Rabu, 22 November 2023

Hukum Wanita Menggunakan Parfum di Tempat Publik

PPRU 1 Fiqh | Saat ini mobilitas kerja di perkotaan dan perdesaan tidak hanya ditempati oleh para pekerja saja, namun banyak pekerja dan pekerja perempuan yang menempati ruang-ruang profesional dan menjadi hal yang normal

Sebanyak 4.444 pekerja berangkat pada pagi hari dan pulang pada sore hari, sebagian menggunakan kombinasi mobil pribadi dan angkutan umum. Para pekerja sudah didorong untuk memprioritaskan transportasi umum untuk memperlambat pemanasan global.

Foto: Beraneka ragam parfum yang digunakan perempuan

Lantas dari percampuran pekerja laki-laki dan perempuan di ruang publik, mereka pun harus menggunakan parfum untuk menutupi bau badan, kalau tidak pakai parfum dikhawatirkan akan mengganggu kenyamanan orang-orang di sekitarnya.  

Dalam hal ini mungkin sebagian dari umat Islam ada yang mempertanyakan apakah boleh dalam kacamata Islam, seorang perempuan menggunakan parfum di tempat publik? Apakah penggunaan parfum bagi perempuan termasuk kepada pezina sebagaimana dalam hadits Nabi saw:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ، فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا ، فَهِيَ زَانِيَة  

Artinya: “Rasulullah saw bersabda, ‘Perempuan manapun yang memakai wewangian kemudian lewat pada suatu kaum (laki-laki) supaya mereka mencium wanginya maka ia seorang pezina’.” (HR An-Nasa’i).  

Apabila kita membaca hadits di atas secara sekilas dan tekstual dengan tanpa mencari tahu lebih dalam bagaimana kondisi masyarakat di masa Nabi saw dan juga ‘illat atau sebab pengharamannya, boleh jadi kita turut mengharamkan perempuan di masa sekarang untuk menggunakan parfum di ruang publik.

Dalam menjelaskan hadits ini, Al-Munawi dalam Faydhul Qadir mengungkapkan:

 أيما امرأة استعطرت أي استعملت العطر أي الطيب يعني ما يظهر ريحه منه ثم خرجت من بيتها فمرت على قوم من الأجانب ليجدوا ريحها أي بقصد ذلك فهي زانية أي كالزانية في حصول الإثم وإن تفاوت

Artinya: “Perempuan mana saja yang mengharumkan dirinya dengan menggunakan wewangian yang jelas tercium wanginya, kemudian melewati sekelompok orang yang bukan mahram supaya mereka dapat mencium baunya, yaitu dengan meniatkannya seperti itu, maka dia termasuk pezina dalam segi dosa, meskipun berbeda.” (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, t.t.], jilid III, hal. 147).  

Penjelasan Al-Munawi di atas, menyorot sisi keharaman penggunaan parfum oleh perempuan ketika diniatkan agar para lelaki yang bukan mahramnya mencium wangi dari parfum yang digunakan dan akhirnya mereka tertarik.  

Lantas ‘illat manshushah (penyebab hukum yang tertulis pada teks) dalam hadits terkait tidak dibolehkannya perempuan menggunakan parfum di tempat publik adalah niatnya supaya para lelaki mencium wangi parfum yang ia gunakan. Jelas para ulama tidak ada yang berbeda pendapat soal ini. Al-Mubarakfuri mengomentari:

لأنها هيجت شهوة الرجال بعطرها وحملتهم على النظر إليها ومن نظر إليها فقد زنى بعينيه فهي سبب زنى العين فهي آثم 

Artinya: “Karena ia dapat menggugah hawa nafsu laki-laki dengan keharumannya dan membuat mereka melihatnya, siapa pun yang melihat perempuan [karena sebab itu], maka ia telah berzina dengan mata, dan penyebab [zina mata] itulah yang menjadikan dosa.” (Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.], jilid VIII, hal. 58).  

Lebih spesifik lagi, Al-Munawi menjelaskan mengapa hadits tersebut melarang penggunaan parfum, beliau berkata:    

ومجامع الرجال قلما تخلو ممن في قلبه شدة شبق لهن سيما مع التعطر فربما غلبت الشهوة وصمم العزم فوقع الزنا الحقيقي

Artinya: “Jarang sekali perkumpulan laki-laki kosong dari hal terkait syahwat pada perempuan dalam hatinya, apalagi jika perempuan memakai wewangian, boleh jadi syahwatnya mendominasi dan membabi buta sehingga terjadilah zina yang nyata.” (Al-Munawi, Faydhul Qadir, jilid II, hal. 276).  

Kemudian apabila kita melihat kondisi masyarakat pada masa Jahiliyah dengan masa kini, ada perbedaan yang mendasar soal bagaimana keamanan perempuan di masa itu dengan di masa sekarang.  

Saat ini di berbagai lokasi publik seperti stasiun, bandara, pelabuhan hingga transportasi publik seperti bis dan kereta ada yang bertanggung jawab sebagai petugas keamanan, sehingga tidak mudah bagi laki-laki untuk melakukan perbuatan senonoh pada perempuan. Sebab dari suatu larangan boleh jadi bentuknya berbeda antara masa lalu dengan masa sekarang. Misalnya larangan wanita memukulkan kakinya ke tanah supaya perhiasan yang digunakan diketahui para lelaki dan mereka pun tergoda.

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat 31 surat Annur menyebutkan:  

 كانت المرأة في الجاهلية إذا كانت تمشي في الطريق وفي رجلها خلخال صامت لا يعلم صوته، ضربت برجلها الأرض، فيعلم الرجال طنينه، فنهى الله المؤمنات عن مثل ذلك

Artinya: “Pada zaman pra-Islam, jika seorang perempuan sedang berjalan dengan gelang kaki di kakinya yang tidak terdengar dan tidak diketahui, maka ia akan memukulkan kakinya ke tanah agar para laki-laki mengetahuinya, maka Allah melarang perempuan beriman melakukan hal seperti itu.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid II, hal. 276).  

Larangan pada ayat tersebut tentu terletak pada usaha untuk membuat lawan jenis yang bukan mahramnya memiliki ketertarikan dengan cara memukulkan kakinya ke tanah supaya perhiasannya terdengar.  

Apakah cara menarik lawan jenis yang seperti itu masih disadari orang-orang atau khususnya laki-laki di era sekarang? Tentunya tidak.  

Jika ‘illat atau sebab tidak dibolehkannya penggunaan parfum bagi perempuan disebabkan kekhawatiran mengundang zina, maka perlu kita tengok realita yang ada saat ini, apakah para perempuan pekerja dan yang bertugas di tempat publik menggunakan parfum semata-mata agar laki-laki tertarik kepada mereka dan mengundang fitnah? Atau mereka menggunakan parfum justru untuk menghilangkan ketidaknyamanan orang-orang yang berada di tempat publik dari bau badan, khususnya bagian ketiak?  

Dalam suatu kaidah, ada atau tidaknya ‘illat (penyebab hukum) sangat berpengaruh terhadap eksistensi hukum itu sendiri.  

Kesimpulannya, wanita pekerja yang memakai parfum yang bertugas di tempat publik pada saat ini hukumnya boleh, dengan catatan apabila si perempuan berniat untuk tidak mengganggu orang lain sebab bau badan, juga tidak sama sekali meniatkannya untuk mengundang ketertarikan pada laki-laki.


Previous Post
Next Post

Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 adalah pesantren salaf yang didirikan oleh KH. Yahya Syabrowi, Menggenggam Ajaran Salaf, Menatap Masa Depan

0 comments: