Kamis, 25 Juli 2019

BERMASYARAKAT SETELAH PULANG DARI PONDOK



oleh: Abilu Royhan

Bagi kita yang telah masuk pondok pesantren untuk menuntut ilmu agama, kata “bermasyarakat” menjadi suatu hal yang harus kita perhatikan. Harus kita pelajari bagaimana caranya menghadapi masyarakat ketika kita pulang dari tempat yang penuh dengan berkah para masyayikh kita ini.tujuannya adalah agar kita dapat mengambil hati masyarakat sekitar kita, lalu kita ajak ke ajaran-ajaran yang di-nas oleh Alquran, hadis dan keputusan para ulama.
       Salah satu cara agar kita dapat bermasyarakat adalah dengan memanfaatkan momen liburan pondok pesantren untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan bersama orang-orang sekitar. Salah satunya adalah dengan mengikuti acara-acara yang ada di kampung halaman kita, seperti Tahlilan, Yasinan, Tadarus Ramadan, dan lain-lain,agar kita bisa berbaur dan berdialog dengan mereka. Dengan adanya liburan, selain untuk menenangkan sejenak otak-pikiran kita yang setiap hari setiap jam setiap menit telah kita gunakan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, juga kita gunakan untuk mempraktikkan ilmu-ilmu yang sudah kita dapat selama satu tahun atau lebih ini.Liburan juga menjadi ajang latihan bermasyarakat ketika kita sudah pulang atau berhenti dari pondok pesantren, supaya kita tidak tergolong dengan orang yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Ruslan dalam Nazam Zubad-nya:

فعالم بعلمه لم يعملن * معذب من قبل عبادالوثن

Orang yang tahu akan ilmu tetapi dia tidak melakukannya, maka dia akan disiksa terlebih dahulu sebelum para penyembah berhala disiksa .

Na’udzubillah!
            Kita harus peka terhadap orang-orang sekitar, terhadap perilaku dan kesehariannya. Dan hal inilah yang paling sulit, karena kita tidak dapat mengetahui karakter-karakter orang yang jauh lebih tua dari kita.Kita hanya dapat bersosialisasi, berkomunikasi dengan anak-anak seumuran kita dan, walaupun ada yang senior, tidak terlalu jauh umurnya dari kita. Terus, bagaimana kita bisa belajar bermasyarakat yang akan kita praktikkan ketika liburan, sedangkan kita berada di pondok pesantren?
BERMASYARAKAT SETELAH PULANG DARI PONDOK

Dengan sebaik mungkin kita berperilaku kepada teman, baik senior maupun junior, akan mengajari kita cukup banyak tentang cara kita berbaur dengan masyarakat nanti.Begitu juga kepada para kiai dan pengurus pondok pesantren.Dengan cara inilah kita dapat belajar cara bermasyarakat di pondok pesantren.Kita akan dihadapkan pada momen yang mana kita harus belajar lebih banyak bersabar pada teman senior dan junior kita, yaitu ketika menjadi pengurus. Pada masa inilah kita akan menjumpai momen-monmen tidak mengenakkan, yaitu belajar bersabar, disiplin dan yang lebih penting lagi yaitu menjaga sikap. Ketika masa ini kita akan lebih banyak belajar bagaiman cara bermasyarakat.Ketika kita diangkat menjadi pengurus, sebagian teman kita pasti ada yang tidak suka dan memusuhi kita.Pada momen ini juga, kita dapat memanfaatkan rasa ketidakkesukaan mereka itu untuk melatih kita bagaimana sikap yang baik dan benar dalam menghadapi cobaan itu. Jadi, dengan adanya cobaan-cobaan yang kita hadapi, baik di pondok pesantren, di rumah ataupun di manapun juga, akan menjadikan kita lebih dewasadan menumbuhkan rasa sabar dan disiplin dalam menghadapi semua itu, karena Allah pasti memberikan hikmah di balik cobaan itu semua.
Sebenarnya di pondok itu sama seperti hidup di lingkungan biasanya, karena kita bisa menjadi orang baik dan bisa menjadi orang yang kurang baik.Semua itu tergantung pada kita,bagaimana kita mencari teman yang sesuai dan layak untuk kita jadikan teman karib. Akan tetapi itu semua semu.Artinya, ketika kita pulang nanti,kita bisa menjadi orang yang sebaliknya.Tapi, pondok pesantren itu menjadi cerminan kita untuk bekal bermasyarakat nanti.Maka dari itu, kita harus bisa menjadi orang yang peka bak air yang bisa bertempat sesuai dengan bentuk yang ia tempati.Kita sepatutnya seperti itu.
Tanggung jawab seorang anak bersongkok hitam itu lebih besar daripada anak yang bertopi, apalagi yang tak bertudung kepala sama sekali.Hal ini karena anak yang bersongkok hitam itu dipandang bagaikan raja hutan yang harus menjaga hutannya dari kejahatan manusia pemburu.Begitu pula santri akan dipandang oleh masyarakat untuk menjadi pemimipin, ketika dia pulang dari pondok menuju tanah kelahirannya. Maka dari itu, kita di pondok ini juga harus belajar ilmu-ilmu yang lain, agar kita siap untuk menjadi pemimpin orang-orang di sekitar rumah kita yamg mayoritas tak bersongkok.Dan itu sesuaidengan syair yang dilantunkan oleh seorang waliyullah yang tidak asing lagi di telinga kita, Gus Abdurrohman Wahid yang akrab di panggil Gus Dur, yaitu:

Duh bolo konco prio wanito
Ojo mung ngaji syareat bloko
Gor pinter ndongeng nulis lan moco
Tembe mburine bakal sangsoro

Itulah secuil syair Gus Dur yang penuh sejuta tafsir dan makna.Dari syair itu kita dapat memahami bahwa kita juga harus belajar tentang ilmu-ilmu yang lain, salah satunya adalah ilmu bermasyarakat, agar kita tidak menyesal di kemudian hari dikarenakan hanya belajar ilmu-ilmu syariat saja.Dan ilmu bermasyarakat itu bisa kita dapatkan di pondok pesantren ini.[]

Jumat, 22 Februari 2019

Kunci Teka-Teki Fikih Part 2


Kita tahu, bahwa perkara yang wajib harus dilakukan dan haram ditinggal. Sedangkan perkara yang haram maka wajib ditinggalkan dan tidak boleh dilakasanakan. Tapi bagaimana jika seperti dalam teka-teki dibawah ini:

Kunci Teka-Teki Part 2
Sumber: raudlatul_ulum1 (Instragram)

Nah, saat ini  kami akan menggiring pembaca pada jawabannya, begini:
Kita tahu, orang islam diwajibkan untuk melaksanakan shalat fardhu. Kewajiban berlaku bagi setiap muslim laki-laki atau perempuan yang telah mukallaf dalam arti; berakal normal dan telah mencapai baligh.
Batasan baligh mengecualikan anak-anak yang hanya tamyiz dan belum baligh. Baginya, Shalat belum diwajibkan. Meskipun demikian, bagi orang tua berkewajiban untuk mendidik anak-anaknya untuk biasa dan terbiasa melaksanakan shalat dalam hidup keseharian.  

Baca Juga: Soal Dan Jawaban Cerdas Cermat Kitab Fathul Qorib - "Faqro-U"

Sedang, batasan berakal normal mengecualian bagi orang yang tak normal akalnya seperti orang gila, mugma ‘alaih (orang yang epilepsi)  orang mabuk dll. Mereka-mereka ini tidak diwajibkan untuk melaksanakan shalat dan jika telah sembuh (kembali normal) maka harus mengqodho’ sholatnya.  Khusus bagi orang mabuk, yang tidak dikenai kewajiban shalat ini hanya jika mabuknya tidak ada unsur kesengajaan. Dan orang yang mabuk tidak sah melaksanakan shalat. Yang demikian sesuai dengan firman Allah:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (QS.An- Nisa’:43)
Tidak dikenai kewajiban di sini, berarti: tidak berdosa dia tidak melaksanakan shalat di waktunya saat ia dalam keadaan mabuk. Namun, ketika telah sembuh maka ia tetap harus mengqodho’ shalat-shalat yang ia tinggalkan ketika mabuk.  Berbeda halnya jika mabuknya terdapat unsur kesengajaan dan ceroboh misalnya dengan meminum minuman yang memabukkan seperti alkohol, khmar, bir,  dll. Orang yang mabuk disebabkan cara-cara seperti ini tetap diwajibkan untuk melaksanakan shalat. Ini bukan berarti dia harus shalat dalam keadaan mabuk. Tidak. Tetap diwajibkan itu artinya: dia berdosa karena tidak bisa melaksanakan shalatnya dalam keadaan mabuk dan ketika sembuh ia wajib untuk mengqodho’.
Kesimpulannya: Jawaban dari teka-teki (sesuatu, dikerjakan haram, ditinggal juga haram) adalah shalatnya orang mabuk  yang sengaja dan ceroboh.

anda ingin melihat teka-teki fikih lebih banyak? ikuti di IG dengan tagar: #tekatekifikih

Kamis, 14 Februari 2019

Kunci Teka-Teki Fikih Part 1

Kita lihat dulu ya pertanyaannya. coba lihat dan baca lagi gambar di bawah ini:
sumer gambar dari IG pondok (radlatul_ulum1)

Baiklah, sebelum menjawab, ada baiknya dong kami menjelaskan hal-hal yang berkaitan  dengan petanyaan dalam teka-teki fikih di atas.

Kita semua tahu, dalam standar fikih syafiiyah ada anjuran untuk membaca jahr (mengeraskan bacaan ) saat membaca surat fatihah sebagai salah satu rukun qouli atau membaca ayat al-qur’an setelah fatihah sebagai salah satu sunah haiat. Anjuran ini sunnah dilakukan dalam shalat  magrib, isya’ dan subuh jika dilakukan secara berjamaah. Anjuran ini berlaku  untuk imam pada rakaat pertama dan kedua.

Oke, sabar dulu ya. Sebentar lagi mimin bakal jelasin deh. Oh iya mimin lupa. Sebenarnya selain sholat di waktu malam di atas (magrib, isya’ dan subuh), ada satu shalat lagi ang dianjuran untuk jahr. Menariknya, shalat ini waktu pengerjaannya siang hari. Kami yakin pembaca sudah maklum dengan shalat yang satu ini.  Shalat apa ya kira-kira? Yap, betul. Shalat itu adalah shalat jum’at.
Lalu, bagaimana jawaban teka diatas? Sholat sendiri, siang-siang lagi, di-jahr lagi?

Nah, begini penjelasannya:
Sudah disinggung di atas bahwa shalat di siang hari yang dianjurkan di jahr adalah shalat jum’at. Kita tahu, shalat jum’at bisa sah jika dilakukan secara berjamaah dengan hitungan minimal 40 orang yang mustauthin. Syarat berjamaah ini minimal dilakukan dalam satu rakaat. Artinya, jika seandainya seseorang shalat jum’at sejak awal bersama jamaah, lalu di rakaat kedua ia mufaraqah dari imam, maka shalat jumatnya masih sah.

Baca Juga: Soal Dan Jawaban Cerdas Cermat Kitab Fathul Qorib - "Faqro-U"

Tapi.....
Jika ada seorang lambat datang, eh, ternyata shalat jum’at sudah di rakaat kedua, lalu dia langsung ikut , otomatis ketika imam salam maka ia harus nambah satu rakaat lagi sebab ia berstatus sebagai makmum masbuk sedangkan jumat berjumalah dua rakaat. Nah, saat melakukan rakaat kedua inilah dia harus membaca secara jahr.
Alhamdulillah, sudah ketemu jawabannya.
Jadi, Jawabannya adalah: shalat jum’atnya makmum masbuk yang nututi/nyapok Imam di rakaat kedua.
Terimakasih, semoga bermanfaat.

Ohya, selamat malam jum’at. Dan jangan lupa, jika pembaca laki-laki besok jum’atannya jangan lambat ya. Kecuali mau praktekin teka-teki ini. kikikikikik

anda ingin melihat teka-teki fikih lebih banyak? ikuti di IG dengan tagar: #tekatekifikih