Jumat, 05 Maret 2021

Mengapa Kita Butuh Guru? (Opini) Oleh: Badruzzaman ibn Mas’ud

 

Judul sekaligus pertanyaan diatas tidak sepantasnya terlontar. Namun dari pertanyaan ini pula bisa melahirkan alasan mengapa kita butuh guru. Bagaikan bayi kecil yang lahir kemudian ia dengan sendirinya merangkak, kemudian ia dengan sendirinya berjalan seolah mengetepikan setiap orang yang mengiringi proses si bayi menuju tahap bisa berjalan. Atau analogikan dengan tukang bangunan, bermula dari ketidak-tahuan dalam dunia konstruksi, namun berbekal pengalaman bertahun-tahun dengan turut andil di berbagai proyek, kini situ klang bangunan tersebut tak lagi susah untuk melakukan kerjaannya. Dengan gampangnya ia mengaduk semen tanpa memperhitungkan takaran semen, batu dan air. Terkadang kita dapat mengetahui dan mempelajari sesuatu dengan sendirinya dengan proses yang berbeda-beda, “mengetahui dan mempelajari” tanpa guru seperti ini dinamakan otodidak.

Kata otodidak adalah bentuk tidak baku dari kata autodidak sehingga penulisan yang benar adalah autodidak. Penulisan kata yang benar disebut juga dengan kata baku yaitu kata yang penulisannya sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Namun pengucapan otodidak lebih masyhur dikalangan kita. Otodidak berasal dari bahasa Yunani “autodídaktos” yang memiliki arti belajar sendiri. Maka secara terminologi otodidak merupakan orang yang tanpa bantuan guru bisa mendapatkan banyak pengetahuan dan dasar empiris yang besar dalam bidang tertentu. Mereka mendapatkan pengetahuan tersebut dengan belajar sendiri alias tanpa guru.

Lantas apakah hal ini patut dibandingkan dengan keberadaan guru?. Seringkali kita mendapati murid yang lebih cerdas dari gurunya atau murid yang karirnya lebih sukses dari mentornya. Apapun itu, kehadiran guru sebagai ahli ilmu tak bisa dikesampingkan. Meskipun zaman sekarang semua ilmu pengetahuan beserta cabang keilmuannya bisa didapatkan di google. Atau murid yang meremehkan guru karena hanya menganggap sang guru mengetahui ilmu itu lebih dulu darinya. Namun tetap saja yang namanya guru adalah guru, guru adalah sosok bersahaja dan spesial.

Disini perlu dipahami bahwa ilmu punya derajat yang istimewa baik dimasa hidup atau dimasa setelah kehidupan. Semua yang terkait dengan ilmu makasudah seyogyanya agung dan diagungkan. Mulai dari ilmu itu sendiri, guru yang mengajarkan ilmu, sekolah tempat mencari ilmu dan seterusnya.

Kadang kala kita butuh alasan untuk melakukan sesuatu atau stimulus agar melangkah. Berikut adalah sedikit alasan untuk mengagungkan ilmu:

Fasal 4 KitabTa’limMuta’allim:

 

اعلم أن طالب العلم لا ينال العلم و لا ينتفع به إلا بتعظيم العلم و أهله, وتعظيم الأستاذ وتوقيره

 

Seorang pelajar tidak akan memperoleh kesuksesan ilmu dan tidak pula manfaat ilmunya kecuali ia mengagungkan ilmu, ahli ilmu, serta menghormati gurunya.

 

·                     Barokah

Sulit memang untuk mendeskripsikan barokah karena ia tidak kasap mata, tidak bias dihitung, tidak pula bias diwujudkan. Barokah itu lahir dari kebaikan, dikalangan dunia Pesantren melakukan khidmah ke Pesantren, mematuhi ataurannya, ta’dzim pada Kyainya, disitu cikal bakal lahirnya barokah kelak. Barokah itu membawa kita lebih dekat pada Allah swt, bukan sebaliknya. Dan bukan tidak mungkin barokah itu datang berkat sang Guru.

·                     Simbiosis Mutualisme

Cara paling mudah mengartikan simbiosis mutualisme adalah timbale balik. Seperti hubungan antara kupu-kupu dengan bunga, atau hubungan antara lebah dengan madu yang saling melengkapi. Jika disaat menjadi murid anda bisa “melengkapi” majelis ilmu dengan menjadi murid yang aktif dan baik, maka kelak ketika anda menjadi guru, andapun sebagai guru yang hebatakan “dilengkapi” oleh murid yang menghargai gurunya. Jika anda menanam kebaikan, maka mustahil anda akan memanen keburukan.

Coretan ini adalah renungan, renungan untuk kita yang mulai memahami ilmu dan mulai bisa mengkritik ilmu, mulai bisa menemukan celah dalam ilmu. Semoga kita tetap membumi meskipun dilayangkan oleh banyak pujian. Karena kita tidak akan sukses kecuali atas ridlo Allah swt, do’a kedua Orang Tua, dan didikan ilmu dari Maha Guru.

                                                                                    24 Januari 2021

                                                                                    

Jangan Pernah Berpaling dari Kitab Kuning (Opini)



Jangan Pernah Berpaling dari Kitab Kuning

Oleh: Gus Shofi Mustajibullah

 

Buku-buku sejarah, buku-buku ensiklopedia, atau buku-buku pengetahuan umum lainnya? Bukan, bukan itu semua yang menjadi ciri khas pondok pesantren (khususnya pesantren-pesantren konvensional). Yang menjadi ciri khas pondok pesantren ialah beberapa lembaran yang di tulis oleh para ulama yang di sebut “kitab kuning”. Sebenarnya, bukan berarti lembaran kertas yang bertuliskan arab dan berwarna kuning saja yang menjadi pegangan pesantren, melainkan hampir keseluruhan kitab-kitab yang sudah dikaji ke kredibilatasannya atau yang sudah mencakup dalam kategori kepesantrenan seperti kitab-kitab fiqih, tasawauf dan ilmu alat.

Namanya juga pegangan, namanya juga ajining rogo, mana mungkin bisa di lepaskan begitu saja. Namun, banyak sekali santri yang sudah keluar dari pesantren yang lupa dengan pegangannya sendiri, kitab kuning. Jangankan di pelajari, di pegang saja pun sudah tak pernah. Mereka lupa, dengan siapa mereka tertidur di tempat ngaji, mereka lupa apa yang mereka dulu ileri, mereka lupa, sekali lagi lupa, dari mana mereka mendapatkan ilmu-ilmu hikmah dulu di pesantren. Ah, ya sudahlah.

Kegelisahan ini sama dengan yang di rasakan oleh kyai sederhana nan bersahaja, Kyai Afifuddin Muhajir. Seperti yang di lansir Aswaja Dewata, bahwasannya Kyai Afif berharap kepada seluruh santri yang identik dengan kitab kuning, jangan sampai meninggalkan kitabnya meski sibuk dengan profesinya.

Kitab-kitab kuning yang di karang oleh para ulama memang sudah sepatutnya di jadikan acuan kehidupan. Romo kyai Nurul Huda pernah dawuh kalau semua kitab-kitab kuning itu di karang oleh para wali, yang berarti ilmu-ilmu mereka yang di tuangkan ke dalam karya-karyanya sudah di restui oleh Tuhan. Para santri harus segera meminangnya lalu mengikat janji sehidup semati. Para santri harus meneguhkan jiwanya pada kitab-kitab yang di karang para ulama serta mengafirmasikan dirinya untuk mengabdi sepenuhnya pada agama.

Wajarkah seorang kekasih meninggalkan kekasih terdahulunya hanya karena sebatas penghambat kutu dekil yang entah dari mana datangnya?

 

~Mengapa mengusir cinta dengan jijik berpikir sedang jatuh cinta, padahal tenggelam dalam nafsu~

(Maulana Jalaluddin Ar-Rumi)

Wallahu a’alamu bisshoab

Refrensi:

Syams Diwan Tabrizi

Aswaja Dewata

  

Ngaji Sak Sekolah'e (Editorial) - Oleh: Abilu Royhan

 

 

Pujian kepada Tuhan patut kita panjatkan. Yang telah mengutus seorang utusan. Panutan insan bahkan rahmat sekalian alam. Yakni kanjeng Nabi Muhammad SAW. Beliau diutus oleh Allah SWT dengan membawa Agama Islam yang penuh dengan segudang Ilmu Syariat dan aturan. Dengan wafatnya Nabi Muhammd SAW, beliau mewariskan ilmu-ilmu itu kepada para Ulama. Guna untuk disebarkan kepada seluruh umatnya sampai hari kiamat.

Dengan berkembangnya zaman, tentu ilmu semakin banyak macamnya. Ilmu yang dahulu tidak ada, kini telah banyak bermunculan dan berkembang dimana-mana. Karena itu banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu baru itu. Hampir seluruh dunia mengajarkannya. Seiring dengan semakin meningkatnya populasi manusia di muka bumi ini. Sehingga banyak sekali orang yang nganggur alias tidak mempunyai pekerjaan. Dengan salah satu sebab inilah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama atau ilmu syariat seperti pondok pesantren mulai sedikit peminatnya.

Adapun dalam lembaga pendidikan formal (sebutan akrab bagi lembaga yang mengajarkan ilmu umum atau bukan ilmu agama) jarang atau bahkan tidak ada pendidikan tentang moral dan etika. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang mencari ilmu tidak sesuai dengan etika mencari ilmu. Misalnya membakang perintah guru, tidak menghormati guru, bahkan ada yang sampai melawan gurunya. Dengan pemandangan seperti ini para guru dan orang tua atau wali murid banyak yang mengeluhkannya.

Beda dengan lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama seperti pondok pesantren. Pondok pesantren yang kental dengan sebutan “santri yang akhlaknya mulia”, tentu di pondok pesantren mereka diajari ilmu tentang moral dan etika. Baik kepada ilmu, guru, orang tua dan lain sebagainya. Dan itu memang kunci untuk mendapat ilmu yang nantinya bisa bermanfaat dan barokah.

Dengan demikian para orang tua atau wali murid memiliki dua kegundahan. Pertama mereka harus memikirkan masa depan anaknya, yang khususnya lebih mengarah pada mempunyai pekerjaan. Kedua semakin menurunnya pendidikan tentang moral dan etika, seperti contoh diatas. Sehingga mereka bingung dengan putra putrinya, antara dimasukkan ke pondok pesantren atau disekolahkan ke lembaga formal.

Baru-baru ini marak lembaga pendidikan formal yang berpromosi dengan iming-iming sekolah sak ngajine, sekolah sak mondoke, yo ngaji yo sekolah, kuliah sak ngajine dan semacamnya. Mungkin itu untuk menarik peminat para orang tua untuk mengatasi dua kegundahan diatas. Sehingga dengan embel-embelsak ngajine atau sak mondoke, para orang tua akan lebih tertarik untuk memasukkan anaknya ke lembaga tersebut, “karena masih ada ngaji-ngajinya atau dengan mondok” mungkin itu yang ada dalam pikirannya.

Maka tidak sedikit dari para orang tua yang mulai tertarik. Sehingga putra putrinya dimasukkan kelembaga tersebut. Dampak dari itu yakni pondok pesantren menjadi sasaran empuknya. Mereka disekolahkan sekaligus dipondokkan. Mungkin karena sekolah yang lebih di kedepankan, pondok hanya dijadikan tempat mandi, makan dan tidur. Mungkin itu karena dilandasi dengan komitmennya yang telah disebut yaitu “sekolah sak mondoke, sekolah sak ngajine, kuliah sak ngajine atau yang sebagainya” alias dengan mengedepankan sekolah dari pada ngajinya atau mondoknya. Makasering ditemukan anak yang sekolah sak mondoke tidak betah di pondok pesantren dan akhirnya berhenti (boyong). Dan melanjutkan sekolahnya dengan sistem pulang pergi, yakni berangkat dari rumahya. Itu karena kegiatan lembaga formal itu banyak yang tidak sesuai dengan peraturan pondok pesantren. Dan itu hanya semakin menambah kesedihan orang tua.

Tapi sekolah sak mondoke, sekolah sak ngajine dan semuanya itu, itu hanya sebuah promosi. Untuk mencapai yang dicita-citakan, para murid harus menumbuhkan dalam hatinya sendiri apa yang ingin dia capai. Jikasang pembaca itu santri. Maka harus ditumbuhkan dalam hati “ngaji sak sekolahe” yakni lebih mengedepankan pondok daripada sekolah. Itu karena mengingat tujuan pembaca masuk ke pondok pesantren ini. Jika dia ingin lebih mendalami ilmu agama, maka sebaiknya mengedepankan pondok pesantrennya. Begitu juga sebaliknya. Memang dalam segala hal itu pasti ada pengorbanan. Tapi lebih baik lagi jika dia dapatmenyeimbangkan keduanya. Sehingga dia tidak hanya mendalami satu ilmu saja. Akan tetapi mendapat banyak ilmu dari taman ilmu. Dan inilah yang harus kita harapkan dan pikirkan bagaimana caranya. Sabarlah mencari cara itu dan semoga kuat menjalainya. Aamiin.

Puisi Akhbar Bagian Pertama

 


DEBU SILAM

Oleh: Filda Reyneer


Senyum Yang Menjanjikan.

Menombak Angan dengan Layang-layang.

Temaram Yang Menjadi Cerah.

Menandakan Kelenyapan Siksa Yang Tiada Tara.

Tak Sepatah Katapun Terucap.

Menoreh Kilatan Rasa yang asing.

Seperti Debu Yang berterbangan.

Tak terlihat Namun Terasa.

Digenggam Hancur ; Dilepas Pergi. 

 

INTROPEKSI DIRI

Oleh: Masfufah (pena Afiyah)


Ketika sudah sesuai prosedur

Dikira salah alur

Seharusnya merangkul

Tetapi malah memukul

Dan akhirnya tersungkur

Menjadi mujur

 

Bukannya memberi saran

Tetapi malah menjatuhkan

Sampai menjadi beban pikiran

Bukan malah bergeliat

Ataupun mencuat

Sehingga terlihat hebat

 

Ingatlah ikrar perjanjian

Kita satu-kesatuan

Satu tujuan dan satu impian

Jangan saling meyalahkan

Hingga menjerumuskan

 

Yang seharusnya member dukungan

Tetapi, malah mementingkan keegoan

Demi mencapai kewibawaan.

Yang seharusnya memberi  kemaslahatan

Tetapi malah memanfaatkan keadaan

Teruslah Intropeksi diri

Jangan hanya mengomentari

Sampai timbul penyakit hati.

 

Senin, 01 Februari 2021

MEMBACA SEJARAH DARI AMANAH (resensi)



MEMBACA SEJARAH DARI AMANAH

Oleh: Mukhlis Akmal Hanafi (M.A.H)

Resensi

AMANAH Media Komunikasi Informasi

Judul

Masa Depan Ummat Ditangan Pemuda

Penerbit

Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1

Tahun

28 Oktober 1928 – 1986

Tebal

27 Halaman

 

Mungkin beberapa dari alumni atau santri masih belum menyadari beberapa majalah pondok pesantren yang saat ini masih tersimpan rapi dilemari perpustakaan. Majalah AMANAH Media Komunikasi Informasi awal diterbitkan pada tahun 1928 sampai dengan 1986. Masa depan ummat ditangan pemuda sebagai sampul buku, diawali dengan tulisan yang berjudul Da’wah dan perubahan Sosio Kultural. Meski beberapa dari kalangan santri akan cukup kesulitan memahami  teks yang disampaikan dalam buku, akibat perputaran zaman yang memaksa para pembaca harus mengatuhi situasi perkembangan pada masa itu, setidaknya ada beberapa poin penting yang mestinya diketahui bersama, dan harusnya memicu adrenalin para pembaca.

Salah satunya perihal Pesantren dimasa dulu khususnya tahun 80-an. Dalam bukunya dijelaskan bahwa pesantren kemarin, kini dan esok adalah yang harus diperhatikan dalam-dalam. Bagaimana tidak, pesantren yang dulunya terkenal sebagai lembaga kolot kontroversial, kini harus berkompetisi dan bersaing baik dibidang pendidikan maupun hal yang berkaitan dengan moral. Dalam bukunya juga disebutkan oleh salah satu Pimpinan Redaksi pemred Hanafi M. Khalil, bahwa pesantren Pada awal berdirinya tak ubahnya hanya menjadi padepokan-padopakan kecil di pedalaman, yang dimaksudkan sebagai benteng terakhir dari sebuah serangan sang bule (belanda).

AMANAH dengan tema masa depan ummat ditangan pemuda adalah bagian pertama dari dua bagian Amanah yang tersisa, buku ini secara seluruh menjelaskan dunia pendidkan dan islam, lebih-lebih pesantren yang beraliran Ahlussunnah wal Jama'ah dan Nahdlatul ulama.

Tokoh utama dalam penerbitan AMANAH edisi 80-an ini salah satunya Kh Yahya Syabrawi pengasuh utama sekaligus sebagai pelindung, atau yang lebih kita kenal sekarang dengan sebutan penanggung jawab, ditemani oleh Drs. HM. Subairi. Drs. HA. Mursyid Alifi dan Kh. Khozin Yahya sebagai penasehat.

***

Membaca AMANAH mengajak kita kepada tabir masa lalu, mengajak para pembaca untuk mengenal lebih dekat dengan sejarah yang sudah terjadi sebelumnya, hingga bukan suatu hal yang mudah jika dalam satu kesempatan pembaca tidak mampu memahami teks yang disampaikan. Pembaca juga dituntut mencari refrensi buku yang lainnya, sebagai motivasi mengatahui historis yang telah terjadi lama sebelum kita dilahirkan.

Jika kita lebih teliti dengan ulasan yang diberikan oleh buku AMANAH sendiri, kita akan sering mendengarkan berbagai macam istilah yang kemungkinan besarnya akan menghadapi kesulitan bagi para pembaca sendiri, salah satunya Repelita. Singkatan dari Repelita sendiri adalah  Rencana pembangunan lima tahun, yang kemudain akan menentukan pemerintahan ke jalur yang lebih baik, dan menjadi arah yang harus dilakukan oleh pemerintahan itu sendiri.

Repelita sendiri hadir pada tahun yang berbeda-beda, dimana Repelita jilid I hadir pada tahun (1969–1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian. Repelita jilid II hadir pada tahun (1974–1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain JawaBali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi. Repelita jilid III hadir pada tahun (1979 sampai 1984) menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor. Repelita jilid IV (1984–1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri. Repelita jilid V (1989–1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.

Tentu dengan adanya ini kita akan lebih mengurangi beban pikiran yang masih menjanggal. Namun kita juga tidak bisa ambil kesimpulan bahwa repelita akan berjalan sebagaimana mestinya. Buktinya dalam buku AMANAH sendiri juga tak segan mengkritik habis-habisan perihal repelita rencana pembangunan lima tahun, dimana dalam hal ini pada masa Presiden Soeharto, disini agama khusunya Islam memiliki tugas yang sangat sentral dan krusial. Islam harus turut andil dalam menjalankan tugas pemerintahan dengan beberapa pertimbangan. Ya, islam harus berada  di garda terdepan, sebagai lokomotif ganda di pangkal dalam rangkaian pembangunan bertaraf Nasional itu. Dalam bukunya juga menjelaskan beberapa siasat da’wah yang harus dicanagkan oleh para lembaga pendidikan khususnya para tokoh atau kyai yang punya pendidikan, tak terkecuali lembaga pesantren.

Seperti yang sudah kita kenal sekarang, janji merupakan hal yang wajar disampaikan dalam satu dekade atau masa-masa pemilihan, untuk menyakinkan masyarakat dalam menentukan pilihan. Kita juga sering mendengar beberapa siasat pemerintah dalam kelangsungan lima tahun kedepan, dan tak sering juga masyarakat memberikan kritik sosial melalui tulisan atau semacamnya.

“Repelita yang sudah dilancangkan pemerintahan itu telah menuju ke tahap industrialisai, sementara rasio man-power-nya belum memadai sekali. Sehinga kemungkinan besarnya menimbulkan beberapa ledakan besar yang mengakibatnya masyarakat sekitar kehilangan pekerjaan, atau bahkan kehilangan komplek yang sudah ia tiduri sebelumnya.”

Lafad diatas jelas memberikan kesan yang sangat emosional, selain mengajak para pembaca untuk membuka cakrawala masa lalu, kita juga diajak untuk tetap tinggal disana sebagai bukti sejarah, atau sebagai pembaca saja. Kini kita bisa tahu bahwa peradaban islam pada masa 80-an menghadapi tantangan yang sangat besar, dan bukan hal mudah untuk dipecahkan, sementara pesantren dipaksa harus jadi alternatif terakhir dari sebuah jawaban yang masih mencekal di masyarakat.

Islam juga harus mempertimbangkan beberapa siasat yang kemungkinan besar menghadapi kecendrungan-kecendrungan yang bermacam-macam, menurut Koentojiyo salah satu dosen Fak. Sastra dan Sejarah Universitas Gajah Mada dalam bukunya juga mengungkapkan, bahwa “da’wah dapat bersikap positif dalam arti menguatkan kecendrungan itu, disamping itu juga dapat besifat negatif   dalam arti menolak atau bersikap historis dalam arti berada di atas kejadian-kejadian sejarah.

Dengan ini kita bisa tau betapa besarnya peran islam dalam menjalani tirani totaliter yang penuh lika-liku itu. Sehinga apa-apa yang terjadi kedepan bisa juga tidak sesuai dengan apa yang diramalkan. Sehingga pertimbangan yang dimaksudkan bisa juga gagal, bisa juga berhasil dalam arti mengikuti apa yang diharapkan oleh pemertintahan.

Membebaskan individu dan masyarakat dari sistem kehidupan yang dholim (tirani totaliter) menuju kehidupan yang adil (demokratis) tentu ini yang diharapkan oleh islam dan masyarakat. Bebas dari kengkaman pemerintahan.

***

Dalam buku Amanah juga mempertimbangkan beberapa alasan terkait NU organisasi islam Nahdlatul Ulama Dalam menyikapi Pemilu di tahun 1987. Dimana pada waktu itu NU dengan tegas membebaskan kaum Nahdliyin memilih sesuai hati nurani melalui kepentingan masing-masing. Bertujuan demi kelangsungan hidup atau kesempatan memilih dengan bebas.

           Demikianlah alasan majalah ini diterbitkan, dengan alasan “semua manusia bebas berekspresi, bebas bersikap sesuai yang dihadapkan oleh dirinya sendiri, dan bebas dari ancaman yang beragam dari pemerintahan itu sendiri.

Majalah Amanah ditutup dengan media tanya jawab, dimana media ini memuat pertanyaan finansial atau permasalahan global yang lalu di musyawarahkan dalam bingkai bahtsul masail. Sementara penempatan bahtsul masail sendiri bertempat di PPAI Darun Najah Karang-ploso Malang dengan dihadiri langsung oleh tokoh ganjaran tak terkecuali Drs. H Mursyid Alifi sebagai ketua sidang.