Sabtu, 11 Januari 2020

KIAI YAHYA BEKALI AL-QUR'AN PADA TIGA SANTRI TUGAS

Sebagaimana layaknya lembaga pendidikan yang senantiasa meluluskan anak didiknya, PP Raudlatul Ulum 1 banyak menghantar para santri hingga selesai jenjang pendidikannya. Namun dibalik kenyataan pesantren yang berada di desa Ganjaran Gondanglegi Malang itu menamatkan santri-santrinya dalam pendidikan formal, KH Yahya Syabrowi telah melakukan penugasan santri ke beberapa wilayah sejak lama. Salah satu di antara santri yang ditugasi kiai asal Sampang Madura itu adalah Ustadz Samin.
  
Pemberangkatan Bapak Samin ini merupakan tahap kedua setelah Ustadz Su'udi Penjalinan Gondanglegi dan Ustadz Sari asal desa Ganjaran ke wilayah Kalimantan Barat. 

Sebetulnya penugasan tahun 1973 ini terdiri dari tiga orang: (1) Ustadz Rusdi Wahid dari Klepu Sumber Manjing Wetan. (2) Ustadz Marju'in [H. Khoiron] dari desa Bekur Pagak. (3) Ustadz Samin dari Lowok Waru Turen.
KIAI YAHYA BEKALI AL-QUR'AN PADA TIGA SANTRI TUGAS
Pict by Gus Mad


Kepada masing-masing tiga orang tersebut, Yai Yahya Syabrowi memberikan Al-Qur'an dengan warna cover yang berbeda-beda. Ustadz Rusdi mendapat Al-Qur'an berwarna coklat, sedangkan Ustadz Marju'in memperoleh warna kuning, sementara Ustadz Samin dihadiahi warna abu-abu. Tidak diketahui dengan jelas rahasia yang melatari perbedaan warna kulit kitab suci itu, tetapi mencermati kondisi masing-masing ketiga tugasan, bisa dianalisa dari spesifikasi peran-peran ketiga orang tersebut. Ustadz Rusdi Wahid lebih banyak mengembangkan pendidikan melalui lembaga pesantren dan sekolah, adapun Ustadz Marju'in lebih tampak bermain di ranah politik sedangkan Ustadz Samin lebih terlihat sebagai sosok yang menyertai masyarakat akar rumput.

Selain memperoleh Al-Qur'an, sewaktu akan berangkat, ulama yang hingga wafat masih menduduki Musytasyar NU Cabang Malang itu mengijasahkan "Asmaul Husna" kepada ketiga santrinya. 

KIAI YAHYA BEKALI AL-QUR'AN PADA TIGA SANTRI TUGAS
Pict by Gus Mad

Sementara Ustadz Samin yang dikenal dengan sebutan "Pak Guru" di Retok Majau itu diberikan buku "Tata Cara Menikahkan". Ternyata buku yang ditulis oleh Drs KH Mursyid Alifi itu kini sangat berguna, karena entah bagaimana asal muasalnya setiap kali ada acara pernikahan, masyarakat selalu menunjuk Ustadz Samin sebagai tokoh yang dipercaya menangani akad nikah di kampungnya. 
_

(Disarikan dari berbagai sumber oleh Gus Mad)

Jumat, 01 November 2019

Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim

oleh: Yusroful Kholili, santri PPRU I

Faqrou (Festival Musabaqah Raudlatul Ulum I) ini salah satu momen rutin di PP. Raudlatul Ulum I. Setelah setengah semester bergelut dengan pelajaran pesantren, memeras otak untuk menghafal bait-bait nadhom imrithi, maqsud, alfiyah dan bahkan mantiq dan balagahnya, di Faqrou ini santri menemukan momen untuk berlibur. Ya, sebenar-benarnya berlibur dan merefresh otak dengan sebenar-benarnya
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
suasana Pembukaan FAQRO-U di Halaman PPRU I


Faqrou tidak bisa dibayangkan sebagai hiburan biasa. Ia tak seperti karaoke, dangdut, atau macam-macam hiburan sebagai mana biasa ada dalam imej masyarakat di luar santri. Faqrou murni sebagai ajang, ajang berlomba, ajang berselancar dengan pikiran, kreatifitas dan karya. Ya, di Faqrou santri diberi medan untuk saling unjuk kebolehan baca kitab, hafalan, pidato dan bahkan olahraga.

Sebab medan ini milik bersama, maka dari medan ini akan lahir para pemenang dan yang belum menang. Pemenang menjadi jawara, dan ini hiburan yang pertama. Kedua, yang belum menang. Bukan kalah tapi belum menang. Catat! Belum menang bisa saja jadi pemenang di masa depan. Ketika peserta gagal menjadi pemenang, dalam penampilannya sudah bisa dipastikan akan mendapat hadiah gojlokan dari santri yang lain. Panas rasanya, saya salah satu saksi hidup yang pernah merasakan sendiri.
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
suasana Pembukaan FAQRO-U di Halaman PPRU I

 Lain itu, berkat berani turun di gelanggamg perlombaan ini, peserta akan tahu dengan sendirinya apa yang belum, apa yang kurang, apa yang tak dipahami dan apa yang salah dengan cara dia belajar, apa yang dia dapat ketika belajar dan apa yang belum sempat ia pelajari selama setengah semester. Di ajang Faqrou ini semua akan tersingkap dengan seterang-terangnya. Ini terang, sangat terang meski tanoa tuntunan dari guru kelas dan tuntutan nilai. Ini alami dari hati nurani. Kebanyakan, oleh-oleh ini, gojlokan santri, pertanyaan dari juri, dan melihat sendiri bahwa hadiah dibawa teman sendiri bahkan teman sekamar, benar-benar melecut emosi untuk belajar lebih banyak dan giat lagi. Ada banyak teman-teman yang sebelumnya kalah, lalu menjadi pemenang di Faqrou selanjutnya. Catat, saksinya saya sendiri. Hehe. Dan kebahagiaan tersendiri. Semacam orgasme intelektual yang klimaks ketika menang setelah sebelumnya sempat kalah.

Itulah, kebahagiaan yang ditawarkan kepada tiap santri di ajang Faqrou ini. Kesenangan yang lain, Faqrou ini mesti dilakukan setelah ujian pesantren dan menjelang liburan. Ketika Ajang Faqrou ini dibuka, kegiatan pesantren habis tinggal solat jamaah. Di sinilah momen kebahagiaan yang tak kalah lumayan. Ya, Faqrou menjadi penanda bagi kalangan santri RU, bahwa di saat itulah, ia terbebas dari padatnya kegiatan dan bau-bau liburan mulai tercium begitu tajam. Alamak, senang sekali rasanya.

Faqrou 2019 ini ada bonus kesenangan yang lain. Sebab di pembukaan Faqrou kali ini, Gus Abdrurrohim Said membeberkan simulasi sistem informasi simatren. Simatren ini adalah aplikasi informasi data santri. Dengan mengakses aplikasi ini kita akan mendapat informasi data santri, mulai dari identitasnya, track-record pendidikannya di pesantren.
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
Penjelasan tentang simatren oleh Gus Rohim

 Bagi santri, aplikasi ini menyediakan fitur money virtual. Dengannya, santri menitipkan uangnya ke pengurus pesantren sebagaimana di bank. Uniknya fasilitas ini non-bunga. Hanya dengan Kartu Santri yang sudah memiliki barcode, santri bisa mengecek nilai uangnya, bisa menggunakannya untuk transaksi di kantin pesantren meski tanpa menggunakan uang kertas, dan bahkan bisa mencairkan uang yang ia titipkan. Sekali lagi, ini non-bunga.
Bahagia Faqro-U ke 22 dan Simatrennya Gus Rohim
Penjelasan Gus Rohim tentang simatren

Kabar baiknya aplikasi ini sudah online. Bagi Wali santri, dengan bekal NIS (Nomor Induk Santri) sudah bisa mengakses informasi tentang putra via internet. Yah, aplikasi ini dibuat sesuai dengan sistem ala Santri PP. Raudlatul Ulum I. Menurut pembuatnya, aplikasi ini bisa digunakan di pesantren lain dan mudah didesain menyesuaikan sistem pondok pesantren terkait. Yah, aplikasi ini lahir dari santri tulen, belum pernah belajar teknologi secara formal di sekolah atau perguruan tinggi, santri nglontok kitab kuning, saat ini menjabat sebagai Kepala PP. Raudlatul Ulum I, beliau Gus Abdurrohim Said.

Untuk lebih jelasnya aplikasi ini bisa dilihat di simatren.com

Senin, 28 Oktober 2019

FENOMENA JOGET DI DESA SANTRI


Desa Ganjaran disebut "Desa Santri" dilatari oleh jumlah lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren dan madrasah, yang lebih bertumpuk ketimbang desa-desa lain di sekitar wilayah Gondanglegi. Bahkan tidak tanggung-tanggung, launching nama itu diresmikan oleh Bapak Sanusi, Wakil Bupati Malang beberapa tahun yang silam.

Label "Desa Santri" yang dilekatkan pada daerah Ganjaran itu, ternyata bukan sama sekali suci dari perilaku atau kegiatan yang berkonotasi menyimpang dari ajaran syariat. Justeru apa yang sering kali menjadi ujaran banyak orang, "limbah tak jauh dari mata air" benar-benar nyata di tempat yang menjadi lumbung kiai itu.

Selain disinyalir masih banyak anak bangsa yang belum berpendidikan layak, pedagang yang dikenal cenderung "nakal", kini di daerah ini pula mulai menggeliat "joget" yang dikemas dalam acara karnaval.

Gelagat apakah ini ? Rupanya desa yang konon didiami sekian jejeran orang-orang alim (bahkan sebagian allamah) dan ratusan "thalib al-ilm" dari berbagai daerah, tidak berbanding lurus dengan kelakuan yang sekarang ini tengah menggejala.
°°°

Agak miris mencermati perkembangan demikian ini. Betapa tidak, jangankan sikap tasawuf, seperti laku wara', zuhd, tawakul, sabr dan lainnya, performa lahir warga saja belum sepenuhnya mencerminkan kepribadian kesantrian.

Alih-alih terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang penuh dengan kesantunan, sikap-sikap bernilai keislaman, perilaku berbudaya dan beradab dan cara bernalar ilmiah, memproklamirkan nama desa dengan sebutan "Desa Santri" masih belum disertai program jelas, terarah dan sistematis.

Sehingga absah jika ditarik sebuah tali simpul bahwa papan nama yang hanya tegak di pinggir jalan perbatasan desa Ganjaran-Putat Lor itu cuma sebatas plakat slogan tanpa memuat sejuta makna.
°°°
Mungkin sebagian kalangan berdalih bahwa acara massal yang mampu menyedot massa merupakan bagian dari strategi dakwah. Apalagi kegiatan karnival itu bertepatan dengan momentum islami, maka kesan yang di tangkap publik pasti nuansa napak tilas Wali Sanga.
FENOMENA JOGET DI DESA SANTRI


Argumentasi ini tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak seratus persen benar. Apabila dakwah yang dimaksud dimaknai sebagai pengenalan sebuah desa yang dihuni sekitar 2000 santri, bisa jadi alasan tersebut masih rasional. Tetapi jika argumentasi dakwah itu ditafsiri sebagai promosi lembaga pendidikan Islam di desa Ganjaran, kayaknya dalih itu kurang mengena. Sebab hingga saat inipun belum ada fakta yang membuktikan bahwa ketertarikan orang tua pada pesantren atau madrasah dimotivasi oleh gebyar demonstratif di jalanan.
°°°
Menemukan fenomena semacam ini, kita memang perlu berhati-hati dan cermat mengambil sikap. Pada satu sisi, terkadang kegiatan ini melampaui batas-batas syar'i. Tetapi pada sisi lain, sebagian besar masyarakat sudah terlanjur terbuai oleh gegap gempita aksi gratis itu. Oleh karenanya, para kiai yang berposisi sebagai corong agama dengan misi amar makruf nahi mungkar serba salah menyikapi perkembangan ini.

Makanya, langkah yang paling bijak adalah dengan menggunakan beberapa pendekatan, antara lain: Pertama, memenej bagaimana caranya supaya kegiatan seperti ini tetap berlangsung, namun konten dan nuansa islami betul-betul dapat mewarnai. Kedua, perlu ada kolaborasi berkelanjutan antara tokoh agama dan pemerintah setempat agar kegiatan-kegiatan semacam ini benar-benar terwadahi sehingga memungkinkan menjadi bagian dari tawaran destinasi "Desa Santri" yang bernafaskan keislaman.
°°°
Semoga berkah
Gus Mad
Ketua Yayasan Kiai Haji Yahya Syabrowi PPRU I Ganjaran Gondanglegi Malang

Senin, 07 Oktober 2019

OPINI-Mengapa Harus Diganggu?

Oleh : A. Imam Fathoni

Musik metal bagi kebanyakan orang adalah musik yang sangat mengganggu. Dengan iringan musik yang berdentang-dentang dan irama yang sangat keras, membuat aliran musik ini kurang diminati. Ditambah lagi dengan sang vokalis yang dengan suara khas metalnya melantunkan sebuah lagu yang entah kita tidak tahu maknanya. Oleh karenanya, band-band yang beraliran selow lebih dikenal daripada band yang beraliran keras.


Jika ada musik religi, akan tetapi diiringi dengan alunan musik rock atau metal, pasti akan tampak saru di telinga orang-orang. Karena musik religi itu lebih cocok diiringi dengan alunan musik yang lembut. Seperti lagu-lagu yang dibawakan oleh Opik, bahkan juga lagu rohani gereja. Pasti tidak akan banyak yang men-download lagu rohani religi dengan iringan musik yang berdentang-dentang. Apalagi ditambah dengan teriakan-teriakan yang tidak bisa dimengerti maksudnya.

Pada umumnya, telinga manusia itu menolak (tidak suka) dengan suara kebisingan, baik berupa volume tinggi maupun irama keras.

Tapi, ada sebuah persembahan berirama dengan suara lantang. Bukan musik keagamaan, akan tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan itu sendiri. Berjenis-jenis seruan untuk beribadat dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap-atap musalla.

Apalagi di malam hari, lepas tengah malam di saat orang-orang tertidur lelap. Dari bacaan Alquran bahkan Tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat salat subuh) diatur dengan volume setinggi mungkin. Mungkin saja agar orang yang tidur itu tidak bisa tidur lagi, karena merasa bising dengan lantunan-lantunan tersebut. Bukankah lebih baik kita berwudu dan langsung ke masjid?

Bacaan Alquran, Tarhim dan berbagai pengumuman, muncul dari keinginan menginsyafkan orang-orang muslim agar berperilaku berkeagamaan yang lebih baik. Bukankah salat Subuh itu wajib? Bukankah kalau dibiarkan tidur lalu orang itu meninggalkan kewajiban? Bukankah meninggalkan kewajiban itu termasuk dosa? Bukankah membiarkan orang melakukan dosa itu termasuk dosa juga? Jika suara-suara yang sedemikian rupa tidak dapat diterima sebagai seruan kebajikan (amar makruf), bukankah minimal ia dapat berfungsi mencegah kesalahan (nahi munkar)?

Nabi Muhammad pernah berkata: “Kewajiban (agama) terhapus dari tiga manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur (hingga bangun).” Maka, jika orang itu masih tidur tidak akan terkenai kewajiban apapun. Mekanisme tidur-bangunnya manusia itu sudah diatur oleh Allah melalui metabolisme manusia itu sendiri.

Pada ilmu Fiqih (ilmu aturan syariat Islam) ada pernyataan yang menyatakan bahwa: jika seseorang tidur sebelum masuk waktu salat dan tidak salat sampai waktu salat habis, maka dia tidak dikenai dosa. Apabila seseorang itu tidur ketika sudah masuk waktu salat dan yakin akan bangun sebelum waktu habis akan tetapi orang itu bangun di luar waktu salat, maka orang itu mendapat satu dosa, yaitu dosa sebab tidur. Dan jika yakin akan bangun di luar waktu salat dan memang seperti itu, maka orang itu mendapat dua dosa, yaitu dosa sebab tidur dan meninggalkan salat.

Jadi, tidak ada alasan bagi seseorang lain untuk membangunkan orang lain untuk salat. Kecuali ada ‘illat (alasan yang diperbolehkan oleh syariat). Seperti kiai yang menggedor setiap pintu kamar santrinya, ‘illat-nya adalah agar santrinya biasa bangun pagi dan berjamaah, selama mereka masih ada dalam tanggung jawabnya. Dan seperti seorang istri yang membangunkan suaminya, ‘illat-nya adalah: bukankah suami adalah kepala keluarga yang harus menjadi teladan bagi anak anaknya?

Akan tetapi ‘illat itu tidak dapat dipukul dengan rata, harus ada penjagaan bagi mereka yang tidak terkena kewajiban, seperti halnya orang yang sudah tua yang butuh tidur pulas dan tidak boleh tersentak. Perempuan haid pun tidak dikenai kewajiban sembahyang. Tapi mengapa mereka harus diganggu? Dan juga bagi anak anak yang belum akil balig (tamyiz, sekitar umur tujuh-delapan tahun bagi mazhab Syafi’i).

Percuma saja memperpanjang ilustrasi seperti di atas. Akal sehat pun sudah cukup untuk meninjau kejadian-kejadian suara lantang di tengah malam, apalagi didahului Tarhim dan bacaan Alquran yang berkepanjangan. Apalagi suara tersebut berasal dari audio rekaman,
sedangkan pengurus masjidnya tidur tentram di rumahnya.

ISLAM NDAK RADIKAL KOK!

Oleh: Muhammad Farhan

Sebagai agama dengan popularitas terbesar di dunia, tak dapat dimungkiri bahwa Islam adalah agama dengan pengaruh yang sangat besar dalam peradabannya. Agama dengan penyebaran yang rahmatan lil ‘alamiin ini sangatlah menentramkan pada hakikatnya. Ajaran-ajarannya sangat luwes dalam kehidupan bermasyarakat. Agama yang fleksibel. Agama yang dinamis. Agama yang harmonis. Agama yang praktis.



Tetapi setelah mengalami perkembangan, Islam yang memerankan sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin ini banyak diasumsikan sebagai agama yang tak mengenal kata toleran dan agama yang tak mengenal kata luwes. Keras dalam penyebarannya. Kaku dalam pengaplikasiannya. Sungguh tak dapat dibenarkan hal yang semacam demikian adanya. Sungguh! Islam adalah agama yang sangat mengenal kata toleran. Tidak seperti apa yang diasumsikan masyarakat luas, masyarakat yang tak berpedoman lurus.

Dalam perkembangannya, Islam tak serta-merta langsung menyerang musuhnya. Dalam banyak kejadian yang terjadi di waktu lampau, Rasulullah tidak serta merta langsung memerangi musuhnya. Tetapi beliau masih mengirimkan surat resmi ajakan masuk Islam yang dilengkapi dengan stempel resmi beliau, Muhammad Rasul Allah. Seperti halnya surat yang dikirimkan kepada Raja Kisra pada zaman terdahulu. Beliau tidak serta merta langsung menyerangnya. Tapi beliau dengan santunnya, mengajak Raja Kisra untuk masuk Islam yang rahamatan lil ‘alamiin. Namun apalah mau dikata ketika manisnya madu dibalas dengan pahitnya empedu, Raja Kisra malah merobeknya. Apalah daya, Rasulullah pun melancarkan serangannya.

Dalam Islam, perang hanyalah konsekwensi dari kelakuan mereka sendiri yang tak mau memeluk Islam dengan cara yang rahmatan lil ‘alamiin ini. Bandel.

Muhammad Al-Fatih—penakluk kota konstantinopel yang sekarang menjadi bagian dari kota Instanbul, Turki—dalam sejarahnya ketika menaklukkan kota besar lagi kuat itu tidak serta merta melakukan ekspansi ke negara yang ditujunya dengan brutal, tak ada aturan. Beliau dengan telaten mengajak para pembesar-pembesar kerajaan yang masih kafir untuk masuk Islam. Namun dari golongan merekalah yang tak mau diberi madu, mereka lebih memilih empedu. Tak mau masuk Islam dengan cara yang rahmatan lil ‘alamiin. Setelah apa yang dilakukan oleh mereka terhadap beliau, si sultan, beliaupun melakukan musyawarah dengan para pembesar kerajaan untuk menyerang kerajaan yang sedang menguasai Konstantinopel.

Para pembesar kerajaan pun menyetujui atas usulan beliau: menyerang kota Konstantinopel. Alhamdulillah, konstantinopel un dapat ditaklukkan. Setelah itu, Islam yang rahmatan lil ‘alamiin pun berperan besar. Al-Fatih dengan santunnya tak serta-merta langsung mengusir penduduknya yang berlainan agama. Al-Fatih malah memberikan kebebasan dalam beragama bagi masyarakatnya. Tak ada paksaan. Tak ada kekerasan. Semua berjalan dengan rahmatanlil ‘alamiin.

Ingat! Perang hanyalah konsekuensi dari mereka yang tidak mau menerima ajarannya.

Dalam epos tanah Jawa, Raden Said—putra sulung dari pada adiphati Tuban,Wilwatikta—tak pernah dengan paksa mengajak masyarakatnya untuk memeluk agama Islam. Agama yang penuh dengan rahmatan lil ‘alamiin. Beliau malah mempunyai trik jitu untuk mengajak masyarakatnya memeluk agama yang rahmatun lil ‘alamiin ini dengan sukarela. Tak ada paksaan. Tak ada kekerasan.

Raden Said dengan sabar, dengan telaten mengajak rakyatnya masuk Islam dengan cara yang begitu menarik. Beliau menyiapkan pertunjukan wayang dengan suguhan cerita-cerita yang diselipi dengan unsur humanisme dan unsur spritual. Masyarakat pun tertarik dengan pagelaran yang disuguhkan oleh Raden Said. Masyarakat dengan antusiasnya menghadiri pagelaran tersebut. Tak ada paksaan. Tak ada kekerasan. Sebagai ganti dari pada asyiknya tuntunan yang dipertontonkan, mereka hanya harus membayar dengan tiket berupa kalimo sodo, kalimat syahadat. Mereka masuk Islam pun dengan suka rela. Tak ada kekerasan di dalamnya.

Banyak contoh-contoh yang dapat kita jadikan pedoman, bahwa Islam memang bukanlah agama yang identik dengan peperangan, kekerasan dan paksaan. Islam adalah agama yang rahmatun lil’alamiin. Agama yang luwes. Agama yang dinamis. Agama yang praktis. Agama yang harmonis.

Islam bukanlah agama yang seperti diasumsikan oleh mereka yang sering mengkafirkan sesama. Islam bukanlah agama yang selalu membombardir sini-sana demi hanya kepentingan sekelompok semata. Islam bukanlah agama yang memberikan rasa was-was, rasa takut dan rasa tak nyaman pada sekitarnya. Islam bukanlah agama otoriter, agama yang sekehendak sendiri untuk melakukan sesuatu yang dimauinya. Islam bukanlah seperti itu semua.

Tapi Islam adalah agama yang memberikan rasa aman bukan hanya kepada umat Islam saja, melainkan kepada seluruh umat manusia. Islam adalah agama yang mementingkan kelompok bersama, tak membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Islam adalah agama yang memberikan rasa percaya diri bagi sekitarnya. Islam adalah agama yang memberikan rasa tenang, rasa tentram, rasa aman, rasa rukun dan rasa yang penuh adem-ayem bagi sekitarnya. Islam adalah agama yang luwes, agama yang dapat sesuai dengan masanya. Islam adalah agama yang fleksibel, agama yang dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Islam adalah agama yang praktis, agama yang tak terbelit-belit dalam ajarannya. Islam adalah agama yang harmonis, agama yang tak pernah mengancam keberadaannya, bahkan agama yang memberikan perlindungan kepada sesama umat manusia.

Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamiin, agama yang dengan sedemikian ajarannya mengajak kita semua untuk saling mengasihi pada sesama. Bukan hanya kepada umat Islam saja tapi kepada sesama manusia, bahkan pada lingkungannya juga. Wallaahu a’lam bis showaab.

OPINI-TAK PEDULI PENTING ISI

Oleh : Andrik

“Buanglah sampah pada tempatnya,” slogan ini pasti tidak asing bagi kawan semua. Peringatan yang ada di tempat strategis guna menanggulangi pembuangan sampah sembarangan.




Memang, ketika membahas sampah tidak ada habisnya. Plastik yang bermanfaat bagi masyarakat ternyata hama yang merusak ekosistem kehidupan. Meskipun masyarakat tahu, seakan-akan hanya angin sore yang sedang berlalu, mereka acuh tak acuh akan hal itu. Begitu besar dampak negatifnya.

Namun kali ini bukan buang sampah secara hakiki, melainkan tersimpan makna majas di dalamnya. Yakni kegiatan masyarakat Indonesia yang enggan meninggalkan konsumsi empat sehat lima sempurna.

Bagaimana tidak? Mayoritas masyarakat Indonesia sering konsumsi jajanan yang sedikit nutrisinya, seperti gorengan, minuman es dan produk instan lainnya. Apalagi lingkungan pondok pesantren, serasa sukar dihindari. Bahkan semua itu jadi makanan favorit. Tanpa disadari banyak negatifnya bagi kesehatan manusia.

Mulai gorengan saja, sudah ditaksir dampak negatifnya. Gorengan itu sering dikonsumsi masyarakat. Siapa yang tak suka gorengan? Saya yakin semua suka.Tapi, kawan, perlu tahu bahwa sangat berbahaya mengosumsi gorengan berlebihan. Apalagi enggak bagi-bagi! Mengapa bahaya? Karena menimbulkan penyakit kronis seperti hipertensi, gangguan pencernaan, sampai kanker.

Gangguan pencernaan, lemak di gorengan menimbulkan gangguan pencernaan, yakni tersingkirnya bakteri Miobia dalam perut. Bakteri ini menjaga perut. Kemampuan imunnya mampu menjaga kekebalan dalam perut. Seringnya konsumsi gorengan dapat merusak kekebalan, sehingga menimbulkan penyakit-penyakit itu.

Lemak jenuh adalah pemeran utama pemicu terjadinya penyakit kronis. Banyak orang tidak tahu bahwa penjual gorengan sering memakai minyak yang tidak higienis. Contoh: minyak berkali-kali dipakai, padahal itu tidak baik. Yang lebih parah minyak digoreng bersama plasiknya.

Pemakian minyak tadi memicu terjadinya penyakit berbahaya. Hipertensi (darah tinggi) berarti tensi darah yang naik. Siapa sangka pemicunya adalah konsumsi gorengan berlebihan. Maka masarakat harus hati-hati jika beli gorengan di sembarang tempat. Jalan yang aman, jauhi makanan itu. Tapi kalau sedang ingin lebih baik buat sendiri. Era ini kan serba canggih, kalau hanya buat gorengan mudah, bisa cari di Google atau share dengan teman.

Sehubungan dengan gorengan, santri juga jadi konsumen terbesar, padahal kalau diteliti, mereka tergolong orang-orang pasif (kurang gerak dan olahraga). Sehingga konsumsi yang kurang higienis makin memperburuk kesehatan mereka.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa makanan mengandung lemak tinggi dan berbahaya sangat disukai masyarakat. Untuk meminimalisirnya, sebaiknya ada anjuran atau program sehat seperti memproduksi Nagasari, Utri dan makanan sehat lain. Intinya terlepas dari lemak.

Atau opsi ke dua tetap jual makanan yang mengandung lemak seperti Alpokat. Karena nyatanya tubuh memang butuh kadar lemak sebagai cadangan makanan. Dengan produksi lebih unik saya yakin akan membawa hasil.

Beralih ke es. Es campur, es krim dan minuman dingin ini sangat populer di masyarakat. Dengan meminumnya dapat menghentikan dahaga. Apalagi di musim kemarau, pasti es jadi menu utama. Tapi perlu tahu juga, es punya unsur negatif. Orang yang sering mengonsumsinya mengalami salah satunya perut buncit, usus buntu, dan lain-lain.

Dingin es dapat membekukan sari-sari makanan dan lemak yang ada di perut, sehingga semuanya tidak diurai. Dampaknya sari-sari itu mengendap dan menyumbat usus, terjadilah usus buntu. Saking bahayanya dokter menyatakan bahwa es lebih bahaya daripada rokok.

Selanjutnya adalah produk instan seperti Sarimie, Indomie, Mie Duo, dan lain-lain. Semua yang disajikan dengan instan jelas mengandung bahan pengawet. Pengawet itu ketika dikonsumsi bisa hancur dalam tiga hari. Untuk Mie Duo ada yang mengatakan sampai tujuh hari karena kandungan lilin yang banyak. Waduh, coba bayangkan! Jika setiap hari makan, berapa banyak racun yang mengendap dalam tubuh. Akhirnya, orang zaman sekarang sering terkena penyakit-penyakit berbahaya. Sampai ada perkataan dalam bahasa jawa, “Lek saiki penyakit aneh-aneh, pancen seng dipangan macem-macem,” yang artinya “Sekarang penyakit aneh-aneh karena yang dimakan macam-macam.”

Tentu pendapat mereka begitu, karena dulu makanannya dominan sayuran dan ikan yang masih segar dan higienis. Itulah tadi permasalahan konsumsi masyarakat Indonesia dan kalangan pesantren. Maka masing-masing individu harus sadar bahwa sehat itu mahal.

Sabtu, 14 September 2019

OPINI-ARIFNYA PITUTUR JAWA

Oleh: MUHAMMAD FARHAN

Tak dapat dimungkiri, pitutur-pitutur masyarakat pribumi pada masa lampau amatlah kental dengan kearifannya. Sedangkan kearifan itu sendiri, yang dalam sebagian literatur dinyatakan dalam kata-kata bijak, adalah salah satu etos yang sangat dianjurkan oleh agama manapun, termasuk agama dengan prosentase terbanyak di dunia, ad-diin al-haq, Islam.



Sebagai masyarakat pribumi dari salah satu suku di Indonesia, Jawa—yang oleh salah satu budayawan kondang Indonesia, M.H. Ainun Najib atau biasa disebut dengan Cak Nun, disebut sebagai masyarakat dengan peradaban tertua yang pernah ada di dunia—pitutur- pituturnya amatlah banyak dengan kearifan-kearifan yang amat mendalam, baik dari segi penalaran atau dari segi sipritual.

Ada Witing Trisno Jalaran Soko Kulino salah satu pitutur yang sangat sering disebutkan oleh para pujangga. Diakui atau tidak, salah satu sebab seseorang dapat merasakan akan adanya getaran hati karena rasa cinta yang membara adalah seringnya bersua. Diakui atau tidak, ketika Anda sering bersua dengan seorang perempuan, maka dalam lubuk hati Anda akan dirasakan getarnya hati yang entah dari mana rasa itu berasal dan tumbuh.

Dalam magnum opusnya, Ihya’ Ulum ad-Din, Al-Ghazali memberikan statemen yang senada dengan statemen di atas. Efek dari cinta adalah selalu menyebutkan nama dari kekasihnya tersebut. Para kiai pun juga menerapkan konsep itu. Pada setiap rampungnya salat, biasanya para kiai membiasakan para santrinya—atau dalam ranah formal disebut siswa/mahasiswa—untuk membaca wirid. Hal ini tak lain dan tak bukan hanyalah trik para kiai untuk membiasakan santrinya terbiasa bersua dengan rabb-nya. Dan dengan seringnya bersua inilah diharapkan bagi para calon cendekiawan muslim untuk dapat menumbuhkan rasa mahabbah mereka kepada rabb-nya, Allah Swt.

Contoh kedua dari pitutur arif Jawa adalah Tepa Selira, kata yang sangat singkat namun teramat padat. Tepa selira adalah ungkapan Jawa kuno yang mengandung makna “ukurlah perbuatan apa saja dengan diri kita.”

Jawa memang pandai dalam hal sindir-menyindir. Tak dapat kita menutup mata bahwa kebanyakan dari kita suka berbuat seenak hati—dalam ranah yang lebih keras menyebutkan semena-mena—namun tak mengukur dengan hati nurani.

Mereka memukul, namun tak mau dipukul. Mereka menginjak, namun tak mau diinjak. Mereka mencaci, namun tak mau di caci. Mereka mengkritik, namun tak mau dikritik. Mereka mencuri, namun tak mau dicuri. Aneh kau kata? Memang aneh dikata. Namun itulah kita. Terima atau tidak.

Pada masa sugeng-nya, yang mulia kanjeng rasul sayyiduna Muhammad saw. telah mewanti-wanti kita agar kita dapat mencintai saudara kita sedalam diri ini mencintai diri sendiri. Sulit kau kata? Memang sulit dikata. Namun semua memang berproses, tak dapat instan. Sabar.

Kita diajarkan dalam banyak kasus yang balasannya harus sepadan dengan perbuatan. Jinayah, misalnya. Ketika kita membunuh satu orang dengan motif terencana, maka balasannya pun tak lain dan tak bukan adalah balasan yang setimpal, mati. Atau ketika kita hanya melukai seseorang saja, maka balasannya pun tak lain dan tak bukan adalah balasan yang setimpal, dilukai dengan taraf yang sama. Harus sepadan, tak boleh ada ketimpangan. Harus sama rasa. Harus tepa selira.

Mbangane mati ngantuk, luwung mati umuk.  Mungkin inilah perwakilan dari pitutur Jawa yang syarat akan makna. Ma’na lughawi—etimologi—dari pitutur itu mungkin akan sangat bertentangan dengan batasan agama. “Dari pada mati hanya karena sebab mengantuk, lebih baik mati karena congkak.”

Allah mengajarkan kepada kita lewat rasul-Nya untuk menjauhi sifat tercela yang berupa sombong. Bukan tanpa sebab, karena memang hanya Si Super Power-lah yang pantas menyandang gelar tersebut, Allah Swt. semata. Banyak dari firman-Nya yang teramat mencela akan sifat ini.

Dalam Riyadh as-Shalihin, beliau yang mulia as-syaikh An-Nawawi menyebutkan beberapa hadis yang menerangkan konsekuensi pada si pelakunya, baik ketika di dunia atau ketika di akhirat nanti. Tak hanya dari si utusan, beliaupun juga menyebutkan kalam-kalam dari Pengutusnya, mulai dari larangan bagi si sombong untuk berjalan di muka buminya Allah hingga kisah tragis dari si sombong Qarun. Namun dalam pitutur itu bukan sombong yang sekadar sombong, melainkan sombong dengan penalaran yang agak jauh.

Sombong adalah suatu hal—atau dapat disebut juga dengan sifat—yang hanya dimiliki oleh orang sombong. Orang yang sombong tentunya mempunyai suatu hal yang patut disombongkan. Suatu hal yang patut disombongkan ini tentunya berada di atas rata-rata yang sudah ada. Suatu hal yang berada di atas rata-rata itu, misalnya, adalah sebuah karya. Sebuah karya tentunya butuh jerih payah yang luar biasa, yang dihasilkan dari etos kerja. Panjang? Memang agak panjang. Sederhana? Setidaknya agak saja.

Adapun pekerjaan mengantuk adalah suatu hal yang tak menghasilkan apa-apa. Tak ada jerih payah. Tak ada suatu hal yang luar biasa.  Tak ada yang istimewa. Tak ada etos kerja. Semua berjalan ala kadarnya. Biasa biasa saja.

Maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pitutur tadi mengajak kita untuk membuat suatu karya istimewa yang dapat dikenang oleh masa, bukan hanya sombong semata. Maka terjemah pas dari racikan bahan yang ditelaah adalah: “lebih baik mati dalam keadaan berkarya, daripada harus mati konyol belaka.”

Pitutur yang selanjutnya adalah aja cedhak kebo ghupak. Penalarannya cukup sederhana.  Ketika kita ingin bersihnya badan, maka jangan sekali-kali mendekat terhadap kerbau yang sedang berendam di kolam lumpur. Jika Anda ingin tetap bersih, maka jangan dekati mereka yang kotor. baik dari segi rohani ataupun perilaku jasmani. Namun sebaliknya, bila Anda kotor maka dekatilah mereka yang bersih. Hal ini sudah lumrah berlaku di masyarakat awam.

Syaikhuna Az-Zarnuji Al-Alim Al-Allamah dalam kitab karangannya, Ta’lim al-Muta’allim, menyebutkan bahwa jika diri Anda ingin tahu tentang seseorang, maka cukup bagi Anda untuk mengetahui siapa karibnya. Karib baik, baik pula ia. Karib buruk, buruk pula ia.

Lalu bagaimana dengan para preman? Apakah kita tak ada kewajiban untuk menjangkaunya dalam rangka dakwah? Apakah kita hanya ada kewajiban inkar bil qalbi saja? Ataukah kita tetap wajib ingkar bil yad dengan risiko kita akan tertular getah buruknya?

Tentu semua itu ada pertimbangannya. Tak dapat diputuskan tanpa adanya tafshil. Ketika ingin tetap bersih walau dalam keadaan dekat—atau bersentuhan langsung—dengan kerbau yang berendam di kolam lumpur, maka alternatf terampuh adalah melindungi diri kita yang bersih dengan mantel--atau  bisa disebut dengan pelindung tubuh—yang baik dan layak pakai. Masalahpun terselesaikan. Analogi yang sederhana.

Ketika kita ingin mengajak mereka, para preman jalan itu, untuk mengikuti jejak dari penjelajah spritual, maka tak lain dan tak bukan kita harus menyiapkan mantel iman dan mantel mental. Namun apalah daya ketika kita tak punya mantel keduanya, maka sebatas ingkar bil qalbi-lah kewajiban kita. Tak lebih dan tak kurang.

Kearifan kelima tentang pitutur Jawa terletak pada kata ngono yo ngono, ning ojo ngono. Kaidah inilah yang mungkin diaplikasikan oleh para Wali Songo. Beliau-beliau memang ahli dalam strategi. Beliau-beliau menerapkan konsep ini dalam strategi dakwah beliau di tanah Jawa.

Dalam banyak literatur, banyak disebutkan bahwa beliau-beliau tak pernah dengan keras menyatakan bahwa ini haram, ini bid’ah, ini dosa, dan lain sebagainya. Namun bukan lantas beliau-beliau mendiamkan suatu perkara yang mungkar tersebut, tetapi belau-beliau lebih memilih dengan menerapkan strategi dakwah yang halus.

Beliau-beliau mengambil cara terbaik. Mengambil poros tengah. Beliau-beliau mengambil jalan yang sekiranya tak akan berbenturan antara agama dengan adat masyarakat pribumi pada umumnya.

Banyak sampel yang dapat diambil sebagai contoh. Misal, ketika dulu masyarakat pribumi menaruh sepiring—atau dalam jumlah yang lebih besar disebut dengan talam—sesajen di pojok rumah atau di bawah kayu yang dianggap keramat, maka para Wali Songo tak lantas mengharamkan, melainkan dengan cara mengubahnya menjadi ajang shilaturrahmi yang dilengkapi dengan amal baik yang berupa sedekah.

Atau ketika para wali berdakwah menggunakan seni rupa yang berupa musik. Mulai dari yang bernama Bonang hingga yang bernama lain. Mereka malah membuka pertunjukan mereka kepada semua kalangan—tak memandang agama—untuk mengikuti acara seni tersebut dengan hanya membayar tiket berupa dua kalimat syahadat. Assyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadarrsuulullah.

Bijak sekali. Sungguh arif bahasamu, suku Jawaku.

Senin, 26 Agustus 2019

Pidato Kemerdekaan; Hubbul Waton Ala Santri Atas Dasar Mahabbah (Gus Athok)

(Berikut adalah amanah dalam upacara 17 Agustus 2019 di PP. Raudlatul Ulum I, yang disampaikan oleh Gus Athok Lukman selaku Pembina dalam Upacara tersebut).

Saya teringat salah seorang Indosianis dari Amerika, tahun 60-an dia berbicara tentang nasionalisme di Indonesia. Salah-satunya kesimpulan dari hasil risetnya tentang kebangsaan di Indonesia adalah bahwa Nasionalisme di Indonesia, Kebangsaan di Indonesia, sumbangsih terbesar disumbang oleh umat Islam. Kontribusi pembangunan dalam Nasionalisme di Indonesia, itu diberikan oleh umat Islam.
Pidato Kemerdekaan; Hubbul Waton Ala Santri Atas Dasar Mahabbah (Gus Athok)


Kalau kemudian pertanyaan ini dilanjutkan, umat Islam yang mana yang memberikan kontribusi besar di dalam Nasionalisme atau Kebangsaan, Cinta Tanah Air di Indonesia? Maka, saya dapat memastikan bahwa Muslim terbesar (dalam memberikan kontribusi besar di dalam Nasionalisme di Indonesia) adalah Muslim yang punya afiliasi terhadap Pesantren. Jadi, Kalian (para santri) adalah turunan-turunan secara genealogis pengetahuan yang memberikan kontribusi besar terhadap kebangsaan di Indonesia ini. Sehingga sangat wajar, dan ini harus disadari oleh semua santri, bahwa Indonesia berdiri, saham terbesarnya adalah dari kalangan Muslim, khususnya adalah kaum pesantren. 

Dalam konteks ini, maka ketika kemerdekaan sudah diraih, Bung Karno mengatakan  “ kemerdekaan adalah jembatan emas untuk pencapaian keadilan sosial, kemerdekaan adalah jembatan emas bagi pencapaian cita-cita kebangsaan”. Bagi kaum santri, Cinta Tanah Air, Kemerdekaan dan pemaknaan terhadap kemerdekaan itu tidak boleh dilepaskan dari cinta Allah, cinta kepada Rasulullah. Sehingga Hubbul waton-nya santri atau kontribusi santri terhadap pengisian kemerdekaan ini adalah ekspresi terhadap cinta Allah dan Rasulnya. Sehingga, Nasionalisme ala santri itu bukan nasionalisme ala chauvanistik ala Eropa, yang kemudian membenarkan rasnya sendiri atau golongannya sendiri, tapi nasionalisme yang berakar kuat terhadap kebatinan kita sebagai hamba Allah, yang kemudian harus menterjemahkan ke dalam realitas kehidupan sosial untuk kebaikan rahmatan lil alamain.

 Jadi,  hubbul waton atau cinta  tanah air harus berangkat dari kecintaan kita kepada Allah dan Rasul. Kalau kita ambil sampel tentang bagaimana Rasullah menyatukan umat di  Madinah. Pada waktu itu Islam hanya sepertiga dari komunitas Madinah. Kemudian disatukan oleh Rasulullah dengan Piagam Madinah. Dengan Piagam Madinah itu, kemudian proses sosial yang terjadi adalah untuk kebaikan bersama. 

Nah, dengan ini, kalau kita melihat Pancasila di Indonesia, sebenarnya memiliki kesamaan dengan Piagam Madinah. Sehingga, bagi santri sudah tidak ada namanya NKRI bersyariah. Sudah tidak ada pertanyaan apakah Indonesia ini Thagut atau bukan? perlu khilafah atau bukan? Tidak. Indonesia sudah final. Dengan Pancasila tahun 45 yang dirumuskan oleh BPUPKI dan lain sebagainya, sudah menjelaskan bahwa Bangsa Indonesia atau Negara Indonesia tidak bertentangan dengan agama Islam. 

Dengan ini, santri tidak mencita-citakan Negara Syariah atau Khilafah di Indonesia. Karena bentuk final hari ini adalah pencapaian, tidak hanya pencapaian pengetahuan tapi juga pencapaian spiritual yang direpresentasikan oleh semisal Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahid Hasyim dan sebagainya, yang notabene itu adalah kiai-kiai kita. Intinya, satu, jangan terlena dengan bujukan-bujukan untuk menciptakan khilafah di Indonesia. Bohong. Bohong semua (bujukan) itu. 

Jangan terlena dengan bujukan menciptakan NKRI bersyariah, itu kamuflase.
 Seakan-akan yang diciptakan, didirikan, dirembuk oleh Kiai Hasyim Asy’ari, yang dirembuk oleh Kiai Wahid Hasyim, itu belum bersyariah.
Tidak! Sudah! Tanpa embel-embel resmi bersyariah, Indonesia ini, secara nilai,  tidak bertentangan dengan Agama Islam. Dan ini penting untuk diketahui oleh para santri. 

Sehingga nanti ketika kalian sudah kembali ke masyarakat dan berkontribusi terhadap pembangunan kemerdekaan ini, maka yang tidak boleh hilang adalah kecintaan kepada Allah dan Rasulnya. Dan kemudian ekspresi bagaiamana kalian berkontribusi terhadap masyarakat adalah sesuai dengan peran masing-masing. Anda Boleh berperan sebagaia apapun, apapun secara sosial. Tetapi, orientasi dari semua itu adalah ketauhidan, mahabbah kepada Allah dan Rasulullah.

lihat versi videonya di chanel youtube kami : Asy-Syafaah TV