PPRU 1 Fikih | Dalam melaksanakan
ibadah haji, tawaf merupakan salah satu rangkaian penting yang harus dilakukan
oleh jamaah haji. Tawaf di Ka'bah adalah bagian dari lima rukun haji yang harus
dipenuhi. Secara pengertian, tawaf adalah mengelilingi Ka'bah di Masjidil Haram,
Makkah sebanyak tujuh kali.
Tawaf bukanlah ibadah yang ringan.
Bagaimana tidak? Jarak total putaran tawaf mencapai sekitar 6 kilometer, dengan
jarak ideal antara jamaah dan Ka'bah sekitar 3-7 meter. Ini berarti jamaah
harus berjalan kaki dalam jarak yang cukup jauh, terutama jika kondisi Masjidil
Haram sedang ramai.
Bagi banyak jamaah, tawaf bukan
hanya sekadar perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan spiritual yang penuh
makna. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa melakukan tawaf bisa sangat
melelahkan dan berat, terutama bagi mereka yang memiliki kondisi fisik lemah,
seperti lansia atau jamaah dengan risiko kesehatan tinggi.
Muncul pertanyaan, apakah boleh
istirahat di tengah-tengah tawaf? Misalnya, di putaran kedua atau di putaran
ketiga dan empat, apakah boleh istirahat? Pertanyaan ini terutama relevan bagi
jamaah haji lansia dan orang dengan risiko kesehatan tinggi.
Menurut Imam Syafi'i dalam kitab
al-Umm, hukum istirahat saat tawaf diperbolehkan bagi jamaah yang kelelahan
ataupun jamaah yang ada udzur sakit. Beliau menyebutkan bahwa istirahat
dilakukan dengan duduk.
Dalam kitab Asnal Mathalib fi Syarh
Ruadhah Thalib, Syekh Zakariya al-Anshari menjelaskan bahwa melakukan tawaf
sembari beristirahat hukumnya sah. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama
bahwa diperbolehkan duduk untuk beristirahat dalam tawaf, dan pemisahan yang
banyak pun tidak membatalkannya.
Alasan di balik kebolehan ini
adalah karena tawaf, saat dilakukan secara berkesinambungan tanpa jeda atau
berhenti, hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Oleh karena itu, memutuskan
tawaf untuk beristirahat tidak membatalkan tawaf, asalkan dilakukan dengan niat
yang benar dan tidak berlebihan.