Minggu, 02 Juni 2019

Analisa Kaderisasi KH Qosim Bukhori

Oleh : Gus Mad

Analisa Kaderisasi KH Qosim Bukhori

PP Raudlatul Ulum 2 Putukrejo kini memasuki generasi kedua, setelah KH Qosim Bukhori sebagai pendiri sekaligus pengasuh pertama mangkat sekian tahun yang lalu. Sekalipun tipologi kepemimpinan beliau lebih banyak tampil demokratis, namun saat itu beliau masih sendiri dalam mengasuh santri-santrinya.

Sekarang jajaran kepengasuhan pesantren di desa yang memiliki destinasi wisata "Sumber Sira" itu bercorak kolektif. Sebab, seluruh generasi Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah itu, baik putra maupun menantu, diberikan ruang luas untuk berperan melanjutkan dan mengembangkan warisan beliau.

Kepiawaian kiai Qosim Bukhori mempetakan posisi masing-masing putra-putra beliau inilah yang akan dicermati penulis dalam kolom singkat ini.
~~~

Di luar anak putri, beliau dikaruniai dua anak laki-laki, yaitu Gus Ja'far Shodiq (Gus Faris) dan Gus Muhammad Yusqi (Gus Yusqi). Kemudian ditambah putra menantu beliau, yakni Gus Muhammad Sulthoni (Gus Sulthon), Gus Muhammad Hamim Kholili (Gus Hamim) dan Gus Muhammad Madarik Yahya (Gus Mad).

Kelima putra inilah yang kini meneruskan jejak peninggalan beliau. Hebatnya, masing-masing didudukkan pada porsi yang sesuai keahliannya.
~~~

Gus Faris Dan Gus Yusqi

Mereka berdua diangkat oleh ayahnya sebagai pengganti yang memperjuangkan dzikir (Khalifah Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah). Proses regenerasi kepemimpinan ritual olah hati ini dilakukan oleh KH Qosim Bukhori jauh sebelum beliau jatuh sakit dengan surat "Washuiyah bil Khair" berisikan hasil istikharah yang dilakukan di tanah suci Mekkah.

Bahkan kenyataan bahwa Gus Faris senantiasa diikutsertakan dalam setiap agenda kegiatan Yai Qosim, menjadi simbol yang acapkali dimaknai oleh masyarakat sesungguhnya putra tertuanya itu sedang di gadang-gadang untuk menggantikan beliau.

Sedangkan kepada Gus Yusqi, kiai Qosim menjamin pemeliharaan perkembangan putra ketiga itu, walaupun masa-masa remajanya seringkali dinilai "agak nakal" oleh sebagian alumni.

Kaderisasi kedua putranya ini cukup maklum, karena disamping lahir dan besar dari "rahim pesantren", keduanya pernah mengenyam pendidikan pesantren.

Gus Mad (penulis)
Hampir semua anggota keluarga menilai bahwa penulis dirancang oleh beliau sebagai pihak yang patut berjibaku dengan segala problematika di dunia pendidikan. Tidak seperti kedua putranya yang diarahkan melalui wasiat, kadar kualifikasi penulis di takar oleh beliau lewat isyarat-isyarat.

Dua dari sekian banyak isyarat tersebut adalah:
Pertama, beliau tidak saja menyuruh penulis melanjutkan akademik ke jenjang S2, namun rela menanggung separo biayanya.
Kedua, penulis merupakan satu-satunya keluarga yang dibebani amanah "pengajian kitab Ta'lim Muta'allim" setiap Sabtu pagi bagi santri.

Arahan beliau terhadap penulis juga tidak mengherankan, sebab semenjak kecil hingga dewasa, penulis besar dalam buaian pendidikan pesantren dan perguruan tinggi agama Islam.

Gus Hamim
Salah satu putra pengasuh PP Miftahul Ulum/PPRU IV Ganjaran itu jelas-jelas diperintahkan oleh KH Qosim Bukhori untuk berdagang dan berjuang di ranah politik.

Model regenerasi ini agak aneh, pasalnya cucu KH As'ad Ismail itu diposisikan berada di luar ekspektasi keilmuan yang dialaminya. Diketahui bahwa Gus yang kini menjadi Ketua Dewan Syuro PKB Malang itu sejak kecil berada di lingkungan pesantren, belajar di pesantren kemudian meneruskan ke tingkat perguruan tinggi agama. Namun ternyata Yai Qosim Bukhori menitahkan Gus Hamim untuk berniaga dan masuk ke gelanggang politik.

Ada apa dibalik perintah itu ? Tentu Yai Qosim lebih faham mengenai hal itu. Kalangan orang awam mungkin kesulitan menangkap nalar dibalik fakta ini, tetapi bagi kaum akademisi masih dapat direka-reka melalui pendekatan normatif.

Dalam membaca potret kaderisasi Yai Qosim terhadap Gus satu ini dibidang bisnis, bisa diteropong melalui pendekatan hadits:

ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ [إلَى آخَر الرِّوَايَة].
فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِين.
فَاخْتَلَفْنَا بَيْنَنَا. فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ: تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، حَتَّى يَكُونَ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ.
(رواه البخاري)
فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ.  (رواه مسلم)

Sementara dibidang politik, dapat dipahami melalui hadits:

أَبْلِغُوْا حَاجَةَ مَنْ لاَ يَسْتَطِيْعُ إِبْلاَغَ حَاجَتِهِ
فَمِنْ أَبْلَغَ سُلْطَانًا مَنْ لاَ يَسْتَطِيْعُ إِبْلَاغَهَا ثَبَّتَ اللهُ تَعَالَى قَدَمَيْهِ عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الطبرانى)

Gus Sulton 
Sedangkan Gus ini berada di garda depan dalam persoalan supranatural. Apalagi suami Ning Bariroh itu merupakan salah satu sosok yang ditokohkan di dunia persilatan lewat naungan perserikatan persilatan BS (Bintang Surya).

Kendatipun komunikasi Gus Sulthon di masa hidup mertuanya tidak begitu intens, tetapi berdasarkan atas pengakuannya, setelah wafat Yai Qosim Bukhori, Gus asal Pulau Garam itu seringkali mendapat petunjuk-petunjuk dari mendiang Yai Qosim.

Fakta ini menggambarkan bahwa sosok yang memiliki lima putra itu secara tidak langsung diposisikan sebagai generasi yang mempunyai spesifikasi di bidang "kanuragan".

Hal demikian itu bisa dicermati dari perjalanan hidupnya yang didedikasikan untuk membantu kepentingan orang banyak, seperti menolong tetangga yang sedang pailit, sesama yang tengah dilanda sakit, pihak-pihak yang lagi memikul hajat politik dan bahkan tidak jarang para santri dari beberapa pesantren yang di rundung lara serta ragam pengaduan yang harus diatasi lewat "kekuatan ghaib".

Analisa Kaderisasi KH Qosim Bukhori


Alhasil, Yai Qosim Bukhori memancang menantu kedua ini dalam spesifikasi "dunia luar nalar" bagi pesantren PPRU 2 Putukrejo. Sekalipun tidak merta memainkan peran di dalam perkembangan pesantren, tetapi secara implisit Gus Sulthon telah banyak memeras keringat terhadap keberlangsungan peninggalan Yai Qosim Bukhori dari luar pagar pesantren.
~~~

Semoga berkah.

Minggu, 10 Maret 2019

SEKELUMIT SIKAP WIRA'I GUS MA'RUF KHOZIN

SEKELUMIT SIKAP WIRA'I GUS MA'RUF KHOZIN
Gus Ma'ruf Khozin

Siapa yang tidak kenal beliau, mungkin sudah banyak orang yang mengenal beliau, baik di media sosial maupun di layar kaca tv9. Beliau adalah Gus Ma'ruf Khozin.

Saya pun tak tahu orang-orang menilai beliau seperti apa ? Tetapi saya yakin kebanyakan mereka menilai beliau pasti bersifat positif.

Jangan sampai aku, kamu beserta anak-anak kita memakan uang yang ada di dalam amplop ini


Namun sifat kehati-hatian beliau di dalam memilih rejeki, mungkin banyak orang yang tidak mengetahuinya.

Inilah sekelumit pengalaman tentang sikap kehati-hatian dalam memilah rejeki, selama saya menyertai beliau:

Pertama, beliau pernah di undang kegiatan pengajian di Dinas Perpajakan (kalau tidak salah mungkin sudah tiga kali).  Tetapi apa setelah beliau kembali ke rumah, ternyata beliau memberikan amplop itu tanpa melihatnya terlebih dahulu. Beliau hanya berkata:

"Jangan sampai aku, kamu beserta anak-anak kita memakan uang yang ada di dalam amplop ini !"

"kenapa Yah ?" Tanya saya.

SEKELUMIT SIKAP WIRA'I GUS MA'RUF KHOZIN
Gus Ma'ruf bersama  Istri dan Putra-putrinya

"Saya mengaji di tempat perpajakan. Pihak-pihak yang membayar pajak itu banyak; ada pajak kendaraan, pajak rumah sakit, dan lain-lain, termasuk ada pajak hiburan malam. Lha, saya khawatir uang yang saya terima ini dari uang hiburan malam/diskotik."


Kedua, suatu waktu beliau  di undang acara "Santunan Anak Yatim", dan ternyata beliau melihat orang-orang yang menyantuni itu adalah non muslim, sedangkan anak-anak yang disantuni banyak kalangan yang berbeda agama.

Setelah sampai di rumah, beliau pun tak melihat isi amplop itu (karena kondisi beliau masih menggunakan helm), lalu beliau hanya berkata kepada saya:

"Sampeyan dan anak-anak jangan sampai makan uang itu !"

"Kenapa Yah ?"

"Entahlah, saya tidak enak saja, kalau anak-anak saya menggunakan uang itu." Jawab beliau.

Ketiga, tadi malam beliau pulang ke rumah, tiba-tiba beliau menyodorkan amplop yang besar dan isinya lumayan banyak.

"Uang ini jangan kau makan !" Ucap beliau.

"Uang apa ini Yah ?"

Kemudian beliau hanya berkata:

"Ini uang suap (sogok)."

"Kalau ini banyak lho, Yah. Untuk dibelikan pulsa, mungkin cukup 1 tahun, atau lebih malah."  Canda saya.

Karena biasanya, setiap rejeki yang menurut beliau syubhat, selalu saya belikan pulsa.
~~~

SEKELUMIT SIKAP WIRA'I GUS MA'RUF KHOZIN
Salah satu dokumentasi saat Gus Makruf menjadi Pembicara di salah satu seminar Aswaja

Dan pernah suatu ketika, beliau di undang di daerah Lumajang. Beliau langsung memberikan semua amplopnya untuk pembangunan masjid tanpa tersisa. Para hadirin merasa takjub dan seraya bertanya-tanya dalam benak mereka:

 "Kok bisa, jauh-jauh dari Surabaya tidak menyisakan untuk ongkosnya saja."
Peristiwa semacam ini (menerima amplop, tetapi langsung didermakan) sama seperti yang sering dilakukan Gus Dur.

Semoga kita bisa meneladaninya. Amin.

Gus Ma'ruf Khozin adalah Direktur Aswaja NU Center Jawa Timur. Alumni PP Al-falah Ploso Kediri yang kini tinggal di Surabaya ini berasal dari desa Ganjaran Gondanglegi Malang.

( Sejumlah cerita ini disadur dari Wia Raokib dan Abdur Rofik, ditulis ulang oleh GM (Gus Mad) )

Jumat, 22 Februari 2019

Kunci Teka-Teki Fikih Part 2


Kita tahu, bahwa perkara yang wajib harus dilakukan dan haram ditinggal. Sedangkan perkara yang haram maka wajib ditinggalkan dan tidak boleh dilakasanakan. Tapi bagaimana jika seperti dalam teka-teki dibawah ini:

Kunci Teka-Teki Part 2
Sumber: raudlatul_ulum1 (Instragram)

Nah, saat ini  kami akan menggiring pembaca pada jawabannya, begini:
Kita tahu, orang islam diwajibkan untuk melaksanakan shalat fardhu. Kewajiban berlaku bagi setiap muslim laki-laki atau perempuan yang telah mukallaf dalam arti; berakal normal dan telah mencapai baligh.
Batasan baligh mengecualikan anak-anak yang hanya tamyiz dan belum baligh. Baginya, Shalat belum diwajibkan. Meskipun demikian, bagi orang tua berkewajiban untuk mendidik anak-anaknya untuk biasa dan terbiasa melaksanakan shalat dalam hidup keseharian.  

Baca Juga: Soal Dan Jawaban Cerdas Cermat Kitab Fathul Qorib - "Faqro-U"

Sedang, batasan berakal normal mengecualian bagi orang yang tak normal akalnya seperti orang gila, mugma ‘alaih (orang yang epilepsi)  orang mabuk dll. Mereka-mereka ini tidak diwajibkan untuk melaksanakan shalat dan jika telah sembuh (kembali normal) maka harus mengqodho’ sholatnya.  Khusus bagi orang mabuk, yang tidak dikenai kewajiban shalat ini hanya jika mabuknya tidak ada unsur kesengajaan. Dan orang yang mabuk tidak sah melaksanakan shalat. Yang demikian sesuai dengan firman Allah:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (QS.An- Nisa’:43)
Tidak dikenai kewajiban di sini, berarti: tidak berdosa dia tidak melaksanakan shalat di waktunya saat ia dalam keadaan mabuk. Namun, ketika telah sembuh maka ia tetap harus mengqodho’ shalat-shalat yang ia tinggalkan ketika mabuk.  Berbeda halnya jika mabuknya terdapat unsur kesengajaan dan ceroboh misalnya dengan meminum minuman yang memabukkan seperti alkohol, khmar, bir,  dll. Orang yang mabuk disebabkan cara-cara seperti ini tetap diwajibkan untuk melaksanakan shalat. Ini bukan berarti dia harus shalat dalam keadaan mabuk. Tidak. Tetap diwajibkan itu artinya: dia berdosa karena tidak bisa melaksanakan shalatnya dalam keadaan mabuk dan ketika sembuh ia wajib untuk mengqodho’.
Kesimpulannya: Jawaban dari teka-teki (sesuatu, dikerjakan haram, ditinggal juga haram) adalah shalatnya orang mabuk  yang sengaja dan ceroboh.

anda ingin melihat teka-teki fikih lebih banyak? ikuti di IG dengan tagar: #tekatekifikih

Kamis, 14 Februari 2019

Kunci Teka-Teki Fikih Part 1

Kita lihat dulu ya pertanyaannya. coba lihat dan baca lagi gambar di bawah ini:
sumer gambar dari IG pondok (radlatul_ulum1)

Baiklah, sebelum menjawab, ada baiknya dong kami menjelaskan hal-hal yang berkaitan  dengan petanyaan dalam teka-teki fikih di atas.

Kita semua tahu, dalam standar fikih syafiiyah ada anjuran untuk membaca jahr (mengeraskan bacaan ) saat membaca surat fatihah sebagai salah satu rukun qouli atau membaca ayat al-qur’an setelah fatihah sebagai salah satu sunah haiat. Anjuran ini sunnah dilakukan dalam shalat  magrib, isya’ dan subuh jika dilakukan secara berjamaah. Anjuran ini berlaku  untuk imam pada rakaat pertama dan kedua.

Oke, sabar dulu ya. Sebentar lagi mimin bakal jelasin deh. Oh iya mimin lupa. Sebenarnya selain sholat di waktu malam di atas (magrib, isya’ dan subuh), ada satu shalat lagi ang dianjuran untuk jahr. Menariknya, shalat ini waktu pengerjaannya siang hari. Kami yakin pembaca sudah maklum dengan shalat yang satu ini.  Shalat apa ya kira-kira? Yap, betul. Shalat itu adalah shalat jum’at.
Lalu, bagaimana jawaban teka diatas? Sholat sendiri, siang-siang lagi, di-jahr lagi?

Nah, begini penjelasannya:
Sudah disinggung di atas bahwa shalat di siang hari yang dianjurkan di jahr adalah shalat jum’at. Kita tahu, shalat jum’at bisa sah jika dilakukan secara berjamaah dengan hitungan minimal 40 orang yang mustauthin. Syarat berjamaah ini minimal dilakukan dalam satu rakaat. Artinya, jika seandainya seseorang shalat jum’at sejak awal bersama jamaah, lalu di rakaat kedua ia mufaraqah dari imam, maka shalat jumatnya masih sah.

Baca Juga: Soal Dan Jawaban Cerdas Cermat Kitab Fathul Qorib - "Faqro-U"

Tapi.....
Jika ada seorang lambat datang, eh, ternyata shalat jum’at sudah di rakaat kedua, lalu dia langsung ikut , otomatis ketika imam salam maka ia harus nambah satu rakaat lagi sebab ia berstatus sebagai makmum masbuk sedangkan jumat berjumalah dua rakaat. Nah, saat melakukan rakaat kedua inilah dia harus membaca secara jahr.
Alhamdulillah, sudah ketemu jawabannya.
Jadi, Jawabannya adalah: shalat jum’atnya makmum masbuk yang nututi/nyapok Imam di rakaat kedua.
Terimakasih, semoga bermanfaat.

Ohya, selamat malam jum’at. Dan jangan lupa, jika pembaca laki-laki besok jum’atannya jangan lambat ya. Kecuali mau praktekin teka-teki ini. kikikikikik

anda ingin melihat teka-teki fikih lebih banyak? ikuti di IG dengan tagar: #tekatekifikih

Senin, 01 Oktober 2018

Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori - KH. Muhammad Madarik

Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori - KH. Muhammad Madarik

Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori

Oleh: Gus Muhammad Madarik*

Hingga wafatnya, KH Qosim Bukhori  dikenal sebagai sosok tokoh yang mampu beradaptasi dan berperan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini terindikasi dari kiprah beliau dalam berbagai sisi kehidupan keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi.

Tetapi saat kiai Qosim Bukhori mangkat kembali ke rahmat Allah SWT, maka kalangan pesantren Raudlatul Ulum 2, secara khusus, dan segenap masyarakat, secara umum, benar-benar merasakan kehilangan seseorang yang memiliki talenta memimpin semacam beliau yang sedemikian kompleks.


Sekilas soal seorang kiai Qosim, model kepemimpinan dan perjuangannya di pesantren Raudlatul Ulum 2 itulah yang coba diulas penulis dalam kolom singkat ini. 

TOKOH MULTI

Pribadi kiai asal desa Ganjaran Gondanglegi Malang itu memang diakui banyak pihak sebagai pemuka agama yang mempunyai kompetensi di dalam memerankan kiprahnya dalam segi sosial-keagamaan, pendidikan, ekonomi dan politik.

Keterlibatan pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2 Putukrejo itu dapat dilihat dari beberapa aktifitas, misalnya dalam lingkup ekonomi, beliau sebagai konseptor pengembangan zakat sehingga berdiri Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh (Bazis) Putukrejo Gondanglegi Malang.

Dalam ranah politik, beliau terpilih sebagai Ketua Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Cabang Malang di masa-masa awal era kepemimpinan Gus. Abdur Rohman (Gus. Dur).
Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori - KH. Muhammad Madarik
Dari kanan: KH. Qosim Bukhori, Gus. Dur, KH. Mujtaba Bukhori
Bahkan intensitas beliau di dalam dunia politik, mengantarkan beliau sempat menjadi calon legislatif (caleg) wilayah Jawa Timur melalui partai yang dipimpinnya. Pencalonan beliau ini dikenal sebagai proses politis yang sangat bersih tanpa permainan kotor sebagaimana banyak diungkap beberapa alumni bahwa cara beliau sangat terjaga dari praktik uang (money politic).

Sesungguhnya kiprah beliau tidak  hanya pada aspek ekonomi dan politik belaka, tetapi jasa dan peran yang didermakan beliau di berbagai aspek tidak dapat dihitung.

MERABA TIPOLOGI KEPEMIMPINAN

Terlepas dari berbagai jejak-jejak putra KH Bukhori Ismail Ganjaran itu di tengah-tengah masyarakat, perjuangan beliau di dalam mendirikan dan sekaligus mengembangkan pesantren Raudlatul Ulum II cukup bernilai untuk ditelusuri kembali.

Dari sekian gambaran sosok pribadi beliau dalam rentang sejarah pesantren tersebut, setidaknya dapat diringkas menjadi dua poin penting:

Pertama, sikap sabar. Sejak awal,  keberadaan kiai Qosim Bukhori di desa Putukrejo merupakan seorang pendatang dari desa Ganjaran. Secara psikologis, status ini kurang menguntungkan untuk menjadi orang idealis.

Betul saja, rintangan yang dihadapi beliau di awal-awal membuka pesantren adalah respon negatif dari beberapa tokoh masyarakat yang tidak jelas alasannya. Kondisi ini semakin diperburuk oleh tingkah polah anak kampung yang acapkali memusuhi para santri. Tetapi dengan sabar, beliau hadapi situasi demikian hingga pesantren yang dibinanya kian berkembang.

Di sisi lain, ketabahan beliau semakin tampak dari cara membimbing para santri. Sebagai pengasuh, beliau menghadapi para santri penuh kesabaran, walau terkadang dari sekian banyak ragam watak santri terdapat beberapa orang yang berperilaku kurang mengenakkan hati.

Berbagai macam karakter anak santri dengan ragam latar belakang yang berbeda-beda, menyebabkan problematika yang sulit disatukan dalam ritme yang sama. Lebih-lebih kenakalan yang seringkali menabrak kegiatan dan aturan yang sudah baku, menumbuhkan rasa kesal bagi mayoritas para pembimbing . Namun dengan kesabaran luar biasa, secara perlahan beliau menggiring santri agar mengikuti aktifitas dan menuruti aturan-aturan yang telah ada.

Kedua, sikap demokratis. Salah satu yang menonjol dari gaya kepemimpinan KH Qosim Bukhori adalah senantiasa terbuka terhadap usulan-usulan para santri, terutama ide-ide dari pengurus atau alumni. Dalam berbagai kesempatan melakukan rapat dengan mereka, beliau senantiasa mendahulukan ide-ide dari peserta rapat. Dengan sabar beliau memposisikan diri menjadi pendengar setia dari polemik yang berkembang, dan bahkan justeru sikap yang tak jarang ditampakkan beliau adalah membiarkan suasana rapat gaduh oleh debat antar mereka.

Baru jika keadaan memanas dan dinilai perlu dinetralisir, beliau angkat bicara atau forum membutuhkan keputusan akhir, dengan bijaksana beliau mengeluarkan putusan final. Itupun beliau lakukan setelah melalui proses penyederhanaan tema masalah dengan kesimpulan-kesimpulan.

PRIBADI KUKUH SEJAK DINI

Sikap teguh yang telah menjadi bagian dari kepribadian kiai Qosim serta demokratisasi yang dikembangkan menjadi nilai-nilai dasar berinteraksi sosial, pasti dimulai dari landasan diri beliau yang telah kokoh.

Hal ini tercermin dari keberadaan beliau sebelum merintis lembaga pendidikan agama sudah tampil sebagai sosok yang kukuh dengan prinsip agamanya. Konon, di masa-masa lajang sekalipun, beliau merupakan pemuda yang sudah terdidik melaksanakan aktifitas religi secara istiqamah. Sehingga begitu mengarungi bahtera rumah tangga dan membangun peradaban melalui pendidikan, beliau telah siap secara matang.

Oleh karenanya, bimbingan yang terefleksikan melalui didikan dan ajaran kepada para santri tidak serta merta hanya imbauan kosong tanpa makna. Contoh kecil yang bisa dibuat gambaran dalam persoalan ini, antara lain ketika beliau mengajarkan tentang anjuran shalat dluha kepada segenap santri, maka beliau lah orang pertama di lingkungan pesantren yang telah lama terbiasa menunaikan shalat sunnah itu.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa beliau telah menjadi teladan sebelum mengajar dan menjadi contoh setiap perintahnya.

MENGHIBAH USIA

Dalam konteks pesantren Raudlatul Ulum 2, pendampingan terus menerus hingga akhir hayat merupakan bukti bahwa usia beliau didarmabaktikan seluruh umurnya demi kepentingan mengajarkan jalan yang benar kepada segenap anak didiknya.

Di luar kesempatan mendakwahkan norma-norma islami di tengah-tengah umat yang majemuk, nyaris seluruh waktu beliau semata-mata dimanfaatkan untuk menuntun para santrinya.
Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori - KH. Muhammad Madarik
KH. Qosim Bukhori bersama istrinya Nyai Zainab Qosim
Sebagai pendidik yang menebarkan nilai-nilai kebajikan dan pemimpin yang mengajarkan demokratisasi, beliau patut dinobatkan sebagai satu-satunya tokoh sentral di lingkungan pesantren Raudlatul Ulum 2 yang pantas ditiru oleh tidak saja para penuntut ilmu di lingkungan pesantrennya, namun setiap kalangan masyarakat nahdliyyin yang memproklamirkan dirinya sebagai penganut Ahlussunah Waljamaah ala Thariqah Nahdlatil Ulama.

Semoga berkah.

* Penulis: Direktur Kepesantrenan PP Raudlatul Ulum 2 Putukrejo Gondanglegi Malang.

Minggu, 23 September 2018

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren - KH. Madarik Yahya

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Oleh: Gus Muhammad Madarik*

PENDAHULUAN

Seperti kebanyakan pesantren-pesantren lain, keberadaan sampah di PP Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang juga masih menjadi problematika bidang kebersihan.

Padahal jika difikirkan secara bersama, maka sampah merupakan salah satu potensi pemberdayaan. Sehingga serakan barang sisa-sisa itu bukanlah suatu momok yang menjijikkan, namun bakal menjelma sebagai lumbung dana yang menguntungkan.

Menggali nilai harta dibalik sesuatu yang dianggap tak berguna itulah yang kini akan coba dikupas penulis dalam kolom singkat berikut ini.

TINJAUAN AGAMA

Dari sisi ajaran agama, Islam sangat mempardulikan kebersihan. Sebagai agama suci dalam segala dimensinya, Islam senantiasa memperingatkan umatnya agar menaruh perhatian khusus terhadap masalah kebersihan. Salah satu anjuran Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Sungguh, Allah menyukai orang yang bertobat dan menyenangi orang yang menyucikan diri." [QS. 02:222]

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

"Dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) keji." [QS. 07:04-05]

Ada ungkapan Arab yang di klaim sebagai hadits oleh sebagian kalangan, tetapi dianggap hanya merupakan pribahasa oleh sementara pihak yang lain, yaitu:
اَلنَّظَافَةٌ مِنَ اﻻِيْمَانِ٠
Artinya:"Kebersihan itu sebagian dari iman."

Namun dalam sumber lain, Nabi bersabda:
الطُّهُورُشَطْرُالْإِيمَانِ
Artinya: "Kesucian adalah sebagian dari iman." [HR. Muslim]

Di luar keabsahan manakah hadits-hadits tersebut, hal yang pasti sabda Rasulullah itu makin memperkuat eksistensi Islam sebagai agama suci.

Hal ini dapat ditilik dari bukti kosa kata dan sekaligus implementasinya menggunakan istilah dan praktik yang lebih luas. Sebab secara bahasa, "kesucian" (الطًُهْر) dalam istilah fiqh memuat makna terjaga dari najis dan hadas, sedangkan "kebersihan" (النَّظَافَة) cenderung  diartikan terhindar dari kotoran belaka.

FENOMENA DAN MASALAH NASIONAL

Total penanganan sampah di Kota Malang saja sekitar 639 ton per-hari atau mencapai 96% dari volume (produksi) domestik (rumah tangga) maupun industri yang mencapai 664,2 ton per-hari.

Maka tidak heran apabila sampah dinilai sebagai persoalan publik. Bahkan pemerintah pusat mengkampanyekan penanganan sampah secara nasional, baik melalui program-programnya maupun pemanfaatan dan pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA).

Wajar saja apabila pemerintah menjadikan persoalan sampah sebagai problematika sosial berskala nasional. Sebab, para ahli lingkungan menyimpulkan setidaknya ada 10 dampak negatif yang dimunculkan dari sampah, yaitu:
  1. Pencemaran dalam kehidupan.
  2. Penyebab penyakit.
  3. Penyumbatan saluran air dan banjir.
  4. Menurunkan estetika lingkungan.
  5. Kerumitan baru dari sistem kelola kebersihan.
  6. Menambah siklus beban masyarakat yang tak kunjung usai.
  7. Terganggunya kesehatan dan kenyamanan masyarakat.
  8. Persoalan sampah tidak fleksibel, jika menumpuk menambah masalah baru.
  9. Memperkeruh persoalan lalu lintas.
  10. Berdampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi masyarakat.

HAL IHWAL SAMPAH DI PPRU I

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Terlihat seorang santri membuang sampah di tong sampah yang sudah penuh
Pertanyaan yang perlu dikemukakan ialah bagaimana persoalan sampah di lingkungan pesantren kita?
Jawaban itulah yang seyogyanya menjadi bahan renungan semua kalangan di pesantren yang didirikan KH. Yahya Syabrawi ini. Bukan saja karena sampah dianggap sebagai persoalan bersama, tetapi ketika hal semacam itu ditindaklanjuti dengan solusi yang tepat akan membuahkan kreasi sekaligus materi.

Beranjak dari wacana tersebut, maka pertama-tama yang harus dihimpun adalah identifikasi masalah yang menyelimuti PP Raudlatul Ulum I:

1. Serakan Sampah

Adanya sampah memang sebuah fakta di setiap tempat, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sampah di lingkungan pesantren kita masih menjadi bagian persoalan yang belum tuntas hingga kini.

2. Minim Lahan dan Kering Budaya

Sebenarnya ragam persoalan sampah di lingkungan pesantren kita bersumber dari lokasi yang kurang memadai. Sebagaimana kita tahu bahwa luas area sudah tidak mencukupi jika dilakukan pengembangan bangunan, kecuali menjalar ke atas.

Oleh sebab itu, fasilitas-fasilitas pendukung, termasuk bidang kebersihan, sudah tak menemukan tempat lagi. Hal ini dapat dicermati dari gerobak sampah (di lokasi pesantren putri) berada jalan strategis para santri.

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Potret Sampah di Jalan Lalu Lintas Keseharian Santri Putri PPRU 1
Kondisi demikian ini masih diperburuk oleh tingkat kesadaran semua pihak terhadap aspek kebersihan yang terbilang masih rendah. Walaupun dunia pesantren kaya dengan khazanah keilmuan, namun secara praktis dalam hal budaya kebersihan, para santri (termasuk di PP Raudlatul Ulum I) belum seindah doktrin-doktrin dalam referensinya.

3. Butuh Komitmen

Dari sekian ulasan di atas, apabila lontaran wacana ini ingin benar-benar diwujudkan dalam bentuk gerakan, maka hal pertama yang harus dikedepankan adalah komitmen semua pihak.

Tekad bersama merupakan tumpuan lahirnya kebersihan di pesantren kita. Kita tidak menemukan almamater ini menjadi asri, jika kemauan menuju ke arah itu tidak serempak.

Kaitan dengan komitmen bersama, hal penting yang perlu di bangun adalah membangkitkan kesadaran santri agar menjadi manusia berbudaya bersih. Sehingga kepedulian santri terhadap pengelolaan lingkungan berjalan selaras dengan peran mereka memberdayakan ketempilan untuk memperoleh keuntungan (profit oriented). 

4. Pesantren Hijau

Kebersihan lingkungan pesantren kita pasti menjadi impian semua pihak, tetapi mewujudkan asa tersebut memerlukan banyak tahapan. Tingkat awal yang harus dinomor-wahidkan ialah komitmen bersama untuk peduli terhadap lingkungan.

Apabila tahapan demi tahapan telah ada, maka pesantren kita bukan hanya tampil sebagai lembaga yang hijau dan bersih (green and clean), bahkan besar kemungkinan akan menjadi lumbung santri kreatif mendaur ulang barang-barang yang cenderung tak dinilai.

PENUTUP

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Aktivitas piket santri merupakan salah satu usaha menangani sampah tak bertuan.
Sampah dengan segala problematikanya merupakan persoalan tersendiri di pesantren Raudlatul Ulum I, tetapi pemberdayaan santri menjadi bagian dari solusi. 

Apabila harapan pada titik itu disertai komitmen semua pihak, maka terciptanya semisal "tas", "dompet", "pot bunga" dari barang rongsokan bukan hal tidak mungkin. Dan pada akhirnya, kita bakal menyaksikan pesantren kita ini  mampu menyulap barang hina menjadi dana.

Semoga berkah.

*Penulis: Ketua Yayasan Kiai Yahya Syabrawi PP RaudlatuUlum I Ganjaran Gondanglegi Malang.

Senin, 17 September 2018

Pola Kepengasuhan PP Raudlatul Ulum 1 - KH. M. Madarik Yahya


Pola Kepengasuhan PP Raudlatul Ulum 

Oleh : KH. M. Madarik Yahya

Kendati bukan menjadi titik awal wujudnya pendidikan keagamaan, tetapi keberadaan KH Yahya Syabrawi (1907-1987) dalam mendirikan Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I merupakan fenomena menarik yang turut menuangkan warna lain di dalam proses keberagamaan umat di wilayah Malang selatan, khususnya di seputar daerah Gondanglegi dan sekitarnya.

Dikatakan cukup fenomenal, karena animo besar yang ditunjukkan masyarakat, menjadi pertanda betapa eksistensi pesantren yang biasa disebut PPRU I itu benar-benar dilirik oleh khalayak.

Keberadaan PPRU I dinilai eksis hingga kini, dapat dilihat dari beberapa indikasi-indikasi, antara lain:
  • Para santri tidak saja berasal dari sekitar Kabupaten Malang, melainkan datang dari berbagai daerah selain Malang, bahkan dari luar Jawa.
  • Jumlah grafik para penuntut ilmu di PPRU I yang menggambarkan tren menanjak, sekalipun pada masa sekarang telah memasuki generasi ketiga.
  • Keberadaan para santri PPRU I yang selalu diperhitungkan di berbagai kegiatan, baik dalam ranah kompetisi seperti lomba baca kitab kuning Kemenag maupun dalam forum-forum ilmiah semisal bahtsul masail NU.

Fakta demikian ini tentu bukan semata-mata karena kapabilitas kiai Yahya, sebagai tokoh sentral di masanya, namun pasti terdapat faktor lain yang membuat pesantren yang berdiri tahun 1949 itu bisa bertahan sampai detik ini, meskipun peran pendirinya juga tidak kecil.

*************
Kunci utama keberlangsungan seluruh proses pendidikan di lingkungan PPRU I memang tidak dapat dilepaskan dari sosok kiai Yahya Syabrawi. Tetapi keikutsertaan beberapa tokoh lain yang menyertai beliau juga merupakan bagian dari faktor kekokohan pondasi PPRU I yang tak tergoyahkan.

Ketika KH Yahya Syabrawi memegang kemudi kepemimpinan di pesantrennya, jelas-jelas beliau tidak menerapkan konsep-konsep pendidikan modern apalagi menganut teori-teori manajemen pendidikan Islam masa kini. Apa yang dilakukan kiai asal Sampang Madura itu sangat konvensional sebagaimana lazimnya pesantren-pesantren tradisional lainnya.

Sungguh pun demikian tata kelola lembaga pendidikan, namun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan yang diselenggarakan beliau di pesantrennya tidak serta merta menyusut. Bila ditelusuri secara seksama, diakui atau tidak, kiai Yahya Syabrawi bukanlah satu-satunya tokoh yang mempunyai andil dalam hal pengembangan pesantren, tetapi terdapat kontribusi cukup besar dari beberapa sosok lain selain beliau. Sosok lain tersebut ialah KH Khozin Yahya (1939 - 2000) dan KH Mursyid Alifi (1944 - 1991).

Sebagai pendiri, kiai Yahya Syabrawi telah mengawali dan bahkan sudah menancapkan arah pendidikan, yaitu menciptakan generasi muslim yang memiliki rasa takwa kepada Allah SWT. Tetapi dari sisi metode pengajaran, beliau hanya menerapkan cara bandongan dan sorogan yang biasa dipraktikkan di berbagai pesantren-pesantren tradisional lainnya.

Kedua tokoh berikutnya inilah yang kemudian memainkan peran-peran penting dalam melestarikan dan mengembangkan PPRU I.


******************
Pola Kepengasuhan PP Raudlatul Ulum 1
Alm. al-Maghfurlah KH. Khozin Yahya (Pengasuh ke-2 PPRU 1)
KH Khozin Yahya lebih kentara di dalam keberlanjutan tradisi pengajaran yang telah ditanamkan pendahulunya. Melalui kealiman beliau ini, metode pembelajaran tetap terjaga persis seperti pendirinya. Kendati tambal sulam kitab-kitab kuning sesuai ragamnya tingkatan dan tema dilakukan oleh kiai Khozin Yahya, tetapi materi-materi kitab yang dahulu pernah dikaji oleh kiai Yahya Syabrawi tidak digeser dari sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa putra pertama kiai Yahya Syabrawi itu tetap mempertahankan tradisi kajian-kajian kitab kuning yang telah berproses.

Meskipun sikap kiai Khozin Yahya tetap memperteguh khazanah keilmuan sekaligus program pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan PPRU I, bukan berarti sosok yang lebih terlihat kesabarannya itu, tidak melakukan pengembangan pendidikan.

Salah satu hasil ide kiai Khozin Yahya dalam pengembangan pendidikan adalah berdirinya madrasah diniyah Raudlatul Ulum.

Dalam hal ini, kiai Khozin Yahya pernah berkomentar:
"Sengkok cek leburreh ke akhlakkah nak kanak diniyah."
(Saya sangat menyenangi akhlak anak-anak madrasah diniyah).

Dalam pendangan beliau, keistiqamahan santri madrasah diniyah, terutama di dalam shalat lima waktu, mampu menjadi penenang beliau dibandingkan satuan pendidikan yang lain.

**********************
Alm. al-Maghfurlah KH. Mursyid Alifi
Dalam penampilan berbeda dari kakak iparnya, kiai Mursyid Alifi lebih banyak mencari terobosan-terobosan baru dalam dunia pendidikan di PPRU I. Memang latarbelakang pendidikan kiai Mursyid tidak cuma pesantren belaka, namun beliau pernah mengenyam bangku perguruan tinggi. Oleh karena itu, inovasi pengembangan wawasan keilmuan para santri yang diciptakan putra kiai Senamah Ganjaran itu selalu terbarukan sejalan perkembangan zaman.

Di antara pengembangan yang dilakukan beliau adalah berdirinya PGA (Perguruan Guru Agama) di lingkungan madrasah Raudlatul Ulum desa Ganjaran Gondanglegi Malang. Tentu saja fenomena ini membuat sebagian besar mata tokoh masyarakat menjadi terbelalak, sebab ide tersebut dicurigai sebagai misi tertentu yang terselubung.

Sayangnya, konflik antar tokoh mengenai seputar fakta dan sikap berkaitan dengan ide beliau, menyebabkan unit sekolah ini terkubur oleh ketidaksepakatan.

Selain mengkaji kitab kuning di dalam PPRU I, kiai Mursyid Alifi juga acapkali memfasilitasi kegiatan-kegiatan di luar program rutinitas pesantren. Salah satu aktifitas yang pernah dipandegani beliau adalah pelatihan jurnalistik bagi santri. Program yang mendatangkan pembicara kompeten di bidangnya dan atas kerjasama pesantren dengan pihak luar itu ditargetkan mampu menghasilkan santri-santri yang memiliki kepiawaian pengetahuan di dalam dunia pemberitaan.

************************
Keseimbangan model kepengasuhan kiai Khozin Yahya dan kiai Mursyid Alifi sedemikian rupa bagai dua baling-baling yang membuat seluruh proses-proses di PPRU I seperti elang yang tengah mengepakkan dua sayapnya.

Kiai Yahya Syabrawi memang telah tiada, tetapi warisan peninggalan berupa lembaga pendidikan tetap tegak berdiri di tengah-tengah gulungan zaman yang kian menghantam dunia pesantren. Tentu keberlangsungan pendidikan di pesantren ini disebabkan oleh eksistensi model kepemimpinan para pengasuh yang berimbang antara tradisional dan modern. Sehingga sampai sekarang pun -generasi ketiga - jargon NU:

الْمُحَافَظَة عَلَى الْقَدِيْم الصّالِح وَالْأخْذ بِالْجَدِيْد الْأصْلَح

di PP Raudlatul Ulum I enar-benar terejawantah.

Semoga berkah. Amin.

* Staf Pengajar di IAI Al-qolam Gondanglegi Malang.


Kamis, 06 September 2018

Merajut Akhlaq Karimah Dengan Shalat - Tinjauan Dua Dimenasi

Merajut Akhlaq Karimah Dengan Shalat - Gus Zamzami Alifi
Merajut Akhlaq Karimah Dengan Shalat - Dua Dimensi Sholat
Oleh: Gus Zamzami Alifi

Ironi Moralitas

….. Sesungguhnya shalat dapat mencegah (manusia) dari perbuatan keji dan mungkar”. Begitulah kiranya arti dari penggalan ayat al-Qur’an surah al-‘Ankabut: 45. bahwa pada hakikatnya, melaksanakan shalat, yang sebenar-benarnya akan menghantarkan orang yang melaksanakannya terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik atau tidak terpuji. Dengan kata lain, melaksanakan shalat akan mendorong hatinya untuk selalu melakukan kebajikan dalam kehidupannya sehari-hari.

Akhir-akhir ini sering kita jumpai banyak orang-orang yang menyandang status Ustadz, Gus, Kyai, bahkan Ulama yang sudah barang tentu label yang disandangnya itu pastilah menuntut dirinya untuk melaksanakan shalat. Namun ironinya, dibalik ibadah yang selalu mereka laksanakan, bahkan ibadah-ibadah selain shalat, banyak orang-orang yang tidak tenang, damai, sejahtera, bahkan tersakiti oleh perbuatannya.

Bukankah Nabi SAW. telah berasabda dalam hadis:

"المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده ..." رواه البخاري ومسلم

Yakni; seorang muslim yang sejati adalah ia yang senantiasa membawa kesejahteraan bagi saudara-saudaranya? Mereka selalu terlindung dan aman dari perkataan dan perbuatan buruknya? Jika kita kembali hayati kembali arti dari penggalan surah al-‘Ankabut di atas, sebenarnya shalat macam apa yang telah mereka laksanakan? Kenapa masih saja mereka gemar berbuat keji, mungkar, dan perbuatan tidak baik lainnya?

Dalam hal ini, perlu kiranya kita merekonstruksi kembali sampai ke aspek terdalam dari shalat kita. Yang dengan demikian, diharapkan ibadah shalat yang kita laksanakan tidak hanya sebagai tuntutan religius belaka, namun juga dapat merangkul aspek kebutuhan spiritual kita, yang pada akhirnya pencapaian yang kita harapkan dari shalat kita dapat diraih dengan optimal, yakni berperilaku kepada yang lain dalam koridor al-Akhlaq al-Karimah dalam kehidupan sehari-hari, atau dalam bahasa ayat diatas terhindar dari suka melakukan perbuatan yang keji dan mungkar.

Dua Dimensi Shalat

Selama ini, kita mengenal bahwa shalat adalah rukun islam yang menempati posisi kedua setelah syahadah. Sebagai sebuah ritual ibadah dengan gerakan dan bacaan tertentu yang diawali dengan Takbirat al-Ihram disertai Niat serta diakhiri dengan salam, dilaksanakan dalam waktu yang tertentu, seperti yang telah dijelaskan panjang lebar dalam kitab-kitab fiqih. Inilah bentuk shalat yang berada dalam Dimensi Lahir, atau dalam ilmu tasawwuf, dimensi ini merupakan bentuk shalat yang berada pada tingkatan syari’at.


Pada dimensi ini, seorang muslim memiliki keterikatan intruksional dengan peraturan-peraturan peribadatan yang telah diarahkan dan ditegaskan dalam al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab fiqih. Semua bentuk larangan, hal-hal yang membatalkan, juga yang membuat shalat tidak sah harus ditinggalkan. Sebaliknya, shalat juga memiliki syarat-syarat, kewajiban, serta rukun-rukun yang harus dilaksanakan. Semua ketentuan ini harus dipatuhi oleh seorang muslim dalam melaksanakan shalat. Jika tidak, konsekuensi seperti batal dan bahkan dosa harus ditanggung oleh pelakunya.

Namun dari pada itu semua, terdapat sebuah dimensi batin dalam shalat, yang apabila dimensi ini tidak dilaksanakan, maka yang didapatkan dari shalatnya tersebut hanyalah sebatas olah raga dan oleh mulut saja. Hal ini diistilahkan oleh para Wali Songo dengan istilah Sembah Rogo (ibadah ragawi). Sebab dalam pelaksanaannya, hanya yang digunakan. Seperti halnya puasa yang telah disinggung oleh Nabi dalam haditsnya: 

"كم من صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش" رواه أحمد

Ada sebagian orang yang melaksanakan ibadah puasa yang mana ia hanya mendapatkan rasa lapar dan haus dari puasanya itu”. Dalam al-Qur’an pun telah disinggung dalam surah al-Furqan: 23 sebagaimana berikut:

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا

Dan kami datangi sebuah amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan

İni berarti ibadah yang dilaksanakannya hanya sebatas Sembah Rogo saja, atau hanya melaksanakan ibadah pada dimensi lahirnya. Tidak sampai memenuhi apa yang menjadi tujuan dan implikasi dari sejatinya ibadah dalam kehidupan nyata.

Oleh karena itu, penting juga untuk kita perhatikan dimensi kedua dari shalat ini, yakni Dimensi Batin. Sebuah dimensi dimana shalat lepas dari berbagai macam ketentuan-ketentuan ibadah ragawinya. Tidak hanya berbentuk gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan, akan tetapi juga menyertakan Khusyu’, Khudlu’, Penghayatan, dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata di luar shalat.Dimensi ini diistilahkan oleh para Wali Songo dengan Sembah Cipto (ibadah cipta), yang dalam bahasa tasawwuf, shalat semacam ini menempati tingkatan thariqoh.

al-Khusyu’ dan al-Khudlu'

Dua hal ini bukan termasuk syarat-syarat, kewajiban, atau rukun dalam shalat. Seperti kita ketahui bersama, tidak ada ketentuan dalam kitab-kitab fiqih yang menyatakan bahwa shalat seseorang yang tidak disertai dengan khusyu’ dan khudlu’ difonis dengan konsekuensi batal bagi shalatnya. Namun shalat yang ia laksanakan masih dikategorikan sah secara syar’i selama prinsip rukun-rukun shalat yang telah ditentukan tetap dilaksanakannya. 

Khusyu’ bukan berarti hanya mengingat kepada Allah SWT dan melupakan yang lain. Sebab, bagi kita, hal yang demikian itu sembilan puluh sembilan persen adalah tidak mungkin, kecuali bagi orang-orang yang ‘arif billah (para wali Allah). Pikiran manusia, secara otomatis, pasti selalu mengingat-ingat dan terbayang-bayang hal-hal yang pernah diinderanya. Sedangkan Allah SWT, Tidak pernah tampak oleh indera kita.

Arti yang cocok dari khusyu’ adalah menfokuskan pikiran dan bayangan kita dengan apa yang sedang kita lakukan yang dalam hal ini adalah shalat. Di samping itu juga menghadirkan hati kita dengan menghayati gerak demi gerak dan bacaan demi bacaan yang ada dalam shalat.

Suasana shalat yang demikian ini, dapat kita lakukan dengan cara khudlu’. Kata ini berarti berperilaku yang menggambarkan sikap “kepatuhan”, yang diindikasikan dengan terhindarnya semua anggota tubuh kita dari perbuatan-perbuatan yang tidak ada hubungannya dengan shalat. Oleh karenanya, dalam ketentuan fiqih, gerakan-gerakan kecil berapapun banyaknya, atau gerakan besar yang tidak melebihi tiga kali gerakan yang berturut-turut, meskipun tidak ada hubungannya dengan shalat, tidak dikategorikan sebagai gerakan yang membatalkan shalat. Sebab ketentuan ini adalah dalam rangka mengantarkan kita untuk melaksanakan shalat dengan khudlu’.

Perilaku yang menggambarkan sikap “kepatuhan” ini (khudlu’) telah disinggung secara ekplisit dalam definisi al-Ihsan yang terdapat dalam penggalan hadis berikut:

"... أن تعبد الله كأنك تراه، وإن لم تكن تراه فإنه يراك. ..." رواه مسلم

Yang artinya adalah “Ketika kita beribadah kepada Allah (yang dalam hal ini adalah shalat), maka sebisa mungkin diri kita berperilaku seakan-akan kita melihatNya. Atau kalau tidak demikian, maka kita nyatakan dalam keyakinan kita bahwa saat ini Allah sedang melihat, memperhatikan, dan mengawasi shalat kita.” Sehingga dengan demikian, kita menjadi takut dan khawatir untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak menggambarkan “kepatuhan” yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan shalat kita. Dengan begitu, ibadah shalat kita ini dilaksanakan dengan khudlu’, yang juga mengantarkan kita untuk khusyu’.

Penghayatan dan Implementasi

Jika pada bagian sebelumnya khusyu’ dan khudlu’ dilaksanakan ketika melaksanakan shalat, maka pada bagian ini merupakan bentuk dari elemen shalat batin yang dilaksanakan di luar shalat. Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak terikat oleh ruang dan waktu, seperti halnya khusyu’ dan khudlu’ yang pelaksanaannya terikat oleh waktu ketika dijalankannya shalat.

Penghayatan ini berarti meresapi, memikirkan, mengangan-angan tentang makna-makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap detail dari ibadah shalat yang sudah dilaksanakan, baik berupa gerakan ataupun bacaan. Bisa juga diartikan dengan tafakkur, tadabbur, atau ta-ammul. Makna dan nilai yang telah diresapi, dipikirkan, dan diangan-angani tadi tidak hanya dibiarkan mengendap dalam otak dan hati kita. Namun lebih dari itu, perlu juga untuk diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Dengan demikian, meskipun dalam kehidupan nyata kita hanya menjalankan aktifitas sosial kita dengan sesama manusia dan alam, namun dalam sejatinya di setiap aktifitas kita terpancar cahaya shalat. Sehingga setiap saat pun kita tetap melaksanakan shalat yang disertai dengan khusyu’ dan khudlu’.

Tidak ada lagi perbuatan-perbuatan buruk yang akan kita lakukan, baik kepada sesama ataupun kepada alam lingkungan kita. Sebab setiap saat kita melaksanakan shalat batin, meskipun sedang melakukan aktifitas-aktifitas sehari-hari. Hidup kita menjadi cahaya yang selalu menerangi orang lain dan lingkungan sekitar kita.

Urip iku urup. Hidup itu menyala, bagaikan pelita yang menerangi alam di sekelilingnya. Menghalau setiap kegelapan dengan cahayanya. Begitulah seharusnya hidup kita. Allah SWT telah menakdirkan kita menjadi makhluk hidup. Oleh karenanya sudah seharusnya kita mampu menyinari segala hal di sekitar kita dengan cahaya kebaikan, serta menepisnya dari gelapnya keburukan. Hal ini adalah seperti yang telah diwasiatkan oleh Sunan Kalijaga.

Dari penjelasan panjang lebar di atas, jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan buruk, yang telah disinggung dalam surah al-‘Ankabut dengan al-fakhsya’ wa al-munkar, penyebabnya tidak lain adalah shalat yang hanya dilaksanakan hanya dari sisi lahirnya saja. Sehingga serajin apapun shalat yang kita laksanakan tidak akan membuat diri kita suci dari perbuatan-perbuatan buruk. Shalat kita tidak mendarah daging dengan diri kita. Makna dan nilai sejati dalam shalat tidak ikut serta menghiasi dan menerangi setiap langkah dan aktifitas kita.

Jadi tidaklah mengherankan jika banyak orang-orang yang menyandang label ustadz, gus, kyai, bahkan ulama yang masih saja suka menhujat, menghina, mencela, menyesatkan, atau bahkan mengkafirkan, perbuatan mereka tidak menggambarkan dirinya sebagai man salima al-muslimun min lisanihi wa yadihi, seperti yang telah disinggung oleh hadis di atas. Label yang mereka sandang tidak menjadikan mereka sebagai li utammima makarim al-akhlaq (untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur), tidak mendorong mereka menjadikan agama mereka sebagai rahmatan li al-‘alamin (untuk menebar kasih sayang bagi semesta alam). Padalah, mereka menyandang label Ulama yang seharusnya berperan sebagai waratsah al-anbiya’ (pewaris keluhuran para Nabi).

*****