Kamis, 13 Juni 2019

SANTRI UNTUK DESA SANTRI



Menjadi Kepala Desa pada saat ini tidak hanya perkara memenangi pemilihan saja. Visi dan misi harus jelas dari tiap calon dan tentu saja tidak sekedar janji yang bermuara pada pengingkaran. Sebab, kesejahteraan ekonomi warga desa memiliki peran yang sangat penting atas pembangunan negeri.

Situasi desa jaman sekarang berbeda dari yang tempo dulu sebelum UU Desa dibuat. Jika dahulu pedesaan ditempatkan pada pos-pos bagian paling belakang dengan porsi bantuan yang terbilang sedikit, dan kurang terurus secara serius, sehingga perangkat desa hanya berkutat pada masalah-masalah administratif belaka, maka di masa kini perangkat desa diandaikan tidak saja lihai mengelola manajemen administrasi, tetapi juga harus memiliki konsep yang jelas untuk kesejahteraan warga. Karena perhatian pemerintah pusat terhadap perkembangan desa-desa yang dibuktikan dengan ragam bantuan, disamping perlu diolah berlandaskan nilai-nilai juga butuh kompetensi dari segenap jajaran perangkat desa.

Itu artinya di masa-masa mendatang, Kepala Desa tidak hanya tampil sebagai pemuka masyarakat, tetapi lebih dari itu ia di tuntut dapat memerankan diri sebagai pemimpin struktural sekaligus kultural.

Apalagi perkembangan desa saat ini terbilang pesat. Dalam bidang ekonomi, misalnya, sekat desa dan kota kini tidak terlalu menganga. Selain karena besaran bantuan yang cukup prospektif, masyarakat pedesaan sebagaimana perkotaan juga diuntungkan oleh adanya perkembangan media sosial.  Penggunaan dan penguasaan internet bukan lagi monopoli masyarakat kota, namun telah menjalar kepada hampir semua penduduk pedalaman.

Oleh karenanya, jika perangkat desa mampu mendorong masyarakat untuk lebih kreatif lagi dalam menggunakan internet, maka jarak ekonomi desa dan kota semakin tipis.

Terlebih desa Ganjaran yang beberapa tahun silam ditetapkan dan diresmikan sebagai "Desa Santri", maka sosok Kepala Desa di wilayah yang memiliki 18 pesantren itu diimpikan pribadi yang mempunyai kemampuan-kemampuan antara lain:
1. Menjunjung, mempertahankan dan mengedepankan tinggi nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari.
2. Mengkoordinasikan sekaligus mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan antar semua unsur yang ada di desa.

Tentu saja periode jabatan tidak akan mampu menampung kepuasan setiap pihak, tetapi paling tidak terdapat aspirasi rakyat yang bisa diwujudkan, terutama dalam bidang pemberdayaan ekonomi, pemerataan pendidikan dan sistem hidup berbasis keagamaan.

Oleh karena itu pada Pilkades kali ini, merupakan cerminan dari masyarakat desa Ganjaran. Dari proses seleksi calon Kepala Desa ini akan diketemukan corak masyarakat yang benar-benar menjadi warga desa disebut-sebut sebagai "Desa Santri".

Bukan soal sosok yang maju sebagai calon, tetapi bagaimana tahapan demi tahapan pemilihan dilaksanakan sesuai nilai-nilai agama yang hingga kini diagung-agungkan. Secara sederhana dapat dikatakan, mampukah masyarakat desa Ganjaran mempraktikkan cara memilih pemimpin sesuai ajaran Islam ?

Sebab mencermati masing-masing calon yang telah siap merebut suara masyarakat, seluruhnya diyakini memiliki bekal keagamaan yang sudah mumpuni, walaupun dari sisi kompetensi keilmuan beragam. Tetapi paling tidak, masing-masing calon pernah mengenyam pendidikan berbasis agama.
~~~
SANTRI UNTUK DESA SANTRI

Berikut riwayat singkat keempat calon Kepala Desa Ganjaran:
***

Calon 01
Nama: Syaifulloh
Tempat/Tgl Lahir: Malang, 3 Juni 1987.
Alamat: Jl. Sumber Agung Ganjaran RT/RW: 32/4.
Istri: Imriti
Anak:
1. Muhammad Shonhaji.
2. Sayyidah Fatimah Azzahra.
Pendidikan Terakhir: IAI Al-Qolam.
Pengalaman Organisasi:
1. Anggota BEM IAI Al-Qolam 2007-2008.
2. Ketua Pengurus PP Raudlatul Mubtadiin 2006-2008.
***

Calon 02
Nama: Ali Shodiqin.
Tempat/Tgl Lahir: Malang, 14 Agustus 1980.
Alamat: Ganjaran RT/RW: 38/04.
Istri: Mutmainnah.
Anak:
1. Muhammad Badruttmam.
2. Syifa Maulani Azizah.
Pendidikan terakhir: MA Raudlatul Ulum.
Pengalaman organisasi:
1. IPNU.
2. Pramuka.
3. Bakti Husada, Baladika Jaya, dan beberapa kegiatan sosial lainnya.
***

Calon 03
Nama: Sinweni
Tempat/Tgl Lahir: Malang, 08 Februari 1982.
Alamat: Ganjaran RT/RW: 22/03.
Istri: Innas Shofa.
Anak:
1. Elina NF.
2. M. Hasbiallah al-Barizi.
3. Ahmad Assapura
Pedidikan terkahir: MA. Raudlatul Ulum.
Pengalaman Organisasi:
1. GP Ansor Ganjaran Gondangleg Malang.
***

Calon 04
Nama: Moh. Saiful.
Tempat/Tgl Lahir: Malang, 12 April 1985.
Alamat: Ganjaran.
Istri: Lailatul Alfia.
Pendidikan Terakhir: MA Raudlatul Ulum.
Pengalaman Organisasi:
..............
~~~
SANTRI UNTUK DESA SANTRI


Persoalan pilihan sepenuhnya berada di dalam hati nurani masyarakat desa Ganjaran. Tetapi jika proses Pilkades kali ini dikotori oleh perilaku kotor, maka pasti cerita akhirnya akan menghasilkan hal kotor pula.

Kondisi Pilkades saat ini adalah cermin dari masyarakat "Desa Santri".
~~~
Semoga berkah.
Penulis: Nilamic Tanjung
Editor: Gus Mad

Minggu, 02 Juni 2019

Analisa Kaderisasi KH Qosim Bukhori

Oleh : Gus Mad

Analisa Kaderisasi KH Qosim Bukhori

PP Raudlatul Ulum 2 Putukrejo kini memasuki generasi kedua, setelah KH Qosim Bukhori sebagai pendiri sekaligus pengasuh pertama mangkat sekian tahun yang lalu. Sekalipun tipologi kepemimpinan beliau lebih banyak tampil demokratis, namun saat itu beliau masih sendiri dalam mengasuh santri-santrinya.

Sekarang jajaran kepengasuhan pesantren di desa yang memiliki destinasi wisata "Sumber Sira" itu bercorak kolektif. Sebab, seluruh generasi Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah itu, baik putra maupun menantu, diberikan ruang luas untuk berperan melanjutkan dan mengembangkan warisan beliau.

Kepiawaian kiai Qosim Bukhori mempetakan posisi masing-masing putra-putra beliau inilah yang akan dicermati penulis dalam kolom singkat ini.
~~~

Di luar anak putri, beliau dikaruniai dua anak laki-laki, yaitu Gus Ja'far Shodiq (Gus Faris) dan Gus Muhammad Yusqi (Gus Yusqi). Kemudian ditambah putra menantu beliau, yakni Gus Muhammad Sulthoni (Gus Sulthon), Gus Muhammad Hamim Kholili (Gus Hamim) dan Gus Muhammad Madarik Yahya (Gus Mad).

Kelima putra inilah yang kini meneruskan jejak peninggalan beliau. Hebatnya, masing-masing didudukkan pada porsi yang sesuai keahliannya.
~~~

Gus Faris Dan Gus Yusqi

Mereka berdua diangkat oleh ayahnya sebagai pengganti yang memperjuangkan dzikir (Khalifah Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah). Proses regenerasi kepemimpinan ritual olah hati ini dilakukan oleh KH Qosim Bukhori jauh sebelum beliau jatuh sakit dengan surat "Washuiyah bil Khair" berisikan hasil istikharah yang dilakukan di tanah suci Mekkah.

Bahkan kenyataan bahwa Gus Faris senantiasa diikutsertakan dalam setiap agenda kegiatan Yai Qosim, menjadi simbol yang acapkali dimaknai oleh masyarakat sesungguhnya putra tertuanya itu sedang di gadang-gadang untuk menggantikan beliau.

Sedangkan kepada Gus Yusqi, kiai Qosim menjamin pemeliharaan perkembangan putra ketiga itu, walaupun masa-masa remajanya seringkali dinilai "agak nakal" oleh sebagian alumni.

Kaderisasi kedua putranya ini cukup maklum, karena disamping lahir dan besar dari "rahim pesantren", keduanya pernah mengenyam pendidikan pesantren.

Gus Mad (penulis)
Hampir semua anggota keluarga menilai bahwa penulis dirancang oleh beliau sebagai pihak yang patut berjibaku dengan segala problematika di dunia pendidikan. Tidak seperti kedua putranya yang diarahkan melalui wasiat, kadar kualifikasi penulis di takar oleh beliau lewat isyarat-isyarat.

Dua dari sekian banyak isyarat tersebut adalah:
Pertama, beliau tidak saja menyuruh penulis melanjutkan akademik ke jenjang S2, namun rela menanggung separo biayanya.
Kedua, penulis merupakan satu-satunya keluarga yang dibebani amanah "pengajian kitab Ta'lim Muta'allim" setiap Sabtu pagi bagi santri.

Arahan beliau terhadap penulis juga tidak mengherankan, sebab semenjak kecil hingga dewasa, penulis besar dalam buaian pendidikan pesantren dan perguruan tinggi agama Islam.

Gus Hamim
Salah satu putra pengasuh PP Miftahul Ulum/PPRU IV Ganjaran itu jelas-jelas diperintahkan oleh KH Qosim Bukhori untuk berdagang dan berjuang di ranah politik.

Model regenerasi ini agak aneh, pasalnya cucu KH As'ad Ismail itu diposisikan berada di luar ekspektasi keilmuan yang dialaminya. Diketahui bahwa Gus yang kini menjadi Ketua Dewan Syuro PKB Malang itu sejak kecil berada di lingkungan pesantren, belajar di pesantren kemudian meneruskan ke tingkat perguruan tinggi agama. Namun ternyata Yai Qosim Bukhori menitahkan Gus Hamim untuk berniaga dan masuk ke gelanggang politik.

Ada apa dibalik perintah itu ? Tentu Yai Qosim lebih faham mengenai hal itu. Kalangan orang awam mungkin kesulitan menangkap nalar dibalik fakta ini, tetapi bagi kaum akademisi masih dapat direka-reka melalui pendekatan normatif.

Dalam membaca potret kaderisasi Yai Qosim terhadap Gus satu ini dibidang bisnis, bisa diteropong melalui pendekatan hadits:

ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ [إلَى آخَر الرِّوَايَة].
فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِين.
فَاخْتَلَفْنَا بَيْنَنَا. فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ: تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، حَتَّى يَكُونَ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ.
(رواه البخاري)
فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ.  (رواه مسلم)

Sementara dibidang politik, dapat dipahami melalui hadits:

أَبْلِغُوْا حَاجَةَ مَنْ لاَ يَسْتَطِيْعُ إِبْلاَغَ حَاجَتِهِ
فَمِنْ أَبْلَغَ سُلْطَانًا مَنْ لاَ يَسْتَطِيْعُ إِبْلَاغَهَا ثَبَّتَ اللهُ تَعَالَى قَدَمَيْهِ عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الطبرانى)

Gus Sulton 
Sedangkan Gus ini berada di garda depan dalam persoalan supranatural. Apalagi suami Ning Bariroh itu merupakan salah satu sosok yang ditokohkan di dunia persilatan lewat naungan perserikatan persilatan BS (Bintang Surya).

Kendatipun komunikasi Gus Sulthon di masa hidup mertuanya tidak begitu intens, tetapi berdasarkan atas pengakuannya, setelah wafat Yai Qosim Bukhori, Gus asal Pulau Garam itu seringkali mendapat petunjuk-petunjuk dari mendiang Yai Qosim.

Fakta ini menggambarkan bahwa sosok yang memiliki lima putra itu secara tidak langsung diposisikan sebagai generasi yang mempunyai spesifikasi di bidang "kanuragan".

Hal demikian itu bisa dicermati dari perjalanan hidupnya yang didedikasikan untuk membantu kepentingan orang banyak, seperti menolong tetangga yang sedang pailit, sesama yang tengah dilanda sakit, pihak-pihak yang lagi memikul hajat politik dan bahkan tidak jarang para santri dari beberapa pesantren yang di rundung lara serta ragam pengaduan yang harus diatasi lewat "kekuatan ghaib".

Analisa Kaderisasi KH Qosim Bukhori


Alhasil, Yai Qosim Bukhori memancang menantu kedua ini dalam spesifikasi "dunia luar nalar" bagi pesantren PPRU 2 Putukrejo. Sekalipun tidak merta memainkan peran di dalam perkembangan pesantren, tetapi secara implisit Gus Sulthon telah banyak memeras keringat terhadap keberlangsungan peninggalan Yai Qosim Bukhori dari luar pagar pesantren.
~~~

Semoga berkah.

Minggu, 10 Maret 2019

SEKELUMIT SIKAP WIRA'I GUS MA'RUF KHOZIN

SEKELUMIT SIKAP WIRA'I GUS MA'RUF KHOZIN
Gus Ma'ruf Khozin

Siapa yang tidak kenal beliau, mungkin sudah banyak orang yang mengenal beliau, baik di media sosial maupun di layar kaca tv9. Beliau adalah Gus Ma'ruf Khozin.

Saya pun tak tahu orang-orang menilai beliau seperti apa ? Tetapi saya yakin kebanyakan mereka menilai beliau pasti bersifat positif.

Jangan sampai aku, kamu beserta anak-anak kita memakan uang yang ada di dalam amplop ini


Namun sifat kehati-hatian beliau di dalam memilih rejeki, mungkin banyak orang yang tidak mengetahuinya.

Inilah sekelumit pengalaman tentang sikap kehati-hatian dalam memilah rejeki, selama saya menyertai beliau:

Pertama, beliau pernah di undang kegiatan pengajian di Dinas Perpajakan (kalau tidak salah mungkin sudah tiga kali).  Tetapi apa setelah beliau kembali ke rumah, ternyata beliau memberikan amplop itu tanpa melihatnya terlebih dahulu. Beliau hanya berkata:

"Jangan sampai aku, kamu beserta anak-anak kita memakan uang yang ada di dalam amplop ini !"

"kenapa Yah ?" Tanya saya.

SEKELUMIT SIKAP WIRA'I GUS MA'RUF KHOZIN
Gus Ma'ruf bersama  Istri dan Putra-putrinya

"Saya mengaji di tempat perpajakan. Pihak-pihak yang membayar pajak itu banyak; ada pajak kendaraan, pajak rumah sakit, dan lain-lain, termasuk ada pajak hiburan malam. Lha, saya khawatir uang yang saya terima ini dari uang hiburan malam/diskotik."


Kedua, suatu waktu beliau  di undang acara "Santunan Anak Yatim", dan ternyata beliau melihat orang-orang yang menyantuni itu adalah non muslim, sedangkan anak-anak yang disantuni banyak kalangan yang berbeda agama.

Setelah sampai di rumah, beliau pun tak melihat isi amplop itu (karena kondisi beliau masih menggunakan helm), lalu beliau hanya berkata kepada saya:

"Sampeyan dan anak-anak jangan sampai makan uang itu !"

"Kenapa Yah ?"

"Entahlah, saya tidak enak saja, kalau anak-anak saya menggunakan uang itu." Jawab beliau.

Ketiga, tadi malam beliau pulang ke rumah, tiba-tiba beliau menyodorkan amplop yang besar dan isinya lumayan banyak.

"Uang ini jangan kau makan !" Ucap beliau.

"Uang apa ini Yah ?"

Kemudian beliau hanya berkata:

"Ini uang suap (sogok)."

"Kalau ini banyak lho, Yah. Untuk dibelikan pulsa, mungkin cukup 1 tahun, atau lebih malah."  Canda saya.

Karena biasanya, setiap rejeki yang menurut beliau syubhat, selalu saya belikan pulsa.
~~~

SEKELUMIT SIKAP WIRA'I GUS MA'RUF KHOZIN
Salah satu dokumentasi saat Gus Makruf menjadi Pembicara di salah satu seminar Aswaja

Dan pernah suatu ketika, beliau di undang di daerah Lumajang. Beliau langsung memberikan semua amplopnya untuk pembangunan masjid tanpa tersisa. Para hadirin merasa takjub dan seraya bertanya-tanya dalam benak mereka:

 "Kok bisa, jauh-jauh dari Surabaya tidak menyisakan untuk ongkosnya saja."
Peristiwa semacam ini (menerima amplop, tetapi langsung didermakan) sama seperti yang sering dilakukan Gus Dur.

Semoga kita bisa meneladaninya. Amin.

Gus Ma'ruf Khozin adalah Direktur Aswaja NU Center Jawa Timur. Alumni PP Al-falah Ploso Kediri yang kini tinggal di Surabaya ini berasal dari desa Ganjaran Gondanglegi Malang.

( Sejumlah cerita ini disadur dari Wia Raokib dan Abdur Rofik, ditulis ulang oleh GM (Gus Mad) )

Senin, 01 Oktober 2018

Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori - KH. Muhammad Madarik

Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori - KH. Muhammad Madarik

Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori

Oleh: Gus Muhammad Madarik*

Hingga wafatnya, KH Qosim Bukhori  dikenal sebagai sosok tokoh yang mampu beradaptasi dan berperan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini terindikasi dari kiprah beliau dalam berbagai sisi kehidupan keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi.

Tetapi saat kiai Qosim Bukhori mangkat kembali ke rahmat Allah SWT, maka kalangan pesantren Raudlatul Ulum 2, secara khusus, dan segenap masyarakat, secara umum, benar-benar merasakan kehilangan seseorang yang memiliki talenta memimpin semacam beliau yang sedemikian kompleks.


Sekilas soal seorang kiai Qosim, model kepemimpinan dan perjuangannya di pesantren Raudlatul Ulum 2 itulah yang coba diulas penulis dalam kolom singkat ini. 

TOKOH MULTI

Pribadi kiai asal desa Ganjaran Gondanglegi Malang itu memang diakui banyak pihak sebagai pemuka agama yang mempunyai kompetensi di dalam memerankan kiprahnya dalam segi sosial-keagamaan, pendidikan, ekonomi dan politik.

Keterlibatan pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2 Putukrejo itu dapat dilihat dari beberapa aktifitas, misalnya dalam lingkup ekonomi, beliau sebagai konseptor pengembangan zakat sehingga berdiri Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh (Bazis) Putukrejo Gondanglegi Malang.

Dalam ranah politik, beliau terpilih sebagai Ketua Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Cabang Malang di masa-masa awal era kepemimpinan Gus. Abdur Rohman (Gus. Dur).
Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori - KH. Muhammad Madarik
Dari kanan: KH. Qosim Bukhori, Gus. Dur, KH. Mujtaba Bukhori
Bahkan intensitas beliau di dalam dunia politik, mengantarkan beliau sempat menjadi calon legislatif (caleg) wilayah Jawa Timur melalui partai yang dipimpinnya. Pencalonan beliau ini dikenal sebagai proses politis yang sangat bersih tanpa permainan kotor sebagaimana banyak diungkap beberapa alumni bahwa cara beliau sangat terjaga dari praktik uang (money politic).

Sesungguhnya kiprah beliau tidak  hanya pada aspek ekonomi dan politik belaka, tetapi jasa dan peran yang didermakan beliau di berbagai aspek tidak dapat dihitung.

MERABA TIPOLOGI KEPEMIMPINAN

Terlepas dari berbagai jejak-jejak putra KH Bukhori Ismail Ganjaran itu di tengah-tengah masyarakat, perjuangan beliau di dalam mendirikan dan sekaligus mengembangkan pesantren Raudlatul Ulum II cukup bernilai untuk ditelusuri kembali.

Dari sekian gambaran sosok pribadi beliau dalam rentang sejarah pesantren tersebut, setidaknya dapat diringkas menjadi dua poin penting:

Pertama, sikap sabar. Sejak awal,  keberadaan kiai Qosim Bukhori di desa Putukrejo merupakan seorang pendatang dari desa Ganjaran. Secara psikologis, status ini kurang menguntungkan untuk menjadi orang idealis.

Betul saja, rintangan yang dihadapi beliau di awal-awal membuka pesantren adalah respon negatif dari beberapa tokoh masyarakat yang tidak jelas alasannya. Kondisi ini semakin diperburuk oleh tingkah polah anak kampung yang acapkali memusuhi para santri. Tetapi dengan sabar, beliau hadapi situasi demikian hingga pesantren yang dibinanya kian berkembang.

Di sisi lain, ketabahan beliau semakin tampak dari cara membimbing para santri. Sebagai pengasuh, beliau menghadapi para santri penuh kesabaran, walau terkadang dari sekian banyak ragam watak santri terdapat beberapa orang yang berperilaku kurang mengenakkan hati.

Berbagai macam karakter anak santri dengan ragam latar belakang yang berbeda-beda, menyebabkan problematika yang sulit disatukan dalam ritme yang sama. Lebih-lebih kenakalan yang seringkali menabrak kegiatan dan aturan yang sudah baku, menumbuhkan rasa kesal bagi mayoritas para pembimbing . Namun dengan kesabaran luar biasa, secara perlahan beliau menggiring santri agar mengikuti aktifitas dan menuruti aturan-aturan yang telah ada.

Kedua, sikap demokratis. Salah satu yang menonjol dari gaya kepemimpinan KH Qosim Bukhori adalah senantiasa terbuka terhadap usulan-usulan para santri, terutama ide-ide dari pengurus atau alumni. Dalam berbagai kesempatan melakukan rapat dengan mereka, beliau senantiasa mendahulukan ide-ide dari peserta rapat. Dengan sabar beliau memposisikan diri menjadi pendengar setia dari polemik yang berkembang, dan bahkan justeru sikap yang tak jarang ditampakkan beliau adalah membiarkan suasana rapat gaduh oleh debat antar mereka.

Baru jika keadaan memanas dan dinilai perlu dinetralisir, beliau angkat bicara atau forum membutuhkan keputusan akhir, dengan bijaksana beliau mengeluarkan putusan final. Itupun beliau lakukan setelah melalui proses penyederhanaan tema masalah dengan kesimpulan-kesimpulan.

PRIBADI KUKUH SEJAK DINI

Sikap teguh yang telah menjadi bagian dari kepribadian kiai Qosim serta demokratisasi yang dikembangkan menjadi nilai-nilai dasar berinteraksi sosial, pasti dimulai dari landasan diri beliau yang telah kokoh.

Hal ini tercermin dari keberadaan beliau sebelum merintis lembaga pendidikan agama sudah tampil sebagai sosok yang kukuh dengan prinsip agamanya. Konon, di masa-masa lajang sekalipun, beliau merupakan pemuda yang sudah terdidik melaksanakan aktifitas religi secara istiqamah. Sehingga begitu mengarungi bahtera rumah tangga dan membangun peradaban melalui pendidikan, beliau telah siap secara matang.

Oleh karenanya, bimbingan yang terefleksikan melalui didikan dan ajaran kepada para santri tidak serta merta hanya imbauan kosong tanpa makna. Contoh kecil yang bisa dibuat gambaran dalam persoalan ini, antara lain ketika beliau mengajarkan tentang anjuran shalat dluha kepada segenap santri, maka beliau lah orang pertama di lingkungan pesantren yang telah lama terbiasa menunaikan shalat sunnah itu.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa beliau telah menjadi teladan sebelum mengajar dan menjadi contoh setiap perintahnya.

MENGHIBAH USIA

Dalam konteks pesantren Raudlatul Ulum 2, pendampingan terus menerus hingga akhir hayat merupakan bukti bahwa usia beliau didarmabaktikan seluruh umurnya demi kepentingan mengajarkan jalan yang benar kepada segenap anak didiknya.

Di luar kesempatan mendakwahkan norma-norma islami di tengah-tengah umat yang majemuk, nyaris seluruh waktu beliau semata-mata dimanfaatkan untuk menuntun para santrinya.
Memungut Jejak KH. Qosim Bukhori - KH. Muhammad Madarik
KH. Qosim Bukhori bersama istrinya Nyai Zainab Qosim
Sebagai pendidik yang menebarkan nilai-nilai kebajikan dan pemimpin yang mengajarkan demokratisasi, beliau patut dinobatkan sebagai satu-satunya tokoh sentral di lingkungan pesantren Raudlatul Ulum 2 yang pantas ditiru oleh tidak saja para penuntut ilmu di lingkungan pesantrennya, namun setiap kalangan masyarakat nahdliyyin yang memproklamirkan dirinya sebagai penganut Ahlussunah Waljamaah ala Thariqah Nahdlatil Ulama.

Semoga berkah.

* Penulis: Direktur Kepesantrenan PP Raudlatul Ulum 2 Putukrejo Gondanglegi Malang.

Minggu, 23 September 2018

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren - KH. Madarik Yahya

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Oleh: Gus Muhammad Madarik*

PENDAHULUAN

Seperti kebanyakan pesantren-pesantren lain, keberadaan sampah di PP Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang juga masih menjadi problematika bidang kebersihan.

Padahal jika difikirkan secara bersama, maka sampah merupakan salah satu potensi pemberdayaan. Sehingga serakan barang sisa-sisa itu bukanlah suatu momok yang menjijikkan, namun bakal menjelma sebagai lumbung dana yang menguntungkan.

Menggali nilai harta dibalik sesuatu yang dianggap tak berguna itulah yang kini akan coba dikupas penulis dalam kolom singkat berikut ini.

TINJAUAN AGAMA

Dari sisi ajaran agama, Islam sangat mempardulikan kebersihan. Sebagai agama suci dalam segala dimensinya, Islam senantiasa memperingatkan umatnya agar menaruh perhatian khusus terhadap masalah kebersihan. Salah satu anjuran Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Sungguh, Allah menyukai orang yang bertobat dan menyenangi orang yang menyucikan diri." [QS. 02:222]

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

"Dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) keji." [QS. 07:04-05]

Ada ungkapan Arab yang di klaim sebagai hadits oleh sebagian kalangan, tetapi dianggap hanya merupakan pribahasa oleh sementara pihak yang lain, yaitu:
اَلنَّظَافَةٌ مِنَ اﻻِيْمَانِ٠
Artinya:"Kebersihan itu sebagian dari iman."

Namun dalam sumber lain, Nabi bersabda:
الطُّهُورُشَطْرُالْإِيمَانِ
Artinya: "Kesucian adalah sebagian dari iman." [HR. Muslim]

Di luar keabsahan manakah hadits-hadits tersebut, hal yang pasti sabda Rasulullah itu makin memperkuat eksistensi Islam sebagai agama suci.

Hal ini dapat ditilik dari bukti kosa kata dan sekaligus implementasinya menggunakan istilah dan praktik yang lebih luas. Sebab secara bahasa, "kesucian" (الطًُهْر) dalam istilah fiqh memuat makna terjaga dari najis dan hadas, sedangkan "kebersihan" (النَّظَافَة) cenderung  diartikan terhindar dari kotoran belaka.

FENOMENA DAN MASALAH NASIONAL

Total penanganan sampah di Kota Malang saja sekitar 639 ton per-hari atau mencapai 96% dari volume (produksi) domestik (rumah tangga) maupun industri yang mencapai 664,2 ton per-hari.

Maka tidak heran apabila sampah dinilai sebagai persoalan publik. Bahkan pemerintah pusat mengkampanyekan penanganan sampah secara nasional, baik melalui program-programnya maupun pemanfaatan dan pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA).

Wajar saja apabila pemerintah menjadikan persoalan sampah sebagai problematika sosial berskala nasional. Sebab, para ahli lingkungan menyimpulkan setidaknya ada 10 dampak negatif yang dimunculkan dari sampah, yaitu:
  1. Pencemaran dalam kehidupan.
  2. Penyebab penyakit.
  3. Penyumbatan saluran air dan banjir.
  4. Menurunkan estetika lingkungan.
  5. Kerumitan baru dari sistem kelola kebersihan.
  6. Menambah siklus beban masyarakat yang tak kunjung usai.
  7. Terganggunya kesehatan dan kenyamanan masyarakat.
  8. Persoalan sampah tidak fleksibel, jika menumpuk menambah masalah baru.
  9. Memperkeruh persoalan lalu lintas.
  10. Berdampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi masyarakat.

HAL IHWAL SAMPAH DI PPRU I

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Terlihat seorang santri membuang sampah di tong sampah yang sudah penuh
Pertanyaan yang perlu dikemukakan ialah bagaimana persoalan sampah di lingkungan pesantren kita?
Jawaban itulah yang seyogyanya menjadi bahan renungan semua kalangan di pesantren yang didirikan KH. Yahya Syabrawi ini. Bukan saja karena sampah dianggap sebagai persoalan bersama, tetapi ketika hal semacam itu ditindaklanjuti dengan solusi yang tepat akan membuahkan kreasi sekaligus materi.

Beranjak dari wacana tersebut, maka pertama-tama yang harus dihimpun adalah identifikasi masalah yang menyelimuti PP Raudlatul Ulum I:

1. Serakan Sampah

Adanya sampah memang sebuah fakta di setiap tempat, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sampah di lingkungan pesantren kita masih menjadi bagian persoalan yang belum tuntas hingga kini.

2. Minim Lahan dan Kering Budaya

Sebenarnya ragam persoalan sampah di lingkungan pesantren kita bersumber dari lokasi yang kurang memadai. Sebagaimana kita tahu bahwa luas area sudah tidak mencukupi jika dilakukan pengembangan bangunan, kecuali menjalar ke atas.

Oleh sebab itu, fasilitas-fasilitas pendukung, termasuk bidang kebersihan, sudah tak menemukan tempat lagi. Hal ini dapat dicermati dari gerobak sampah (di lokasi pesantren putri) berada jalan strategis para santri.

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Potret Sampah di Jalan Lalu Lintas Keseharian Santri Putri PPRU 1
Kondisi demikian ini masih diperburuk oleh tingkat kesadaran semua pihak terhadap aspek kebersihan yang terbilang masih rendah. Walaupun dunia pesantren kaya dengan khazanah keilmuan, namun secara praktis dalam hal budaya kebersihan, para santri (termasuk di PP Raudlatul Ulum I) belum seindah doktrin-doktrin dalam referensinya.

3. Butuh Komitmen

Dari sekian ulasan di atas, apabila lontaran wacana ini ingin benar-benar diwujudkan dalam bentuk gerakan, maka hal pertama yang harus dikedepankan adalah komitmen semua pihak.

Tekad bersama merupakan tumpuan lahirnya kebersihan di pesantren kita. Kita tidak menemukan almamater ini menjadi asri, jika kemauan menuju ke arah itu tidak serempak.

Kaitan dengan komitmen bersama, hal penting yang perlu di bangun adalah membangkitkan kesadaran santri agar menjadi manusia berbudaya bersih. Sehingga kepedulian santri terhadap pengelolaan lingkungan berjalan selaras dengan peran mereka memberdayakan ketempilan untuk memperoleh keuntungan (profit oriented). 

4. Pesantren Hijau

Kebersihan lingkungan pesantren kita pasti menjadi impian semua pihak, tetapi mewujudkan asa tersebut memerlukan banyak tahapan. Tingkat awal yang harus dinomor-wahidkan ialah komitmen bersama untuk peduli terhadap lingkungan.

Apabila tahapan demi tahapan telah ada, maka pesantren kita bukan hanya tampil sebagai lembaga yang hijau dan bersih (green and clean), bahkan besar kemungkinan akan menjadi lumbung santri kreatif mendaur ulang barang-barang yang cenderung tak dinilai.

PENUTUP

Menyihir Sampah Menjadi Rupiah di Pesantren
Aktivitas piket santri merupakan salah satu usaha menangani sampah tak bertuan.
Sampah dengan segala problematikanya merupakan persoalan tersendiri di pesantren Raudlatul Ulum I, tetapi pemberdayaan santri menjadi bagian dari solusi. 

Apabila harapan pada titik itu disertai komitmen semua pihak, maka terciptanya semisal "tas", "dompet", "pot bunga" dari barang rongsokan bukan hal tidak mungkin. Dan pada akhirnya, kita bakal menyaksikan pesantren kita ini  mampu menyulap barang hina menjadi dana.

Semoga berkah.

*Penulis: Ketua Yayasan Kiai Yahya Syabrawi PP RaudlatuUlum I Ganjaran Gondanglegi Malang.

Senin, 17 September 2018

Pola Kepengasuhan PP Raudlatul Ulum 1 - KH. M. Madarik Yahya


Pola Kepengasuhan PP Raudlatul Ulum 

Oleh : KH. M. Madarik Yahya

Kendati bukan menjadi titik awal wujudnya pendidikan keagamaan, tetapi keberadaan KH Yahya Syabrawi (1907-1987) dalam mendirikan Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I merupakan fenomena menarik yang turut menuangkan warna lain di dalam proses keberagamaan umat di wilayah Malang selatan, khususnya di seputar daerah Gondanglegi dan sekitarnya.

Dikatakan cukup fenomenal, karena animo besar yang ditunjukkan masyarakat, menjadi pertanda betapa eksistensi pesantren yang biasa disebut PPRU I itu benar-benar dilirik oleh khalayak.

Keberadaan PPRU I dinilai eksis hingga kini, dapat dilihat dari beberapa indikasi-indikasi, antara lain:
  • Para santri tidak saja berasal dari sekitar Kabupaten Malang, melainkan datang dari berbagai daerah selain Malang, bahkan dari luar Jawa.
  • Jumlah grafik para penuntut ilmu di PPRU I yang menggambarkan tren menanjak, sekalipun pada masa sekarang telah memasuki generasi ketiga.
  • Keberadaan para santri PPRU I yang selalu diperhitungkan di berbagai kegiatan, baik dalam ranah kompetisi seperti lomba baca kitab kuning Kemenag maupun dalam forum-forum ilmiah semisal bahtsul masail NU.

Fakta demikian ini tentu bukan semata-mata karena kapabilitas kiai Yahya, sebagai tokoh sentral di masanya, namun pasti terdapat faktor lain yang membuat pesantren yang berdiri tahun 1949 itu bisa bertahan sampai detik ini, meskipun peran pendirinya juga tidak kecil.

*************
Kunci utama keberlangsungan seluruh proses pendidikan di lingkungan PPRU I memang tidak dapat dilepaskan dari sosok kiai Yahya Syabrawi. Tetapi keikutsertaan beberapa tokoh lain yang menyertai beliau juga merupakan bagian dari faktor kekokohan pondasi PPRU I yang tak tergoyahkan.

Ketika KH Yahya Syabrawi memegang kemudi kepemimpinan di pesantrennya, jelas-jelas beliau tidak menerapkan konsep-konsep pendidikan modern apalagi menganut teori-teori manajemen pendidikan Islam masa kini. Apa yang dilakukan kiai asal Sampang Madura itu sangat konvensional sebagaimana lazimnya pesantren-pesantren tradisional lainnya.

Sungguh pun demikian tata kelola lembaga pendidikan, namun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan yang diselenggarakan beliau di pesantrennya tidak serta merta menyusut. Bila ditelusuri secara seksama, diakui atau tidak, kiai Yahya Syabrawi bukanlah satu-satunya tokoh yang mempunyai andil dalam hal pengembangan pesantren, tetapi terdapat kontribusi cukup besar dari beberapa sosok lain selain beliau. Sosok lain tersebut ialah KH Khozin Yahya (1939 - 2000) dan KH Mursyid Alifi (1944 - 1991).

Sebagai pendiri, kiai Yahya Syabrawi telah mengawali dan bahkan sudah menancapkan arah pendidikan, yaitu menciptakan generasi muslim yang memiliki rasa takwa kepada Allah SWT. Tetapi dari sisi metode pengajaran, beliau hanya menerapkan cara bandongan dan sorogan yang biasa dipraktikkan di berbagai pesantren-pesantren tradisional lainnya.

Kedua tokoh berikutnya inilah yang kemudian memainkan peran-peran penting dalam melestarikan dan mengembangkan PPRU I.


******************
Pola Kepengasuhan PP Raudlatul Ulum 1
Alm. al-Maghfurlah KH. Khozin Yahya (Pengasuh ke-2 PPRU 1)
KH Khozin Yahya lebih kentara di dalam keberlanjutan tradisi pengajaran yang telah ditanamkan pendahulunya. Melalui kealiman beliau ini, metode pembelajaran tetap terjaga persis seperti pendirinya. Kendati tambal sulam kitab-kitab kuning sesuai ragamnya tingkatan dan tema dilakukan oleh kiai Khozin Yahya, tetapi materi-materi kitab yang dahulu pernah dikaji oleh kiai Yahya Syabrawi tidak digeser dari sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa putra pertama kiai Yahya Syabrawi itu tetap mempertahankan tradisi kajian-kajian kitab kuning yang telah berproses.

Meskipun sikap kiai Khozin Yahya tetap memperteguh khazanah keilmuan sekaligus program pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan PPRU I, bukan berarti sosok yang lebih terlihat kesabarannya itu, tidak melakukan pengembangan pendidikan.

Salah satu hasil ide kiai Khozin Yahya dalam pengembangan pendidikan adalah berdirinya madrasah diniyah Raudlatul Ulum.

Dalam hal ini, kiai Khozin Yahya pernah berkomentar:
"Sengkok cek leburreh ke akhlakkah nak kanak diniyah."
(Saya sangat menyenangi akhlak anak-anak madrasah diniyah).

Dalam pendangan beliau, keistiqamahan santri madrasah diniyah, terutama di dalam shalat lima waktu, mampu menjadi penenang beliau dibandingkan satuan pendidikan yang lain.

**********************
Alm. al-Maghfurlah KH. Mursyid Alifi
Dalam penampilan berbeda dari kakak iparnya, kiai Mursyid Alifi lebih banyak mencari terobosan-terobosan baru dalam dunia pendidikan di PPRU I. Memang latarbelakang pendidikan kiai Mursyid tidak cuma pesantren belaka, namun beliau pernah mengenyam bangku perguruan tinggi. Oleh karena itu, inovasi pengembangan wawasan keilmuan para santri yang diciptakan putra kiai Senamah Ganjaran itu selalu terbarukan sejalan perkembangan zaman.

Di antara pengembangan yang dilakukan beliau adalah berdirinya PGA (Perguruan Guru Agama) di lingkungan madrasah Raudlatul Ulum desa Ganjaran Gondanglegi Malang. Tentu saja fenomena ini membuat sebagian besar mata tokoh masyarakat menjadi terbelalak, sebab ide tersebut dicurigai sebagai misi tertentu yang terselubung.

Sayangnya, konflik antar tokoh mengenai seputar fakta dan sikap berkaitan dengan ide beliau, menyebabkan unit sekolah ini terkubur oleh ketidaksepakatan.

Selain mengkaji kitab kuning di dalam PPRU I, kiai Mursyid Alifi juga acapkali memfasilitasi kegiatan-kegiatan di luar program rutinitas pesantren. Salah satu aktifitas yang pernah dipandegani beliau adalah pelatihan jurnalistik bagi santri. Program yang mendatangkan pembicara kompeten di bidangnya dan atas kerjasama pesantren dengan pihak luar itu ditargetkan mampu menghasilkan santri-santri yang memiliki kepiawaian pengetahuan di dalam dunia pemberitaan.

************************
Keseimbangan model kepengasuhan kiai Khozin Yahya dan kiai Mursyid Alifi sedemikian rupa bagai dua baling-baling yang membuat seluruh proses-proses di PPRU I seperti elang yang tengah mengepakkan dua sayapnya.

Kiai Yahya Syabrawi memang telah tiada, tetapi warisan peninggalan berupa lembaga pendidikan tetap tegak berdiri di tengah-tengah gulungan zaman yang kian menghantam dunia pesantren. Tentu keberlangsungan pendidikan di pesantren ini disebabkan oleh eksistensi model kepemimpinan para pengasuh yang berimbang antara tradisional dan modern. Sehingga sampai sekarang pun -generasi ketiga - jargon NU:

الْمُحَافَظَة عَلَى الْقَدِيْم الصّالِح وَالْأخْذ بِالْجَدِيْد الْأصْلَح

di PP Raudlatul Ulum I enar-benar terejawantah.

Semoga berkah. Amin.

* Staf Pengajar di IAI Al-qolam Gondanglegi Malang.


Kamis, 06 September 2018

Merajut Akhlaq Karimah Dengan Shalat - Tinjauan Dua Dimenasi

Merajut Akhlaq Karimah Dengan Shalat - Gus Zamzami Alifi
Merajut Akhlaq Karimah Dengan Shalat - Dua Dimensi Sholat
Oleh: Gus Zamzami Alifi

Ironi Moralitas

….. Sesungguhnya shalat dapat mencegah (manusia) dari perbuatan keji dan mungkar”. Begitulah kiranya arti dari penggalan ayat al-Qur’an surah al-‘Ankabut: 45. bahwa pada hakikatnya, melaksanakan shalat, yang sebenar-benarnya akan menghantarkan orang yang melaksanakannya terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik atau tidak terpuji. Dengan kata lain, melaksanakan shalat akan mendorong hatinya untuk selalu melakukan kebajikan dalam kehidupannya sehari-hari.

Akhir-akhir ini sering kita jumpai banyak orang-orang yang menyandang status Ustadz, Gus, Kyai, bahkan Ulama yang sudah barang tentu label yang disandangnya itu pastilah menuntut dirinya untuk melaksanakan shalat. Namun ironinya, dibalik ibadah yang selalu mereka laksanakan, bahkan ibadah-ibadah selain shalat, banyak orang-orang yang tidak tenang, damai, sejahtera, bahkan tersakiti oleh perbuatannya.

Bukankah Nabi SAW. telah berasabda dalam hadis:

"المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده ..." رواه البخاري ومسلم

Yakni; seorang muslim yang sejati adalah ia yang senantiasa membawa kesejahteraan bagi saudara-saudaranya? Mereka selalu terlindung dan aman dari perkataan dan perbuatan buruknya? Jika kita kembali hayati kembali arti dari penggalan surah al-‘Ankabut di atas, sebenarnya shalat macam apa yang telah mereka laksanakan? Kenapa masih saja mereka gemar berbuat keji, mungkar, dan perbuatan tidak baik lainnya?

Dalam hal ini, perlu kiranya kita merekonstruksi kembali sampai ke aspek terdalam dari shalat kita. Yang dengan demikian, diharapkan ibadah shalat yang kita laksanakan tidak hanya sebagai tuntutan religius belaka, namun juga dapat merangkul aspek kebutuhan spiritual kita, yang pada akhirnya pencapaian yang kita harapkan dari shalat kita dapat diraih dengan optimal, yakni berperilaku kepada yang lain dalam koridor al-Akhlaq al-Karimah dalam kehidupan sehari-hari, atau dalam bahasa ayat diatas terhindar dari suka melakukan perbuatan yang keji dan mungkar.

Dua Dimensi Shalat

Selama ini, kita mengenal bahwa shalat adalah rukun islam yang menempati posisi kedua setelah syahadah. Sebagai sebuah ritual ibadah dengan gerakan dan bacaan tertentu yang diawali dengan Takbirat al-Ihram disertai Niat serta diakhiri dengan salam, dilaksanakan dalam waktu yang tertentu, seperti yang telah dijelaskan panjang lebar dalam kitab-kitab fiqih. Inilah bentuk shalat yang berada dalam Dimensi Lahir, atau dalam ilmu tasawwuf, dimensi ini merupakan bentuk shalat yang berada pada tingkatan syari’at.


Pada dimensi ini, seorang muslim memiliki keterikatan intruksional dengan peraturan-peraturan peribadatan yang telah diarahkan dan ditegaskan dalam al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab fiqih. Semua bentuk larangan, hal-hal yang membatalkan, juga yang membuat shalat tidak sah harus ditinggalkan. Sebaliknya, shalat juga memiliki syarat-syarat, kewajiban, serta rukun-rukun yang harus dilaksanakan. Semua ketentuan ini harus dipatuhi oleh seorang muslim dalam melaksanakan shalat. Jika tidak, konsekuensi seperti batal dan bahkan dosa harus ditanggung oleh pelakunya.

Namun dari pada itu semua, terdapat sebuah dimensi batin dalam shalat, yang apabila dimensi ini tidak dilaksanakan, maka yang didapatkan dari shalatnya tersebut hanyalah sebatas olah raga dan oleh mulut saja. Hal ini diistilahkan oleh para Wali Songo dengan istilah Sembah Rogo (ibadah ragawi). Sebab dalam pelaksanaannya, hanya yang digunakan. Seperti halnya puasa yang telah disinggung oleh Nabi dalam haditsnya: 

"كم من صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش" رواه أحمد

Ada sebagian orang yang melaksanakan ibadah puasa yang mana ia hanya mendapatkan rasa lapar dan haus dari puasanya itu”. Dalam al-Qur’an pun telah disinggung dalam surah al-Furqan: 23 sebagaimana berikut:

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا

Dan kami datangi sebuah amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan

İni berarti ibadah yang dilaksanakannya hanya sebatas Sembah Rogo saja, atau hanya melaksanakan ibadah pada dimensi lahirnya. Tidak sampai memenuhi apa yang menjadi tujuan dan implikasi dari sejatinya ibadah dalam kehidupan nyata.

Oleh karena itu, penting juga untuk kita perhatikan dimensi kedua dari shalat ini, yakni Dimensi Batin. Sebuah dimensi dimana shalat lepas dari berbagai macam ketentuan-ketentuan ibadah ragawinya. Tidak hanya berbentuk gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan, akan tetapi juga menyertakan Khusyu’, Khudlu’, Penghayatan, dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata di luar shalat.Dimensi ini diistilahkan oleh para Wali Songo dengan Sembah Cipto (ibadah cipta), yang dalam bahasa tasawwuf, shalat semacam ini menempati tingkatan thariqoh.

al-Khusyu’ dan al-Khudlu'

Dua hal ini bukan termasuk syarat-syarat, kewajiban, atau rukun dalam shalat. Seperti kita ketahui bersama, tidak ada ketentuan dalam kitab-kitab fiqih yang menyatakan bahwa shalat seseorang yang tidak disertai dengan khusyu’ dan khudlu’ difonis dengan konsekuensi batal bagi shalatnya. Namun shalat yang ia laksanakan masih dikategorikan sah secara syar’i selama prinsip rukun-rukun shalat yang telah ditentukan tetap dilaksanakannya. 

Khusyu’ bukan berarti hanya mengingat kepada Allah SWT dan melupakan yang lain. Sebab, bagi kita, hal yang demikian itu sembilan puluh sembilan persen adalah tidak mungkin, kecuali bagi orang-orang yang ‘arif billah (para wali Allah). Pikiran manusia, secara otomatis, pasti selalu mengingat-ingat dan terbayang-bayang hal-hal yang pernah diinderanya. Sedangkan Allah SWT, Tidak pernah tampak oleh indera kita.

Arti yang cocok dari khusyu’ adalah menfokuskan pikiran dan bayangan kita dengan apa yang sedang kita lakukan yang dalam hal ini adalah shalat. Di samping itu juga menghadirkan hati kita dengan menghayati gerak demi gerak dan bacaan demi bacaan yang ada dalam shalat.

Suasana shalat yang demikian ini, dapat kita lakukan dengan cara khudlu’. Kata ini berarti berperilaku yang menggambarkan sikap “kepatuhan”, yang diindikasikan dengan terhindarnya semua anggota tubuh kita dari perbuatan-perbuatan yang tidak ada hubungannya dengan shalat. Oleh karenanya, dalam ketentuan fiqih, gerakan-gerakan kecil berapapun banyaknya, atau gerakan besar yang tidak melebihi tiga kali gerakan yang berturut-turut, meskipun tidak ada hubungannya dengan shalat, tidak dikategorikan sebagai gerakan yang membatalkan shalat. Sebab ketentuan ini adalah dalam rangka mengantarkan kita untuk melaksanakan shalat dengan khudlu’.

Perilaku yang menggambarkan sikap “kepatuhan” ini (khudlu’) telah disinggung secara ekplisit dalam definisi al-Ihsan yang terdapat dalam penggalan hadis berikut:

"... أن تعبد الله كأنك تراه، وإن لم تكن تراه فإنه يراك. ..." رواه مسلم

Yang artinya adalah “Ketika kita beribadah kepada Allah (yang dalam hal ini adalah shalat), maka sebisa mungkin diri kita berperilaku seakan-akan kita melihatNya. Atau kalau tidak demikian, maka kita nyatakan dalam keyakinan kita bahwa saat ini Allah sedang melihat, memperhatikan, dan mengawasi shalat kita.” Sehingga dengan demikian, kita menjadi takut dan khawatir untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak menggambarkan “kepatuhan” yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan shalat kita. Dengan begitu, ibadah shalat kita ini dilaksanakan dengan khudlu’, yang juga mengantarkan kita untuk khusyu’.

Penghayatan dan Implementasi

Jika pada bagian sebelumnya khusyu’ dan khudlu’ dilaksanakan ketika melaksanakan shalat, maka pada bagian ini merupakan bentuk dari elemen shalat batin yang dilaksanakan di luar shalat. Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak terikat oleh ruang dan waktu, seperti halnya khusyu’ dan khudlu’ yang pelaksanaannya terikat oleh waktu ketika dijalankannya shalat.

Penghayatan ini berarti meresapi, memikirkan, mengangan-angan tentang makna-makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap detail dari ibadah shalat yang sudah dilaksanakan, baik berupa gerakan ataupun bacaan. Bisa juga diartikan dengan tafakkur, tadabbur, atau ta-ammul. Makna dan nilai yang telah diresapi, dipikirkan, dan diangan-angani tadi tidak hanya dibiarkan mengendap dalam otak dan hati kita. Namun lebih dari itu, perlu juga untuk diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Dengan demikian, meskipun dalam kehidupan nyata kita hanya menjalankan aktifitas sosial kita dengan sesama manusia dan alam, namun dalam sejatinya di setiap aktifitas kita terpancar cahaya shalat. Sehingga setiap saat pun kita tetap melaksanakan shalat yang disertai dengan khusyu’ dan khudlu’.

Tidak ada lagi perbuatan-perbuatan buruk yang akan kita lakukan, baik kepada sesama ataupun kepada alam lingkungan kita. Sebab setiap saat kita melaksanakan shalat batin, meskipun sedang melakukan aktifitas-aktifitas sehari-hari. Hidup kita menjadi cahaya yang selalu menerangi orang lain dan lingkungan sekitar kita.

Urip iku urup. Hidup itu menyala, bagaikan pelita yang menerangi alam di sekelilingnya. Menghalau setiap kegelapan dengan cahayanya. Begitulah seharusnya hidup kita. Allah SWT telah menakdirkan kita menjadi makhluk hidup. Oleh karenanya sudah seharusnya kita mampu menyinari segala hal di sekitar kita dengan cahaya kebaikan, serta menepisnya dari gelapnya keburukan. Hal ini adalah seperti yang telah diwasiatkan oleh Sunan Kalijaga.

Dari penjelasan panjang lebar di atas, jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan buruk, yang telah disinggung dalam surah al-‘Ankabut dengan al-fakhsya’ wa al-munkar, penyebabnya tidak lain adalah shalat yang hanya dilaksanakan hanya dari sisi lahirnya saja. Sehingga serajin apapun shalat yang kita laksanakan tidak akan membuat diri kita suci dari perbuatan-perbuatan buruk. Shalat kita tidak mendarah daging dengan diri kita. Makna dan nilai sejati dalam shalat tidak ikut serta menghiasi dan menerangi setiap langkah dan aktifitas kita.

Jadi tidaklah mengherankan jika banyak orang-orang yang menyandang label ustadz, gus, kyai, bahkan ulama yang masih saja suka menhujat, menghina, mencela, menyesatkan, atau bahkan mengkafirkan, perbuatan mereka tidak menggambarkan dirinya sebagai man salima al-muslimun min lisanihi wa yadihi, seperti yang telah disinggung oleh hadis di atas. Label yang mereka sandang tidak menjadikan mereka sebagai li utammima makarim al-akhlaq (untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur), tidak mendorong mereka menjadikan agama mereka sebagai rahmatan li al-‘alamin (untuk menebar kasih sayang bagi semesta alam). Padalah, mereka menyandang label Ulama yang seharusnya berperan sebagai waratsah al-anbiya’ (pewaris keluhuran para Nabi).

*****

Sabtu, 17 Februari 2018

Sukses dengan Memperhatikan Administrasi

"ألا لا تنال العلم إلا بستة"
Syair di atas ini sudah saya kenal 15 tahun yang lalu, namun pada waktu itu saya tidak mengerti apa yang di maksud oleh pengarang syair tersebut, hanya saja pada waktu saya hanya di suruh membaca berulang-ulang saja,  tanpa ada niatan untuk menghafal, ntah karena apa bacaan 15 tahun yang lalu masih  teringat sampai sekarang. Oooo ternyata ini maksudnya” seorang santri yang ingin mencapai kesuksesanya mencari ilmu, maka ia harus melalui enam tahap ini. Di antaranya cerdas, bersungguh-sungguh, belajar terus-menerus, Nah yang terahir SPP lunas, sebab hidupku senang jika anda semua lunass,,mungkin itu salah satu isinya, Wallahu “alam.

Semua enam tahap kesuksesan mencari ilmu  itu saling berhubungan satu sama lain.

1. Dzuka'in (cerdas)

Cerdas adalah salah satu syarat untuk menuntut ilmu. Kecerdasan yang ada pada diri seorang santri terkadang memang sebagai perangai yang Allah berikan kepadanya. Sebagaimana kecerdasan yang dikaruniakan Allah kepada Ibnu Abbas. Terkadang kecerdasan itu ada, karena memang harus diusahakan. Bagi orang yang sudah memiliki kecerdasan tersebut tinggal menguatkannya, namun apabila belum mempunyai kecerdasan hendaknya ia melatih jiwanya untuk berusaha mendapatkan kecerdasan tersebut. Kecerdasan adalah sebab di antara sebab-sebab yang paling kuat untuk membantu seseorang menggapai ilmu, memahami dan menghafalkannnya. Memilah-milah permasalahn, menggabungkan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dan yang selain dari hal itu:

انما العلم با لتعلم

ilmu itu diperoleh dengan belajar”. Al-Hadist

Bukan karena keturunan, bukan pula berdo’a, bukan karena ketampanan atau kecantikan saja melainkan harus belajar.

Dan yang menjadi masalah sekarang ialah  anak yang cerdas tetapi tidak memiliki ketekunan dan kesungguhan dalam menuntut ilmu, jawabannya simpel saja sudah pasti dia tidak akan menjadi orang pandai/‘Alim 'ulama.

2. Hirshin (Semangat mencari ilmu)

Semangat merupakan salah satu tonggak yang harus di tanamkan di dalam hati, sebab jika tidak di tanamkan kesungguhan di dalam hati, terkait mencari ilmu katakan saja santai-santai, bermalas-malasan, maka ia akan mengalami kerugian yang sangat besar, ilmu tidak akan di peroleh dengan cepat jika tidak sungguh-sungguh, sebaliknya kalau bermalas-malasan mencari ilmu maka perolehan ilmu akan lambat dan sedikit.

3. Wastibariin (Sabar dalam mencari ilmu)

Sabar termasuk kunci kesuksesan bagi santri yang berniat mencari ilmu, kalau tidak sabar maka ilmu enggan untuk menghampirinya, sebaliknya kalau sabar menghadapi ujian maka dengan senang hati ilmu akan mudah di peroleh, kenapa sabar menjadi salah satu kunci sukses mencari ilmu? Sebab mencari ilmu itu berat, banyak tantangannya, contoh nyatanya, lebih banyak main game, lebih banyak mengutak-atik HP ketimbang, muthala’ah kitab, lebih banyak berlibur ketimbang belajar, lebih banyak malasnya dari pada menghafal, ini semua merupakan ujian seorang santri ketika mencari ilmu, kalau tidak ada kesabaran di dalamnya, maka kita  tinggal menunggu waktu saja penyesal akan tiba dan juga  banyak kan sahabat-sahabat kita putus mondok gara-gara sepele, pengen nikah, tidak betah, terkena kudis, ada masalh dengan temannya, takut hafalan. Ini semua adalah ujian yang harus di lewati oleh seorang santri.

Seperti dalam syair

   تجرع ذل الجهل طول حياته# من لم يذق مر التعلم ساعة

4. Bulghatin (Bekal mencari ilmu)

Ribuan tahun yang lalu ketika pesantren berdiri kokoh di negara ini, pasti yang namanya bekal itu pasti ada, karena tanpa adanya bekal seorang santri akan mengalami gangguan psikis, sehingga tujuan mencari ilmu akan terbengkalai. Kecuali ada dipensasi dari pihak yang berwenang.

Nah untuk saat ini bekal itu ada dua macam yang pertama bekal untuk mencukupi kebutuhan pribadinya yang kedua bekal untuk memenuhi kebutuhan pesantren yang di tempati, seperti bayar listrik, bayar air PDAM, bayar pengangkut buang sampah, bisyarah untuk asatid itu kalau ada. membeli peralatan pesantren, itu semua bayarnya bukan makai daun, maka dari itu tanpa di minta, tanpa di umumkan tiap hari, harus sadar dan peka karena pesantren ini juga butuh uang, jadi tidak ada salahnya seorang santri membayar administrasi pesantren tepat waktu agar progam pesantren berjalan sesuai keinginan bersama.

Jadi santri harus menjalani tahap-tahap untuk mencapai kesuksesan mencari ilmu, maka semua tahap tersebut harus di penuhi oleh seorang santri terutama masalah administrasi keuangan.

Oleh: Ust. Mursyid Hasan

Rabu, 27 Desember 2017

Antara Kalam Yang Mufid dan Kebahagiaan - PPRU 1

Antara Kalam Yang Mufid dan Kebahagiaan - PPRU 1

Antara Kalam Yang Mufid dan Kebahagiaan


Oleh: Gus. Muhammad Zamzami Alifi

Di dunia pesantren, tidak ada yang tidak mengenal tata bahasa arab (Nahwu dan Sharaf). Karena pondok pesantren adalah tempat dimana para santri belajar menjadi manusia muslim, dalam aspek tertentu, yang religius. Ini artinya manusia yang diidamkan oleh masyarakat sebagai manusia yang tertanam di dalamnya nilai-nilai keagamaan yang dalam. Namun untuk menuju kesana, bukanlah hal yang mudah bagi para santri, sebab untuk mempelajari beberapa literatur yang mengajarkan hal tersebut menggunakan pengantar berbahasa arab. Sehingga, mau tidak mau, tata bahasa arab adalah satu-satunya jalan keluar, khususnya ilmu Nahwu.

Dalam ilmu Nahwu yang biasa diajarkan di pesantren, pembahasan yang pertama kali dihadirkan kepada para santri tentang disiplin ilmu ini adalah seputar Kalam yang didifinisikan dengan al-lafdhu al-murakkabu al-mufidu bi al-wadl’i, yakni sebuah struktur bahasa yang tersusun dari dua kata (Baca: kalimat)atau lebih, yang memberikan sebuah makna yang berfaidah, serta diucapkan dengan kesengajaan (menurut satu pendapat) atau diucapkan dengan menggunakan bahasa Arab (menurut pendapat yang lain).

Sekilas kita hanya memandang definisi di atas hanya sebagai sebuah kata pengantar untuk memahami konsep dari term Kalam itu sendiri. Sehingga dengan mengetahui konsep dari Kalam ini para pelajar ilmu Nahwu akan dimudahkan untuk memahami kelanjutan beberapa pembahasan tentang ilmu tata bahasa arab ini. Namun siapa yang menyangka, jika kita perhatikan lebih dalam dan berkenan untuk melepaskan diri dari keterikatan kita dengan paradigma konsumtif kita tentang sebuah definisi, kita bisa memetik sebuah pelajaran dari hanya sekedar definisi, khususnya dari ilmu Nahwu sendiri. 

Untuk itu, mari kita perhatikan kembali definisi di atas. Pada kalimat kedua dari definisi,ada kata “...yang memberikan sebuah makna yang berfaidah, …”. kita berhenti di situ saja. Para Nuhat (kata plural yang digunakan untuk menyebutkan para ilmuan tata bahasa arab, atau biasa juga disbut Nahwiyyin) memberikan penjelasan tentang kata Mufid tersebut bahwa yang dimaksud dengan “yang memberikan sebuah makna yang berfaidah” disini adalah proses transferring sebuah pengetahuan atau pemahaman terhadap lawan bicara.

Namun,di sini disyaratkan, setelah proses tersebut, antara pembicara dan pendengar ada semacam keterdiaman. Maksudnya, si pembicara tidak mengulangi pembicaraan yang sama dan si pendengar tidak membutuhkan pengulangan dari si pembicara tentang apa yang disampaikan. Dalam literatur kitab-kitab nahwu, hal ini sering disebut dengan faidatan yahsunu as-sukut ‘alaiha, yakni sebuah informasi, pengetahuan, atau pemahaman yang dianjurkan adanya keterdiaman antara pembicara dan lawab bicara.

Sebelum kita melakukan analisis, mari kita simak dulu sebuah gagasan dari seorang filsuf besar tentang salah satu teorinya. Filosof muslim terkenal, Abu Nasir al-Farabi, menggagas sebuah teori tentang Kebahagiaan, yang dikenal dengan istilah Filsafat Kebahagiaan. Ia mengartikan term kebahagiaan dengan kepuasan, kelegaan, perasaan tuntas sempurna, dan tidak lagi melirik terhadap hal lain. Oleh sebab itu, kebahagiaan ini tidak terletak pada pencapaian atas hal-hal yang sifatnya material, akan tetapi terdapat pada pengetahuan untuk menyikapi hal-hal yang ada yang sifatnya material.

Filsuf yang dijuluki al-mu’allim as-tsani ini menambahkan bahwa Kebahagiaan berbanding lurus dengan kesempurnaan jiwa, sedangkan kesempurnaan ini tergantung pada pengetahuan. Semakin bertambah pengetahuan seseorang, semakin bertambah pula kesempurnaan jiwanya. Kemudian, apabila kesempurnaan jiwa ini semakin bertambah, maka semakin besar kebahagiaannya. Pengetahuan akan membuat seseorang menjadi tenang dengan apa yang dimilikinya (sukun an-nafs). Cukup sekian dulu tentang Filsafat Kebahagiaan al-Farabi dan mari kita mulai menganalisis.

Menginformasikan seseorang tentang sesuatu yang tidak ia ketahui sama sekali sebelumnya atau ia merasa sulit untuk memperoleh pemahaman tentang sesuatu tersebut, jika kemudian informasi ini sampai kepadanya,maka tentu saja akan mebuatnya merasakan sebuah kepuasan tersendiri dan memperoleh sebuah ketenangan tanpa memerlukan lagi informasi tambahan yang lain, -yahsunu as-sukut ‘alaiha-. Dengan kata lain, pengetahuan yang ia terima tentang hal yang ia pertanyakan mampu membuat kondisi kejiwaannya menjadi tersempurnakan.

jika kita memiliki bahan-bahan untuk dijadikan sebuah minuman kopi misalnya, namun kita belum tahu bagaimana membuatnya, tentu kita bertanya-tanya tentang tata cara untuk membuat minuman kopi tersebut. Pikiran yang bertanya-tanya ini merupakan gambaran dari tidak memiliki pengetahuan, sehingga jiwa merasakan sebuah kekurangan. Kemudian jika seseorang memberitahu kita tentang tata cara untuk membuat minuman kopi, maka pikiran yang tadinya bertanya-tanya akan merasa terpuaskan. Hal ini disebabkanoleh bertambahnya sebuah pengetahuan. Oleh karena itu, jiwa yang tadinya merasakan akan adanya kekurangan, kini merasa tersempurnakan oleh informasiyang telah disampaikan, yakni sebuah tata cara untuk membuat minuman kopi.

Dengan demikian, informasi yang diperoleh tersebut merupakan sebuah kalam yang mufid. Karena telah memberikan sebuah kesan yang disebutkan diatas dengan yahsunu as-sukutu ‘alaiha. Kita tidak memerlukan pengulangan tentang tata cara tadi karena setelah itu kita sudah bisa membuat minuman kopi. Di samping itu, si penyampai informasi tadi tidak perlu untuk mengulangi informasi yang sama.
Dengan begitu. menyampaikan sebuah informasi kepada orang lain sama halnya dengan mentrasfer sebuah pengetahuan kepadanya, jika orang lain ini mendapatkan pengetahuan tentang apa yang belum ia ketahui sebelumnya, atau ia bertanya-tanya tentang hal tersebut, maka sama halnya dengan kita semakin menyempurnakan jiwanya. Dengan demikin, bisa kita katakan bahwa menyampaikan sebuah informasi kepada orang lain, berarti kita semakin menambah kesempurnaan atas kebahagiaannya. Dengan kata yang lebih mudah, secara filosofis, sama halnya kita membahagiakannya.

Di sini bisa kita lihat bahwa dari hanya sekedar definisi tentang kalam, jika kita perhatikan lebih dalam dengan merelasikannya kepada hal lain atau tidak hanya memandangnya melalui aspek definitifnya saja, maka dapat kita petik sebuah pelajaran. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa term-term lain dari disiplin ilmu tata bahasa arab atau ilmu nahwu, atau bahkan disiplin keilmuan lainnya, jika direlasikan dengan hal lain diluarnya, bisa melahirkan sebuah makna filosofis yang lebih besar dan tentunya lebih bermanfa’at.

@Divisi_Publikasi_PPRU 1

Rabu, 01 November 2017

Ronda Malam: Dulu, Sekarang, dan Selanjutnya Adalah yang Terpenting

   
Ronda Malam: Dulu, Sekarang, dan Selanjutnya Adalah yang Terpenting
Pasukan Ronda PPRU 1
Oleh: Chilmi

Pada masa-masa mula adanya ronda malam, semua pasukan berjaga bergiliran sesuai dengan hari yang telah dijadwalkan. Empat prajurit pada tiap malam meronda mengamankan area pesantren putra-putri  dari luar. Mengelilingi selingkungan pesantren beberapa kali secara berkala dan kemudian kembali ke pos ronda. Dulu, ronda malam berjalan dengan tertib.

    Dengan bersenjatakan lampu senter yang siap mengantarkan pandang mata pada tempat-tempat gelap, dan kontek untuk komunikasi jarak jauh. Dengan sigap menyentrongi tempat-tempat dimana suara-suara mencurigakan timbul. Dan tak jarang seperti kucing dan kambing turut menyumbang suara tersebut. Dulu, ronda malam adalah kegiatan yang seru.

    Berbeda dengan dulu, sekarang makin hari dengan jumlah pasukan lebih banyak, ronda malam berjalan dengan tidak lebih tertib. Banyak yang bolos, tewas di kamar masing-masing. Karena lupa pada jadwalnya atau lupa pada keprofesionalannya. Dan memang jadwal yang pernah dipampang pun hilang entah dimana. Terkadang hanya seorang dua orang saja yang meronda. Kecuali jika ada acara masak bersama, maka semua akan hadir.

    Namun, meski jarang yang hadir, tempat perondaan sering ramai dengan banyak pasukan ilegal; santri yang sebenarnya belum mendapat izin dari keamanan untuk mengikuti ronda malam. Sebagian karena disuruh dan sebagian besar karena menjadikan hal tersebut sebagai kesempatan untuk bisa keluar area pesantren di malam hari. 

    Bahkan santri yang keluar sampai berjumlah banyak melebihi jumlah yang ditentukan. Dan tidak semua mereka meronda. Hanya beberapa saja, dan yang lain hanya ngopi, roko'an, ngobrol, dan numpang tidur. Tidur berjajar tak beraturan seperti ikan asin yang dijemur. Dan beberapa yang tidur tidak bangun sampai waktu subuh lewat. Sampai-sampai ada yang tak masuk sekolah beralasan hanya karena semalam meronda. Jika tiap kali meronda dan tiap kali begitu, bukan kah lebih baik berhenti saja meronda?

    Juga hal tersebut sebenarnya membikin santri yang memiliki jadwal ronda malas bertugas. Karena sudah banyak yang meronda dan semuanya ilegal. Maka enteng saja memasrahkan tugas ronda pada siapa saja yang hadir ke pos ronda. Dan yang sebenarnya tidak memiliki jadwal ronda, legal atau ilegal, akan dengan sukarela untuk meronda karena kekosongan pos ronda. Oleh sebab itu tiap hari jumlah santri yang meronda tidak pasti. Kadang banyak kadang pula sedikit. Dan jika kebanyakan sebagian akan kembali ke pesantren, jika seorang dua orang saja maka akan segera lelap.

    Mungkin kini sudah perlu untuk menertibkan kegiatan ronda selanjutnya sebagaimana dulu, mulai pembentukan jadwal yang baru dan tim ronda yang baru pula. Menggugurkan anggota lama yang tak acuh dengan tugasnya dan melegalkan pasukan ilegal yang siap untuk tugas ronda malam. Agar tim ronda selanjutnya akan mengamankan pesantren dengan lebih tertib.

Oleh: Chilmy
@Publikasi

Senin, 09 Oktober 2017

Jihad Santri Modern-Pejuang Offline dan Online

Jihad Santri Modern-Pejuang Offline dan Online
Berakal Modern, Berjiwa Salafy
Oleh: Chilmy

Kata Santri memang identik dengan kitab-kitab klasik. Karena sebagian banyak dari waktu mereka diisi denganmengkaji ilmu-ilmu di dalamnya. Dan selain hobimengaji dan mengkaji kitab,rata-rata kaum sarungan ini juga hobi makan dan tidur, Jagongan, rokokan plus kopinya. Tradisi yang tak putus-putus di pesantren. Pembahasan dalam itu juga sering mengulas seputar masalah-masalah dalam kitab klasik. Jadi bukan hanya sekedar berkumpul, Namun juga berunding.

Jatah tidur santri, tanpa dipotong waktu jagongan, memang sedikit. Jadi Kang santri banyak yang meneruskan kisah mimpinya di kelas saat sekolah. Maka tak heran jika ada sekolah berbasis pesantren, muridnya banyak yang lelap dalam tidur, berlayar entah kemana.

Meski kitab kuning setiap hari dipelajari, tapi pengetahuan ilmu umum dan internet juga dibutuhkan. Memang di pesantren ilmu umum jarang diajarkan. Apalagi ilmu internet. Jadi, untuk dunia internet, selain facebook, kebanyakan santri masih gaptek.

Oleh karena kegaptekannya, santri menjadi malas belajar masalah internet. Dan tak sedikitdari mereka yang beranggapan: Internet itu tidak penting, internet itu lebih banyak negatif daripada positifnya, dan keburukan internetini-itu yang lainnya.
Di zaman modern ini hampir-hampir semua komunikasi menggunakan internet. Berdakwah, juga termasuk macam dari komunikasi. Jadi, jika santri buta pada internet, maka hanya bisa berbagi ilmu agama secara langsung ke telinga masyarakat.

Padahal, di zaman kini lebih banyak orang yang menghadiri media sosial ketimbang pengajian sosial. Maka akan ada lebih banyak orang awam yang bertanya masalah agama pada mbah google.

Sedang jawaban di internet belum tentu benar sepenuhnya. Menimbang banyak sekali artikel-artikel yang dibahas di dalamnya hukum-hukum syariah dari banyak golongan. Dan kesemuanya belum tentu sesuai dengan ajaran Ahlussunnah Waljamaah.

Oleh karena itu jika dakwah agama di internet dikuasai oleh golongan yang keliru, akan jadi banyak umat yang ikut-ikutan keliru. Dan kekeliruan jika terlalu banyak akan memberi dampak negatif bagi umat dan agama islam sendiri.

Internet memang banyak sisi negatifnya, namun sisi positif juga tak kalah banyaknya. Tergantung bagaimana niat penggunanya. Kaum sarungan perlu untuk ikut andil dalam dunia internet dengan memanfaatkannya sebaik-baiknya.

Seperti mempelajari blogspot, youtubeatau lainnya, lalu menulisi danmengisi hal-halbermanfaat di dalamnya.Semisal hukum fiqih, tata cara ibadah, dan masalah agama lainnya. Dengan demikian internet akan menambahnilai+, bukan sebaliknya.Dan dengan begitu itu Santri tidak hanya bisa dakwah secara offline namun juga secara online.

Selain sisi pengajaran, aktif di dunia internertjuga dapat digunakan sebagai penghasil rizki. Sudah terbukti banyak orang yang menjadi jutawan dengan hanya nulis-nulis di blog atau menjadi youtuber. Ya, bila sukses, Kang santri tinggal duduk-duduk sambil ngajar sambil nunggu dolar masuk ke kantong rekening. Enak kan?Memiliki investasi dunia dan akhirat sekaligus.

Oleh: Dzunnuril Chilmy 1A
@_Publikasi PPRU1