Rabu, 07 Agustus 2019

Beda Jalan Satu Tujuan


Oleh: A. Imam Fathoni


Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita tentang pengeboman di beberapa daerah, baik di luar maupun di dalam negeri.Seperti yang terjadi di Surabaya beberapa saat yang lalu, seorang wanita berjubah hitam bersama anaknya lari ke arah gereja dengan tujuan ingin meledakkan diri di dalam gereja. Akan tetapi wanita itu dapat dicegah oleh satpam penjaga gerbang.

Di Jawa Tengah, entah di mana tepatnya, seseorang ditangkap karena menjadi terduga teroris. Dengan barang bukti berupa bahan-bahan kimia yang diduga digunakan untuk meracik bom, orang tersebut pun digerebek petugas. Bahkan di beberapa kasus lain, sang terduga teroris ada yang sempat melawan, hingga ada yang sampai ditembak mati. Mereka (terduga teroris) melakukan aksi-aksi tersebut tidak secara individual, tapi pergerakan mereka itu sudah terorganisir.

Menurut kesaksian para tetangganya, sang terduga teroris merupakan orang yang sangat taat beribadah, seorang yang baik pada tetangga. Tidak ditemukan sifat kriminal pada mereka, meski ada dari sebagian dari sang terduga merupakan sosok yang anti sosial (tertutup). Kebanyakan dari mereka adalah pendatang, yang terkadang mereka enggan menjawab dari mana mereka berasal. Kemungkinan alasan mereka berpindah adalah untuk lebih dekat dengan target atau menghindar dari sisiran aparat.

Menurut hasil identifikasi, mereka (sang terduga) adalah seorang Muslim, yang rata-rata adalah alumni pesantren. Maka banyak orang yang sudah sangat kesal dengan aksi mereka menyatakan bahwa pesantren adalah “sarang teroris’’. Kata-kata yang sangat menyakitkan bagi masyarakat Muslim, khususnya yang ada di lingkungan pesantren seperti santri dan kiainya, bahkan alumni.

Pada kenyataanya pondok pesantren bukanlah tempat pelatihan para teroris atau militer. Lah wong pemilik pesantren itu hanya kiai sepuh yang mungkin jika diberi senjata bingung mau diapakan. Yang diajarkan di pesantren hanyalah bagaimana menjadi Muslim yang baik dan benar sesuai dengan syariat agama melalui kitab-kitab klasik yang isinya hanya tentang bagaimana berperilaku yang baik, tata cara salat dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ajaran tentang “jihad” pun dimengerti dalam maknanya yang luas, tidak hanya bermakna berperang melawan orang yang beda agama, namun juga berkhidmah kepada masyarakat melalui pelayanan pendidikan, pemberdayaan ekonomi, atau menjaga kerukunan masyarakat.

Ada beberapa kemungkinan sang alumni pesantren yang menjadi terduga teroris bisa melakukan hal tersebut. Mungkin tidak terlalu pintar dalam masalah agama (alim). Mereka salah dalam menafsiri pokok dasar agama (Quran-hadis), sehingga mereka merasa benar untuk melakukan aksi-aksi tersebut.

Kemungkinan yang lain,  mereka masuk ke dalam Islam jalur radikal, yang awalnya mereka hanya diyakinkan bahwa Islam yang seperti inilah yang benar menurut aturan Tuhan dan utusannya, sehingga mereka percaya dengan aliran tersebut. Atau memang mereka sudah didoktrin mulai sejak kecil oleh orang tuanya, seperti dipertontonkan adegan cara membunuh sandra atau tahanan, atau adegan kekejaman yang lainya. Pada dasarnya kejadian seperti itu memang ada di negeri ini.
Beda Jalan Satu Tujuan


Oleh karenanya Indonesia membubarkan kelompok-kelompok Islam radikal di negeri ini, seperti pembubaran HTI, atau kelompok radikal lainya. Meski secara organisasi dibubarkan, tapi gerakan mereka masih tetap berjalan, meskipun hanya di bawah tanah (diam-diam). Masyarakat yang anti radikalisme memang lebih banyak di negeri ini, tapi bukan berarti kaum radikal yang sedikit tidak bisa berkutik. Bisa jadi yang sedikit itu lebih aktif daripada yang banyak.

Untuk kaum yang non radikal, biasanya mereka memilih jalan yang lebih damai untuk melakukan aksinya, seperti mengadakan pengajian, istighosah, atau acara-acara yang berbau keagamaan yang lebih bersahabat dan tidak mengganggu ketenangan orang lain. Semua itu adalah syiar (ajakan) untuk mempersatukan masyarakat, atau islamisasi secara halus.

Mereka semua, baik yang teroris, Islam radikal, ataupun non radikal, mempunyai tujuan yang sama, yaitu memperbaiki agama, membuat Islam agar lebih baik. Meskipun cara yang mereka lakukan berbeda-beda. Kita sebagai masyarakat biasa, bukan berarti hanya bisa pasrah dengan keadaan yang ada. Kita juga bisa bergerak untuk memperbaiki agama agar menjadi lebih baik, seperti memberi bantuan kepada yang lebih membutuhkan, atau menjaga keluarga kita agar tidak terperangkap ke dalam aliran-aliran yang meresahkan.

Kamis, 01 Agustus 2019

Islam Tidak Harus Arab



Oleh : A. Imam Fathoni

Mula-mula Islam berasal dari Nabi sang pembawa risalah yang berkebangsaan Arab. Sosok pemimpin masyarakat Muslim pertama itu bernama Nabi Muhammad. Kemudian diteruskan oleh empat pengganti (khalifah) yang meneruskan kepemimpinanya secara berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya menuntut Islam dipimpin dengan sistem kerajaan (monarkhi).
            Islam menyebar luas ke seluruh dunia. Perkembangan-perkembangan pun terjadi, bahkan ada sekian negara atau kerajaan yang mengklaim dirinya sebagai negara atau kerajaan Islam. Dengan ideologi  politik yang berbeda-beda dan bahkan saling bertentangan, mereka menyatakan diri sebagai “ideologi Islam. Jika di bidang politik saja sudah berbeda-beda, apa lagi di bidang lain, seperti misalnya budaya, atau yang lainya?
Islam Tidak Harus Arab
Image by Pixabay

            Islam awalnya hanya berbentuk seruan atau ajakan, kemudian berkembang menjadi fikih yang dimasukkan ke dalam beberapa buah mazhab. Masing masing dari mazhab tersebut mempunyai metode dan pemikiran tersendiri.
            Terkemudian lagi muncullah sederet pembaruan Islam, mulai dari yang radikal, setengah radikal, dan ada pula yang tidak radikal sama sekali. Pembaruan demi pembaruan pun dilancarkan. Mereka mengajukan klaim memperbaiki fikih dan menegakkan agama yang sebenarnya, yang biasa mereka sebut dengan “syariat,” meskipun penganut fikih dari madzhab lain pun menamai anutan mereka sebagai syariat.”
            Gerakan-gerakan itulah yang menuntut perubahan Islam di berbagai negara, terutama di bidang kebudayaan. Seperti yang terjadi di negeri kita ini, masjid yang beratap genteng susun tiga yang sarat dengan simbolisasi lokal dituntut untuk dikubahkan. Gending Jawa yang berisi ajakan untuk masuk Islam diganti dengan qosidah yang berbahasa Arab. Bahkan ikat kepala lokal atau udeng sudah digeser oleh sorban atau imamah yang kesemuanya itu agar Islam bisa seragam.
            Tak hanya pada bidang budaya, cara pengambilan hukum pun harus diseragamkan dan diformalkan, yakni harus ada pengambilan formalnya yaitu Alquran dan hadis. Tidak seperti dulu yang cukup dengan apa kata kyai.
            Kalau memang seperti ini, berarti masyarakat muslim di negeri ini, khususnya, dan di Negara Negara lain harus kehilangan kebudayaannya. ketika masyarakat Hindu menemukan kekhusyukan rohaninya melalui gending tradisional Bali, apakah kaum muslimin masih “berqosidahan Arab” dan melupakan “pujian” berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?
            Dan juga mengapa harus menggunakan kata salat jika kata “sembahyang” juga benar? Dan mengapa harus di musallakan padahal dahulu hanya cukup dengan kata langgar? Dahulu tuan guru atau kiai, sekarang ustaz dan syaikh baru berwibawa. Kalau memang demikian berarti Islam telah mencabut kebudayaan dari berbagai dunia.
            Yang mereka lakukan seharusnya Islamisasi, bukan Arabisasi. Untuk menjadi orang Islam itu tidak harus menjadi orang Arab atau seperti orang Arab. Apa salahnnya jika ada istilah Islam tanah Jawa ?

Sabtu, 27 Juli 2019

DESA SANTRI



oleh: Rian Hidayatullah

Ganjaran itulah salah satu nama desa di daerah Malang yang mendapat julukan desa santri, karena mayoritas di daerah itu banyak pemuda-pemudi yang menimba ilmu di beberapa pondok pesantren di sana. Mereka datang dari berbagai penjuru kota di Indonesia, seperti Pontianak, Madura, Lumajang, Sulawesi, tak lupa pula dari Malang sendiri. Tak ayal, kadang-kadang perbedaan itu membuat perselisihan antara mereka timbul.
DESA SANTRI


Desa yang berjulukan Desa Santri bukanlah Ganjaran saja, tapi Singosari juga pernah dinobatkan sama seperti Ganjaran. Pesantren demi pesantren didirikan dan minat para orang tua untuk memondokkan putra-putri mereka semakin meningkat. Alasannya mungkin agar anak-anak mereka tidak terlalu bebas di perkembangan zaman yang sangat fana ini.
Pondok pesantren di Malang tidaklah bercorak salaf saja, tapi pondok modern juga telah terwujud, seperti Ar-Rifai dan An-Nur. Namun meski dikatakan pondok modern, mereka tak melupakan apa yang ada di pondok pesantren salaf, yakni kajian kitab kuning. Suasana di sana memang agak sedikit  berbeda dengan pondok salaf, mungkin dari fasilitasnya yang lengkap dan terjamin.
Kalau desa sudah dijuluki desa santri, maka lembaga-lembaga di desa itu juga berkultur santri, yakni sekolahannya yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Terasa hampa ketika dalam suatu kelas gak ada lawan jenis. Tapi apa mau dikata, kenyataannnya memang seperti itu, sehingga kadang membuat siswa-siswi geregetan ketika papasan di pinggir jalan. Pandangan mungkin ke depan, tapi lirikan mata menyebar ke kiri dan ke kanan.
Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri. Berbagai macam acara ditampilkan di hari itu, seperti upacara, istighasah, salawatan, dan lain-lain. Sebagian santri berkumpul untuk menghadirinya. Dengan sumringah mereka berjalan menuju acara itu karena setahun sekali, katanya. Jarang sekali mereka bisa keluar dari pondoknya kalau tidak ada keperluan. Apalagi santri putri, mereka lebih sulit untuk keluar kompleks pesantren.
Keberadaan santri-santri itu juga membawa rejeki bagi orang-orang sekitarnya dengan membuka usaha rumah makan. Toko mereka bisa mendapat rejeki lebih banyak dari biasanya. Para santri pun merasa sangat nyaman dengan hal itu, membuat mereka leluasa mendapatkan apa yang mereka butuhkan.
Cukup 4000 rupiah, santri di sana bisa mendapat nasi dengan lauk-pauk ala kadarnya. Ya kalau ingin lauk lebih enak lagi tinggal merogoh gocek agak dalam, tapi tetap harganya tidak terlalu mahal dibanding warung-warung di luar desa santri sana. Para penjual mengerti dengan keadaan santri itu, bagaimana kondisi keuangan mereka. Meskipun kirimannya banyak, ada saja yang membuat kantong meringan tanpa terasa.
Desa yang dipenuhi pemuda-pemudi berpeci dan berkerudung tidaklah selamanya tercium baik bagi masyarakat di sana. Terkadang pertemuan antara dua insan di tempat sunyi itu yang membuat bau harum santri berubah menjadi bau busuk sebab perbuatan tidak bermoral itu. Sebusuk bangkai binatang yang sudah lama mati.
Ketika rintik hujan mulai mengguyur desa kemudian membasahi songkok atau kerudung yang tidak dilindungi dengan payung pada waktu berangkat maupun pulang dari madrasah mereka, itulah sekilas dari  kesederhanaan yang dimiliki santri. Kesederhanaan itu tidaklah menjadi penyurut semangatnya, tapi sebaliknya menjadi penyemamgat mereka menimba ilmu.
Desiran angin malam itu adalah sebuah suasana sunyi yang menandakan para santri sudah berada di balik jeruji besi pondok mereka. Entah apa yang dikejakan para santri ketika itu, tapi biasanya mereka ada yang belajar, ada yang tidur, ada yang begadang sampai larut malam dengan dibarengi secangkir kopi yang sudah dingin.[]

Kamis, 25 Juli 2019

BERMASYARAKAT SETELAH PULANG DARI PONDOK



oleh: Abilu Royhan

Bagi kita yang telah masuk pondok pesantren untuk menuntut ilmu agama, kata “bermasyarakat” menjadi suatu hal yang harus kita perhatikan. Harus kita pelajari bagaimana caranya menghadapi masyarakat ketika kita pulang dari tempat yang penuh dengan berkah para masyayikh kita ini.tujuannya adalah agar kita dapat mengambil hati masyarakat sekitar kita, lalu kita ajak ke ajaran-ajaran yang di-nas oleh Alquran, hadis dan keputusan para ulama.
       Salah satu cara agar kita dapat bermasyarakat adalah dengan memanfaatkan momen liburan pondok pesantren untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan bersama orang-orang sekitar. Salah satunya adalah dengan mengikuti acara-acara yang ada di kampung halaman kita, seperti Tahlilan, Yasinan, Tadarus Ramadan, dan lain-lain,agar kita bisa berbaur dan berdialog dengan mereka. Dengan adanya liburan, selain untuk menenangkan sejenak otak-pikiran kita yang setiap hari setiap jam setiap menit telah kita gunakan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, juga kita gunakan untuk mempraktikkan ilmu-ilmu yang sudah kita dapat selama satu tahun atau lebih ini.Liburan juga menjadi ajang latihan bermasyarakat ketika kita sudah pulang atau berhenti dari pondok pesantren, supaya kita tidak tergolong dengan orang yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Ruslan dalam Nazam Zubad-nya:

فعالم بعلمه لم يعملن * معذب من قبل عبادالوثن

Orang yang tahu akan ilmu tetapi dia tidak melakukannya, maka dia akan disiksa terlebih dahulu sebelum para penyembah berhala disiksa .

Na’udzubillah!
            Kita harus peka terhadap orang-orang sekitar, terhadap perilaku dan kesehariannya. Dan hal inilah yang paling sulit, karena kita tidak dapat mengetahui karakter-karakter orang yang jauh lebih tua dari kita.Kita hanya dapat bersosialisasi, berkomunikasi dengan anak-anak seumuran kita dan, walaupun ada yang senior, tidak terlalu jauh umurnya dari kita. Terus, bagaimana kita bisa belajar bermasyarakat yang akan kita praktikkan ketika liburan, sedangkan kita berada di pondok pesantren?
BERMASYARAKAT SETELAH PULANG DARI PONDOK

Dengan sebaik mungkin kita berperilaku kepada teman, baik senior maupun junior, akan mengajari kita cukup banyak tentang cara kita berbaur dengan masyarakat nanti.Begitu juga kepada para kiai dan pengurus pondok pesantren.Dengan cara inilah kita dapat belajar cara bermasyarakat di pondok pesantren.Kita akan dihadapkan pada momen yang mana kita harus belajar lebih banyak bersabar pada teman senior dan junior kita, yaitu ketika menjadi pengurus. Pada masa inilah kita akan menjumpai momen-monmen tidak mengenakkan, yaitu belajar bersabar, disiplin dan yang lebih penting lagi yaitu menjaga sikap. Ketika masa ini kita akan lebih banyak belajar bagaiman cara bermasyarakat.Ketika kita diangkat menjadi pengurus, sebagian teman kita pasti ada yang tidak suka dan memusuhi kita.Pada momen ini juga, kita dapat memanfaatkan rasa ketidakkesukaan mereka itu untuk melatih kita bagaimana sikap yang baik dan benar dalam menghadapi cobaan itu. Jadi, dengan adanya cobaan-cobaan yang kita hadapi, baik di pondok pesantren, di rumah ataupun di manapun juga, akan menjadikan kita lebih dewasadan menumbuhkan rasa sabar dan disiplin dalam menghadapi semua itu, karena Allah pasti memberikan hikmah di balik cobaan itu semua.
Sebenarnya di pondok itu sama seperti hidup di lingkungan biasanya, karena kita bisa menjadi orang baik dan bisa menjadi orang yang kurang baik.Semua itu tergantung pada kita,bagaimana kita mencari teman yang sesuai dan layak untuk kita jadikan teman karib. Akan tetapi itu semua semu.Artinya, ketika kita pulang nanti,kita bisa menjadi orang yang sebaliknya.Tapi, pondok pesantren itu menjadi cerminan kita untuk bekal bermasyarakat nanti.Maka dari itu, kita harus bisa menjadi orang yang peka bak air yang bisa bertempat sesuai dengan bentuk yang ia tempati.Kita sepatutnya seperti itu.
Tanggung jawab seorang anak bersongkok hitam itu lebih besar daripada anak yang bertopi, apalagi yang tak bertudung kepala sama sekali.Hal ini karena anak yang bersongkok hitam itu dipandang bagaikan raja hutan yang harus menjaga hutannya dari kejahatan manusia pemburu.Begitu pula santri akan dipandang oleh masyarakat untuk menjadi pemimipin, ketika dia pulang dari pondok menuju tanah kelahirannya. Maka dari itu, kita di pondok ini juga harus belajar ilmu-ilmu yang lain, agar kita siap untuk menjadi pemimpin orang-orang di sekitar rumah kita yamg mayoritas tak bersongkok.Dan itu sesuaidengan syair yang dilantunkan oleh seorang waliyullah yang tidak asing lagi di telinga kita, Gus Abdurrohman Wahid yang akrab di panggil Gus Dur, yaitu:

Duh bolo konco prio wanito
Ojo mung ngaji syareat bloko
Gor pinter ndongeng nulis lan moco
Tembe mburine bakal sangsoro

Itulah secuil syair Gus Dur yang penuh sejuta tafsir dan makna.Dari syair itu kita dapat memahami bahwa kita juga harus belajar tentang ilmu-ilmu yang lain, salah satunya adalah ilmu bermasyarakat, agar kita tidak menyesal di kemudian hari dikarenakan hanya belajar ilmu-ilmu syariat saja.Dan ilmu bermasyarakat itu bisa kita dapatkan di pondok pesantren ini.[]

Jumat, 22 Februari 2019

Kunci Teka-Teki Fikih Part 2


Kita tahu, bahwa perkara yang wajib harus dilakukan dan haram ditinggal. Sedangkan perkara yang haram maka wajib ditinggalkan dan tidak boleh dilakasanakan. Tapi bagaimana jika seperti dalam teka-teki dibawah ini:

Kunci Teka-Teki Part 2
Sumber: raudlatul_ulum1 (Instragram)

Nah, saat ini  kami akan menggiring pembaca pada jawabannya, begini:
Kita tahu, orang islam diwajibkan untuk melaksanakan shalat fardhu. Kewajiban berlaku bagi setiap muslim laki-laki atau perempuan yang telah mukallaf dalam arti; berakal normal dan telah mencapai baligh.
Batasan baligh mengecualikan anak-anak yang hanya tamyiz dan belum baligh. Baginya, Shalat belum diwajibkan. Meskipun demikian, bagi orang tua berkewajiban untuk mendidik anak-anaknya untuk biasa dan terbiasa melaksanakan shalat dalam hidup keseharian.  

Baca Juga: Soal Dan Jawaban Cerdas Cermat Kitab Fathul Qorib - "Faqro-U"

Sedang, batasan berakal normal mengecualian bagi orang yang tak normal akalnya seperti orang gila, mugma ‘alaih (orang yang epilepsi)  orang mabuk dll. Mereka-mereka ini tidak diwajibkan untuk melaksanakan shalat dan jika telah sembuh (kembali normal) maka harus mengqodho’ sholatnya.  Khusus bagi orang mabuk, yang tidak dikenai kewajiban shalat ini hanya jika mabuknya tidak ada unsur kesengajaan. Dan orang yang mabuk tidak sah melaksanakan shalat. Yang demikian sesuai dengan firman Allah:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (QS.An- Nisa’:43)
Tidak dikenai kewajiban di sini, berarti: tidak berdosa dia tidak melaksanakan shalat di waktunya saat ia dalam keadaan mabuk. Namun, ketika telah sembuh maka ia tetap harus mengqodho’ shalat-shalat yang ia tinggalkan ketika mabuk.  Berbeda halnya jika mabuknya terdapat unsur kesengajaan dan ceroboh misalnya dengan meminum minuman yang memabukkan seperti alkohol, khmar, bir,  dll. Orang yang mabuk disebabkan cara-cara seperti ini tetap diwajibkan untuk melaksanakan shalat. Ini bukan berarti dia harus shalat dalam keadaan mabuk. Tidak. Tetap diwajibkan itu artinya: dia berdosa karena tidak bisa melaksanakan shalatnya dalam keadaan mabuk dan ketika sembuh ia wajib untuk mengqodho’.
Kesimpulannya: Jawaban dari teka-teki (sesuatu, dikerjakan haram, ditinggal juga haram) adalah shalatnya orang mabuk  yang sengaja dan ceroboh.

anda ingin melihat teka-teki fikih lebih banyak? ikuti di IG dengan tagar: #tekatekifikih