berbeda-beda, dimana Repelita jilid I hadir pada tahun (1969–1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian. Repelita jilid II hadir pada tahun (1974–1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain JawaBali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi. Repelita jilid III hadir pada tahun (1979 sampai 1984) menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor. Repelita jilid IV (1984–1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri. Repelita jilid V (1989–1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.

Tentu dengan adanya ini kita akan lebih mengurangi beban pikiran yang masih menjanggal. Namun kita juga tidak bisa ambil kesimpulan bahwa repelita akan berjalan sebagaimana mestinya. Buktinya dalam buku AMANAH sendiri juga tak segan mengkritik habis-habisan perihal repelita rencana pembangunan lima tahun, dimana dalam hal ini pada masa Presiden Soeharto, disini agama khusunya Islam memiliki tugas yang sangat sentral dan krusial. Islam harus turut andil dalam menjalankan tugas pemerintahan dengan beberapa pertimbangan. Ya, islam harus berada  di garda terdepan, sebagai lokomotif ganda di pangkal dalam rangkaian pembangunan bertaraf Nasional itu. Dalam bukunya juga menjelaskan beberapa siasat da’wah yang harus dicanagkan oleh para lembaga pendidikan khususnya para tokoh atau kyai yang punya pendidikan, tak terkecuali lembaga pesantren.

Seperti yang sudah kita kenal sekarang, janji merupakan hal yang wajar disampaikan dalam satu dekade atau masa-masa pemilihan, untuk menyakinkan masyarakat dalam menentukan pilihan. Kita juga sering mendengar beberapa siasat pemerintah dalam kelangsungan lima tahun kedepan, dan tak sering juga masyarakat memberikan kritik sosial melalui tulisan atau semacamnya.

“Repelita yang sudah dilancangkan pemerintahan itu telah menuju ke tahap industrialisai, sementara rasio man-power-nya belum memadai sekali. Sehinga kemungkinan besarnya menimbulkan beberapa ledakan besar yang mengakibatnya masyarakat sekitar kehilangan pekerjaan, atau bahkan kehilangan komplek yang sudah ia tiduri sebelumnya.”

Lafad diatas jelas memberikan kesan yang sangat emosional, selain mengajak para pembaca untuk membuka cakrawala masa lalu, kita juga diajak untuk tetap tinggal disana sebagai bukti sejarah, atau sebagai pembaca saja. Kini kita bisa tahu bahwa peradaban islam pada masa 80-an menghadapi tantangan yang sangat besar, dan bukan hal mudah untuk dipecahkan, sementara pesantren dipaksa harus jadi alternatif terakhir dari sebuah jawaban yang masih mencekal di masyarakat.

Islam juga harus mempertimbangkan beberapa siasat yang kemungkinan besar menghadapi kecendrungan-kecendrungan yang bermacam-macam, menurut Koentojiyo salah satu dosen Fak. Sastra dan Sejarah Universitas Gajah Mada dalam bukunya juga mengungkapkan, bahwa “da’wah dapat bersikap positif dalam arti menguatkan kecendrungan itu, disamping itu juga dapat besifat negatif   dalam arti menolak atau bersikap historis dalam arti berada di atas kejadian-kejadian sejarah.

Dengan ini kita bisa tau betapa besarnya peran islam dalam menjalani tirani totaliter yang penuh lika-liku itu. Sehinga apa-apa yang terjadi kedepan bisa juga tidak sesuai dengan apa yang diramalkan. Sehingga pertimbangan yang dimaksudkan bisa juga gagal, bisa juga berhasil dalam arti mengikuti apa yang diharapkan oleh pemertintahan.

Membebaskan individu dan masyarakat dari sistem kehidupan yang dholim (tirani totaliter) menuju kehidupan yang adil (demokratis) tentu ini yang diharapkan oleh islam dan masyarakat. Bebas dari kengkaman pemerintahan.

***

Dalam buku Amanah juga mempertimbangkan beberapa alasan terkait NU organisasi islam Nahdlatul Ulama Dalam menyikapi Pemilu di tahun 1987. Dimana pada waktu itu NU dengan tegas membebaskan kaum Nahdliyin memilih sesuai hati nurani melalui kepentingan masing-masing. Bertujuan demi kelangsungan hidup atau kesempatan memilih dengan bebas.

           Demikianlah alasan majalah ini diterbitkan, dengan alasan “semua manusia bebas berekspresi, bebas bersikap sesuai yang dihadapkan oleh dirinya sendiri, dan bebas dari ancaman yang beragam dari pemerintahan itu sendiri.

Majalah Amanah ditutup dengan media tanya jawab, dimana media ini memuat pertanyaan finansial atau permasalahan global yang lalu di musyawarahkan dalam bingkai bahtsul masail. Sementara penempatan bahtsul masail sendiri bertempat di PPAI Darun Najah Karang-ploso Malang dengan dihadiri langsung oleh tokoh ganjaran tak terkecuali Drs. H Mursyid Alifi sebagai ketua sidang.


Seminar langka di Smk Al-Khozini.

 


Ilham Thoriq CEO Tugu Malang


Seminar langka di Smk Al-Khozini.

Oleh: Muhlis Akmal Hanafi

 

Dalam rangka memperingati hari lahir NU ke 96 Minggu (31 Januari 2021) Ganjaran Gondanglegi Malang, Smk Al-Khozini secara terbuka menggelar seminar jurnalistik yang digelar di gedung Graha Madani.  

Diawali dengan acara pementasan seni dari siswa-siswi smk Al-khozini, dan berbagai macam pementasan individu yang lainnya, akhirnya acara bisa dimulai setelah pembukaan resmi digelar oleh Gus Mannan Qoffal. Dalam kesempatan pembukaannya beliau berkesampatan memberikan satu motivasi menulis kepada para peserta dan tamu undangan, dengan tujuan meningkatkan literasi membaca dan dorongan menulis bagi para peserta didiknya.

Acara yang dihadiri oleh narasumber ceo Tugu Malang, sekaligus alumni Raudlatul ulum 1 itu pun, Ilham Thoriq, mendapatkan apresiasi yang sangat lumayan dari beberapa kalangan, mulai dari santri yang mewaikili pondok pesantren baik putra ataupun putri, siswa smk Al-Khozini putra maupun putri, tak terkecuali media liputan Akhbar.

Selain meningkatan kualitas literatur yang baik, ilham thoriq juga berkesampatan memulai acara tersebut dengan cerita yang didasari pengalaman. Dalam kesempatan bicaranya, beliau menyampaikan poin-poin penting yang harus ditanamkan dalam diri wartawan, Salah satunya perihal wartawan yang melakukan kesalahan baik dari segi penulisan atau liputan.

Sebagai wartawan senior, ilham thoriq juga memberikan amanah yang berat bagi para penulis, khususnya teman-teman yang ikut dalam acara seminar tersebut. Amanah tersebut jelas memberikan pukulan yang mutlak yang tidak boleh dilanggar oleh wartawan sendiri, 

Beliau menyampaikan bahwa untuk menjadi wartawan ada beberapa poin penting yang harus dilakukan dan tidak boleh dilanggar, sebagai wartawan melakuakan khilaf dalam bentuk apapun itu bisa dimaafkan, tapi sebagai wartawan tidak boleh memberikan berita bohong yang secara administratif tidak boleh dilakukan. Begitulah ungkapan beliau dalam salah satu sambutannya.


Imron haqiqi narasumber ke II di acara seminar Jurnalistik

Selain ilham thoriq, Smk Al-Khozini juga tak segan mengundang narasumber yang berasal dari lumajang, narasumber itu bernama imron haqiqi.

Secara pendidikan, imron haqiqi merupakan lulusan generasi kedua dari sekolah smk al-khozini, beliau juga pernah mengenyam pendidkan disana dan bermukim di pondok pesantren raudlatul ulum 1 ganjaran. Lalu kemudaian ia melanjutkan ke jogja guna melanjuti pendidikannya.

Dalam salah satu sambutanya beliau memberikan wajangan khusus bagi para peserta dan tamu undangan, bahwa semua orang berhak untuk menjadi wartawan, tak terkecuali orang yang lulusan pesantren.

Acara  seminar dengan tema Menulis Untuk Masa Depan itu pun berjalan sebagaimana mestinya. Narasumber yang hadir pun masih memberikan kesempatan bertanya kepada para peserta yang hadir, beberapa diantaranya bertanya tentang permasalahan penulisan dan hal-hal yang berkaitan dengan teknik menjadi wartawan.

Acara yang dihadiri oleh beberapa santri yang mewakili, dan siswa siswi smk al-khozini itu pun, akhirnya ditutup dengan pembacaan do’a, ditambah dengan penutupan foto bareng dengan narasumber yang hadir.

Dengan begitu para tamu undangan yang hadir juga mengharapkan dukungan penuh dengan harapan yang besar, serta bisa melanjuti generasi mereka untuk lebih giat lagi dalam hal penulisan. Amin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SIMATREN & RU-MART, LANGKAH BERANI DARI PESANTREN TUA

 


SIMATREN & RU-MART, LANGKAH BERANI

DARI PESANTREN TUA

Oleh: Badruzzaman ibn Mas’ud

 

Pondok Pesantren adalah pilar syariat yang telah lama hadir di Bumi Nusantara bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Santri, Kyai, beserta Pondok Pesantren turut andil dalam perjuangan kemerdekaan Republik Merah Putih ini, maka sampai kapanpun Pondok Pesantren tak akan pernah terhapus dari sejarah perjalanan panjang Indonesia.

Di Pondok Pesantren diajarkan tentang Tauhid, Fikih, Tashawuf dan lain sebagainya. Semua yang berkaitan dengan agama selalu dianggap suci oleh masyarakat dan itulah paradigma yang telah tumbuh mengkristal. Di Pesantren para pelajar yang lebih kondang dengan sebutan santri terkenal dengan akhlaknya yang menawan, tutur kata yang menakjubkan, dan wajah yang rupawan.

Agama Islam mengajarkan untuk tawakkal, tawakkal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu usaha atau perjuangan dan ikhlas menerima apapun hasil akhirnya. Agama Islam-pun mengajarkan untuk qona’ah yang jika diartikan secara istilah, qanaah  memiliki arti merasa cukup serta rela menerima apa yang diberikan oleh Allah SWT. Tetapi yang harus digaris bawahi apakah tawakkal danqona’ah direalisasikan dengan kekolotan? Dengan pakaian santri yang compang camping? Dengan busana santri yang kusam seolah tak pernah dicuci berbulan-bulan? Dengan tidak bolehnya Praktisi Pondok Pesantren terjun ke dunia politik? Ini adalah sedikit contoh dari paradigma yang sudah mengkristal dari pandangan beberapa kalangan atas Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren. Tatkala Santri menggunakan pakaian kusam, jelek, warna yang memudar disebut santri kok tidak bersih?, padahal kebersihan adalah sebagian dari iman. Tatkala wujud fisik dari Pondok Pesantren memprihatinkan dan sedikit-banyak tidak layak huni, disebut Pondok Pesantren kok jelek amat?. Tatkala pembayaran biaya Pondok Pesantren dinaikkan nominalnya, disebut Pondok Pesantren kok menyebarkan agama berkedok finansial? Tatkala praktisi atau alumni Pondok Pesantren atau bahkan Kyainya terjun memperjuangkan rakyat dijalur dunia perpolitikan, disebut Kyai kok masuk partai, partai kan banyak korupsinya, dunia politik kan identik dengan dunia “hitam”?.

Ini adalah mindset yang keliru dan bisa diperbaiki. Islam dan Pondok Pesantren memang mengajarkan tawakkal dan qona’ah tetapi jangan lupa pula bahwa Islam dan Pondok Pesantren mengajarkan umatnya agar berikhtiar dan berdo’a. Bersamaan dengan itu kemajuan teknologi yang mendunia tak bisa dielakkan. Demam teknologi telah menjadi candu para ahli IT untuk berlomba menghasilkan teknologi mutakhir yang berguna dalam kehidupan manusia. Sebut saja Mobil Listrik bernama Tesla hasil karya Elon Musk. Kini dengan kecanggihan teknologi, kita bisa berjalan menggunakan mobil Tesla tanpa menyentuh kemudinya, biarkan Tesla dan kecanggihannya mengantarkan kita ketempat tujuan. Sembari Tesla mengantarkan kita dalam perjalanan, kita bisa dengan santuy ngopi, You-tube-an, video call pacar dan terserah apapun yang kita mau. Atau mari kita beralih ke sesuatu yang lebih simple yakni Telpon Genggam atau Handphone atau HP. Saat ini, siapa yang tidak kenal dengan barang mungil bernama HP ini dan sudah berapa banyak orang dibelahan dunia yang tidak bisa hidup tanpa barang ini.  Teknologi bias mendatangkan kemaslahatan namun ia juga bias menghadirkan kemudaratan. Sisanya tergantung bagaimana kita sebagai user menggunakannya.Poinnya adalah manusia tidak bias dan tidak boleh menolak Teknologi.

Tanpa menafikan tawakkal dan qona’ah, ditambah dengan kesederhanaan yang menjadi ciri khas Pondok Pesantren klasik. Langkah berani itu akhirnya datang dari Pesantren tua bernama Raudlatul Ulum 1 Ganjaran Gondanglegi Malang. Dikenal sebagai Pesantren Tua yang tak terhempas oleh kerasnya zaman, Pesantren yang didirikan oleh Al-Mukarrom Al-Maghfirlah KH Yahya Syabrowi ini tetap exis dan bersaing. Yang terbaru kini PPRU 1 telah maju dengan terobosan teknolgi bernama Simatren. Simatren adalah singkatan dari Sistem Informasi Pesantren. Kini dengan mudahnya para wali santri dimanapun mereka berada bisa mengakses setiap informasi tentang putra-putrinya dilaman https://simatren.com/. Tidak harus diakses melalui PC, laman https://simatren.com/ juga bisa diakses melalui gadget. Ragam informasi tersaji di Simatren seperti kegiatan Pondok Pesantren, adminitrasi umum, administrasi keuangan, prestasi Santri dan akan terus update menu kedepannya. Simatren menjadi barang wajib yang harus diketahui oleh wali santri. Ini adalah langkah maju nan berani dengan memanfaatkan teknologi dan internet. Yang lebih membanggakan lagi, Simatren merupkan karya dari Kepala Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Putra yakni Gus AbdurrohimSa’id, M. Pd.

Saat ini pengguna Simatren tidak hanya PPRU 1 Malang, Karya Master-piece dari Gus Abdurrohim ini setidaknya sudah diaplikasikan oleh 10 (sepuluh) Pondok Pesantren. Seperti beberapa Pondok Pesantren di Desa Ganjaran, PP. Al-Jawi Surabaya, PP. Darun Najah Jember, PPRU Al-Khaliliyah Kubu Raya, PP. Darut Tauhid Injelan Sampang, dan PP. Tahfidz Yanbu’ul Qur’an 3 Batam. Jelas ini merupakan prestasi di dunia Kepesantrenan yang semula dicap kolot tapi kini modern dan bersaing.

Tidak berhenti sampai disitu, kini Pondok Pesantren yang diasuh oleh Al-Mukarrom KH Mukhlis Yahya juga bersaing dibidang ekonomi pesantren. Hal ini diwujudkan melalui lahirnya The New RU-Mart, sejatinya koperasi bukan barang baru di Pesantren ini tapi kali ini berbeda. RU-Mart hadir dengan wajah segar, siap melayani pembeli dari dalam dan luar Pesantren. Menu yang adadi dalam nyapun tidak sekedar kebutuhan sehari-hari melainkan juga sedia aneka Kitab-Kitab Kuning Klasik serta bahan ajar lainnya.Jika anda merupakan alumni PPRU 1, maka tidak sah rasanya jika belum mengetahui dan berbelanja di RU-Mart yang kini dipimp inoleh Gus Syarif Hidayatullah, M.Pd. dan Ust Umar Faruq, M. Pd.

Proses pembayarannya-pun di RU-Mart sudah modern dengan menggunakan barcode seperti di supermarket besar. Secara tidak langsung hal ini memperkenalkan kepada para santri tentang kemajuan dan modernisasi teknologi yang sudah diterapkan dibanyak tempat. Sehingga santri tidak kaget juga bias beradaptasi dengan modernisasi teknologi.

Tidak akan berhenti hanya sampai disini, kedepannya Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran Gondanglegi Malang akan kembali melakukan terobosan yang konstruktif demi kemaslahatan bersama. Akhir kata, inilah Pondok Pesantren Raudlatul Ulum1 Malang yang tidak anti akan Modernisasi Teknologi.