Selasa, 20 Oktober 2015

hidup mati sebuah amal

https://suryandisipayung.files.wordpress.com/2014/01/shalat.jpg 
Hidup-Mati Sebuah Amal
Sebagaimana diketahui, manusia diciptakan untuk melakukan pengabdian kepada penciptanya (Q.S. Adz-Dzaariyat : 56). Ritual ini kalau dilihat dari sudut pandang syariat secara garis besar dapat disimpulkan menjadi dua kategori, yaitu: melaksanakan semua perintah agama dan menghindar dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama (imtiṣāl al-awāmir wa ijtināb an-nawāhī). Dua kategori inilah yang dalam terminologi agama Islam dikenal dengan ibadah, sebagai tugas utama manusia sebagai hamba.
Secara komprehensif, dalam melakukan kategori tersebut di atas akan tercapai jika dilaksanakan secara menyeluruh. keseimbangan zahir dan batin diperlukan di sini. Zahir merupakan kinerja anggota fisik seperti tangan, kaki, perut. Dalam syariat Islam, syarat dan rukun merupakan ladang untuk menggerakkan anggota melakukan ibadah. Sedangkan batin merupakan kinerja hati di setiap gerakan anggota fisik di setiap ibadah. Kedua unsur ini harus terus berlangsung secara terus menerus di setiap melakukan perintah dan atau meninggalkan larangan.
Melakukan ibadah oleh ‘batin’, tanpa perwujudan tindakan secara fisik tidak ada artinya. Semisal berniat dalam hati tanpa melakukan rukun salat, berkeinginan bersedekah tanpa ada tindakan berbagi kepada sesama, secara syariat tidak dapat dikatakan sudah salat dan sedekah. Sedangkan gerak anggota fisik dalam gerakan salat tanpa ada gerak batin (contoh: ketaatan pada Zat Yang Maha Mencipta) yang menyertai, lebih patut dikatakatan—walaupun secara syariat salatnya sudah sah—telah melakukan ‘gerakan salat’.
Ibarat sebuah rangkaian bentuk tangan, kaki, kepala, badan dan lain-lain, tanpa pernah ada ruh di dalamnya, rangkaian tersebut hanyalah sebuah ‘kerangka’, kurang lebih sempurna dari patung, boneka dan lainnya. Di sinilah urgensi keseimbangan antara zahir-batin, fisik-ruh .
Bagi seorang Muslim yang berkeyakinan dalam jiwanya bahwa ibadah yang dilakukan merupakan sebuah ketaatan kepada Zat Yang Maha Agung, pengabdian yang diperuntukkan kepada Zat yang memiliki kekuasaan tidak terjangkau dan tidak terbatas, ibadah merupakan hal yang lebih serius. Kesinambungan anggota zahir dan batin lebih diperlukan di dalamnya.
Sebab itu, perbuatan ibadah yang dilakukan dengan jerih payah—menanggalkan sifat malas, kepentingan-kepentingan dan lain-lain—akan terbuang sia-sia dan tidak bernilai, jika kehadiran perbuatan tersebut tanpa disertai  rūḥ (substansi) dari amal ibadah tersebut. Lantas apakah sebenarnya ruh dari perbuatan itu? Untuk menjawab pertanyaan itu mari kita renungkan makna hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini:
((لا يقبل الله من الاْعمال الا ما كان خالصا له وابتغى بها وجهه))
Dari hadis di atas, penulis menyimpulkan, sebanyak apapun aktivitas yang bermuatan nilai positif (ibadah) yang dilakukan, baik yang sifatnya vertikal kepada pencipta maupun horisontal kepada sesama ciptaan (mahluk) yang kemudian penulis sebut sebagai “amal”, akan menjadi tidak bernilai jika dalam pelaksanaannya tidak terkandung rasa ikhlas dalam hati pelakunya (hamba).  Salah satu tokoh sufi, Ibn Athaillah As-Sakandary telah mengatakan bahwa ruh setiap amal adalah Ikhlas (Al-Hikam).
Tanpa rasa sepenuh hati untuk mengihklaskan diri, maka pamrihlah yang akan datang berduyun-duyun. Dan timbal-baliklah yang diinginkan. Beramal demi datangnya balasan—minimal sebuah pujian—akan layu dan tidak akan pernah muncul kepermukaan seandainya balasan yang diinginkan tidak kunjung didapatkan. Kemungkinan besar kekecewaan dan merasa tersia-sia akan membuah dari amal yang berakar dari suatu harapan akan balasan yang menguntungkan, jika amal tersebut tumbuh tanpa adanya balasan. Pertanyaanya, apakah hanya ini—amal berujung kecewa—yang dapat dipersembahkan pada Allah?[]
By: Yusroful kholili
Previous Post
Next Post

0 comments: