Jumat, 05 Maret 2021

LARASATI. APAKAH KAU MENCEMASI TUNANGANMU? (cerpen)

 


LARASATI.

APAKAH KAU MENCEMASI TUNANGANMU?

Oleh: Mukhlis Akmal Hanafi

 

Aku merasa takjub dibuatnya. Jika kau tau, betapapun anggunya dia saat memakai kemeja berwarna hijau, dilapisi lipstik berwarna merah, dan berbaju putih kebawah. Walau dunia gelap gulita, namun rasa-rasanya seakan terang cahaya hatinya. Sebagai orang yang terlanjur jatuh dalam pangkuannya, aku seutuhnya bukan siapa-siapa. Jika ditanya apa hubungan kita? Aku hanya bagian kecil yang masih tersisa yang melintasi harapan besar selanjutnya. Dalam kaca matanya. Akulah manusia dengan segudang harapan yang tak mampu merengut belas kasih sedikitpun darinya.

Jika diumpamakan, saya layaknya jadi hujan yang mampu menjelma apa saja, mendiagnosa secara paksa, dan mencatat bait demi kata melalui hal yang sederhana. Jika kau mengira bahwa hujan punya tiga impian. Antara lain pernikahan, kematian dan juga harapan. Maka akulah diantara ketiganya.

Perkenalkan namanya larasati, bisa juga dipanggil laras. Aku mengenalnya sebagai perempuan jawa dengan mahkota dibagian tabahnya. Aku juga kenal dia tidak secara kasapmata, namun mampu membius segala bentuk yang ada. Secara garis besar, laras merupakan satu-satunya wanita yang pernah kusimpan dalam pintu rahasia. Jikapun ditanya “Apakah aku mau menikahinya?” maka jawaban yang paling lambat kusampaikan adalah “Iya”. Sementara itu aku dan dirinya masih belum diberi kesempatan bertemu dan berpandang-pandang. Sekedar memastikan hal yang masih membayang. Mendengarkan beberapa yang halus dari kata demi kata, melihat sorot matanya yang tajam yang dipenuhi oleh kata hampa, dan bernyayi bercanda ria dibawah kesedihanya.

Jika lebih jauh lagi, hal yang paling kuingat darinya adalah saat-saat semua orang lebih suka memanggilnya “Ibu” daripada harus sibuk memanggil namanya.

Jikapun begitu. Ia tampak seperti orang yang baru kenal, ia terlihat cuek dan pendiam. Rasa-rasanya banyak yang ia pendam, dan hanya tersimpan didalam angan. Ia juga terlihat seperti tangan yang secara garis filosofis setia kepada siapapun. Ia tampak sabar dan tabah. Sifat ke ibu-ibuan akan membuat setiap orang mencuri-curi pandang. Hingga tak jarang kelembutan dan manisnya bertutur kata dan berprilaku kepada sesama akan banyak menjatuhkan korban. 

Semenjak aku mengenalnya, tak jarang hari-hariku dipenuhi oleh perasaan yang membabi buta, pikiranku jauh meangkasa, hasrat untuk memilih seutuhnya merupakan impian yang paling mulia. Sepanjang perjalan yang disebut perasaan selalu merasa sampai pada tujuan, padahal diangap teman saja tidak.

***

Rasa-rasanya batinku dipenuhi cemas yang berlebihan, hasratku dikubur dalam ingatan yang muram. Saat itu ada selembar berita diatas meja bertulisan sangat besar dan juga hitam. Tulisan itu jelas mengubur mimpiku dalam-dalam. Kata-katanya membanjiri seluruh harapan yang akhirnya membuat api padam. “Kita hanya teman, dan sebentar lagi aku akan tunangan

Tiba-tiba saja kepalaku terasa pening, pandangannya berkunang-kunang, dan kupingku terasa tidak bisa mendengar. Sementara itu, aku melihat dia bagai penjahit tangan handal yang dengan tabah memasukkan benang kebagian jarum yang kecil itu. Ia terlihat ragu dan malu-malu. Oleh sebab itu, batinku yang cemas, hasratku yang tercabik-cabik. Kini terasa menjadi satu dalam pragraf perpisahan.

Sebelum kejadian paling kejam. Aku sebetulnya punya firasat yang buruk. Biasanya ia datang secara tiba-tiba, sesekali melintas dibalik kaca, dan ada juga yang berkata. “Mundur saja”

“Hanya cinta yang aku punya untuk merubah segala bentuk rahasia menjadi malapetaka, kawan”

“Laras..! Aku mengira kau akan setia, kawan!” Nasibmu sudah tidak sebagus cerirtamu. Panggilanmu sudah tidak seakrab dulu. Namamu kini mulai punah dimakan waktu. Kau harus tau perasaanku sudah tercabik cabik oleh sekertas berita “Aku sudah  tunangan, kawan”

Tepat pada sore itu aku melamun sendirian didepan jendela, memandangi segala bentuk yang ada. Aku sadar bahwa aku memang bukan siapa-siapa. Selain itu, larasati telah mendiagnosa batinku secara paksa, perasaan itu terasa asing dan tidak seperti biasanya.

“Namun apalah daya jika begitu adanya, kawan”

Diteduhi bola mata yang lentik dan juga hitam, bibirnya sukar dilukiskan, dan selaksa senyum mengundang pandangan setiap orang. Aku ucapkan selamat malam dan selamat tinggal kawan. Kau satu-satunya wanita yang mudah tergambar dalam pikiran. Wajahmu sekarang terlihat seperti anak yang baru lahir satu jam. Lapisan kecil saat kau memutuskan senyum, sekarang hilang sudah harapan. “Jikapun kau memilih tunanganmu yang ganteng dan rupawan, bergelimang harta dan mahkota dimana saja, dan berlapis kemulian yang tiada tara. Maka satu-satunya harapan adalah meminta maaf sebanyak yang kau kira”.

Akhirnya aku mulai sadar, bahwa segala yang ditakdirkan akan tergenang dalam diriku. Ia mengalir beberapa menit dengan tajam. Sesekali melumpuhkan harapan yang  telah lama kita rasakan. Hinga tak jarang ada teman yang beranggapan aku dilahirkan untuk merasakan pahitnya terbaring dibantal, sambil menatap beberapa harapan yang masih tergantung dikamar. “Percayalah ini memang bagian dari Kutukan”

Decap decup suara jangkrik mulai menyala, malam yang muram telah menyapa, tangisan kodok berbunyi “wek-wek” sudah terdengar di telinga. Kita saksikan bersama matahari terbenam di utara. Waktu itu cuaca senyam oleh derai air mata kita berdua. Aku mengira suara tangisan itu lahir dari para kucing nakal yang hendak mencari makanan di waktu malam. Saya juga sadar bahwa perasaan saya dibawa kepada suara jeritan tetangga dengan nada amarah yang ditunjukkan kepada anaknya. Nyatanya kita sedang menangis tersedu-sedu dibawah pohon cemara kawan. Sepasang matamu masih saja terbaris di kaca, mengarahkan wajahnya dengan seutas senyum lalu menepuk dibagian dada. Aku berpikir kau beruntung mendapatkanya. Menangislah! Selagi dirimu telah mampu mendapatkan laki-laki yang sebelumnya kau puja.

Yah malam itu aku sungguh nestapa oleh dinginnya udara dan badai rindu saat-saat kita bersama. Saat yang lain sibuk mencari kertas berita duka itu. Aku lebih baik diam didepan jendala, memandangi segala bentuk yang ada, dan sedikit memastikan beberapa jam setelahnya. “Tunangan” Spontan ujung kepalaku seakan ada dimana-mana, menghayalkan apa saja,  menepuk kepala dan berfikir “kau manusia cam apa? Dalam hidupku hanya dirimu yang paling aku tunggu”. Entah mengapa, kata-kata itu seolah jadi malapetaka bagi saya. Sewaktu-waktu akan menyerang tubuh siapa saja, menyerang bagian mana saja. Bahkan bisa juga menyerang bagian otak dan kepala. “Sial, sebegitu indahnya kah orang yang sedang berbahagia” Aku ucapkan sumpah murahan itu, lalu berpikir “Mustahil rasanya memilih mereka yang belum kenal seutuhnya”

Sepasang mata masih saja memandang wajahku dengan tajam. Kau tau, saat itu wajahmu terlihat muram, matanya merosot lalu terbenam, selaksa alisnya mengikuti alunan hewan berdendang. Seolah masih menuntun jawaban atas pertanyan yang kali pertama kau tanyakan. Suara kodok dan berbagai macam hewan yang tadinya keras terdengar. Sekarang rasanya hanya tinggal suara gendang di dada. Anganku bertindak sendiri semaunya, alunan itu terasa benar adanya. Kamu tau saat kau memutuskan melempar pertanyaan itu. Aku berpikir sangat panjang, dan menghela napas dalam-dalam, lalu menjawab “Wallahu a'lam”. Hanya Tuhan yang bisa menentukan.

Dengan langkah gontai, saya masuk ke kamar, merebahkan diri di ranjang. Tercium bau ikan. Aku mencoba untuk memejamkan mata, kemudian membukanya lagi. Pandangannya sudah tidak seperti biasnya, hidup satu jam bagaikan hidup bertahun-tahun di gurun. menerawang ke atap rumah yang diteduhi bayang-bayang. Dinding tanpa plester, lantai semen kasar berdebu, demikian juga lemari kayu. Semua terlihtat seperti dirimu.

Waktu itu tanganku yang lunglai kini terasa gemetaran. Kakiku yang tegas kini sudah tidak bisa berjalan. Mataku yang bundar sekarang sudah sulit sekali dipejamkan. Hampr saja saya ucapkan hal yang “sial”

***

Kita  adalah sepasang sepatu yang talinya kusut akibat perputaran waktu yang berlalu. Kita juga sepasang tali dalam sepatu yang sulit dipisahkan dalam kedipan mataku. Kau tau, tali itu terikat-ikat oleh perasaan teman dan kasih sayang.  Oleh persaudaraan yang barangkali sampai sekarang masih tergantung dikamar. Kadang juga sekali-kali hadir dan memohon ampunan.

Aku sering berpikir. Akulah selembar kertas yang tercabik-cabik oleh tajamnya ujung pensil, oleh derasnya tinta yang tak kunjung habis termakan usia. Sementara nasibku masih saja terombang-ambing oleh sebuah pernyataan “kita adalah teman yang tak akan terpisahkan”. Pernyataan itu cukup sederhana, namun jangan sangka itu akan jadi malapetaka.

Betapapun bodohnya saya karena telah menyembunyikan perasaan, tersimpan dalam angan, tergenang dalam kata yang sulit rasanya aku ucapkan. Naluri wanita memang tidak bisa dibohongi kawan. sembunyi tangan dan melempar pelampiasan adalah salah satu keistemewaan perempuan.

Ras! Jika kau memang memutuskan begitu, maka percayalah padaku. Bahwa segala yang kau putuskan merupakan hal yang sakral. semua akan kembali pada pelukan Tuhan, meski seutuhnya banyak kenangan yang akan tertinggal. Akibat itu, maafkan aku yang tak terhingga kawan. Seutuhnya rasa penasaran dan rasa curiga masih membekas dikepala.

Tafsir kata, ada beberapa hal yang ingin kusampiakan padamu, kekasih. pada bagian waktu lainnya, aku percaya cinta itu betul betul nyata, sayangnya, dia benar benar tidak ada. Aku yakin kau tidak akan ada dua-nya. Selain itu aku hanya ingin berkata:

Tidak ada perbedaan

Antara cinta dan kematian

Keduanya sama-sama takdir Tuhan

Dan kemenangan akan berpihak pada perpisahan.

Laras sekarang sudah kehilangan rumahnya. Ia sekarang mulai berani menginap di kaki lima. Dan menerobos bagian kecil di bibir desa. Aku paham bahwa perjodohan adalah sebuah kebaikan. Tapi kau juga harus mengerti bahwa ada orang yang jatuh lalu bangkit lagi.

Maka pahamilah kawan. Bahwa segala yang tergenang akan sampai pada tujuan, dan segala yang tertuang akan habis termakan. Maka percayalah. Segala yang ditakdirkan oleh Tuhan, semata-mata menuju ke jalan kebaikan. Sebagaimana air yang tergenang, ia akan sampai. Dan sebagaimana hujan yang deras mengalir kebawah tanah, ia akan habis disia-siakan.

Begitupun juga hasratku. Ia sebagiamana air yang mengalir beberapa jam. Dan tergenang dalam bak besar. Sayangnya kau lebih memilih membuang air itu dengan harapan kosong.

Lalu, dalam basah dan lelah, dan sambil bersandar di salah satu dinding rumah. Aku hanya bisa pasrah dan ber-doa.

Jika aku dan dirimu ternyata ditakdirkan untuk berpisah, maka percayalah aku pasrah pada sang pencipta. Tapi jika aku dan dirimu masih punya harapan. Besar kemungkinan kami akan tergenang dalam kata-kata yang tak bisa kuucapkan. Wassalam. []

 


Aku dan Gadis di Balik Kelambu (cerpen)

 


Aku dan Gadis di Balik Kelambu

Oleh: Syifaur Romie

 

Terlihat dari sudut pendopo lama, gerak selambu itu menandakan kehadirannya kembali. Sinar redup bohlam tak pernah bohong menerpa sosok yang lagi-lagi melukiskan bayang semu dari baliknyadi setengah malam; mengundang kernyut dahi dalam duduk belajarku mulai menyempit. Aku tahu, itu kau! Sebagaimana malam-malam lalu sejak kejadian itu. Tak Kuasa kugapai siapa dirimu sebenarnya.

Bayang tangannya memangkas sedikit celah pada kelambu. Menjadikan todongan mata ini semakin terpaku menghunus ke arah bayang itu. Sepintasterlihat dari redupnya malam cahaya mata di antara wajah yang tertutup hijab itu secepat kilat menyambar keberadaanku. Secepet kilat pula, kau pergi menghapus bayang semu ditelan kegelapan. Begitu membekas dalam kedipan mata. Kamu yang masih dalam prasangka benar atau tidaknya kisah itu.

Dan aku masih dalam lamunan mematung terdiam, lembar demi lembar terkuras pada kertas kuning yang sedari tadi kupangku; kututup perlahan. Seiring dengan lelahnya hati dan fikiran dalam mengampu tugas barunya. Hati untuk menelaah siapa sebenarnya dia, apa tujuannya serta tuntutan ujian akhir Madrasah yang dalam masa cepat harus rampung capain demi capaiannya.

“Tumben tak seperti biasanya, Syad.” Sapa Imam Syafi’i, sahabat karib sekaligus teman sebaya di kelas. Bagaimanapun juga, dia satu-satunya orang yang mengetahui perihal panggilan Kiai pekan lalu; lengkap dengan tujuannya.

“Ya, Mam. Aku duluan.” Sahutku sembari meluruskan kedua kaki dalam tegak berdiri; membetulkan sarung, siap untuk berpaling. Bahkan tak kusempatkan diri serius menatap wajah Imam.

Dari balik punggung, Imam menggapai bahu seraya menegur serius “Syad, kamu yakin bukan tadi itu orangnya?”

“Apanya Mam?”, Sapaku dalam heran. Sembari mulai kutatap wajahnya serius. “Sudahlah, sedari tadi hanya aku dan kamu di sini. Tidak kita temui mata lain mengetahui perihal ini. Mestinya kau paham makusudku”.

Kembali kulangkahkan kaki, seakan berusaha menghindar dari kenyataan; “Ya, barangkali Mam.” Terdengar suara yang semakin jauh mengejar “Ya jangan lupa, Istikharah cah!” Disusul dengan senyum godanya menghiasi angan yang kembali melukiskan sosok wanita di balik kelambu itu. Uh, begini sekali rasanya.

Sesampainya di kamar B-1, kuseka keringat yang mulai mengucur di sekitar kening. Paling tidak, mengobati sedikit ketegangan yang mulai bercampur aduk dengan perasaandan fikiran tak menententu. Dimana, banyak orang lain menyebutnya sebagai; Dilema. Aduhai, bahkan seperti apa sosoknya pun otakku belum mampu merabanya. Hanya sebatas kisah penggambaran kisah Kiai pekan lalu di pesantren ini.

Esoknya, dalam dzikir selepas sembahyang Shubuh, ada bisikan pesan dari seorang yang tak sempat kulihat jelas wajahnya mengatakan bahwa aku telah dipanggil Kiai guna menghadap. Bersamaan dengan itu juga, keringat dingin mulai mencucur. Ototku serasa sedikit membeku dalam duduk sila. Dan fikiran khusyuk dalam sekejap berubah menjadi alun-alun lengkap dengan pasar malamnya; riuh sesak.

“Sekarang juga, Kang Irsyad”. Teriaknyanya dari kejauhan setelah beberapa saat.Sosok suara yang tadi membisikiku. Sudah kuterka sosoknya; Umar. Abdi dalem (Madura: Kebuleh). Senior juga sobat karib dalam catatan sejarah keberadaanku selama di pesantren. Kini, bergegas dari duduk itu serasa memandai besi yang kalian mesti tahu betapa kakunya.

Mengayur kepercayaan diri adalah langkah awal dalam mengawali kelancaran segala urusan. Dengan berkali-kali kuatur senyum di hadapan cermin kamar, dan minyak oles wangi lengkap dengan pakaian terbaik menurutku, aku sudah benar-benar yakin dengan maksud dan tujuan akan panggilan ini. Aku datang; Bismillah...

Melalui langkah lunglai kedua kaki di atas alas yang sengaja tak kusuarakan ini, gerbang ndalem Kiai mulai tampak dari sudut pendopo pengasuh. Semakin mendekat, pojok kaca mobil kendaraan beliau mulai tampak. Di saat bersamaan, kulihat pintu sedikit terbuka seraya kepercayaan diri yang telah kuatur tadi mulai tercecer di sepanjang jalan.

Dari kejauhan, terlihat bangunan tua dengan gerbang besi sedikit berkarat terbuka lebarmenyambut siapapun sosok yang hendak menghadap. Betapa kau tahu, bahkan gerbangnya pun benar-benar disegani para santri. Begitulah kiranya tradisi pesantren salaf berlaku. Tiada lain kecuali Ikraaman wa Ta’dziman.

Wajah yang patah membungkuk menghadap tanah, riuh suara pengajian Al-Qur’an oleh santri putri lengkap dengan sorak sorai guraunya terdengar semakin menambah suasana mencekam. Tapi apa guna takut, bila saingannya adalah ta’at.

Hirupan nafas setengah dada kulanjut dengan suara salam tegar keluar dari mulut penuh dosa ini; “Assalamualaikum..”. Nada rendah lirih tertahan akhirnya terlepas dari ternggorokan. Bahkan seakan tak ingin kucing tertidur itupun terbangun dari ringkuk pulasnya. Sejak keberhentianku di hadapan pintu penuh wibawa itu, kedua tangan saling menumpuk di hadapan perut.

Waalaikumsalam... Masuk”. Setelah beberapa saat mematung di hadapan pintu. Perlahan kuangkat kaki yang gemetar dan wajah tertunduk takluk. Lalu kututup kembali dengan pelannya. Sejenak kuangkat sedikit wajah guna mengetahui posisi beliau, berubah merangkak dan menyalami beliau dengan kedua tangan seraya kuciumnya tangan mulia beliau bolak balik tanpa sisa.

Aku tahu, kalian hanya pembaca, begitu tak faham bagaimana pucatnya diri kala mengetahui di antara ruangan yang mulai terasa sempit itu terdapat sosok lain selain aku dan Kiai. Dengan busana cantik dan rapih; dia adalah Gadis. Denyut jantung mulai meronta hendak keluar dari tempatnya seraya memerahnya kedua pipi. Kuyakin gadis yang duduk bersimpuh di hadapan Kiai itupun merasakan hal yang sarupa.

“Jadi, ini lo Nabila yang kuceritakan pekan lalu itu, Syad.” Lanjut Kiai selepas beberapa saat menanyakan berbagai hal sebagai pembahasan ringan pembuka suasana. Sesaat dunia terasa kembali petang dan sempit. Sempit sekali. “Sekarang, angkat wajah kalian berdua, sejenak saja lihat wajah satu sama lain”. Imbuh Kiai sembari menghamparkan tangan kanannya pada pundakku yang lusuh dan mulai goyah kehabisan percaya diri.

Tidak sedikitpun prediksiku melenceng.  Dialah gadis itu, namnya Nabila. Sesuai dari apa yang didawuhkan Kiai. Sesaat wajah eloknya mampu membius ingatanku akan sosok yang belakangan ini kerap melukiskan bayang di balik kelambu tepat menghadap posisi belajarku tiap setengah malam.

Sekilas senyumnya tak dibuat-buat. Membentuk lesung pipi merah alami. Walau kutahu, senyumnya sedikit dipaksa. Alisnya hitam legam tanpa celah memayungi kedua bola mata yang membola bersinar jujur diselimuti keindahan. Hidungnya yang sedang nan berani itu, seakan menjadi magnet pemikat. Kulanjut dengan kedua bibir yang merah alami dan manis, tampak begitu bersih dan polos menghiasai wajah merona. Bila kau tahu Annelies dalam kisah Bumi Manusia, barangkali bibirnya sedikit lebih unggul dalam hiasan kecantikan yang alami. Dan wajah tanpa sentuhanmake up menggambarkan mutiara dalam cangkang kerang. Jauh dari tangan manusia jahat.

Dengan sekali tatap indahnya; Nabila, aku telah masuk ke dalam dunia yang kau sebut dengan “Jatuh Hati”. Aku tertarik dan tak ada satupun rasa ingin menyangkal kekurangan yang sejauh ini tak kutemui. Maaf, rasa ini jujur lahir dari jiwanya. Namun di sisi lain juga ada hati yang berupaya meniup cinta jauh dari pintu masuknya.Berupaya mengingatkan sebuah hal dalam hidup; kesetiaan.

Kusudahi keindahan lamunan sesaat ini bersamaan dengan dawuh Kiai; “Nabil, ini Irsyad. Santri yang hendak aku jodohkan denganmu. Dia rajin dan istiqamah menelaah saripati ilmu di pendopo lama. Aku hafal betul. Kaupun kupilih sebab memiliki aktivitas serupa. Aku merasa kalian berdua memiliki kecocokan yang kutemui dalam mimpi Istikharah. Semoga kalian berdua ditakdir berjodoh”.

Antara tangis bersalah dan penyesalan, sebentar kuarahkan telapak tangan kanan menggapai dada tepat denyut nadi itu semakin mengguncang. Lalu dengan sergukan sekali nafas, kuberanikan diri yang rapuh ini menengahi bahasan indah dalam ruang yang semakin terasa menyempit.

“Abdi haturkan permohonan maaf Kiai, orang tua Abdi telah sebulan lalu meminangkan Abdi seorang gadis. Mohon maaf Kiai, Abdi.....”. Bersambung.

SEPOTONG EPISODE (cerpen)

 


SEPOTONG EPISODE

Oleh: Afro Makia 

Fajar menyingsing dengan indahnya. Awan tergumpal dilangit angkasa raya pertanda cuaca mendung tak seperti biasa. Mungkin ada yang bersedih hati, batinku tersenyum. Dia menghela napas panjang “tugas dari ning bikin sumpek”.

Kini ulas senyum nyata terukir di bibirku. “gak apa-apa, Ning, hanya percaya sama kamu untuk menyelasaikan tugas yang kamu sebut aneh itu.” Tugas yang dibicarakan sebenarnya tak aneh. Tak lebih dari tugas menerjemah kitab yang diminta dari Ning.

Namanya Andira, murid berprestasi yang disegani seantero pesantren karena ia termasuk ustadzah termuda sejak umurnya baru 15tahun. “masalahnya menenerjemah kitab jawahirul bukhori yang tebalnya lebih dari 500 halaman.” Ia menekuk wajah. “apalagi ditambah Ning pengen dibuat kisah menarik disetiap babnya bisa-bisa aku bikinin skripsi aja. Sama aja aku lagi meneliti, iyya kan?” lanjutnya mendumel. Aku merogoh sesuatu di saku kemeja ku, memperlihatkan kepadanya seraya berkata, “ La Tahzan, Innallaha ma’a shobirin“ dia mengambil kertas berisi surat keputusan rapat tentang kepulangan santri. “ Ini beneran? Tuh kan, Gayatri Rumi the best! kamu dapat darimana?” Dia berbinar-binar, menjawil pipiku. “Apasi Ra? Coba di buka!” ia pun bergegas membuka lipatan dan mendesah kecewa. Aku tertawa, menatap kertas yang ku temukan di sampah bagian kertas dimana surat keputusan rapat yang tak rampung dibagian penetapan tanggal.

Mataku menatap alihsesosok santriwati yang berjalan ke arah kami, dengan tergesa ia berkata, “Ditimbali Ning Auli.” Aku melotot kaget, sedangkan Dira malah kelewat santai “Makasi,” katanya. Aku menarik tangannya “Ayo” Dira menggeleng “Paling di tanyain tugas anehnya” ucap Dira. Aku tak menghiraukan, berjalan ke arah panggilan. Hafal betul, karenaDira akan menyusul dan berkata “Iya deh iya”,

Sesampainya di ndalem, beliau malah menyuruhku ke teras depan dimana mobil Ayla berwarna Dark Grey sudah terparkir disana. Aku terheran “Yeay diajak jalan-jalan”Ujar Dira. “Masuk Mbak” suara dari belakang kami mengejutkan. Aku tahu ini siapa, dengan memendam segala tanya aku mengambil langkah dan melaksanakan perintah. Aku dan Dira duduk berdampingan di jok tengah serta Ning Anjani Aulidi jok depan bersama Gus Fikhar Emran-kakak kedua beliau. Mobil melenggang pergi, hanya menyisakan lengang sepanjang jalan.

***

Mobil menepi ke rumah yang aku sendiri tak tahu. NingAuli sudah melangkah jauh bersama Gus Emran serta aku dan Dira yang sedang membuntuti. Aku faham, bendera kuning di pelataran rumah menandakan salah satu penghuni rumah kembali kepada-Nya.

“2.3.2-2.7.2?” oke, Dira membisikkan kode-kode percakapan kita agar tak ada yang tahu. Yang berarti, ada apa?

“8.2.52.94.43.93.2.42” Aku menanggapi pendek. “74.43.2.7.2?” Dia kembali bertanya. Aku mengedikan bahu.

Seperti acara takziah lainnya, khas dengan suka cita, menyalami, acara tahlilan, dsb. Aku berfikir ini salah satu rumah alumni pesantren. “Umur kamu berapa Rum?” Ning Auli memandang kearahku. Alisku bertaut, “Dua puluh Ning”. Kembali hening.

Gus Emran bergabung dengan sebangsanya. “Jenazah masih disholatkan. Namanya Mbah Darsuki santri pertama Abah Yai. Beliau wafat tadi shubuh dengan umur 89 tahun. Masya Allah,” ujar Ning Auli. Aku takjub, beliau mendapat bonus umur dua puluh enam tahun. “Dikarenakan apa Ning? Sakitkah?” Dira bertanya antusias.

“Sudah waktunya. Beliau hanya tinggal bersama cucunya. Cucu beliau menemukan Mbah Darsuki tergeletak diatas kasur seperti baru pulang dari masjid, terlihat dari baju koko yang beliau kenakan,”

“Masya Allah” gumamku tanpa sadar.

“Selain karena rumah beliau yang berdekatan dengan masjid beliau memang sudah terbiasa sholat berjamaah sejak dipesantren dulu, kata Abah” tambah Ning Auli.

Terdengar suara kaum adam yang keluar dari masjid seberang rumah. Jenazah mungkin akan diantar ke peristirahatan terakhir. Aku yang hendak berdiri ditahan oleh Ning Auli, “Sebenarnya, saya mengajak kalian untuk menghadiri pemakaman Mbah Darsuki” jeda 3 detik “Saya tidak suka pemakaman” lanjut beliau tersenyum.

“Jadi rumor njenengan takut hantu itu bener Ning?” Tanya Dira spontan. Beliau terkekeh disertai pipi yang merona.

“Saya bukan takut hantu, saya takut tempat makamnya, kuburan.” Aku dan Dira menanggung-ngangguk patuh. “ TapiRumi saja yang ikut, Dira disini bersama saya.” Dira mendesah kecewa.

“Tapi saya takut salah Ning.” Ning Auli tersenyum. “Nanti saya suruh kak Ran menemani” aku menghela nafas kaget. Belum sempat aku  merespon, suara gus Emran terdengar “Auli, ayo.” Ning Auli mengusap lenganku. Aku melangkah, mengangguk kepada Gus Emran dan bergegas ke arah jalanan.

***

Sepanjang jalan tadi, tidak ada terik panas dan jarak terasa dekat. Sungguh lagi-lagi aku dibuat kagum. Ketika hampir sampai, suara-suara penduduk terdengar heboh, aku dibuat heran “apa yang terjadi?” batinku. Maklum, aku berada di barisan paling belakang. Namun, disampingku muncul sosok Gus Emran. Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang ikut mengantar serempak berucap “Subhanallah” Aku semakin dibuat linglung, ketika aku berjinjit dan sedikit menerobos barulah aku mengerti. Disana, ada sesosok jenazah yang kain kafannya masih putih bersih dan tubuh si jenazah tidak sedikitpun menjadi kerangka. “Itu siapa, Bu?” aku memberanikan diri bertanya pada Ibu-ibu disebelahku. “oh, itu istrinya Mbah Darsuki, beliau berwasiat agar dimakamkan berdampingan. Saatdigali ternyata jenazah Umi Rukmana masih utuh. Tidak heran, mereka sepasang suami istri yang taat. Makanya, kita takjub. Kekuasaan Allah.” Jelasnya.

Tak sadar air mataku menetes. Berulang kali aku berucap takbir dalam hati.

Sepanjang prosesi pemakaman aku sungguh merasa sangat tentram. Ini pengalaman menyenangkan bagiku. Tidak ada yang tahu seperti apa jalan takdir seseorang. Bukan seberapa baik hidup di dunia. Tapi seberapa pantas ia berada di surga. Bahkan banyak kisah orang-orang yang awalnya memiliki perangai buruk menjadi seorang yang sangat berpengaruh dalam Islam. Dalam cerita Mbah Darsuki dan Umi Rukmana, aku tak tahu apa keistimewaan mereka tapi dapat disimpulkan mereka adalah sepasang kekasih yang berjalan di jalan-Nya.

Sekembalinya aku kerumah Mbah Darsuki, sepanjang jalan Gus Emran berada dekat denganku seakan-akan gerak-gerikku diawasi oleh beliau. Aku berusaha bersikap sewajar mungkin meski tanpa sadar kami saling melempar senyum.

***

 Namun ekspektasi tidak sesuai kenyataan, padahal aku tidak sabar untuk menceritakan kejadian aneh tadi pagi. Tatkala rumahnya terlihat, mereka malah beringsut keluar dari pekarangan rumah seraya berkata“ Ayo Rum, hampir dhuhur sebaiknya kita sholat dijalan,” Aku mengangguk. Jelas aku tak bisa bercerita saat ini. “Goodnews” bisikku didekat Dira. “Apa?” ia merespon dengan mata berbinar. Namun aku sedikit memberi jeda dengan memasuki mobil.

Barulah dimobil aku menceritakannya kepada Dira dan Ning Auli yang serta merta ikut mendengarkan. Aku antusias melihat mereka tampak berkaca-kaca, “Tapiapa ya Rum, keistimewaan beliau?” Tanya Dira. “Jelas mereka adalah orang yang taat beribadah” Ning Auli mendahului jawabanku. Aku tersenyum “dan pastinya sangat pantas berada di surga-Nya.” Lanjut Ning Auli.

“Dari yang tadi aku dengarkan dari Abah Yai, beliau berdua tidak pernah meninggalkan masjid. Bukan hanya untuk sholat lima waktu, tapi beliau juga membersihkan masjid tanpa pamrih. Sembilan puluh persen pembangunan masjid beliau donaturnya.” Ujar Gus Emran mengimbangi percakapan.

“Juga dari penjelasan Ning Auli, Mbah Darsuki tergeletak diatas kasur. Saya membayangkan betapa mudahnya sakarotul maut beliau” lanjutku.

“Ini sama seperti penjelasan kitab Jawahirul Bukhari dalam hadist nomor 104 tentang keutamaan masjid dan tujuh orang yang akan diberi naungan di padang mahsyar. Salah satunya pada nomer tiga, orang yang hatinya terkoneksi pada masjid” Dira tak mau kalah. Aku menangguk faham, lagi-lagi hatiku bergetir.

“Hadistnya seperti ini bukan?وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ .” Imbuhku, Dira memberiku dua jempol.

“Benar, saya agak lupa tentang hadistnya” aku Ning Auli

Kemudian hening, euforia kagum akan kisah beliau berdua terpatri pada wajah kami. “Rum, 4.82.74 - 6.32.53.43.73.43.52” ujar Dira yang berarti, Gus melirikmu. Aku terdiam dan melihat kearah kaca spion dimana mata kami saling bertemu. “6.32.53.43.73.43.52 - 5.2.53.2.62” ujarku menepis firasat Dira. Aku tahu apa yang difikirkannya. “Bukan hanya sekali ini saja kan?”Benar sih, tapi aku yakin  mungkin beliau hanya iseng.

“Bye The Way, didalam hadist tadi semoga kita termasuk ya Dir, bukankah nomor empatnya adalah orang yang saling mencintai karena Allah, bersatu dan berpisahnya pun karena Allah.” Kataku, melarikan diri dari firasat.

Serempak kami menjawab “Aamiin”

“Walaupun tidak,di nomer dua kalian sudah mendapat naungan di padang mahsyar karena mengorbankan masa muda dan berjuang, beribadah, belajar dijalan Allah, tempat Allah, pesantren” Ning Ara menambahkan.

Aku dan Dira tersipu sambil mengamininya.Setidaknya suasana mobil tidak seperti tadi yang berteman sepi.

“Aku banyak belajar tentang ini.” Ucap syukur dalam hati.Sampai akhirnya Gus Emran berkata hal yang membuat Ning Auli dan Dira bertanya-tanya. Sedang aku bingung merespon bagaimana.

“74.32.6.63.4.2 – 52.43.8.2 – 8.32.73.6.2.74.82.52, nomor empat ya Rum?”

Aku melupakan gelar filsafat yang melekat pada Gus Ran, selanjutnya entah bagaimana aku tak sadar. Aku dibuat berujar oleh alam semesta.

“Aamin” disebelahku, Dira seakan mengerti dengan memandang aneh kepadaku seakan berkata, “Tuhkan, apa kubilang.”

 

Na‘at Maqtû‘ (opini)



Na‘at Maqtû‘

Oleh: Gus Muhammad Hilal

Ilmu Nahwu itu kadang bikin gemas. Saat membaca “kitab gundul” (buku berbahasa Arab tanpa harakat), kadang muncul beberapa kalimat (Arab: jumlah) yang sulit dipahami karena kedudukan i’rab atau vokal akhirnya sulit ditangkap.

Contohnya adalah sebuah teks dalam Kitab Idzah al-Nasyi’in, yang saya kaji setiap malam Selasa bersama teman-teman pondok, berikut ini:

و متى بَلَغَ الحسدُ بالحاسد هذا المبلغ، كان وحشًا ضاريًا وأفعى في أنيابها السُمُّ ناقعٌ .

Dan ketika sifat dengki sudah mencapai tingkatan itu [tingkatan rela menyakiti orang yang didengki] dalam diri pengidapnya, maka dia ibarat hewan buas nan berbahaya, dan ular mematikan yang taring-taringnya mengandung bisa.

Persoalan yang membingungkan itu ada di kata terakhir: ناقع. Yang terpikir waktu itu adalah dua solusi yang sama-sama problematis.

1.  Kata itu adalah na’at dari kata sebelumnya, al-summ (السم). Namun tidak tepat karena keduanya tidak sejajar: kata al-summ adalah makrifat dengan partikel al, sedangkan kata nâqi‘ adalah nakirah. Kedua kata yang demikian itu tidak bisa jadi susunan na’at-man’ut (meskipun secara semantis kedua kata itu cocok, bisa berarti “racun yang mematikan”).

2.      Kata nâqi‘ menjadi na’at dari lafaz af‘â (أفعى). Solusi ini lebih mengena, sebab keduanya sama-sama isim nakîrah, jadi bisa dibikin sebagai susunan na’at-man’ut meskipun dipisah oleh sebuah kalimat di tengah-tengahnya (Arab: jumlah mu‘taridlah). Namun lagi-lagi hal itu problematis, sebab lafaz nâqi‘ ditulis dengan harakat rafa‘ oleh penulis atau penerbitnyasedangkan lafat af‘â berharakat nashab (menjadi khabar-nya kâna). Seharusnya keduanya sama-sama berharakat nashab dong.

Pikiran saya berputar-putar mencari kedudukan kata itu. Muncul pertanyaan-pertanyaan di luar wilayah kebahasaan Arab: apakah penulis kitab ini salah tulis? Atau jangan-jangan itu karena salah cetak? Ah, masa sih begitu

Agar tidak ditanggung sendirian, saya sampaikan persoalan itu kepada teman-teman mengaji malam Selasa. Saya sampaikan bahwa itu adalah persoalan yang membuat saya bingung. Barangkali teman-teman ada solusi?

Salah seorang dari mereka ada yang menawarkan solusi: itu adalah Na’at Maqtû‘. Oke. Na’at dari mana? Na’at dari af‘â, jawabnya.

Setelah dicermati sebentar, pikiran saya langsung terbuka. Binggo! Ini dia solusinya. Na’at Maqtu‘! Kenapa dari semula tidak terpikir jenis na’at satu ini ya?

***

Na’at Maqtu‘ adalah jenis na’at yang tidak ikut aturan umum. Jika pada umumnya harakat na’at harus ikut man’ut, maka na’at maqtu‘ tidak demikian. Na’at Maqtû‘ membangkang kepada man’ut-nya.

Kenapa dalam Bahasa Arab terdapat na’at maqtu‘? Sebab ada tujuannya. Seseorang yang berkata dengan menggunakan na’at maqtu‘ menyiratkan suatu pujian atau celaan (li mujarrad al-madhi wa al-dzammi).

Na’at Maqtu‘ bisa dibaca rafa’ (untuk kasus man’ut selain harakat itu) atau nashab (untuk kasus man’ut selain harakat nashab).  Jadi, kalau man’ut-nya berharakat rafa‘, maka na’at maqtu‘-nya jangan ikut rafa‘. Gagal dia jadi maqtu’ jika begitu. Begitu juga kalau man’ut-nya berharakat nashab. Singkatnya, harakat rafa’ atau nashab ini tergantung harakat man’ut-nya.

Contoh  paling gamblang dari na’at maqtu‘ adalah Surat Al-Masad ayat 4:

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

Dan istrinya yang selalu membawa kayu bakar.

Kata hammâlah (حمالة) seharusnya menjadi na’at dari wa-mra’atuh (وامرأته), dan oleh karena itu seharusnya berharakat rafa‘. Namun ternyata tidak. Kata hammâlah malah dibaca nashab, karena menjadi na’at maqtu‘. Tujuannya adalah mencela perangai buruk dari perempuan yang diceritakan dalam ayat itu, yakni istri Abu Lahb (baca Sejarah Islam tentang buruknya perangai perempuan satu ini).

Contoh yang lainnya adalah teks yang saya kutip di atas. Kata nâqi‘ menjadi na’at maqtu‘, sehingga dia dibaca rafa’, padalah seharusnya berharakat nashab. Tujuannya apa? Tujuannya adalah mencela perangai buruk dari orang yang dengki hati.

Demikianlah, Bahasa Arab menjadi sangat efektif dan efisien karena sanggup mengatakan sesuatu secara tersirat.[]

 

Refleksi Pandemi; Pesantren dan Peran Partisipasi (Opini) Oleh: Syifa’ur Romli

 


 Keberadaan COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) sebagai pandemi telah melumpuhkan beberapa lini di Nusantara. Baik dari sisi lini lembaga kepemerintahan, pendidikan, ekonomi dan lainnya. Bahaya yang ditimbulkan dari keberadaan virus ini telah membuat pemerintah harus mengeluarkan keputusan-keputusan yang tak jarang menuai pro kontra. Berupa upaya pencegahan kemungkinan adanya kerumunan masa dalam jumlah banyak. Termasuk lembaga pencetak generasi bangsa; pendidikan. Baik formal ataupun non formal. Dalam hal ini pesantren sebagai sorotan utama dalam pembahasan.

Pesantren sebagai sebuah lembaga non formal islam turut menjadi perhatian pemerintah dalam upayanya memutus mata rantai penyebaran virus. Diakui atau tidak, lingkungan pesantren merupakan salah satu di antara banyak komunitas yang memungkinkan adanya kerumunan masa dalam jumlah banyak. Baik pemerintah ataupun pihak terkait pondok pesantren telah menyadari hal tersebut. Langkah pemberhentian kegiatan sementara pun telah dilakukan sebelumnya. Diliburkannya kegiatan para santri dari pesantren dalam waktu yang cukup lama hingga diberlakukan kembali dengan langkah kebijakan New Normal.

Dari sini, terlihat peran pesantren tidak begitu pro aktif dalam kontribusinya terhadap pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Padahal secara tidak langsung, seharusnya justru pesantren yang memiliki konsep memutus mata rantai penyebaran Covid-19 (dalam hal ini) dalam nilai-nilai yang dikaji di dalamnya. Juga pesantren yang memiliki kesempatan besar dalam menerapkan sistem social distanting sebagai bentuk upaya.

1. Tiga Prinsip

Tiga prinsip yang dimaksud adalah salah satu ajaran penerapan prinsip secara Individual  dalam menjalani setiap perkara. Tiga prinsip itu antara lain upaya dzhahir (Ikhtiyar), upaya spiritual (Do’a) dan kepasrahan (Tawakkal). Setidaknya tiga prinsip tadi dapat mencapai kata cukup bilamana diterapkan sebagai bentuk upaya partisipasi terhadap pemerintah dalam tujuan memutus mata rantai.

Pertama, Ikhtiyar mau tidak mau harus terlebih dahulu meyakini bahwa kejadian ini benar adanya. Dalam hal ini virus memang telah dinyatakan ada dan berbahaya bagi manusia. Hubungannya dengan konsep Maqashid Syari’ah Hifdz an-Nafs, maka prinsip ini seharusnya menuntut personality pesantren untuk melakukan langkah pemangkasan penyebara Covid-19 sebagaimana yang telah dianjurkan pemerintah meliputi; social distanting, physical distanting, dan berbagai upaya lainnya.

Kedua, do’a merupakan prinsip penting terhadap paradigma pesantren sebagai bentuk keyakinan bahwa datang dan perginya segala wabah, bahaya dan penyakit itu berada di ranah kekuasaan tuhan. Do’a sebagai upaya batin (spiritual) dalam posisinya ditempatkan pada posisi kedua setelah seseorang menjalani upaya dzahir seorang hamba. Maka tidaklah menjadi paradigma pesantren untuk meyakini sesuatu dapat berubah dengan sendirinya tanpa adanya upaya real dari seorang hamba.

Ketiga, Tawakkal dijadikan sebagai penguat dari dua prinsip sebelumnya. Bahwa dalam hal ini, maka pasrah akan segala ketetapan harus menepati tahap dimana kedua tahap sebelumnya telah dilakukan secara optimal. Secara tidak langsung pula, tawakkal membentuk sebuah karakter penting bagi seseorang dalam meyakini bahwa ketetapan tuhan (Qudratullah) tidak dapat diterka. Tawakkal akan memiliki nilai optimal bilamana telah dilakukan dua tahapan prinsip di atas sebagai bentuk peluang bagi seorang hamba.

Maka dari poin pertama yang memuat tiga prinsip di atas tadi, dapat realisasikan oleh paradigma pesantren sekaligus sebagai bukti kongkrit bahwa sudah sebenarnya pesantren lah yang terlebih dahulu harus dapat menerapkan upaya pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19. Sekaligus sebuah refleksi tidak hanya mengatas namakan kata iman namun melupakan aspek ikhtiyar dalam langkahnya.

2. Optimalisasi Regulasi

Diakui atau tidak, pesantren sebagai sebuah komunitas yang berkemungkinan besar melakukan adanya perkumpulan masa dalam skala besar. Namun dalam kiprahnya pesantren memiliki regulasi larangan bagi santri untuk membatasi ruang gerak serta interaksinya dengan dunia luar secara bebas. Dalam hal ini, maka pesantren telah memiliki pijakan awal sebagai bentuk pemutusan mata rantai Covid-19 dalam hal membatasi interaksi secara bebas. Lantas bagaimana dengan para santri sendiri dalam kegiatannya di pesantren?

Optimalisasi regulasi yang telah ada merupakan langkah pemecahannya. Bagaimanapun virus akan menyebar dari seseorang yang telah dinyatakan positif. Maka tidak berbahaya apabila suatu perkumpulan dilakukan oleh masa yang seluruhnya dinyatakan negatif Covid-19. Maka tahapan sebagai optimalisasi seperti:

·         Rapid tes bagi santri yang kembali

·         Karantina selama 14 hari (sebagaimana ketentuan medis)

·         Menerapkan protokol Covid-19

·         Membatasi lalu lintas santri ke luar kompleks

·         Membatasi masuknya pihak dari luar

Akan menjadi sebuah langkah optimal bagi pesantren sebagai bentuk upaya partisipasi pemerintah dalam memutus penyebaran virus corona. Adapun kasus “Klaster Pesantren” yang terjadi, kurang memperhatikan dua poin utama di atas sebagai pijakan pesantren yang sebenarnya telah ada dan diajarkan.