Jumat, 05 Maret 2021

Cakrawala berfikir Ala Madzhab (resensi)

 


Resensi Risalah Fathu al-Majid fi Bayani at-Taqlid “Cakrawala berfikir Ala Madzhab”

Oleh: Mursyid Hasan

 

 

Profil Pengarang Kitab

Pengarang kitab Fathu al-Majid fi Bayani at-Taqlid ini termasuk salah satu putra dari ulama terkenal dari Indonesia siapa lagi kalau bukan  KH. Abdullah Abd Manan pendiri Pondok Pesantren Tremas, keluarga beliau memang ahli ilmu agama, jadi wajar kalau putra-putra beliau sangat mendalami ilmu agama seperti yang akan kita bahas ini.

Kami sebut dengan nama Kyai Dahlan Tremas, beliau mulai mendalami ilmu agama dari sang ayah di Tremas kemudian dating ke kota Semarang untuk berguru kepada KH. Sholeh Darat setelah ilmu yang ia dalami sudah mumpuni. Baru beliau Melanjutkan tholabul ilm’nya ke Makkah dan Mesir. Diantara Guru-gurunya disana, Syekh Bakri Syatha, Syekh Jamil Djambek dan Syekh Thahir Djalaluddin.

Ringkasan

Sebuah Risalah yang sudah di ringkas dan penjabarannya terlalu  padat ini ditulis untuk menerangkan betapa pentingnya bertaqlid atau dalam diksi lain menjalankan aktivitas keagamaan baik berupa ibadah maupun muamalah sesuai arahan para ulama yang sudah menganalisa, mengkaji, membuat rumusan.

Sebagaimana yang sudah diketahui bersama bahwa tidak mungkin setiap orang dapat menyimpulkan hukum langsung melalui sumbernya, bahkan diantara para ulama pun gelar mereka bertingkat-tingkat sesuai dengan kapasitas penguasaan ilmu yang mereka miliki, penulis telah menjelaskan hal ini panjang lebar agar siapa pun yang berinteraksi  dengan sumber primer agama ini mengetahui kadar dan kemampuan diri.

Dalam risalah ini juga kita dikenalkan nama-nama tokoh Ulama Syafi’iyyah yang dijadikan pondasi dalam menganalisa perangkat imam mazhab dalam beristinbath. kita akan melihat posisi mereka berbeda -beda sesuai dengan nama atau gelar seperti perbedaan antara mujtahid mustaqil dan mujtahid mutlaq muntasib, ashabul wujuh, mujtahid fatwa dst. juga disebutkan penggunaan istilah syaikhain dan cara memilih pendapat keduanya jika bertentangan.

Salah satu susunan tema puzzle yang menarik untuk diketahui adalah kebolehan mengambil pendapat yang lemah untuk amalan pribadi namun tidak untuk fatwa publik disamping kebolehan bagi mufti memberikan pilihan dua pendapat Imam Syafi’i saat menyampaikan fatwa.

Risalah ini sangat penting bagi pengikut mazhab Imam Syafi’i, agar ahli ilmu dikalangan mereka menjadikannya sebagai pegangan serta diajarkan kepada masyarakat Syafi’iyyah demi untuk memberikan pemahaman secara utuh tentang esensi bermazhab dan bertaqlid serta paham aturan dan kaidah yang telah ditaati bersama oleh Ulama Syafi’iyyah.

Kelebihan Risalah Fathu al-Majid fi Bayani at-Taqlid

Risalah ini Membuka cakrawala berpikir khususnya bagi pendakwa tidak perlu bermazhab dan kaum yang tidak memiliki kematangan perangkat ilmu fiqh dan ushul fiqh supaya mereka tahu diri dan posisi saat berinterkasi dengan sumber primer agama yang disepakati yaitu Al-Quran dan Al-Hadis.

 

Cerita sang nahkoda



Cerita sang nahkoda

Oleh : Muhammad Farhan

 

Walaupun terlahir dari ayahnya, tak lantas untuk menjadikannya manusia yang lupa terhadap ibunya, apalagi durhaka.

Mungkin, atau sudah dalam taraf pasti, kebanyakan dari manusia adalah terlahir dari rahim seorang ibunda. Bukan dari ayahanda. Namun masih juga banyak dari mereka yang tidak menaatinya.Meskipun terlahir darinya.Tapi tidak dengan ia. Walaupun dilahirkan dari ayahnya, tak lantas membuatnya untuk lupa pada ibunda. Apalagi durhaka.

Perkenalkan. Namanya Mukhlis Akmal. Salah satu, atau bahkan satu-satunya species makhluk hidup dimuka bumi yang terlahir dari ayahnya. Entah mukjizat atau bukan, entah spesial atau bukan, tapi memang begitulah adanya.

Terlahir dari keluarga ber-uang tak lantas membuatnya untuk lupa lautan. 2010 ia merantau. Tiga harmal dihantam gelombang tak membuatnya untuk patah arang. Ia teruskan berlayar. Dengan bentangan layar yang ditiup harapan, dengan rakitan perahu yang terbuat dari kerja keras, dengan angin yang meniupkan niat, ia berlayar disamudra lepas dihantam gelombang putus asa, badai rindu orang tua, guntur peluntur wanita. Tapi karna tekatnya untuk menjadi manusia akmal-lah semua gelombang, badai, halilintar ia lalui dengan keringat yang terus diperas, dengan semangat yang tak lepas.Bersama perahu rakitan sendiri, terhadap samudra mengarungi.

10 tahun berlalu dan kini menahkodai publikasi. Sebelum menjadi nahkoda, ceritanya, ia juga pernah menjadi pegawai pada bagian juru tulis disebuah kapal yang bernama akhbar. Kala itu, lanjutnya bercerita, dengan terus dimentori para tetua, para pegawai dikapal itu sangatlah dituntut untuk selalu ber-etos kerja, konsisten, kompeten dan telaten.

Berbeda dengan apa yang terjadi dikapal itu sekarang. Walaupun samadituntutnya, namun apa yang terjadi pada dewasa ini tidaklah sama dengan apa yang terjadi dimasa yang terlampaui. Hal ini disebabkan banyak faktor dan salah satunya adalah kurangnya mentor. Faktor inilah yang dianggap sangat mempengerahui hal tadi terjadi.

Dulu, pada masa itu, selain itu, ia sering kali diperintahkanoleh sinahkoda yang berkuasa untuk menulis tulisan yang ia sendiri tidak terlalu menguasai akan tulisan yang kepadanya sebuah tulisan teralamatkan. Hal tersebut tidaklah terjadi hanya satu atau dua kali. Melainkan berkali-kali.

Pada waktu itu, ceritanya, ia masih bocah dalam dunia juru tulis. Pengalaman menulisnya, pada waktu itu, tak sedewasa saat ini, saat menahkodai publikasi. Kala itu, ia sering mengalami hal yang sering juga dialami oleh penulis yang masih bocah. Ia sering terperangkap dalam kesunyian kata, terpenjara dalam hampa. Walau penuh tekanan, ia terus saja melanjutkan. Ia terus saja menuruti apa yang dikata oleh sinahkoda. Sebagai pegawai tak bergaji, apalah daya ini, lanjutnya bercerita.

Ya. Ia bekerja dan ia tak digaji. Mukhlis betul hidupnya memang. Pada mulanya memang tak ia rasakan dampak dari keikhlasannya. Namun setelah waktu terus berlalu,ia baru sadar bahwa apa yang ia telah lalui selama menjadi pegawai telah memberinya banyak pelajaran. Bukankah tiada hal tersia-sia tentang apa yang dicipta? Dan ia mengalami betul akan hal itu. Pada mulanya ia tak merasakan apa yang ia dapatkan dari sebuah pekerjaantak berpenghasilan yang ia lakukan. Tapi setelah waktu berlalu, ia baru sadar bahwa apa yang ia pernah temui, kini malah menemui. Dan dengan bekal yang ia bawa dari zaman yang telah berlalu itu, ia dapat bertahan hidup dari kegersangan fikir yang biasa melanda setiap manusia.



Ia terus saja bercerita, lama. Hingga dapatlah penulis simpulkan bahwa ada tiga pesan pokok yang ia ingin sampaikan.

Pertama. Jadilah mukhlis sehingga engkau menjadi manusia yang selalu dipenuhi keikhlasan.

Kedua. Jadilahakmalsehingga engkau menjadi manusia yang selalu mengejar kesempurnaan.

Ketiga. Jadilah keduanya sehingga engkau menjadi manusia yang selalu diteduhi harapan lagikeikhlasan.

Demikian. Sekian. Wassalam.[]

Setelah Sekian Lama Akhirnya Reformasi (berita)

 


Setelah Sekian Lama Akhirnya Reformasi

Oleh: Istiqlalia

 

Senin, 01 Februari 2021 pengurus PPRU1 Putri resmi dilantik. Acara pelantikan yang dilaksanakan di Aula utama PPRU1 Putri sangatlah khidmat. Pasalnya, acara tersebut dilantik langsung oleh KH Mukhlis Yahya yang mana selaku pengasuh utama PPRU1 Ganjaran Gondanglegi Malang.

Setelah sekian lama, akhirnya pengurus masa jabatan 2018-2020 bisa reformasi total dan diganti dengan kepengurusan dan penambahan stuktural baru masa jabatan 2021-2023, acara yang dihadiri oleh Gus Ghozali, Gus Zamzami, dan juga Ning-Ning Ru 1 itu juga mendapatkan apresiasi yang sangat besar dari berbagai kalangan, pertama kalinya kepengurusan PPRU 1 Putri di ketuai langsung oleh Nyai Hj Muflihah Amin.

Sebelum pembacaan ikrar, KH Mukhlis sempat memberikan sepatah kata alasan mengapa beliau memilih istrinya sendiri untuk menjadi kepala pesantren putri periode 2021-2023, guna untuk menjadi contoh kepada ning-ning yang lain, karena setalah masa jabatan Nyai Muflihah habis bisa jadi Ning Habibah, Ning Luluk, Ning Halimah dan Ning-Ning yang lain yang akan menjadi penggatinya.

Setelah pembacaan ikrar, dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Sambutan pertama disampaikan oleh Nyai Jazilah Adib sebagai ketua demisioner, yang mana beliau mengucapkan beribu terimakasih dan membikan ucapan selamat kepada ketua terpilih Nyai Muflihah Mukhlis.

Sebagai ketua terpilih Nyai Hj Muflihah juga berkesempatan memberikan sambutan kepada santri dan motivasi kepada pungawa-punggawanya. Serta memberikan dorongan lebih kepada pengurus yang baru. Menurut beliau Nyai Hj. Muflihah, Pengurus itu diibaratkan ssebagaimana sapu lidi, “sapu lidi itu banyak tapi kalau dikumpulkan bisa menjadi satu ikatan. Sama seperti pengurus, pengurus juga harus seperti sapu lidi ketika dikumpulkan bisa menjadi satu tujuan.” Harapan beliau semoga kepungurusan masa khidmat 2021-2023 bisa menjadi pemimpin yang bisa mengayomi dan lebih baik dari sebelumnya.

Dipenghujung acara ditutup dengan doa yang dipimpin oleh KH Mukhlis Yahya, dan doa kedua dihaturkan oleh KH Mukhlis kepada Gus Ghozali, selanjutnya doa terakhir dihaturkan kepada Gus Zamzami.

 

 

 

 

Pesantren itu bernama Raudlatul Ulum Suramadu (berita)

 


Pesantren itu bernama Raudlatul Ulum Suramadu

Oleh: Muhammad Farhan


Dari namanya saja sebagian dari pembaca mungkin sudah dapat menerka bahwa pesantren itu adalah cabang dari Raudlatul Ulum 1. Raudlatul Ulum suramadu.

Berdiri di kawasan satu kilometer dari gerbang tol jembatan suramadu, pesantren itu dibangun di atas lahan seluas 20 m x 60 m dengan bangunan yang setidaknya agak berbeda dengan bangunan pesantren salaf pada umumnya. Biasanya daerah dari setiap pesantren salaf yang ada adalah dengan menjadikan kamar mandi sebagai salah satu tempat berkumpulnya para santri dari berbagai daerah yang berdomisili di pesantren tersebut. Di pesantren itu tidaklah demikian. Kamar mandi dari pesantren itu nantinya akan dibangun sebanyak kamar tidur yang ada. Sebanyak bilik yang ada, sebanyak itu juga kamar mandinya. Selain meminimalisir terjadinya antrian yang tidak dapat terkendalikan, tentunya hal itu dapat meningkatkan tenggang rasa dari setiap pemilik bilik yang ada sekaligus dapat lebih menjaga kamar mandi yang dimiliki oleh setiap biliknya. Selain juga dapat dijadikan sebagai parameter dari kebersihanan anggota kamarnya. Karena barang siapa yang kamar mandinya tidak terawat maka jawabannya sudah jelas, karena pemiliknyalah tidak merawat. Setidaknya, memang seperti itulah rumusan sederhananya.

Selain hal kamar mandi tadi, pesantren itu juga menyediakan air mineral sebagai sumber penghilang dahaga bagi para santri yang nantinya akan menetap disana. berbeda dengan pesantren salaf  pada umumnya yang menjadikan air kran sebagai sumber penghilang dahaga bagi para santri yang menetapinya. Dua perbedaan itulah yang nantinya akan didapatkan oleh santri disana. walaupun masih akan mereka dapatkan hal yang sama dari pesanten-pesantren salaf pada umumnya.

Pada mulanya, sebetulnya,  pesantren yang tahap pembangunannya sudah mencapai lima persen ini bukanlah diniatkan untuk menjadi pesantren. Melainkan untuk dijadikan sebuah penginapan berbayar semacam villa-villa yang sudah ada. Pada mulanya seperti itu. Namun ketika disuatu waktu, ketika H. Abdurrahman nafis –sepupu dari H basuni Ghofur, alumni pondok pesantren raudlatul ulum satu, pendiri pondok pesantren Raudlatul Ulum Suramadu- berkunjung dan meninjau progres dari pembangunannya, ia melihat bahwa apa yang dibangunnya sekarang ini bukan hanya mirip dengan penginapan berbayar pada umumnya, melainkan juga mirip dengan pondok pesantren pada umumnya.  Karena itu, terbesitlah dalam hatinya untuk menjadikan apa yang dibangunnya saat ini sebagai pesantren. Dan karena kejadian terbesit itulah sehingga maklum dikata bila pesantren itu mempunyai tata letak yang setidaknya agak berbeda dengan pesantren salaf lainnya.

Ketika ditanya tentang basis dari pesantren yang akan diampu oleh beliau itu, apakah akan dibasiskan pada kitab klasik, alqu’an atau bahkan hadist, yang notabenenya adalah salah satu study ilmu yang beliau tekuni,  beliau K. Ma’ruf Khozin –putra ke-4 dari pasangan KH. Khozin Yahya dan nyai Hj. Maftuhah, ketua komisi fatwa MUI Jawa Timur, direktur aswaja center PWNU Jawa Timur- menjawab bahwa mungkin kebelakangnya bisa jadi iya. Tapi, lanjut beliau, memikirkan pesanten untuk dibasiskan suatu study tertentu itu kiranya suatu pemikiran yang agaknya masih terlalu jauh. Bayangkan saja bahwa untuk menjadi pesantren yang dapat berdiri dikaki sendiri saja setidaknya sudah memakan 4 atau bahkan 5 tahun lamanya. Apalagi berkehendak untuk menjadikan sebuah pesantren yang berbasis hadist, sumber kedua dalam islam setelah alqur’an yang untuk dapat memahaminya saja haruslah mempunyai peralatan lengkap. Mulai dari yang terdasar seperti nahwu dan shorof hingga yang tertinggi seperti manthiq dan balaghah. Karena agak jauh itulah, beliau telah meminta kepada salah satu pondok terdekat, al-Akhyar, untuk membantu beliau dalam proses belajar mengajar.



Selayang pandang mengenai pengasuh dari pesantren itu adalah K. Ma’ruf Khozin. Salah satu putra mahkota pondok pesantren Raudlatul Ulum 1. Rihlah ilmiahnya beliau mulai dari bangku mi raudlatul ulum putra. Hari sabtu ditahun 1994, 2 hari setelah selesainya ujian nasional yang beliau lakukan, beliau diantar langsung oleh abahnya untuk nyantri di pesantren al-Falah Ploso Mojo Kediri. Di pesantren itu beliau pernah mendirikan satu forum yang mewadahi minat kreativitas para santri. Fordis namanya.

Delapan tahun berlalu dan di tahun 2002 beliau memutuskan untuk boyong sekaligus menikah. Di tahun yang sama, disebelum boyong, beliau menikah dengan salah satu santri putri asal Surabaya, Wiya namanya.

Demikian. Sekian. Wassalam.[]



 

Na‘at Maqtû‘ (opini)



Na‘at Maqtû‘

Oleh: Gus Muhammad Hilal

Ilmu Nahwu itu kadang bikin gemas. Saat membaca “kitab gundul” (buku berbahasa Arab tanpa harakat), kadang muncul beberapa kalimat (Arab: jumlah) yang sulit dipahami karena kedudukan i’rab atau vokal akhirnya sulit ditangkap.

Contohnya adalah sebuah teks dalam Kitab Idzah al-Nasyi’in, yang saya kaji setiap malam Selasa bersama teman-teman pondok, berikut ini:

و متى بَلَغَ الحسدُ بالحاسد هذا المبلغ، كان وحشًا ضاريًا وأفعى في أنيابها السُمُّ ناقعٌ .

Dan ketika sifat dengki sudah mencapai tingkatan itu [tingkatan rela menyakiti orang yang didengki] dalam diri pengidapnya, maka dia ibarat hewan buas nan berbahaya, dan ular mematikan yang taring-taringnya mengandung bisa.

Persoalan yang membingungkan itu ada di kata terakhir: ناقع. Yang terpikir waktu itu adalah dua solusi yang sama-sama problematis.

1.  Kata itu adalah na’at dari kata sebelumnya, al-summ (السم). Namun tidak tepat karena keduanya tidak sejajar: kata al-summ adalah makrifat dengan partikel al, sedangkan kata nâqi‘ adalah nakirah. Kedua kata yang demikian itu tidak bisa jadi susunan na’at-man’ut (meskipun secara semantis kedua kata itu cocok, bisa berarti “racun yang mematikan”).

2.      Kata nâqi‘ menjadi na’at dari lafaz af‘â (أفعى). Solusi ini lebih mengena, sebab keduanya sama-sama isim nakîrah, jadi bisa dibikin sebagai susunan na’at-man’ut meskipun dipisah oleh sebuah kalimat di tengah-tengahnya (Arab: jumlah mu‘taridlah). Namun lagi-lagi hal itu problematis, sebab lafaz nâqi‘ ditulis dengan harakat rafa‘ oleh penulis atau penerbitnyasedangkan lafat af‘â berharakat nashab (menjadi khabar-nya kâna). Seharusnya keduanya sama-sama berharakat nashab dong.

Pikiran saya berputar-putar mencari kedudukan kata itu. Muncul pertanyaan-pertanyaan di luar wilayah kebahasaan Arab: apakah penulis kitab ini salah tulis? Atau jangan-jangan itu karena salah cetak? Ah, masa sih begitu

Agar tidak ditanggung sendirian, saya sampaikan persoalan itu kepada teman-teman mengaji malam Selasa. Saya sampaikan bahwa itu adalah persoalan yang membuat saya bingung. Barangkali teman-teman ada solusi?

Salah seorang dari mereka ada yang menawarkan solusi: itu adalah Na’at Maqtû‘. Oke. Na’at dari mana? Na’at dari af‘â, jawabnya.

Setelah dicermati sebentar, pikiran saya langsung terbuka. Binggo! Ini dia solusinya. Na’at Maqtu‘! Kenapa dari semula tidak terpikir jenis na’at satu ini ya?

***

Na’at Maqtu‘ adalah jenis na’at yang tidak ikut aturan umum. Jika pada umumnya harakat na’at harus ikut man’ut, maka na’at maqtu‘ tidak demikian. Na’at Maqtû‘ membangkang kepada man’ut-nya.

Kenapa dalam Bahasa Arab terdapat na’at maqtu‘? Sebab ada tujuannya. Seseorang yang berkata dengan menggunakan na’at maqtu‘ menyiratkan suatu pujian atau celaan (li mujarrad al-madhi wa al-dzammi).

Na’at Maqtu‘ bisa dibaca rafa’ (untuk kasus man’ut selain harakat itu) atau nashab (untuk kasus man’ut selain harakat nashab).  Jadi, kalau man’ut-nya berharakat rafa‘, maka na’at maqtu‘-nya jangan ikut rafa‘. Gagal dia jadi maqtu’ jika begitu. Begitu juga kalau man’ut-nya berharakat nashab. Singkatnya, harakat rafa’ atau nashab ini tergantung harakat man’ut-nya.

Contoh  paling gamblang dari na’at maqtu‘ adalah Surat Al-Masad ayat 4:

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

Dan istrinya yang selalu membawa kayu bakar.

Kata hammâlah (حمالة) seharusnya menjadi na’at dari wa-mra’atuh (وامرأته), dan oleh karena itu seharusnya berharakat rafa‘. Namun ternyata tidak. Kata hammâlah malah dibaca nashab, karena menjadi na’at maqtu‘. Tujuannya adalah mencela perangai buruk dari perempuan yang diceritakan dalam ayat itu, yakni istri Abu Lahb (baca Sejarah Islam tentang buruknya perangai perempuan satu ini).

Contoh yang lainnya adalah teks yang saya kutip di atas. Kata nâqi‘ menjadi na’at maqtu‘, sehingga dia dibaca rafa’, padalah seharusnya berharakat nashab. Tujuannya apa? Tujuannya adalah mencela perangai buruk dari orang yang dengki hati.

Demikianlah, Bahasa Arab menjadi sangat efektif dan efisien karena sanggup mengatakan sesuatu secara tersirat.[]