Senin, 28 September 2015
Rabu, 01 April 2015
Abu al-Aswad al-Du'ali
Oleh : Miftahul Ulum *
Ibnu Aqil Syarah al-Fiyah |
Ilmu Nahwu merupakan salah satu bidang ilmu
yang mendapat perhatian besar di pesantren. Terbukti dari banyaknya kitab ilmu nahwu
yang di pelajari para santri, seperti Al-Âjurûmiyah, Al-‘Imritî, dan AlfiyahIbnMâlik.
Kitab-kitab tersebut biasanya dihafalkan para santri. Lalu siapakah orang yang dianggap sebagai pencetus ilmu Nahwu?
Dalam I’lam
al-Bararahbil al-Mabadi’ al-Syarah karya Shâlih Ahmad bin Sâlim
al-‘Idrus disebutkan bahwa pencetus ilmu Nahwu adalah Abû Aswad al-Du’alî atas perintah dari‘Alî
bin Abî Thâlib. Nama lengkapnya adalah Dialim bin ‘Umar bin shafyân bin Jandal bin
Ya‘mûr bin Hils bin Nafasah bin Udâf bin al-Du’alî bin Bakar bin Abd Manâf bin
Kinânah bin Mudrikah bin Ilyâs bin Mudar bin Nazar. Dari pihakibuAbû al-Aswad
al-Du’alî masih keturunan dari Banî Abd al-Dâr bin Qushai.
Selasa, 06 Agustus 2013
Profil KH. Yahya Syabrowi - Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1
Jika saat ini desa Ganjaran Gondanglegi Malang dipadati dengan masyarakatnya yang ramah, suara-suara merdu santri mengaji, pondok-pondok pesantren yang terlihat eksis mengkaji kitab kuning, maka suasana tersebut tidak terlepas dari jasa sosok seorang Kiai yang Tawadhu, cinta akan ilmu, sekaligus Mukasyif.
Senin, 06 Mei 2013
Profil KH. Mursyid Alifi
KH. Mursyid Alifi |
K.H.Mursyid dilahirkan pada tanggal 25 November 1944M di desa Ganjaran.Beliau putra termuda dari 6 bersaudara. Sejak kecil beliau telah menjadi yatim piatu, beliaupun tinggal bersama dengan saudara-saudaranya. Beliau menimba ilmu pada KH. Yahya Syabrawi.Kemudian menginjak dewasa,beliau nyantridi Peterongan Jombang dan Bangkalan Madura pada K.H.Kholil, selama 2 tahun. Setelah menyelesaikan mondoknya, beliau melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Ampel Bangkalan,yang menjadi cabang IAIN Surabaya. Setelah selesai, beliau mendapat gelar sebagai Sarjana Muda.Untuk melengkapi gelarnya beliau melanjutkan kembali kuliahnya di IAIN Malang.
Pada tahun 1971 beliau kembali ke desa Ganjaran. Tak lama kemudian beliau dinikahkan oleh K.H. Yahya Sabrawi dengan putrinya yang saat itu masih nyantri diJombang.Tetapi, meski sudah menempuh hidup baru,keinginan untuk menuntut ilmu masih membara dalam hatinya.Hal ini terbukti meskipun sudah menyunting Nyai Hj. Hamimah, Mursyid muda masih melanjutkan studinya yang ditinggalkan di Bangkalan kemudian masuk IAIN Malang (sekarang UIN Maulana Malik Ibrahim Malang). Internalisasi dan sosialisasi didunia akademis maupun didunia luar pesantren yang intens pada gilirannya membuat semangat pembarahuan menyala didada Mursyid muda.
Pada tahun 1971 beliau kembali ke desa Ganjaran. Tak lama kemudian beliau dinikahkan oleh K.H. Yahya Sabrawi dengan putrinya yang saat itu masih nyantri diJombang.Tetapi, meski sudah menempuh hidup baru,keinginan untuk menuntut ilmu masih membara dalam hatinya.Hal ini terbukti meskipun sudah menyunting Nyai Hj. Hamimah, Mursyid muda masih melanjutkan studinya yang ditinggalkan di Bangkalan kemudian masuk IAIN Malang (sekarang UIN Maulana Malik Ibrahim Malang). Internalisasi dan sosialisasi didunia akademis maupun didunia luar pesantren yang intens pada gilirannya membuat semangat pembarahuan menyala didada Mursyid muda.
Profil KH. Khozin Yahya Syabrowi
Oleh :
Guz. Ma’ruf Khozin
KH Khozin Yahya |
KH Khozin Yahya adalah putra pertama pasangan KH Yahya Syabrowi dan Nyai Hj. Mamnunah Bukhari. Beliau pula yang menjadi pengasuh kedua di PP Raudlatul Ulum 1 Ganjaran Gondanglegi Malang.
Ibu Nyai Sepuh, Nyai Mamnunah mengisahkan bahwa KH Khozin Yahya dilahirkan di Ganjaran, di Dalem KH Bukhari yang saat ini ditempati oleh KH Mujtaba Bukhari. Beliau lahir pada malam Kamis (jam 2) 16 Jumada Akhir 1358 H / 1939. KH Yahya Syabrowi memberi nama ‘Khozin’sebagai bentuk tafa'ulan (mengharap kebaikan) kepada guru beliau KH Khozin, pengasuh Pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo.
Ibu Nyai Sepuh juga mengisahkan bahwa kira-kira waktu KH Khozin berusia 2 tahun, KH Bukhari telah membelikan sebuah rumah dan tanah untuk KH Yahya yang terletak di dekat perempatan desa Ganjaran. Maka KH Yahya dan Nyai Mamnunah pindah ke rumah barunya, dan Nyai Sepuh berkata: "Waktu itu masih sangat serba sulit, belum punya sesuatu untuk dimakan", kenang beliau.