Rabu, 27 Desember 2017

Antara Kalam Yang Mufid dan Kebahagiaan - PPRU 1

Antara Kalam Yang Mufid dan Kebahagiaan - PPRU 1

Antara Kalam Yang Mufid dan Kebahagiaan


Oleh: Gus. Muhammad Zamzami Alifi

Di dunia pesantren, tidak ada yang tidak mengenal tata bahasa arab (Nahwu dan Sharaf). Karena pondok pesantren adalah tempat dimana para santri belajar menjadi manusia muslim, dalam aspek tertentu, yang religius. Ini artinya manusia yang diidamkan oleh masyarakat sebagai manusia yang tertanam di dalamnya nilai-nilai keagamaan yang dalam. Namun untuk menuju kesana, bukanlah hal yang mudah bagi para santri, sebab untuk mempelajari beberapa literatur yang mengajarkan hal tersebut menggunakan pengantar berbahasa arab. Sehingga, mau tidak mau, tata bahasa arab adalah satu-satunya jalan keluar, khususnya ilmu Nahwu.

Dalam ilmu Nahwu yang biasa diajarkan di pesantren, pembahasan yang pertama kali dihadirkan kepada para santri tentang disiplin ilmu ini adalah seputar Kalam yang didifinisikan dengan al-lafdhu al-murakkabu al-mufidu bi al-wadl’i, yakni sebuah struktur bahasa yang tersusun dari dua kata (Baca: kalimat)atau lebih, yang memberikan sebuah makna yang berfaidah, serta diucapkan dengan kesengajaan (menurut satu pendapat) atau diucapkan dengan menggunakan bahasa Arab (menurut pendapat yang lain).

Sekilas kita hanya memandang definisi di atas hanya sebagai sebuah kata pengantar untuk memahami konsep dari term Kalam itu sendiri. Sehingga dengan mengetahui konsep dari Kalam ini para pelajar ilmu Nahwu akan dimudahkan untuk memahami kelanjutan beberapa pembahasan tentang ilmu tata bahasa arab ini. Namun siapa yang menyangka, jika kita perhatikan lebih dalam dan berkenan untuk melepaskan diri dari keterikatan kita dengan paradigma konsumtif kita tentang sebuah definisi, kita bisa memetik sebuah pelajaran dari hanya sekedar definisi, khususnya dari ilmu Nahwu sendiri. 

Untuk itu, mari kita perhatikan kembali definisi di atas. Pada kalimat kedua dari definisi,ada kata “...yang memberikan sebuah makna yang berfaidah, …”. kita berhenti di situ saja. Para Nuhat (kata plural yang digunakan untuk menyebutkan para ilmuan tata bahasa arab, atau biasa juga disbut Nahwiyyin) memberikan penjelasan tentang kata Mufid tersebut bahwa yang dimaksud dengan “yang memberikan sebuah makna yang berfaidah” disini adalah proses transferring sebuah pengetahuan atau pemahaman terhadap lawan bicara.

Namun,di sini disyaratkan, setelah proses tersebut, antara pembicara dan pendengar ada semacam keterdiaman. Maksudnya, si pembicara tidak mengulangi pembicaraan yang sama dan si pendengar tidak membutuhkan pengulangan dari si pembicara tentang apa yang disampaikan. Dalam literatur kitab-kitab nahwu, hal ini sering disebut dengan faidatan yahsunu as-sukut ‘alaiha, yakni sebuah informasi, pengetahuan, atau pemahaman yang dianjurkan adanya keterdiaman antara pembicara dan lawab bicara.

Sebelum kita melakukan analisis, mari kita simak dulu sebuah gagasan dari seorang filsuf besar tentang salah satu teorinya. Filosof muslim terkenal, Abu Nasir al-Farabi, menggagas sebuah teori tentang Kebahagiaan, yang dikenal dengan istilah Filsafat Kebahagiaan. Ia mengartikan term kebahagiaan dengan kepuasan, kelegaan, perasaan tuntas sempurna, dan tidak lagi melirik terhadap hal lain. Oleh sebab itu, kebahagiaan ini tidak terletak pada pencapaian atas hal-hal yang sifatnya material, akan tetapi terdapat pada pengetahuan untuk menyikapi hal-hal yang ada yang sifatnya material.

Filsuf yang dijuluki al-mu’allim as-tsani ini menambahkan bahwa Kebahagiaan berbanding lurus dengan kesempurnaan jiwa, sedangkan kesempurnaan ini tergantung pada pengetahuan. Semakin bertambah pengetahuan seseorang, semakin bertambah pula kesempurnaan jiwanya. Kemudian, apabila kesempurnaan jiwa ini semakin bertambah, maka semakin besar kebahagiaannya. Pengetahuan akan membuat seseorang menjadi tenang dengan apa yang dimilikinya (sukun an-nafs). Cukup sekian dulu tentang Filsafat Kebahagiaan al-Farabi dan mari kita mulai menganalisis.

Menginformasikan seseorang tentang sesuatu yang tidak ia ketahui sama sekali sebelumnya atau ia merasa sulit untuk memperoleh pemahaman tentang sesuatu tersebut, jika kemudian informasi ini sampai kepadanya,maka tentu saja akan mebuatnya merasakan sebuah kepuasan tersendiri dan memperoleh sebuah ketenangan tanpa memerlukan lagi informasi tambahan yang lain, -yahsunu as-sukut ‘alaiha-. Dengan kata lain, pengetahuan yang ia terima tentang hal yang ia pertanyakan mampu membuat kondisi kejiwaannya menjadi tersempurnakan.

jika kita memiliki bahan-bahan untuk dijadikan sebuah minuman kopi misalnya, namun kita belum tahu bagaimana membuatnya, tentu kita bertanya-tanya tentang tata cara untuk membuat minuman kopi tersebut. Pikiran yang bertanya-tanya ini merupakan gambaran dari tidak memiliki pengetahuan, sehingga jiwa merasakan sebuah kekurangan. Kemudian jika seseorang memberitahu kita tentang tata cara untuk membuat minuman kopi, maka pikiran yang tadinya bertanya-tanya akan merasa terpuaskan. Hal ini disebabkanoleh bertambahnya sebuah pengetahuan. Oleh karena itu, jiwa yang tadinya merasakan akan adanya kekurangan, kini merasa tersempurnakan oleh informasiyang telah disampaikan, yakni sebuah tata cara untuk membuat minuman kopi.

Dengan demikian, informasi yang diperoleh tersebut merupakan sebuah kalam yang mufid. Karena telah memberikan sebuah kesan yang disebutkan diatas dengan yahsunu as-sukutu ‘alaiha. Kita tidak memerlukan pengulangan tentang tata cara tadi karena setelah itu kita sudah bisa membuat minuman kopi. Di samping itu, si penyampai informasi tadi tidak perlu untuk mengulangi informasi yang sama.
Dengan begitu. menyampaikan sebuah informasi kepada orang lain sama halnya dengan mentrasfer sebuah pengetahuan kepadanya, jika orang lain ini mendapatkan pengetahuan tentang apa yang belum ia ketahui sebelumnya, atau ia bertanya-tanya tentang hal tersebut, maka sama halnya dengan kita semakin menyempurnakan jiwanya. Dengan demikin, bisa kita katakan bahwa menyampaikan sebuah informasi kepada orang lain, berarti kita semakin menambah kesempurnaan atas kebahagiaannya. Dengan kata yang lebih mudah, secara filosofis, sama halnya kita membahagiakannya.

Di sini bisa kita lihat bahwa dari hanya sekedar definisi tentang kalam, jika kita perhatikan lebih dalam dengan merelasikannya kepada hal lain atau tidak hanya memandangnya melalui aspek definitifnya saja, maka dapat kita petik sebuah pelajaran. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa term-term lain dari disiplin ilmu tata bahasa arab atau ilmu nahwu, atau bahkan disiplin keilmuan lainnya, jika direlasikan dengan hal lain diluarnya, bisa melahirkan sebuah makna filosofis yang lebih besar dan tentunya lebih bermanfa’at.

@Divisi_Publikasi_PPRU 1

Previous Post
Next Post

0 comments: