Jumat, 05 Maret 2021

Jangan Pernah Berpaling dari Kitab Kuning (Opini)



Jangan Pernah Berpaling dari Kitab Kuning

Oleh: Gus Shofi Mustajibullah

 

Buku-buku sejarah, buku-buku ensiklopedia, atau buku-buku pengetahuan umum lainnya? Bukan, bukan itu semua yang menjadi ciri khas pondok pesantren (khususnya pesantren-pesantren konvensional). Yang menjadi ciri khas pondok pesantren ialah beberapa lembaran yang di tulis oleh para ulama yang di sebut “kitab kuning”. Sebenarnya, bukan berarti lembaran kertas yang bertuliskan arab dan berwarna kuning saja yang menjadi pegangan pesantren, melainkan hampir keseluruhan kitab-kitab yang sudah dikaji ke kredibilatasannya atau yang sudah mencakup dalam kategori kepesantrenan seperti kitab-kitab fiqih, tasawauf dan ilmu alat.

Namanya juga pegangan, namanya juga ajining rogo, mana mungkin bisa di lepaskan begitu saja. Namun, banyak sekali santri yang sudah keluar dari pesantren yang lupa dengan pegangannya sendiri, kitab kuning. Jangankan di pelajari, di pegang saja pun sudah tak pernah. Mereka lupa, dengan siapa mereka tertidur di tempat ngaji, mereka lupa apa yang mereka dulu ileri, mereka lupa, sekali lagi lupa, dari mana mereka mendapatkan ilmu-ilmu hikmah dulu di pesantren. Ah, ya sudahlah.

Kegelisahan ini sama dengan yang di rasakan oleh kyai sederhana nan bersahaja, Kyai Afifuddin Muhajir. Seperti yang di lansir Aswaja Dewata, bahwasannya Kyai Afif berharap kepada seluruh santri yang identik dengan kitab kuning, jangan sampai meninggalkan kitabnya meski sibuk dengan profesinya.

Kitab-kitab kuning yang di karang oleh para ulama memang sudah sepatutnya di jadikan acuan kehidupan. Romo kyai Nurul Huda pernah dawuh kalau semua kitab-kitab kuning itu di karang oleh para wali, yang berarti ilmu-ilmu mereka yang di tuangkan ke dalam karya-karyanya sudah di restui oleh Tuhan. Para santri harus segera meminangnya lalu mengikat janji sehidup semati. Para santri harus meneguhkan jiwanya pada kitab-kitab yang di karang para ulama serta mengafirmasikan dirinya untuk mengabdi sepenuhnya pada agama.

Wajarkah seorang kekasih meninggalkan kekasih terdahulunya hanya karena sebatas penghambat kutu dekil yang entah dari mana datangnya?

 

~Mengapa mengusir cinta dengan jijik berpikir sedang jatuh cinta, padahal tenggelam dalam nafsu~

(Maulana Jalaluddin Ar-Rumi)

Wallahu a’alamu bisshoab

Refrensi:

Syams Diwan Tabrizi

Aswaja Dewata

  

Puisi Akhbar Bagian keempat



Rindu Pada Sang Guru

Oleh: Muhammad Iqbal 3b


Hatiku bergetar

Badanku terasa lumpuh

Ragaku tak sanggup lagi menahannya

Rasa rindu yang telah lama kupendam

 

Suara yang halus

Merdu melantunkan kalimat ilahi

Ingin rasa berada di belakangmu

Menghadap Tuhan bersamamu

 

Wahai Guru...

Apalah daya diriku ini

Engkau telah membuatku

Tahu akan segalanya

Tak ada balasan untukmu

Hanya Doa kupanjatkan untukmu

 

Kuberharap kepada sang ilahi

Bisa menciumikedua tangamu lagi

 

Rindu untuknya

Oleh: Mochtar


Disini, disetiap tegang yang menyisakan malam

Angin berhembus yang membuat suasana seolah riang

Dia disana, dan aku disini

Sembari rasa rindu yang selalu datang dalam hidup ini

Setiap harinya aku selalu bermunajat untuk dia

Yang pastinya merindukan saya

Dan kiriman Doanya

yang membuatku tak pernah putus asa

untuk dia yang selalu ada doanya

untuk dia yang kurindukan parasnya

untuk dia yang sering ku bantah

untuk dia ibuku tercinta.

 

Puisi Akhbar Bagian Ketiga



Puisi sang utusan

Oleh: Sadam Husain


Engkau siapa?

datang dengan wujud tak di duga

engkau siapa?

datang menghancurkan ketenangan sungai kapuas

engkau siapa?

datang membelenggu jiwa dengan senyum cacatmu

menyiksa jiwa dengan tatapan tak terlupakan

menghapus ingatan dengan suaramu

engkau siapa?

membuatku berlari di pagi hari

membuatku termenung di sore hari

membuatku terjaga di malam hari

engkau siapa?

datang dan pergi sesukamu

meninggalkan jiwa terbelenggu

meninggalkan diri terus berlari

engkau siapa?

pergi meninggalkan jiwa dengan diri baru

sementara diri yang lama sudah membusuk

tak mungkin terpakai lagi

engkau siapa?

malaikat kah?

bidadari kah?

setankah?

ataukah sang utusan?

jika malaikat, aku rasa terlalu hina aku untuk berjumpa

jika bidadari, aku rasa tidak akan sudi menatapku

jika setan, aku rasa mereka sedang berdemo meminta pensiun

jika sang utusan, aku harap engkau benar-benar utusan.


Tak sesuai formasi

Oleh: Syaifullah Yususf 12a


Ego tak teraih

Hujan merintih tak ingin pergi

Hempar suara gonggongan ini

 

Mimpi tak teraih

Inginku meraih

Tapi tersapih oleh perih

Dan lidahpun bercaci

 

Suara kotor terdengar bingar

Ribuan lalat menyambar

Seperti bangkai terkewangi

Adakah setangkai bisu tertular?

Tertular usaha yang seharusnya kelar

Kelar yang mengalir menjadi sukar

Ataukah aku harus naik ketebing dan teriak?

Inikah pengabdian yang tak kunjung mekar

 

#saifullah_yusuf12a

 

 

 

Puisi Akhbar Bagian Kedua

 


MENGAPA?

Oleh: Santri (No Name)


Senyum Yang Menjanjikan

Menombak Angan dengan Layang-layang

Temaram Yang Menjadi Cerah

Menandakan Kelenyapan Siksa Yang Tiada Tara

Tak Sepatah Katapun Terucap

Menoreh Kilatan Rasa yang asing

Seperti Debu Yang berterbangan

Tak terlihat Namun Terasa

Digenggam Hancur ; Dilepas Pergi 

 

Pertiwi

Oleh: Kharisma Silvana A.


Pertiwi

Beribu-ribu hektar daratan

Tanah subur nan lestari

Sebagai daya tarik tersendiri

 

Kini...

Apa kabarmu ibu pertiwi?

Apakah kau sudah membaik

Ataukah masih belum

Mungkin karena usiamu

Yang tak muda lagi

 

Pertiwi...

Apakah kau sudah lelah?

Atau tak sanggup lagi

Menahan berat beban kami

Sakit yang tak kunjung sembuh

Engkau lalui dengan kuat

Buktinya engkau tidak menyerah

Kau masih berjuang

Mungkin kau tau bahwa menyerah

Bukanlah pilihan yang tepat

Yang engkau tau berjuang

Adalah pilihan yang tepat

 

 

Senin, 01 Februari 2021

Aksara Terlengkup Tangan Depan Dada (puisi)

 

Aksara Terlengkup Tangan Depan Dada

Oleh: Afro’ Makiyatus Syarifah

 

Tergugu bisu,

Terasa kaku lesu

Belum sempat membahagiakan

Tapi sudah mengecewakan.

Malu teramat sangat,

Tapi semua terlanjur telat

Banyak kata ‘Seharusnya’ muncul berkelebat

Semakin membuat sesak tiada tara

Maaf,

Bahkan definisi kata tak mungkin laras

Semua asa menguap.

Bertaburan-berserakan.

Terkunci- Terperangkap

Lantas angan berandai hilang jua

Namun poros ingatan memberi kata

“Tuhan tak mungkin salah tentang takdir penempatan hamba-Nya”


Paku Alam Menipis (puisi)

 


Paku Alam Menipis

Oleh: Afro’ Makiyatus Syarifah

 

Akhir-akhir ini,

Langit berduka

Semesta dihadiahi sunyi

Ditemani gemuruh tangis

Tak henti-henti

Berulang kali.

Jeda perlahan,

Berlipat kemudian

Belum lagi.

Bumi meratap

Sekitar sedang tak sehat

Tubuh bergelombang getir

Semakin tiada akhir

Nasehat mencuat

Prasangka berkelebat

Tenangkan,

Ada Sang Maha Cinta

Diatas Segalanya