Senin, 17 September 2018

Pola Kepengasuhan PP Raudlatul Ulum 1 - KH. M. Madarik Yahya


Pola Kepengasuhan PP Raudlatul Ulum 

Oleh : KH. M. Madarik Yahya

Kendati bukan menjadi titik awal wujudnya pendidikan keagamaan, tetapi keberadaan KH Yahya Syabrawi (1907-1987) dalam mendirikan Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I merupakan fenomena menarik yang turut menuangkan warna lain di dalam proses keberagamaan umat di wilayah Malang selatan, khususnya di seputar daerah Gondanglegi dan sekitarnya.

Dikatakan cukup fenomenal, karena animo besar yang ditunjukkan masyarakat, menjadi pertanda betapa eksistensi pesantren yang biasa disebut PPRU I itu benar-benar dilirik oleh khalayak.

Keberadaan PPRU I dinilai eksis hingga kini, dapat dilihat dari beberapa indikasi-indikasi, antara lain:
  • Para santri tidak saja berasal dari sekitar Kabupaten Malang, melainkan datang dari berbagai daerah selain Malang, bahkan dari luar Jawa.
  • Jumlah grafik para penuntut ilmu di PPRU I yang menggambarkan tren menanjak, sekalipun pada masa sekarang telah memasuki generasi ketiga.
  • Keberadaan para santri PPRU I yang selalu diperhitungkan di berbagai kegiatan, baik dalam ranah kompetisi seperti lomba baca kitab kuning Kemenag maupun dalam forum-forum ilmiah semisal bahtsul masail NU.

Fakta demikian ini tentu bukan semata-mata karena kapabilitas kiai Yahya, sebagai tokoh sentral di masanya, namun pasti terdapat faktor lain yang membuat pesantren yang berdiri tahun 1949 itu bisa bertahan sampai detik ini, meskipun peran pendirinya juga tidak kecil.

*************
Kunci utama keberlangsungan seluruh proses pendidikan di lingkungan PPRU I memang tidak dapat dilepaskan dari sosok kiai Yahya Syabrawi. Tetapi keikutsertaan beberapa tokoh lain yang menyertai beliau juga merupakan bagian dari faktor kekokohan pondasi PPRU I yang tak tergoyahkan.

Ketika KH Yahya Syabrawi memegang kemudi kepemimpinan di pesantrennya, jelas-jelas beliau tidak menerapkan konsep-konsep pendidikan modern apalagi menganut teori-teori manajemen pendidikan Islam masa kini. Apa yang dilakukan kiai asal Sampang Madura itu sangat konvensional sebagaimana lazimnya pesantren-pesantren tradisional lainnya.

Sungguh pun demikian tata kelola lembaga pendidikan, namun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan yang diselenggarakan beliau di pesantrennya tidak serta merta menyusut. Bila ditelusuri secara seksama, diakui atau tidak, kiai Yahya Syabrawi bukanlah satu-satunya tokoh yang mempunyai andil dalam hal pengembangan pesantren, tetapi terdapat kontribusi cukup besar dari beberapa sosok lain selain beliau. Sosok lain tersebut ialah KH Khozin Yahya (1939 - 2000) dan KH Mursyid Alifi (1944 - 1991).

Sebagai pendiri, kiai Yahya Syabrawi telah mengawali dan bahkan sudah menancapkan arah pendidikan, yaitu menciptakan generasi muslim yang memiliki rasa takwa kepada Allah SWT. Tetapi dari sisi metode pengajaran, beliau hanya menerapkan cara bandongan dan sorogan yang biasa dipraktikkan di berbagai pesantren-pesantren tradisional lainnya.

Kedua tokoh berikutnya inilah yang kemudian memainkan peran-peran penting dalam melestarikan dan mengembangkan PPRU I.


******************
Pola Kepengasuhan PP Raudlatul Ulum 1
Alm. al-Maghfurlah KH. Khozin Yahya (Pengasuh ke-2 PPRU 1)
KH Khozin Yahya lebih kentara di dalam keberlanjutan tradisi pengajaran yang telah ditanamkan pendahulunya. Melalui kealiman beliau ini, metode pembelajaran tetap terjaga persis seperti pendirinya. Kendati tambal sulam kitab-kitab kuning sesuai ragamnya tingkatan dan tema dilakukan oleh kiai Khozin Yahya, tetapi materi-materi kitab yang dahulu pernah dikaji oleh kiai Yahya Syabrawi tidak digeser dari sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa putra pertama kiai Yahya Syabrawi itu tetap mempertahankan tradisi kajian-kajian kitab kuning yang telah berproses.

Meskipun sikap kiai Khozin Yahya tetap memperteguh khazanah keilmuan sekaligus program pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan PPRU I, bukan berarti sosok yang lebih terlihat kesabarannya itu, tidak melakukan pengembangan pendidikan.

Salah satu hasil ide kiai Khozin Yahya dalam pengembangan pendidikan adalah berdirinya madrasah diniyah Raudlatul Ulum.

Dalam hal ini, kiai Khozin Yahya pernah berkomentar:
"Sengkok cek leburreh ke akhlakkah nak kanak diniyah."
(Saya sangat menyenangi akhlak anak-anak madrasah diniyah).

Dalam pendangan beliau, keistiqamahan santri madrasah diniyah, terutama di dalam shalat lima waktu, mampu menjadi penenang beliau dibandingkan satuan pendidikan yang lain.

**********************
Alm. al-Maghfurlah KH. Mursyid Alifi
Dalam penampilan berbeda dari kakak iparnya, kiai Mursyid Alifi lebih banyak mencari terobosan-terobosan baru dalam dunia pendidikan di PPRU I. Memang latarbelakang pendidikan kiai Mursyid tidak cuma pesantren belaka, namun beliau pernah mengenyam bangku perguruan tinggi. Oleh karena itu, inovasi pengembangan wawasan keilmuan para santri yang diciptakan putra kiai Senamah Ganjaran itu selalu terbarukan sejalan perkembangan zaman.

Di antara pengembangan yang dilakukan beliau adalah berdirinya PGA (Perguruan Guru Agama) di lingkungan madrasah Raudlatul Ulum desa Ganjaran Gondanglegi Malang. Tentu saja fenomena ini membuat sebagian besar mata tokoh masyarakat menjadi terbelalak, sebab ide tersebut dicurigai sebagai misi tertentu yang terselubung.

Sayangnya, konflik antar tokoh mengenai seputar fakta dan sikap berkaitan dengan ide beliau, menyebabkan unit sekolah ini terkubur oleh ketidaksepakatan.

Selain mengkaji kitab kuning di dalam PPRU I, kiai Mursyid Alifi juga acapkali memfasilitasi kegiatan-kegiatan di luar program rutinitas pesantren. Salah satu aktifitas yang pernah dipandegani beliau adalah pelatihan jurnalistik bagi santri. Program yang mendatangkan pembicara kompeten di bidangnya dan atas kerjasama pesantren dengan pihak luar itu ditargetkan mampu menghasilkan santri-santri yang memiliki kepiawaian pengetahuan di dalam dunia pemberitaan.

************************
Keseimbangan model kepengasuhan kiai Khozin Yahya dan kiai Mursyid Alifi sedemikian rupa bagai dua baling-baling yang membuat seluruh proses-proses di PPRU I seperti elang yang tengah mengepakkan dua sayapnya.

Kiai Yahya Syabrawi memang telah tiada, tetapi warisan peninggalan berupa lembaga pendidikan tetap tegak berdiri di tengah-tengah gulungan zaman yang kian menghantam dunia pesantren. Tentu keberlangsungan pendidikan di pesantren ini disebabkan oleh eksistensi model kepemimpinan para pengasuh yang berimbang antara tradisional dan modern. Sehingga sampai sekarang pun -generasi ketiga - jargon NU:

الْمُحَافَظَة عَلَى الْقَدِيْم الصّالِح وَالْأخْذ بِالْجَدِيْد الْأصْلَح

di PP Raudlatul Ulum I enar-benar terejawantah.

Semoga berkah. Amin.

* Staf Pengajar di IAI Al-qolam Gondanglegi Malang.


Selasa, 21 Agustus 2018

Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren? Yuk Simak Selengkapnya...

Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren?
Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren?
Oleh: Syifa'ur Romli
Raudlatul Ulum 1 - Momen hari raya idul Adha memang menjadi satu-satunya momen yang paling berkesan bagi umat islam untuk dirayakan. Lebih berkesan lagi jika dirayakan bersama keluarga dan sanak saudara. Termasuk di antara peraya dari hari bersar islam ini adalah kamu bersarung; Santri.

Pesantren Radulatul Ulum 1 memang tak membolehkan santrinya untuk pulang ke rumah. Itu artinya, peraturan tertulis mengharuskan mereka berIdul Adha di pesantren bersama para santri senasib seperjuangan yang lainnya.

Lantas, apa yang biasanya mereka lakukan ketika Idul Adha jika tak bersama keluarga? Tentunya di pesantren. Berikut beberapa list favorit hal yang mereka lakukan di pesantren bersama santri lainnya:


1. Menangis

Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren? Yus Simak Selengkapnya...
Terlihat salah seorang santri mungil tengah meratap
Daftar "Menangis" menempati urutan pertama sebab banyaknya santri yang melakukakannya. Khususnya bagi para santri baru. mereka yang belum bisa Move On dari kehidupannya sehari-hari bersama keluarga. Tentunya jalan terbaik untuk meluapkan kerinduannya untuk bertakbir dan bersenda bersama keluarga adalah dengan cara Menangis sebab terjeda dinding pesantren.
  • Cara menangis mereka pun bermacam-macam. Berikut listnya:
  • Menyendiri di tempat sepi sambil berteman sunyi
  • Berselimut dengan pura-pura tidur, padahal brebes mili
  • Nangis ber-Jama'ah bersama teman yang lain
  • Menangis sembari menatap awan gelap
  • Menangis di kamar mandi sambil berbasah pipi agar tak ketahuan

Namun, mereka menangis demi merajut asa untuk masa depan gemilangnya. Jadi, kebiasaan seperti ini telah wajar dilakukan di pesantren lain.

2. Lomba Takbir

Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren? Yus Simak Selengkapnya...
Para Santri ketika mengikuti Lomba Takbir Idul Adha
Di Raudlatul Ulum 1 sendiri, setiap malam lebaran Idul Adha selalu diadakan lomba seni takbir. Hal itu dilakukan demi memecah kesunyian dan kesedihan tak bersama keluarga. JAdi, jika mereka tak berani mengikuti lomba dan tampil di hadapan ratusan santri yang lain, maka mereka memilih menonton dan mengisi kekosongan hati.

Di antara santri yang mengikuti lomba, diharuskan untuk memilik beberapa personil yang terdiri dari: Vokalis, Penari dan Pemukul alat musik seadanya (Misal: Gayung, Timba, Botol Sprit dan lainnya).

3. Menelfon Orang Tua

Berlebaran di pesantren tidaklah menghalangi mereka untuk tidak bermaafan dan berbagi kesedihan dengan orang tua. Kini zaman sudah modern. Pesantren menyediakan alat elektronik berupa HP untuk membantu santri tetap bisa menghubungi keluarga ketika di pesantren. Tak jarang pula ada yang menelfon sambil menangis tersedu-sedu.

4. Bertemu Keluarga

Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren? Yus Simak Selengkapnya...
Bertemu Keluarga: Salah seorang santri dijenguk keluarganya.
Bertemu keluarga bukan berarti pulang. Sebab, pesantren tetap dengan sangat lues memberikan kebebasan pada wali santri untuk menjenguk keluarganya di pesantren. Tapi bukan berarti pula boleh Dibawa Pulang. Maka dengan kunjungan wali santri ke pondok pesantren, maka kesempatan bertemu keluarga akan terbuka lebar. Sekalipun tak di rumah. Jika tak dijenguk, maka Menangis adalah pilihan terbaik.

5. Bercanda

Apa Saja yang Dilakukan Santri Ketika Idul Adha di Pesantren? Yus Simak Selengkapnya...
Bercanda: Salah satu hal untuk menutupi kesedihan...
Karena pesantren tak membolehkan santrinya untuk pulang, maka kegiatan pesantren sebagaimana biasanya diliburkan pada malam Idul Adha hingga sore hari. Selepas itu, tamatlah kebebasan mereka.

Salah satu gal yang tepat bagi santri yang tak suka menangis adalah bergurau dan bercanda bersama teman santri yang lain. Hal itu tak lain untuk mengisi kesedihan hatinya. Maka, mereka menghabiskan 24 jam untuk libur belajar dan terfokus hanya untuk menghibur diri pada momen Idul Adha.

6. Makan-Makan

Selain diburkan 24 jam, gerbang juga terbuka untuk waktu selama itu. Artinya, mereka bebas untuk keluar masuk area pesantren untuk keperluan membeli makanan yang beranek macam jenisnya di luar pesantren. Bahkan berarti tanpa pengawasan. Jika lengah sedikit, Hukuman tetap aktif pada santri yang melanggar undang-undang.

Sekalipun tak bersama Sate Kambing, Gulai atau jenis olahan kambing lainnya, santri punya cara tersendiri untuk membalas dendamnya tak bertemu daging kurban. Berikut list makanan yang biasa mereka pilih demi mengisi hari tak bersama keluarga di rumah:
  • Bakso (Pedaas)
  • Nasi Ayam/Hati
  • Mie Ayam/Pangsit
  • Nasi Goreng
  • Gorengan
  • Minuman Dingin dan,
  • Snack Terjangkau

Mereka tak canggung untuk meminta kiriman lebih demi melunasi haus dahaga mereka untuk ingin pulang berjumpa keluarga. Dan pastinya, setiap orang tua pasti mengerti dengan perasaan putra-putrinya masing-masing bukan?

Berikut tadi adalah  hal-hal yang biasa dilakukan oleh santri ketika Idul Adha di Pesantren dan tak bersama keluarga. Apapun halangannya, jalan terbaik adalah tetap berada di pesantren dan manut terhadap undang-undang. Apa lagi alasan yang paling puncak selain harapan diakui sebagai "Santri KH. Yahya Syabrowi"? [Red]

Selasa, 24 Juli 2018

MA'RUFI - Santri Baru, Membawa Wajah Baru dan Era Baru

MA'RUFI - Santri Baru, Membawa Wajah Baru dan Era Baru

MA'RUFI - Santri Baru, Membawa Wajah Baru dan Era Baru

Salam santri Kyai Yahya Syabrowi! Salam Tafaqquh Fiddin...

Ma'rufi atau kepanjangan dari masa ta'arruf santri yang diadakan selama satu tahun sekali meruapakan salah satu cara membiasakan santri untuk dapat menyesuaikan lingkungan pesantren serta pendidikan karakter paling awal bagi mereka.

Tahun ini, Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 menerima jumlah santri baru sebanyak 96 orang. Lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya. Namun, jumlah bukanlah prioritas utama. Sebab memang begitulah fluktuasi lembaga pendidikan manapun.

MA'RUFI - Santri Baru, Membawa Wajah Baru dan Era Baru
Wajah Santri Baru
Pada tanggal (16-17 Juli 2018) kemarin, sebanyak jumlah santri baru tersebut, mereka melakukan kegiatan yang diadakan oleh pengurus pusat pesantren yang diprogramkan khusus untuk para santri baru. Acara yang hampir mirip dengan Masa Orientasi jika di pendidikan formal; MA'RUFI.

Ada beberapa catatan berbeda dari para daftar santri yang nyantri di PPRU 1 tahun ini. Berikut kami ulas satu persatunya:

1. Sulawesi - Torehan Domisili Santri Baru

Ada kurang lebih empat santri baru di tahun ini yang berasal dari salah satu deretan pulau besar di negri Nusantara ini yaitu; Sulawesi. Merupakan daftar baru sepanjang catatan berdirinya pondok pesantren ini. Empat santri baru tersebut mengaku memiliki sanak saudara yang berada di wilayah Malang serta merupakan keluarga HISANIYAH PPRU 1. Oleh karenanya, mereka kemudian berminat menyantrikan dirinya di Raudlatul Ulum 1.

2. Syaputra Mubarroqh bukan Lagi satu-satunya

Jika di tahun kemarin adalah salah satu tahun ajaran dimana Syaputra Mubarroqh menjadi pemecah rekor santri termuda di Raudlatul Ulum 1, maka kini dia sudah tak sendiri lagi. Sebab, ada santri baru yang menyamai umur serta kecilnya yang berada di pesantren.


MA'RUFI - Santri Baru, Membawa Wajah Baru dan Era Baru
Evander Ozora Arsyadzakwan (Nama santri sebaya Syaputra)
Santri itu bernama "Evander Ozora Arsyadzakwan" Seorang yatim berasal dari kota Sidoarjo, Jawa Timur. Dia sudah ditinggal Ayahnya kala masih bayi. Hidup bersama ibu serta dua saudaranya di kepadatan kota membuatnya menjadi anak kurang berpendidikan. Demi mengatasi masa depan suram. Ibu memasrahkannya kepada Kyai Athok Lukman Hakim untuk nyantri di Raudlatul Ulum 1.

Memiliki umur dan postur yang sama dengan Syaputra, yakni 9 tahun membuat mereka berdua secara langsung menjadi sahabat karib semenjak kenal. Kemanapun Syaputra melangkah, ada Evan di sampingnya. Sebaliknya, ada Evan, maka ada Syaputra.

3. Santri dengan rata-rata umur dini

Sudah menjadi gejala hampir di seluruh pondok pesantren di NUsantara, santri yang semakin memuda dan mendini, dalam hal Usia. Di tahun ini saja, Pondo Pesantren Raudlatul Ulum 1 menerima rata-rata santri dengan status latar belakang pendidikan baru lulus pendidikan dasar. Bahkan hampir 60-70% di antaranya, melanjutkan pendidikan di MTs, SMP & Madrasah Diniyah.

Namun bukan lagi sebuah kekhawatiran bagi pesantren saat ini. Dan untuk sementara, penyebab dari semakin mendininya usia santri baru dari tahun ke tahun ini disebabkan oleh pergaulan bebas dalam lingkungan luar yang menimbulkan kekhawatiran terhadap setiap orang tua dan lebih memilih untuk memondokkan anaknya di lembaga pesantren yang memiliki visi misi caracter building.

Senin, 01 Januari 2018

Sekapur Sirih Tercetusnya Nama "Raudlatul Ulum 1" - KH. Madarik Yahya


Sekapur Sirih Tercetusnya Nama "Raudlatul Ulum 1" - KH. Madarik Yahya

Pengajian Masyayikh Rutin Malam Selasa Satu Bulan Sekali

Oleh: Syifa'ur Romli

Tentu menjadi hal yang sangat membingungkan santri atau bahkan alumni Raudlatul Ulum 1 jika ditanya bagaimana nama "Raudlatul Ulum 1" sebagai nama almamater lembaga salaf pondok pesantren yang didirikan Al-Maghfurlah KH. Yahya Syabrowi tahun 1949 silam ini.

Atas prakarsa itulah maka kami cetuskan tulisan ini dengan maksud dapat membantu menambah wawasan santri dan alumni Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran. Bagaimana selanjutnya lembaga salaf yang senantiasa kita cari barokah serta manfaat ilmunya ini memiliki nama sakral yang wajib dipertaruhkan.

KH. Madarik Yahya kebetulan mengisi pengajian Mauidotul Hasanah Tepatnya malam selasa 1 Januari 2018 kemarin. Dengan pembuka prakatanya dengan tema hubungan guru dan santri itu, sekelumit beliau menyempatkan bercerita bagaimana pondok pesantren salaf ini bisa berbeda dengan pondok pesantren yang semi salaf sampai modern.

Bahwa pondok pesantren modern itu dalam segenap kegiatan serta pelajaran yang disuguhkan lebih banyak mendasar pada buku-buku literasi umum, sekalipun ada kitabnya, namun lebih cenderung menggunakan terjemah. Dalam perbandingannya, edukasi umum lebih dominan dibanding kitab kuning ulama' salaf.

Sebaliknya, pesantren salaf justru lebih mendominasikan kitab kuning klasik karya ulama' salaf sebagai rujukan. Serta kehidupan yang serba dihalangi dengan keterbatasan dan kekurangan. Sebab itulah yang diajarkan. Selain itu, maka semi formal menjadi posisi tengah-tengah.

Lantas bagaimana dengan pondok pesantren kita Raudlatul Ulum 1 ini? Apakah termasuk salaf atau semi modern? Maka dengan tegas beliau KH. Madarik Yahya menjawab bahwa contoh pesantren salaf kita ini termasuk salaf. Apapun problematika umat yang ada maka rujukan dasar utamanya adalah kitab kuning salaafiyah yang dipertahankan. Serta metode pembelajarannya menggunakan metoda sorogan, ngaji langsung terhadap para masyayikh dan lainnya.

*Sejarah nama "Raudlatul Ulum 1"

Pada awal KH. Yahya Syabrowi mendirikan pondok pesantren ini, tentulah tanpa memiliki nama. Mungkin para santri dahulu mengenalnya hanya dengan nama pondok Ganjar, pondok Kyai Yahya. Dengan seiring berjalannya waktu, maka segenap putra-putra beliau mengusulkan nama lembaga pondok pesantren salaf ini tatkala didirikan lembaga formal Madrasah Aliyah dahulu.

Perlu diketahui, bahwa pada awalnya Madrasah Aliyah dahulu 80% pengajian kitab kuning salaf. Berubah tatkala ada peraturan dari pemerintah untuk menjadi sebagaimana pendidikan formal pada umumnya sekalipun tetap mempertimbangkan pelajaran agama dengan pedoman kitab kuning.

Tercetuslah nama "Miftahus Sibyan" untuk sekolah MA utara (mengenai pencetus nama-tidak terdata). Sekian waktu berjalan, putra beliau yang bernama KH. Khozin Yahya memprakarsai usulan kepada sang abah untuk merubah nama lembaga dengan hasil istikhorohnya yakni "Raudlatul Ulum".

Atas banyaknya komitmen untuk merubah nama lembaga dengan usulan nama yang banyak pula, maka Syaikhuna Yahya Syabrowi pun melakukan istikhoroh demi memohon saran kepada sang Maha Kuasa akan nama apa yang patut dijadikan ikon lembaga serta almamater sampai saat ini. Pada mimpi beliau timbullah nama jawaban Khozin Yahya yang menandakan bahwa nama yang patut dipilih adalah usulan salah satu putra beliau dengan nama "Raudlatul Ulum". Semenjak itulah ditetapkan nama Raudlatul Ulum untuk pondok pesantren dan lembaga formal Madrasah Aliyah.

Pada dasarnya, Raudlatul Ulum adalah nama utama untuk pondok pesantren kita ini, yang kemudian disusul dengan berdirinya pondok lain dengan pendiri yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengan KH. Yahya Syabrowi, lalu tercetuslah nama Raudlatul Ulum 1 (Pusat), sampai tercatat berjumlah Raudlatul Ulum VI.

Dan, sampai saat ini bahkan, nama kebanggaan yang patut dijaga muru'ahnya oleh para insan yang selalu berdoa serta mengharap ridho, barakah serta manfaat dari para Masyayikh Allaahumma Ighfir Lahum (termasuk kita: pembaca) sampai hari kiamat.

*Diambil dari ceramah KH. Madarik Yahya Senin, 01 Januari 2018

Minggu, 31 Desember 2017

Hari yang Ditunggu Tiba, Khatmil Kutub Riyad As-Shalihin oleh KH. Nasihuddin Khozin

Hari yang Ditunggu Tiba, Khatmil Kutub Riyad As-Shalihin
Hari yang Ditunggu Tiba, Khatmil Kutub Riyad As-Shalihin
Oleh: Syifa'ur Romli

Kyai. H. Nasihuddin Khozin - Lima Tahun sudah menjadi masa sekaligus saksi akan perjuangan kaum santri Raudlatul Ulum 1 atas perjuangannya selama itu dalam bergelut melawan keluh kesah mengkaji kitab Riyadh As-Shalihin di bawah ampuan sang maha guru KH. Nasihuddin Khozin.

Malam ini, penghujung akhir tahun tepatnya tanggal 31 Desember 2017, kitab yang dikarang oleh ulama tersohor As-Syekh Syarifuddin Yahya An-Nawawi dengan kitabnya Riyadh As-Sholihin telah rampung dikaji atas bimbingan Kyai H. Nasihuddin Khozin bersama santri Raudlatul Ulum 1. Alhamdulillah Barakallaahu Lana.

Yang unik untuk awal kali Kyai. H. Nasihuddin Khozin menghatamkan kitab Riyadh As-Shalihin sejak awal dikaji tahun 2013 ini adalah bertepatannya dengan malam tahun baru masehi 2018. Sehingga secara tidak langsung menjadi penghibur bernuansa islami bagi para santri Raudlatul Ulum 1 untuk merayakannya. Tentu dari pada melaluinya dengan hal yang kurang manfaat terlebih jika mengandung maksiat.

Banyak pesan dan kesan dalam khatmil kutub kali ini, berikut ringkasan kesan dari para santri Raudlatul Ulum 1: Menurut Ust. Muslimat "Dengan hatam kitab ini, semoga menjadi pintu pembuka agar cepat pergi Haji" Amin. Lain lagi menurut Ust. Yusroful Kholili "Yang menjadi kesan tersendiri bagi saya, bahwa banyak ketika awal mengkaji kitab ini dulu bersama saya, namun kini mereka tinggal nama. Dan hanya saya pribadi yang bisa ikut khataman. Ust Ahmad Nilam tak telat dalam hal ini menurutnya "Alhamdulillah, sekalipun hanya nutut khotmilnya saja. Semoga kebagian barokah". Wakil kepala pesantren justru lebih menarik lagi komentarnya. Menurutnya "Khatam kitab Riyadh As-Shilihin, yeh leggeh".

Dan pada intinya, semua merasa bahagia dapat turut mengkaji kitab Riyadh As-Sholihin ini. Dengan harap mendapat barokah doa dan manfaat ilmu dari sang muallif, KH. Nasihuddin, serta seluruh masyayikh lainnya. Mengawali tahun baru dengan pembukaan kembali kajian kitab yang telah menjadi tradisi Salafuna Ash-Sholih sejak KH. Yahya Syabrowi.

Kajian ditutup dengan doa yang menusuk kalbu, dengan desihan bunyi kipas angin di dalam musholla, dengan alunan syahdu angin sepoi menyapa petang. Allahumma Baarik Lanaa wa Jamii at-Talaamid al-Ma'had Raudlatul Ulum al-Ula. Amiin.

@Divisi_Publikasi PPRU 1