Kamis, 31 Desember 2020

Menyederhanakan Ilmu Mantik (resensi)




Menyederhanakan Ilmu Mantik
Oleh: Gus Muhammad Hilal

Resensi: Menyederhanakan Ilmu Mantik

Judul: Ilm al-Manthiq li al-Madāris al-‘Arabiyah
wa al-Ma‘āhid al-Dīniyah bi Indūnisiyā

Penulis:
Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī
Penerbit
: Syirkah Maktabah Mushthafā al-Bābī al-Halabī
Tahun:
1937
Tebal
: 84 halaman

Tujuan kitab ini adalah untuk menutupi kekosongan yang ditemui penulisnya. Di Indonesia banyak beredar kitab-kitab mantik berbahasa Arab, namun bahasanya sangat sulit. Bahkan kitab mantik yang biasanya diajarkan untuk pemula pun masih terlalu sulit dipahami. Hal itu merugikan, baik bagi pembelajar ilmu mantik maupun bagi para guru yang mengajarkannya.

Upaya menyusun kitab ilmu mantik yang sederhana dan ringkas bagi pemula memang tantangan tersendiri. Ilmu ini tergolong “menakutkan” bagi pemula karena tingkat kesulitannya. Namun, kesan menakutkan itu sebenarnya lebih didorong oleh jarangnya buku-buku yang bagus untuk pemula.

Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī adalah salah satu penulis Indonesia yang berusaha memenuhi tantangan itu. Melalui kitab tipisnya, dia terhitung berhasil melakukannya. Keberhasilan itu terlihat dari beberapa upayanya. Pertama, dia membuat contoh-contoh yang cukup kaya. Dalam kitab-kitab lain, contoh-contoh yang diberikan berkutat pada “al-insān hayawān al-nātiq,” mirip seperti ilmu Nahwu yang contoh-contohnya melulu “jā’a zaidun, dlarabtu zaidan, marartu bi zaidin.” Ketersediaan contoh-contoh yang tidak itu-itu saja membuat uraian-uraian teori dan kaidah-kaidahnya jadi lebih mudah dicerna.

Kedua, Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī juga membuatkan bagan dan kolom untuk menyederhanakan konsep-konsep yang terkandung dalam ilmu ini. Dengan kata lain, dia memanfaatkan strategi mind mapping agar bukunya ini lebih mudah dipahami. Dalam teori pembelajaran modern, sekarang sudah terbukti bahwa strategi mind mapping adalah salah satu strategi pembelajaran yang efektif.

Ketiga, dia fokus pada pembahasan ilmu mantik semata, tanpa menyisipkan ilmu-ilmu lainnya. Beberapa kitab yang beredar di Indonesia, katanya, menjadi sulit dipahami karena di dalamnya terkandung ilmu-ilmu yang bermacam-macam, tidak fokus. Itu membuat para pemula sering kehilangan arah saat mempelajarinya. Suatu kitab yang mudah bagi pemula, bagi Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī, adalah kitab yang fokus, tidak melantur ke mana-mana.

Mungkin karena upaya yang ketiga ini, Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī tidak menjelaskan hukum mempelajari ilmu ini sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab mantik lainnya. Itu adalah wilayahnya  ilmu fikih, bukan ilmu mantik.

Demikianlah, kitab ini dikarang dalam upaya mengisi ruang kosong kemudahan dan kesederhanaan dalam penyajian ilmu mantik. Namun apakah dia adalah satu-satunya orang di Indonesia yang mengupayakan hal itu? Jika kita telisik khazanah keilmuan di negeri itu, akan mudah ditemukan bahwa jawabannya adalah tidak.

Tujuan seperti ini juga pernah dilakukan oleh Syaikh Yasin Padang. Kitabnya yang berjudul Risālah fi ‘Ilm al-Manthiq ditulis dalam format Q & A (tanya-jawab). Tentu itu sangat memudahkan bagi pemula. Uniknya, Syaikh Yasin Padang menyatakan bahwa ilmu ini bisa membantu kita untuk mempelajari ilmu Usul Fikih dan Ilmu Balaghah.

Tokoh Nusantara lain yang mengupayakan hal serupa adalah KH. Miftah bin Ma’mun Marti Cianjur. Kiai ini sangat produktif menulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan. Kitabnya tentang ilmu mantik pun banyak. Saya memiliki delapan kitabnya yang khusus membahas ilmu mantik. Kitab-kitab ini berbentuk syarh, hasyiyah, dan sebuah tulisannya sendiri berjudul Al-Miftāh ‘ala Tahrīr Qawā’id al-Mantiq.

Pada dasarnya, kitab berbentuk syarh dan hasyiyah pun sebenarnya bertujuan sama. Setiap syarh dan hasyiyah sebenarnya berangkat dari keinginan mengurai suatu kitab yang tulisannya cenderung sulit dipahami. Hanya saja, kitab syarh dan hasyiyah biasanya tidak diperuntukkan untuk kalangan pemula, melainkan untuk pembelajar tingkat madya atau.tingkat lanjut.

Beberapa pesantren telah menyusun buku ajar yang berupa syarh atas nazam Al-Sullam al-Munawraq. Kitab-kitab itu disusun sebagai buku ajar atau kitab takrir untuk para santri. Pada umumnya, kitab syarh takrir semacam ini adalah ringkasan dari kitab lain yang lebih besar. Namun, karena memang kitab-kitab itu ditulis oleh sang kiai atau santri senior di pesantren bersangkutan, maka bisalah kiranya kitab-kitab itu digolongkan sebagai khazanah Nusantara.

Kitab ‘Ilm al-Manthiq yang ditulis oleh Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī itu memang bukan satu-satunya kitab mantik yang bertujuan untuk memudahkan para pemula dalam belajar ilmu itu, tapi harus diakui bahwa kitab ini memiliki keunikannya sendiri. Sebagaimana disebutkan di muka, penyajian contoh-contoh yang kaya dan pencantuma bagan serta kolom adalah keunikannya yang tampaknya tidak miliki oleh kitab mantik lain yang ditulis oleh para ulama Nusantara.

Keunikan lainnya adalah ketika dia menyebutkan sebab-sebab kegalatan berpikir. Kitab mantik selalu menyebutkan bentuk-bentuk kegalatan berpikir (mughālathāt) di bagian akhirnya. Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī menambahkan bagian khusus, yakni penyebab kegalatan berpikir itu. Hal ini menjadi sumbangsih Muhammad Nūr al-Ibrāhīmī dalam kitab mantik, sebab kitab-kitab lainnya tidak ada yang secara khusus menyebutkan sebab-sebab kegalatan berpikir semacam ini.

Menurut penulis kitab ini, ada tujuh sebab yang jadi biang keladi kegalatan berpikir: (1) terlalu buru-buru memvonis, (2) terlalu mudah membenarkan, (3) pemihakan terhadap suatu pandangan, (4) pengaruh adat-istiadat, (5) hawa nafsu, (6) gemar berbeda pandangan, (7) mudah terpesona.

Pencantuman sebab-sebab kegalatan berpikir ini tidak disebutkan apa obat penawarnya. Secara tersirat, penulisnya  ingin mengatakan bahwa penguasaan ilmu mantik semata belum cukup  untuk menghindari bentuk-bentuk kegalatan berpikir. Mereka yang mahir dalam ilmu mantik tidak secara otomatis akan menghindari kegalatan berpikir, sebab penyebab-penyebabnya bukan hanya ketiadaan pengetahuan akan ilmu itu. Ada hal-hal lain di luar aspek pengetahuan kognitif yang harus diperhatikan agar terhindar dari kegalatan berpikir. Aspek non kognitif ini berada di luar ilmu mantik. Dengan demikian, semakin terlihatlah bahwa interdependensi dan interkoneksi antar ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan.[]

Senin, 30 November 2020

RUROUNI KENSHIN I

 


RUROUNI KENSHIN I

Oleh: Gus Muhammad Hilal

 

Ada tiga peristiwa besar dalam sejarah Jepang. Ketiganya membentuk Jepang menjadi sebagaimana adanya sekarang.

Pertama, ketika trio shogun berkuasa secara bergantian: Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu. Peristiwa sejarah ini menandai persatuan Jepang untuk pertama kali dalam sejarahnya setelah terpecah-pecah dalam petak-petak kekuasaan para daimiyo. Di samping itu, peristiwa ini menjadi momentum naiknya kaum samurai ke puncak kelas sosial tepat di bawah kaisar.

Kedua, ketika Kaisar Meiji mencanangkan restorasi kekuasaan ke tangannya. Sang Kaisar menghapus para samurai dari daftar kelas sosial. Barangkali jiwa dan semangat kesamuraian masih dipertahankan, namun sejak saat itu menjinjing pedang di jalanan adalah tindakan ilegal. Fase sejarah ini adalah fase keterbukaan dan Jepang mulai menyerap pengetahuan dan teknologi modern.

Lalu, ketiga, ketika Jepang menjadi sebuah negara fasis yang berakhir pada ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Ini semua cuma pengantar saja. Film ini berlatar hanya di fase historis yang kedua saja.

***

Menghapus fungsi samurai dari peta sosiologis Jepang klasik bukanlah perkara mudah. Bagi mereka, status samurai adalah juga urusan gengsi. Punya pedang pula! Tidak sedikit dari para samurai yang menentang titah Sang Kaisar ini, dan tak jarang mereka mengungkapkan protesnya dengan bahasa pedang.

Menghadapi para pembangkang perintah ini, Sang Kaisar membentuk sebuah organisasi rahasia yang tugasnya memata-matai dan sekaligus mengeksekusi mereka di tempat. Anggota organisasi ini ya dari kalangan samurai juga, tapi yang setuju dengan titah Sang Kaisar.

Alkisah, terdapat salah seorang anggota dari organisasi ini yang amat ganasnya memburu para samurai pembangkang. Saking ganasnya sehingga dia menjadi seorang legenda yang namanya tak lekang zaman. Hitokiri Battosai, namanya. Atas nama kaisar dan Era Baru yang dijanjikan dia menebas, menyabet sana-sini, membantai tanpa ampun semua pemberontak itu. Inikah harga yang harus dia bayar demi menyambut zaman baru negerinya? Membunuh sesama samurai, sesama anak bangsanya?

Bertahun-tahun dia dan para pendukung kebijakan restorasi mendesak para pembangkang. Hingga, pertarungan melawan para pembangkang berakhir sudah. Kemenangan berhasil direbut golongan pro restorasi. Tak perlu lagi ada perang saudara.

Sejak saat itu, Battosai bertobat. Dia berjanji tidak akan membunuh lagi.

***

10 tahun sudah berlalu. Langkah pertama menuju Zaman Baru.

Battosai sekarang menjadi seorang pengembara. Namanya pun kini berganti Himura Kenshin. Tapi sampai kapan pun tak akan lepas pedang dari pinggangnya. Hanya saja, kali ini pedangnya lain dari biasanya: berbilah terbalik. Kalau nanti terpaksa dia bertarung dengan pedang ini, lawannya tidak akan mati kena bacok, paling-paling cuma pingsan kena pentung.

***

Zaman sudah berubah. Kesempatan berdagang kali ini adalah kesempatan semua orang. Kelas menengah penggerak roda ekonomi itu meningkat. Dengan kata lain, golongan sejahtera tambah banyak. Tapi tak semua kesejahteraan itu diperoleh dengan cara halal: opium.

***

Ah, mana mungkin saya melupakan Kamiya Kaoru (Emi Takei), perempuan menawan itu. Ayahnya adalah seorang samurai yang menjadi korban kebijakan restorasi, tewas di tangan para pemburu. Sebuah dojo (balai pelatihan bela diri) warisan ayahnya harus Kaoru urus, dengan hanya seorang murid, seorang bocah bengal, Myojin Yahiko (Taketo Tanaka).

Selama sepuluh tahun ini Kouru mencari Battosai yang legendaris untuk membalaskan dendam kematian ayahnya. Namun, perjumpaan lebih lanjut malah membikin mereka bersahabat, bahkan keduanya kemudian saling berbagi rasa. Kaoru dan Battosai Si Pembantai saling jatuh cinta.

***

Di masa-masa ini, para samurai mengalami keadaan yang sangat buruk. Mereka baru saja tersungkur dari tahta status sosialnya. Akses ekonomi dan politiknya dipangkas tanpa sisa. Selanjutnya, mudah ditebak, mereka cuma jadi para begundal yang rela dibayar murah.

Kanryu Takeda (Teruyuki Kagawa), seseorang yang menjadi amat kaya berkat bisnis opium, merekrut para samurai itu untuk mengabdi padanya. Beberapa di antaranya berkemampuan sangat hebat.

Kenshin dan seorang kawannya, Sagara Kenosuke (Munetaka Aoki), menyerbu rumah sekaligus markas Takeda dan berhasil melumpuhkan semua gembong kejahatan itu. Salah seorang samurai rekrutan Takeda, Jin-e Udo (Koji Kikkawa), menculik Kaoru untuk memancing Kenshin berduel dengannya hidup-mati.

***

“Seorang pembunuh tetaplah seorang pembunuh.”

“Setelah kau jadi seorang pembunuh, tidak ada jalan untuk kembali.”

Jin-e Udo menantang Kenshin berduel tak ada motif lain selain mengembalikan amarah Battosai yang terkenal. Dengan kata lain, dia hanya ingin Kenshin kembali ke jalannya yang semula dan melanggar janji yang sudah sepuluh tahun ini dia pegang erat-erat. Berhasilkah Kenshin mempertahankan janjinya untuk tidak membunuh lagi?[]

===================================

Judul           : Rurouni Kenshin I

Rilis            : 25 Agustus 2012

Pengarah     : Keishi Otomo

 

Selasa, 11 Maret 2014

Nahwu Putih & Sharraf Putih

Nahwu Putih & Sharraf Putih
Bagi santri dan alumni PPRU 1 Ganjaran, tahun 90-an, siapa yang tidak tahu dengan istilah Nahwu Putih, dan Sharraf Putih. Sebuah kitab nahwu dan sharraf dasar, yang dijadikan kitab pedoman bagi para santri PPRU 1 untuk mendalami gramatika arab. pasalnya, kitab yang menggunakan tulisan tangan ini, dibuat awal tahun 1990-an, ditulis oleh Ust. Toha, tertanggal 26-8-1414 H, dan sampai sekarang masih tetap dipakai serta dijadikan acuan  penguasaan gramatika arab dasar untuk para santri.