Kamis, 06 September 2018

Merajut Akhlaq Karimah Dengan Shalat - Tinjauan Dua Dimenasi

Merajut Akhlaq Karimah Dengan Shalat - Gus Zamzami Alifi
Merajut Akhlaq Karimah Dengan Shalat - Dua Dimensi Sholat
Oleh: Gus Zamzami Alifi

Ironi Moralitas

….. Sesungguhnya shalat dapat mencegah (manusia) dari perbuatan keji dan mungkar”. Begitulah kiranya arti dari penggalan ayat al-Qur’an surah al-‘Ankabut: 45. bahwa pada hakikatnya, melaksanakan shalat, yang sebenar-benarnya akan menghantarkan orang yang melaksanakannya terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik atau tidak terpuji. Dengan kata lain, melaksanakan shalat akan mendorong hatinya untuk selalu melakukan kebajikan dalam kehidupannya sehari-hari.

Akhir-akhir ini sering kita jumpai banyak orang-orang yang menyandang status Ustadz, Gus, Kyai, bahkan Ulama yang sudah barang tentu label yang disandangnya itu pastilah menuntut dirinya untuk melaksanakan shalat. Namun ironinya, dibalik ibadah yang selalu mereka laksanakan, bahkan ibadah-ibadah selain shalat, banyak orang-orang yang tidak tenang, damai, sejahtera, bahkan tersakiti oleh perbuatannya.

Bukankah Nabi SAW. telah berasabda dalam hadis:

"المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده ..." رواه البخاري ومسلم

Yakni; seorang muslim yang sejati adalah ia yang senantiasa membawa kesejahteraan bagi saudara-saudaranya? Mereka selalu terlindung dan aman dari perkataan dan perbuatan buruknya? Jika kita kembali hayati kembali arti dari penggalan surah al-‘Ankabut di atas, sebenarnya shalat macam apa yang telah mereka laksanakan? Kenapa masih saja mereka gemar berbuat keji, mungkar, dan perbuatan tidak baik lainnya?

Dalam hal ini, perlu kiranya kita merekonstruksi kembali sampai ke aspek terdalam dari shalat kita. Yang dengan demikian, diharapkan ibadah shalat yang kita laksanakan tidak hanya sebagai tuntutan religius belaka, namun juga dapat merangkul aspek kebutuhan spiritual kita, yang pada akhirnya pencapaian yang kita harapkan dari shalat kita dapat diraih dengan optimal, yakni berperilaku kepada yang lain dalam koridor al-Akhlaq al-Karimah dalam kehidupan sehari-hari, atau dalam bahasa ayat diatas terhindar dari suka melakukan perbuatan yang keji dan mungkar.

Dua Dimensi Shalat

Selama ini, kita mengenal bahwa shalat adalah rukun islam yang menempati posisi kedua setelah syahadah. Sebagai sebuah ritual ibadah dengan gerakan dan bacaan tertentu yang diawali dengan Takbirat al-Ihram disertai Niat serta diakhiri dengan salam, dilaksanakan dalam waktu yang tertentu, seperti yang telah dijelaskan panjang lebar dalam kitab-kitab fiqih. Inilah bentuk shalat yang berada dalam Dimensi Lahir, atau dalam ilmu tasawwuf, dimensi ini merupakan bentuk shalat yang berada pada tingkatan syari’at.


Pada dimensi ini, seorang muslim memiliki keterikatan intruksional dengan peraturan-peraturan peribadatan yang telah diarahkan dan ditegaskan dalam al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab fiqih. Semua bentuk larangan, hal-hal yang membatalkan, juga yang membuat shalat tidak sah harus ditinggalkan. Sebaliknya, shalat juga memiliki syarat-syarat, kewajiban, serta rukun-rukun yang harus dilaksanakan. Semua ketentuan ini harus dipatuhi oleh seorang muslim dalam melaksanakan shalat. Jika tidak, konsekuensi seperti batal dan bahkan dosa harus ditanggung oleh pelakunya.

Namun dari pada itu semua, terdapat sebuah dimensi batin dalam shalat, yang apabila dimensi ini tidak dilaksanakan, maka yang didapatkan dari shalatnya tersebut hanyalah sebatas olah raga dan oleh mulut saja. Hal ini diistilahkan oleh para Wali Songo dengan istilah Sembah Rogo (ibadah ragawi). Sebab dalam pelaksanaannya, hanya yang digunakan. Seperti halnya puasa yang telah disinggung oleh Nabi dalam haditsnya: 

"كم من صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش" رواه أحمد

Ada sebagian orang yang melaksanakan ibadah puasa yang mana ia hanya mendapatkan rasa lapar dan haus dari puasanya itu”. Dalam al-Qur’an pun telah disinggung dalam surah al-Furqan: 23 sebagaimana berikut:

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا

Dan kami datangi sebuah amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan

İni berarti ibadah yang dilaksanakannya hanya sebatas Sembah Rogo saja, atau hanya melaksanakan ibadah pada dimensi lahirnya. Tidak sampai memenuhi apa yang menjadi tujuan dan implikasi dari sejatinya ibadah dalam kehidupan nyata.

Oleh karena itu, penting juga untuk kita perhatikan dimensi kedua dari shalat ini, yakni Dimensi Batin. Sebuah dimensi dimana shalat lepas dari berbagai macam ketentuan-ketentuan ibadah ragawinya. Tidak hanya berbentuk gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan, akan tetapi juga menyertakan Khusyu’, Khudlu’, Penghayatan, dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata di luar shalat.Dimensi ini diistilahkan oleh para Wali Songo dengan Sembah Cipto (ibadah cipta), yang dalam bahasa tasawwuf, shalat semacam ini menempati tingkatan thariqoh.

al-Khusyu’ dan al-Khudlu'

Dua hal ini bukan termasuk syarat-syarat, kewajiban, atau rukun dalam shalat. Seperti kita ketahui bersama, tidak ada ketentuan dalam kitab-kitab fiqih yang menyatakan bahwa shalat seseorang yang tidak disertai dengan khusyu’ dan khudlu’ difonis dengan konsekuensi batal bagi shalatnya. Namun shalat yang ia laksanakan masih dikategorikan sah secara syar’i selama prinsip rukun-rukun shalat yang telah ditentukan tetap dilaksanakannya. 

Khusyu’ bukan berarti hanya mengingat kepada Allah SWT dan melupakan yang lain. Sebab, bagi kita, hal yang demikian itu sembilan puluh sembilan persen adalah tidak mungkin, kecuali bagi orang-orang yang ‘arif billah (para wali Allah). Pikiran manusia, secara otomatis, pasti selalu mengingat-ingat dan terbayang-bayang hal-hal yang pernah diinderanya. Sedangkan Allah SWT, Tidak pernah tampak oleh indera kita.

Arti yang cocok dari khusyu’ adalah menfokuskan pikiran dan bayangan kita dengan apa yang sedang kita lakukan yang dalam hal ini adalah shalat. Di samping itu juga menghadirkan hati kita dengan menghayati gerak demi gerak dan bacaan demi bacaan yang ada dalam shalat.

Suasana shalat yang demikian ini, dapat kita lakukan dengan cara khudlu’. Kata ini berarti berperilaku yang menggambarkan sikap “kepatuhan”, yang diindikasikan dengan terhindarnya semua anggota tubuh kita dari perbuatan-perbuatan yang tidak ada hubungannya dengan shalat. Oleh karenanya, dalam ketentuan fiqih, gerakan-gerakan kecil berapapun banyaknya, atau gerakan besar yang tidak melebihi tiga kali gerakan yang berturut-turut, meskipun tidak ada hubungannya dengan shalat, tidak dikategorikan sebagai gerakan yang membatalkan shalat. Sebab ketentuan ini adalah dalam rangka mengantarkan kita untuk melaksanakan shalat dengan khudlu’.

Perilaku yang menggambarkan sikap “kepatuhan” ini (khudlu’) telah disinggung secara ekplisit dalam definisi al-Ihsan yang terdapat dalam penggalan hadis berikut:

"... أن تعبد الله كأنك تراه، وإن لم تكن تراه فإنه يراك. ..." رواه مسلم

Yang artinya adalah “Ketika kita beribadah kepada Allah (yang dalam hal ini adalah shalat), maka sebisa mungkin diri kita berperilaku seakan-akan kita melihatNya. Atau kalau tidak demikian, maka kita nyatakan dalam keyakinan kita bahwa saat ini Allah sedang melihat, memperhatikan, dan mengawasi shalat kita.” Sehingga dengan demikian, kita menjadi takut dan khawatir untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak menggambarkan “kepatuhan” yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan shalat kita. Dengan begitu, ibadah shalat kita ini dilaksanakan dengan khudlu’, yang juga mengantarkan kita untuk khusyu’.

Penghayatan dan Implementasi

Jika pada bagian sebelumnya khusyu’ dan khudlu’ dilaksanakan ketika melaksanakan shalat, maka pada bagian ini merupakan bentuk dari elemen shalat batin yang dilaksanakan di luar shalat. Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak terikat oleh ruang dan waktu, seperti halnya khusyu’ dan khudlu’ yang pelaksanaannya terikat oleh waktu ketika dijalankannya shalat.

Penghayatan ini berarti meresapi, memikirkan, mengangan-angan tentang makna-makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap detail dari ibadah shalat yang sudah dilaksanakan, baik berupa gerakan ataupun bacaan. Bisa juga diartikan dengan tafakkur, tadabbur, atau ta-ammul. Makna dan nilai yang telah diresapi, dipikirkan, dan diangan-angani tadi tidak hanya dibiarkan mengendap dalam otak dan hati kita. Namun lebih dari itu, perlu juga untuk diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Dengan demikian, meskipun dalam kehidupan nyata kita hanya menjalankan aktifitas sosial kita dengan sesama manusia dan alam, namun dalam sejatinya di setiap aktifitas kita terpancar cahaya shalat. Sehingga setiap saat pun kita tetap melaksanakan shalat yang disertai dengan khusyu’ dan khudlu’.

Tidak ada lagi perbuatan-perbuatan buruk yang akan kita lakukan, baik kepada sesama ataupun kepada alam lingkungan kita. Sebab setiap saat kita melaksanakan shalat batin, meskipun sedang melakukan aktifitas-aktifitas sehari-hari. Hidup kita menjadi cahaya yang selalu menerangi orang lain dan lingkungan sekitar kita.

Urip iku urup. Hidup itu menyala, bagaikan pelita yang menerangi alam di sekelilingnya. Menghalau setiap kegelapan dengan cahayanya. Begitulah seharusnya hidup kita. Allah SWT telah menakdirkan kita menjadi makhluk hidup. Oleh karenanya sudah seharusnya kita mampu menyinari segala hal di sekitar kita dengan cahaya kebaikan, serta menepisnya dari gelapnya keburukan. Hal ini adalah seperti yang telah diwasiatkan oleh Sunan Kalijaga.

Dari penjelasan panjang lebar di atas, jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan buruk, yang telah disinggung dalam surah al-‘Ankabut dengan al-fakhsya’ wa al-munkar, penyebabnya tidak lain adalah shalat yang hanya dilaksanakan hanya dari sisi lahirnya saja. Sehingga serajin apapun shalat yang kita laksanakan tidak akan membuat diri kita suci dari perbuatan-perbuatan buruk. Shalat kita tidak mendarah daging dengan diri kita. Makna dan nilai sejati dalam shalat tidak ikut serta menghiasi dan menerangi setiap langkah dan aktifitas kita.

Jadi tidaklah mengherankan jika banyak orang-orang yang menyandang label ustadz, gus, kyai, bahkan ulama yang masih saja suka menhujat, menghina, mencela, menyesatkan, atau bahkan mengkafirkan, perbuatan mereka tidak menggambarkan dirinya sebagai man salima al-muslimun min lisanihi wa yadihi, seperti yang telah disinggung oleh hadis di atas. Label yang mereka sandang tidak menjadikan mereka sebagai li utammima makarim al-akhlaq (untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur), tidak mendorong mereka menjadikan agama mereka sebagai rahmatan li al-‘alamin (untuk menebar kasih sayang bagi semesta alam). Padalah, mereka menyandang label Ulama yang seharusnya berperan sebagai waratsah al-anbiya’ (pewaris keluhuran para Nabi).

*****

Sabtu, 17 Februari 2018

Sukses dengan Memperhatikan Administrasi

"ألا لا تنال العلم إلا بستة"
Syair di atas ini sudah saya kenal 15 tahun yang lalu, namun pada waktu itu saya tidak mengerti apa yang di maksud oleh pengarang syair tersebut, hanya saja pada waktu saya hanya di suruh membaca berulang-ulang saja,  tanpa ada niatan untuk menghafal, ntah karena apa bacaan 15 tahun yang lalu masih  teringat sampai sekarang. Oooo ternyata ini maksudnya” seorang santri yang ingin mencapai kesuksesanya mencari ilmu, maka ia harus melalui enam tahap ini. Di antaranya cerdas, bersungguh-sungguh, belajar terus-menerus, Nah yang terahir SPP lunas, sebab hidupku senang jika anda semua lunass,,mungkin itu salah satu isinya, Wallahu “alam.

Semua enam tahap kesuksesan mencari ilmu  itu saling berhubungan satu sama lain.

1. Dzuka'in (cerdas)

Cerdas adalah salah satu syarat untuk menuntut ilmu. Kecerdasan yang ada pada diri seorang santri terkadang memang sebagai perangai yang Allah berikan kepadanya. Sebagaimana kecerdasan yang dikaruniakan Allah kepada Ibnu Abbas. Terkadang kecerdasan itu ada, karena memang harus diusahakan. Bagi orang yang sudah memiliki kecerdasan tersebut tinggal menguatkannya, namun apabila belum mempunyai kecerdasan hendaknya ia melatih jiwanya untuk berusaha mendapatkan kecerdasan tersebut. Kecerdasan adalah sebab di antara sebab-sebab yang paling kuat untuk membantu seseorang menggapai ilmu, memahami dan menghafalkannnya. Memilah-milah permasalahn, menggabungkan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dan yang selain dari hal itu:

انما العلم با لتعلم

ilmu itu diperoleh dengan belajar”. Al-Hadist

Bukan karena keturunan, bukan pula berdo’a, bukan karena ketampanan atau kecantikan saja melainkan harus belajar.

Dan yang menjadi masalah sekarang ialah  anak yang cerdas tetapi tidak memiliki ketekunan dan kesungguhan dalam menuntut ilmu, jawabannya simpel saja sudah pasti dia tidak akan menjadi orang pandai/‘Alim 'ulama.

2. Hirshin (Semangat mencari ilmu)

Semangat merupakan salah satu tonggak yang harus di tanamkan di dalam hati, sebab jika tidak di tanamkan kesungguhan di dalam hati, terkait mencari ilmu katakan saja santai-santai, bermalas-malasan, maka ia akan mengalami kerugian yang sangat besar, ilmu tidak akan di peroleh dengan cepat jika tidak sungguh-sungguh, sebaliknya kalau bermalas-malasan mencari ilmu maka perolehan ilmu akan lambat dan sedikit.

3. Wastibariin (Sabar dalam mencari ilmu)

Sabar termasuk kunci kesuksesan bagi santri yang berniat mencari ilmu, kalau tidak sabar maka ilmu enggan untuk menghampirinya, sebaliknya kalau sabar menghadapi ujian maka dengan senang hati ilmu akan mudah di peroleh, kenapa sabar menjadi salah satu kunci sukses mencari ilmu? Sebab mencari ilmu itu berat, banyak tantangannya, contoh nyatanya, lebih banyak main game, lebih banyak mengutak-atik HP ketimbang, muthala’ah kitab, lebih banyak berlibur ketimbang belajar, lebih banyak malasnya dari pada menghafal, ini semua merupakan ujian seorang santri ketika mencari ilmu, kalau tidak ada kesabaran di dalamnya, maka kita  tinggal menunggu waktu saja penyesal akan tiba dan juga  banyak kan sahabat-sahabat kita putus mondok gara-gara sepele, pengen nikah, tidak betah, terkena kudis, ada masalh dengan temannya, takut hafalan. Ini semua adalah ujian yang harus di lewati oleh seorang santri.

Seperti dalam syair

   تجرع ذل الجهل طول حياته# من لم يذق مر التعلم ساعة

4. Bulghatin (Bekal mencari ilmu)

Ribuan tahun yang lalu ketika pesantren berdiri kokoh di negara ini, pasti yang namanya bekal itu pasti ada, karena tanpa adanya bekal seorang santri akan mengalami gangguan psikis, sehingga tujuan mencari ilmu akan terbengkalai. Kecuali ada dipensasi dari pihak yang berwenang.

Nah untuk saat ini bekal itu ada dua macam yang pertama bekal untuk mencukupi kebutuhan pribadinya yang kedua bekal untuk memenuhi kebutuhan pesantren yang di tempati, seperti bayar listrik, bayar air PDAM, bayar pengangkut buang sampah, bisyarah untuk asatid itu kalau ada. membeli peralatan pesantren, itu semua bayarnya bukan makai daun, maka dari itu tanpa di minta, tanpa di umumkan tiap hari, harus sadar dan peka karena pesantren ini juga butuh uang, jadi tidak ada salahnya seorang santri membayar administrasi pesantren tepat waktu agar progam pesantren berjalan sesuai keinginan bersama.

Jadi santri harus menjalani tahap-tahap untuk mencapai kesuksesan mencari ilmu, maka semua tahap tersebut harus di penuhi oleh seorang santri terutama masalah administrasi keuangan.

Oleh: Ust. Mursyid Hasan

Rabu, 27 Desember 2017

Antara Kalam Yang Mufid dan Kebahagiaan - PPRU 1

Antara Kalam Yang Mufid dan Kebahagiaan - PPRU 1

Antara Kalam Yang Mufid dan Kebahagiaan


Oleh: Gus. Muhammad Zamzami Alifi

Di dunia pesantren, tidak ada yang tidak mengenal tata bahasa arab (Nahwu dan Sharaf). Karena pondok pesantren adalah tempat dimana para santri belajar menjadi manusia muslim, dalam aspek tertentu, yang religius. Ini artinya manusia yang diidamkan oleh masyarakat sebagai manusia yang tertanam di dalamnya nilai-nilai keagamaan yang dalam. Namun untuk menuju kesana, bukanlah hal yang mudah bagi para santri, sebab untuk mempelajari beberapa literatur yang mengajarkan hal tersebut menggunakan pengantar berbahasa arab. Sehingga, mau tidak mau, tata bahasa arab adalah satu-satunya jalan keluar, khususnya ilmu Nahwu.

Dalam ilmu Nahwu yang biasa diajarkan di pesantren, pembahasan yang pertama kali dihadirkan kepada para santri tentang disiplin ilmu ini adalah seputar Kalam yang didifinisikan dengan al-lafdhu al-murakkabu al-mufidu bi al-wadl’i, yakni sebuah struktur bahasa yang tersusun dari dua kata (Baca: kalimat)atau lebih, yang memberikan sebuah makna yang berfaidah, serta diucapkan dengan kesengajaan (menurut satu pendapat) atau diucapkan dengan menggunakan bahasa Arab (menurut pendapat yang lain).

Sekilas kita hanya memandang definisi di atas hanya sebagai sebuah kata pengantar untuk memahami konsep dari term Kalam itu sendiri. Sehingga dengan mengetahui konsep dari Kalam ini para pelajar ilmu Nahwu akan dimudahkan untuk memahami kelanjutan beberapa pembahasan tentang ilmu tata bahasa arab ini. Namun siapa yang menyangka, jika kita perhatikan lebih dalam dan berkenan untuk melepaskan diri dari keterikatan kita dengan paradigma konsumtif kita tentang sebuah definisi, kita bisa memetik sebuah pelajaran dari hanya sekedar definisi, khususnya dari ilmu Nahwu sendiri. 

Untuk itu, mari kita perhatikan kembali definisi di atas. Pada kalimat kedua dari definisi,ada kata “...yang memberikan sebuah makna yang berfaidah, …”. kita berhenti di situ saja. Para Nuhat (kata plural yang digunakan untuk menyebutkan para ilmuan tata bahasa arab, atau biasa juga disbut Nahwiyyin) memberikan penjelasan tentang kata Mufid tersebut bahwa yang dimaksud dengan “yang memberikan sebuah makna yang berfaidah” disini adalah proses transferring sebuah pengetahuan atau pemahaman terhadap lawan bicara.

Namun,di sini disyaratkan, setelah proses tersebut, antara pembicara dan pendengar ada semacam keterdiaman. Maksudnya, si pembicara tidak mengulangi pembicaraan yang sama dan si pendengar tidak membutuhkan pengulangan dari si pembicara tentang apa yang disampaikan. Dalam literatur kitab-kitab nahwu, hal ini sering disebut dengan faidatan yahsunu as-sukut ‘alaiha, yakni sebuah informasi, pengetahuan, atau pemahaman yang dianjurkan adanya keterdiaman antara pembicara dan lawab bicara.

Sebelum kita melakukan analisis, mari kita simak dulu sebuah gagasan dari seorang filsuf besar tentang salah satu teorinya. Filosof muslim terkenal, Abu Nasir al-Farabi, menggagas sebuah teori tentang Kebahagiaan, yang dikenal dengan istilah Filsafat Kebahagiaan. Ia mengartikan term kebahagiaan dengan kepuasan, kelegaan, perasaan tuntas sempurna, dan tidak lagi melirik terhadap hal lain. Oleh sebab itu, kebahagiaan ini tidak terletak pada pencapaian atas hal-hal yang sifatnya material, akan tetapi terdapat pada pengetahuan untuk menyikapi hal-hal yang ada yang sifatnya material.

Filsuf yang dijuluki al-mu’allim as-tsani ini menambahkan bahwa Kebahagiaan berbanding lurus dengan kesempurnaan jiwa, sedangkan kesempurnaan ini tergantung pada pengetahuan. Semakin bertambah pengetahuan seseorang, semakin bertambah pula kesempurnaan jiwanya. Kemudian, apabila kesempurnaan jiwa ini semakin bertambah, maka semakin besar kebahagiaannya. Pengetahuan akan membuat seseorang menjadi tenang dengan apa yang dimilikinya (sukun an-nafs). Cukup sekian dulu tentang Filsafat Kebahagiaan al-Farabi dan mari kita mulai menganalisis.

Menginformasikan seseorang tentang sesuatu yang tidak ia ketahui sama sekali sebelumnya atau ia merasa sulit untuk memperoleh pemahaman tentang sesuatu tersebut, jika kemudian informasi ini sampai kepadanya,maka tentu saja akan mebuatnya merasakan sebuah kepuasan tersendiri dan memperoleh sebuah ketenangan tanpa memerlukan lagi informasi tambahan yang lain, -yahsunu as-sukut ‘alaiha-. Dengan kata lain, pengetahuan yang ia terima tentang hal yang ia pertanyakan mampu membuat kondisi kejiwaannya menjadi tersempurnakan.

jika kita memiliki bahan-bahan untuk dijadikan sebuah minuman kopi misalnya, namun kita belum tahu bagaimana membuatnya, tentu kita bertanya-tanya tentang tata cara untuk membuat minuman kopi tersebut. Pikiran yang bertanya-tanya ini merupakan gambaran dari tidak memiliki pengetahuan, sehingga jiwa merasakan sebuah kekurangan. Kemudian jika seseorang memberitahu kita tentang tata cara untuk membuat minuman kopi, maka pikiran yang tadinya bertanya-tanya akan merasa terpuaskan. Hal ini disebabkanoleh bertambahnya sebuah pengetahuan. Oleh karena itu, jiwa yang tadinya merasakan akan adanya kekurangan, kini merasa tersempurnakan oleh informasiyang telah disampaikan, yakni sebuah tata cara untuk membuat minuman kopi.

Dengan demikian, informasi yang diperoleh tersebut merupakan sebuah kalam yang mufid. Karena telah memberikan sebuah kesan yang disebutkan diatas dengan yahsunu as-sukutu ‘alaiha. Kita tidak memerlukan pengulangan tentang tata cara tadi karena setelah itu kita sudah bisa membuat minuman kopi. Di samping itu, si penyampai informasi tadi tidak perlu untuk mengulangi informasi yang sama.
Dengan begitu. menyampaikan sebuah informasi kepada orang lain sama halnya dengan mentrasfer sebuah pengetahuan kepadanya, jika orang lain ini mendapatkan pengetahuan tentang apa yang belum ia ketahui sebelumnya, atau ia bertanya-tanya tentang hal tersebut, maka sama halnya dengan kita semakin menyempurnakan jiwanya. Dengan demikin, bisa kita katakan bahwa menyampaikan sebuah informasi kepada orang lain, berarti kita semakin menambah kesempurnaan atas kebahagiaannya. Dengan kata yang lebih mudah, secara filosofis, sama halnya kita membahagiakannya.

Di sini bisa kita lihat bahwa dari hanya sekedar definisi tentang kalam, jika kita perhatikan lebih dalam dengan merelasikannya kepada hal lain atau tidak hanya memandangnya melalui aspek definitifnya saja, maka dapat kita petik sebuah pelajaran. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa term-term lain dari disiplin ilmu tata bahasa arab atau ilmu nahwu, atau bahkan disiplin keilmuan lainnya, jika direlasikan dengan hal lain diluarnya, bisa melahirkan sebuah makna filosofis yang lebih besar dan tentunya lebih bermanfa’at.

@Divisi_Publikasi_PPRU 1

Rabu, 01 November 2017

Ronda Malam: Dulu, Sekarang, dan Selanjutnya Adalah yang Terpenting

   
Ronda Malam: Dulu, Sekarang, dan Selanjutnya Adalah yang Terpenting
Pasukan Ronda PPRU 1
Oleh: Chilmi

Pada masa-masa mula adanya ronda malam, semua pasukan berjaga bergiliran sesuai dengan hari yang telah dijadwalkan. Empat prajurit pada tiap malam meronda mengamankan area pesantren putra-putri  dari luar. Mengelilingi selingkungan pesantren beberapa kali secara berkala dan kemudian kembali ke pos ronda. Dulu, ronda malam berjalan dengan tertib.

    Dengan bersenjatakan lampu senter yang siap mengantarkan pandang mata pada tempat-tempat gelap, dan kontek untuk komunikasi jarak jauh. Dengan sigap menyentrongi tempat-tempat dimana suara-suara mencurigakan timbul. Dan tak jarang seperti kucing dan kambing turut menyumbang suara tersebut. Dulu, ronda malam adalah kegiatan yang seru.

    Berbeda dengan dulu, sekarang makin hari dengan jumlah pasukan lebih banyak, ronda malam berjalan dengan tidak lebih tertib. Banyak yang bolos, tewas di kamar masing-masing. Karena lupa pada jadwalnya atau lupa pada keprofesionalannya. Dan memang jadwal yang pernah dipampang pun hilang entah dimana. Terkadang hanya seorang dua orang saja yang meronda. Kecuali jika ada acara masak bersama, maka semua akan hadir.

    Namun, meski jarang yang hadir, tempat perondaan sering ramai dengan banyak pasukan ilegal; santri yang sebenarnya belum mendapat izin dari keamanan untuk mengikuti ronda malam. Sebagian karena disuruh dan sebagian besar karena menjadikan hal tersebut sebagai kesempatan untuk bisa keluar area pesantren di malam hari. 

    Bahkan santri yang keluar sampai berjumlah banyak melebihi jumlah yang ditentukan. Dan tidak semua mereka meronda. Hanya beberapa saja, dan yang lain hanya ngopi, roko'an, ngobrol, dan numpang tidur. Tidur berjajar tak beraturan seperti ikan asin yang dijemur. Dan beberapa yang tidur tidak bangun sampai waktu subuh lewat. Sampai-sampai ada yang tak masuk sekolah beralasan hanya karena semalam meronda. Jika tiap kali meronda dan tiap kali begitu, bukan kah lebih baik berhenti saja meronda?

    Juga hal tersebut sebenarnya membikin santri yang memiliki jadwal ronda malas bertugas. Karena sudah banyak yang meronda dan semuanya ilegal. Maka enteng saja memasrahkan tugas ronda pada siapa saja yang hadir ke pos ronda. Dan yang sebenarnya tidak memiliki jadwal ronda, legal atau ilegal, akan dengan sukarela untuk meronda karena kekosongan pos ronda. Oleh sebab itu tiap hari jumlah santri yang meronda tidak pasti. Kadang banyak kadang pula sedikit. Dan jika kebanyakan sebagian akan kembali ke pesantren, jika seorang dua orang saja maka akan segera lelap.

    Mungkin kini sudah perlu untuk menertibkan kegiatan ronda selanjutnya sebagaimana dulu, mulai pembentukan jadwal yang baru dan tim ronda yang baru pula. Menggugurkan anggota lama yang tak acuh dengan tugasnya dan melegalkan pasukan ilegal yang siap untuk tugas ronda malam. Agar tim ronda selanjutnya akan mengamankan pesantren dengan lebih tertib.

Oleh: Chilmy
@Publikasi

Senin, 09 Oktober 2017

Jihad Santri Modern-Pejuang Offline dan Online

Jihad Santri Modern-Pejuang Offline dan Online
Berakal Modern, Berjiwa Salafy
Oleh: Chilmy

Kata Santri memang identik dengan kitab-kitab klasik. Karena sebagian banyak dari waktu mereka diisi denganmengkaji ilmu-ilmu di dalamnya. Dan selain hobimengaji dan mengkaji kitab,rata-rata kaum sarungan ini juga hobi makan dan tidur, Jagongan, rokokan plus kopinya. Tradisi yang tak putus-putus di pesantren. Pembahasan dalam itu juga sering mengulas seputar masalah-masalah dalam kitab klasik. Jadi bukan hanya sekedar berkumpul, Namun juga berunding.

Jatah tidur santri, tanpa dipotong waktu jagongan, memang sedikit. Jadi Kang santri banyak yang meneruskan kisah mimpinya di kelas saat sekolah. Maka tak heran jika ada sekolah berbasis pesantren, muridnya banyak yang lelap dalam tidur, berlayar entah kemana.

Meski kitab kuning setiap hari dipelajari, tapi pengetahuan ilmu umum dan internet juga dibutuhkan. Memang di pesantren ilmu umum jarang diajarkan. Apalagi ilmu internet. Jadi, untuk dunia internet, selain facebook, kebanyakan santri masih gaptek.

Oleh karena kegaptekannya, santri menjadi malas belajar masalah internet. Dan tak sedikitdari mereka yang beranggapan: Internet itu tidak penting, internet itu lebih banyak negatif daripada positifnya, dan keburukan internetini-itu yang lainnya.
Di zaman modern ini hampir-hampir semua komunikasi menggunakan internet. Berdakwah, juga termasuk macam dari komunikasi. Jadi, jika santri buta pada internet, maka hanya bisa berbagi ilmu agama secara langsung ke telinga masyarakat.

Padahal, di zaman kini lebih banyak orang yang menghadiri media sosial ketimbang pengajian sosial. Maka akan ada lebih banyak orang awam yang bertanya masalah agama pada mbah google.

Sedang jawaban di internet belum tentu benar sepenuhnya. Menimbang banyak sekali artikel-artikel yang dibahas di dalamnya hukum-hukum syariah dari banyak golongan. Dan kesemuanya belum tentu sesuai dengan ajaran Ahlussunnah Waljamaah.

Oleh karena itu jika dakwah agama di internet dikuasai oleh golongan yang keliru, akan jadi banyak umat yang ikut-ikutan keliru. Dan kekeliruan jika terlalu banyak akan memberi dampak negatif bagi umat dan agama islam sendiri.

Internet memang banyak sisi negatifnya, namun sisi positif juga tak kalah banyaknya. Tergantung bagaimana niat penggunanya. Kaum sarungan perlu untuk ikut andil dalam dunia internet dengan memanfaatkannya sebaik-baiknya.

Seperti mempelajari blogspot, youtubeatau lainnya, lalu menulisi danmengisi hal-halbermanfaat di dalamnya.Semisal hukum fiqih, tata cara ibadah, dan masalah agama lainnya. Dengan demikian internet akan menambahnilai+, bukan sebaliknya.Dan dengan begitu itu Santri tidak hanya bisa dakwah secara offline namun juga secara online.

Selain sisi pengajaran, aktif di dunia internertjuga dapat digunakan sebagai penghasil rizki. Sudah terbukti banyak orang yang menjadi jutawan dengan hanya nulis-nulis di blog atau menjadi youtuber. Ya, bila sukses, Kang santri tinggal duduk-duduk sambil ngajar sambil nunggu dolar masuk ke kantong rekening. Enak kan?Memiliki investasi dunia dan akhirat sekaligus.

Oleh: Dzunnuril Chilmy 1A
@_Publikasi PPRU1

Jumat, 06 November 2015

Bulan dan matahari menangis

Bulan dan matahari juga menangis
Matahari sebagai makhluk Allah, yang diberi tugas untuk menyinari bumi dan seisi nya dia juga diperintahkan untuk bertasbih dan menyembah kepadanya. pagi hari dia menampakkan sinarnya,sejak itu pula dia mulai bertasbih dan mengerjakan perintah Allah sebagai makhluk yang diciptakannya,ketika pagi muncul dia beribadah dengan senangnya,dan ketika matahari sudah siang hari dia beribadah dengan khusu'nya,sehingga dia fana dengan dunia dan isinya. Bukti kefanaannya adalah manusia tidak bisa memandangi nya. Itu bukti ke khusu'an matahari  ketika beribadah disiang hari. dan ketika sore hari dia menangis karna dia tidak rela meninggalkan ibadahnya. Dia menagis dengan tersedu sedu,sehingga wajahnya memerah bagaika perawan yang sudah menangis. Ditengan kesedihan yang dihadapi oleh matahari sang bulan muncul dengan gembiranya,dia mulai bertasbih dan beribadah seperti layaknya peribadatan yang dilakukan oleh matahari disiang hari. Pada tanggal 15 dia beribadah dengan semangatnya sehingga dunia terasa fana baginya. Yang ada hanyalah Allah sehingga Allah memberi kelebihan kepadanya dengan pancaran sinar purnama yang semua insan terpana memandangnya. Dan ketika batas malam sudah tiada bulan pun bersedih sehingga dia menampakkan kesedihan nya dengan keterpurukan wajahnya sampai matahari muncul dan bertasbih kepada sang kholik pemilik alam jagat raya ini

By:Zainul mustafid asy’ari



Senin, 26 Oktober 2015

HILANG

HILANG

Kukira aku adalah aku
Ternyata aku bukan diriku

Buktinya, aku tidak tahu siapa diriku
Nyatanya, aku tidak tahu untuk apa diriku
Anehnya lagi, aku tidak tahu asal dan tempat pulangku
Kukira aku adalah aku
Ternyata aku bukan diriku

Aku tidak tahu siapa diriku, sehingga tidak mengenal tuhanku
Aku tidak tahu untuk apa diriku, sehingga tidak ada ketaatanku
Aku tidak tahu dari mana asalku, sehingga tidak tampak kelemahanku
Aku juga tidak tahu tempat kembaliku, sehingga tidak ingat kematianku
Kukira aku adalah aku
Ternyata aku bukan diriku

Aku selalu berkata "aku yang nomor satu"
Meniru musuh bapak ibuku yang terusir dari surga tuhanku
Aku selalu berkata "semua itu harus jadi milikku"
Mengikuti semua keinginan hawa nafsuku
Aku selalu berkata "itu pasti karena aku" demi selaksa puja sanjung dunia yang menipu
Kukira aku adalah aku
Tetnyata aku bukan diriku

Koreksiku pada tetanggaku amat sangat bertubi-tubi
Khilafku hanyalah adat yang tak boleh dikomentari
Gajah di depan mata tak nampak
Semut nun jauh di seberang begitu tampak
Mataku melihat, untuk menilai mereka
Telingaku mendengar, untuk menguping mereka
Mulutku berbicara, untuk menghakimi mereka
Tanganku, untuk menuding mereka
Kakiku, untuk menguntit mereka
Tak satu pu dari diriku yang peduli
Hingga aku tak melewati hari tanpa tersakiti
Bahkan, maafku hanya untuk menutupi dengki
Kukira aku adalah aku
Ternyata aku bukan diriku

Tuhan, aku rindu jati diriku
Do'aku sederhana, tunjukkan siapa diriku.
------

25 Oktober.
oleh: achmad nilam


Gambar disini:

Kamis, 22 Oktober 2015

Seuntai Ayat Barakah


كل امرذي بال لايبدا فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو اقطع (رواه الخطيب عن ابي هريرة رضي الله عنه) وفي رواية فهو اجذم وفي رواية فهو ابتر ومعني كل منها قليل البركة

Artinya: Setiap sesuatu yang punya nilai baik, yang tidak dimulai dengan basmalah, maka seperti hewan yang terpotong ekornya, seperti penyakit juẓām. Kira-kira seperti itu terjemahan hadis di atas. Makna dari keseluruhan riwayat adalah “kurang barakah”. 

Sebelum melebar terlalu jauh, mari kita bahas apa itu barakah. Barakah merupakan sepotong sighāt masdar dari fi‘l mādhī, baraka-yabruku-barakah (برك يبرك بركة) yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia. Secara etimologis, kata ini bermakna “kebahagiaan”, “keselematan” atau “penambahan”. Penulis lebih mengerucut pada makna ketiga.

Istilahnya, dengan makna yang lebih sempit adalah "kebaikan yang berkembang", sebagaimana yang dituturkan oleh Gus Nasihuddin Khazin. Ada juga yang mengatakan bahwa barakah merupakan lafaz yang pengertiannya murādif dengan lafaz taufīq, yaitu "pertolongan Allah kepada hamba-Nya dengan dipermudahnya melakukan kebaikan". Terlepas dari itu semua, barakah adalah suatu nilai baik yang menjadi tujuan di setiap rutinitas.

Masih tentang barakah, mereka yang menuntut ilmu di pesantren menjadikan barakah sebagai tujuan urutan pertama, bahkan di atas ilmu yang seharusnya menempati urutan sebelum barakah. Dalam hal ini mereka  mencarinya dari tiga poin terpenting, yaitu, guru, pondok pesantren dan sahabat (bahasa Madura: kancah ponduk). Alasan mereka sederhana terkait mengapa barakah yang paling diutamakan: karena dengan barakah, ilmu yang sedikit akan menjadi cukup, bermanfaat dan tentunya berkembang, apalagi banyak, begitulah kesederhanaan yang dimaksud penulis. Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang Alim di pondok, ketika pulang malah tidak seperti yang diharapkan. Na’ūdzu billāh! Begitupun sebaliknya, banyak orang-orang yang ketika mondok tidak tahu apa-apa, namun karena tindak-lampah yang sangat mengagungkan guru mereka mendapat al-futūḥ atau yang biasa kita sebut Ladunnī, karena mendapat barakah.

Pekerjaan yang kita lakukan setiap hari, baik karena hajat atau ibadat mestilah dimulai dengan basmalah supaya apa yang kita kerjakan akan semakin berkembang seiring barakah basmalah yang menyertai rutinitas kita sehari-hari. Hadis di atas sangat jelas dan gamblang, hanya membaca dengan mata telanjang saja, kita akan menangkap esensi hadis itu sendiri. Anjuran di dalamnya tak perlu tafsir. Selain karena faktor sunnah, memulai setiap rutinitas dengan basmalah, merupakan subyektivitas qur'ani, sebab kita juga termasuk orang yang selalu membaca ayat Alquran, dikarenakan ayat ini merupakan satu kesatuan surat Al-Fatihah sebagaimana yang kita kaji dalam berbagai literatur fiqih yang berhaluan  Syafi'iyah. Sudah maklum kiranya, sebuah hadis yang memberi tabsyīr (kabar gembira) kepada pembaca Alquran dengan pahala 10 dari setiap huruf yang terlantun. Kalau Alquran saja di setiap suratnya dimulai dengam basmalah bahkan ada satu riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad tahu kalau ini adalah awal surat karena Malaikat Jibril memulainya dengan Basmalah, maka alangkah mulianya basmalah, betapa agungnya bismillah dan sungguh, basmalah adalah himpunan semua kandungan Alquran.

Karena tujuan utama Alquran adalah memberi petunjuk kepada seluruh manusia dan jin agar tahu Tuhannya, dari mana dia berasal dan hendak kemana ia akan pulang dan hal itu sudah bisa kita dapatkan didalam basmalah. Selain itu dalam basmalah terdapat selaksa puja dan puji kepada Tuhan atas kesempurnaan Zat-Nya, keagungan sifat-Nya dan segala nikmat yang terlimpah-ruah ke seluruh mahluk di mikrokosmos kehidupan, hingga tak seorang pun yang bisa menghitung dan tak terjangkau oleh akal. Namun terkadang kita melihat basmalah sesederhana mungkin, sehingga perkara yang justru sederhana mengecoh pribadi kita.

Mungkin kita sering mendengar bahwa orang zaman dahulu bisa terbang hanya dengan basmalah, berjalan di atas air dengan basmalah, menghilang hanya berucap bismillah. Menyikapi kabar ini penulis sangat yakin, mereka bisa demikian karena i'tiqād yang kuat dan baik terhadap esensi basmalah sehingga istiqomah menjalankan sunnah Al-Musafā. Lantas bagaimana dengan kita? Mari kita jawab dan ejawantahkan dalam segala rutinitas kita.

Potongan Ayat atau surat yang hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan kepada Nabi Sulaiman as. ini adalah catatan pertama kali yang ditulis oleh Al-Qalam di lembaran lau mafūż. Mengapa demikian? Menanggapi pertanyaan ini penulis hanya bisa menjawab, karena keagungan basmalah.

Pembaca mungkin akan bertanya, dalam hal apa saja basmalah dianjurkan? Jawabnya, dalam segala hal, asalkan ia berstatus mubah seperti makan, minum, jimak dan berpakaian atau sunnah seperti wudhu apatah lagi perkara yang dihukumi wajib. Maka apabila ia mubah, basmalah akan mengantar amaliah kita ke derajat (pahala) sunnah, sebaliknya apabila ia sunnah pahala di dalamnya akan berlipat ganda, kecuali awal surat Al-Taubah, basmalah ada di status kukum kebalikannya. Namun yang terpenting dalam hal ini adalah sunnah-mengikuti tindak-lampah rasulillah saw. dan usaha menjadi insan qur'ani serta barakah yang mengantarkan kita kepada riḍā al-aqq.

Begitu pun status basmalah apabila dibaca untuk suatu perkara yang makruh atau haram, maka basmalah akan ikut pada hukum terkait. Penulis yakin pembaca bukanlah golongan ini.

Santri, atau biasa disebut kaum bersarung, mereka menjadikan bulan Muharam sebagai momen penting untuk merapal jimat dengan tulisan basmalah sebanyak angka yang hanya diketahui oleh mereka. Konon, jimat ini antik bacok, anti kalah, anti miskin dan anti air. Hach..!!

Mengapa demikian? Lagi-lagi karena keagungan basmalah.

Keagungan dan asrar basmalah secara luas diterangkan dalam kitab Khazīnah al-Asrār. Di dalamnya penulis temukan sebuah hikayat dua iblis LA. (gelar penyempurna iblis—La‘natullāh Alaih) yang satu gemuk karena mendapat giliran wajib tugas mengganggu orang kafir. Katanya, iblis ini bisa makan, minum dan tidur bahkan bisa menjimak istri si kafir tersebut sehingga badanya gemuk. Nahas bagi iblis yang ditugaskan menganggu orang Islam, badannya kurus tinggal tulang (kutilang) dan lemah karena dia tidak bisa tidur dan mencicipi makanan orang muslim, berikut minuman dan jimak, karena orang Islam setiap melakukan rutinitas tak pernah lepas dari seuntai ayat barakah ini. Beda halnya dengan orang-orang yang sama sekali tak tersentuh oleh pancaran barakah basmalah.

Mengapa demikian? Lagi-lagi karena keagungan basmalah.

Cewek pun, ketika ditembak oleh cowok bilangnya juga basmalah, dengan centilnya kaum hawa ini berkata: "Bismillah, iya aku terima." Sok-sokan gayanya seperti orang mau dilamar.

Mengapa demikian? Karena latang.

Setelah basmalah, hendaknya diiringi dengan hamdalah karena juga ada suatu riwayat yang berbunyi:

كل امرذي بال لايبدا فيه بالحمد لله فهو اقطع (رواه ابو داود وغيره، وحسنه ابن الصلاح) وفي رواية فهو اجذم وفي رواية فهو ابتر ومعني كل منها قليل البركة

Sepintas kedua hadis ini terjadi kontradiksi, padahal tidak, sebab permulaan itu ada dua: Ibtida’ aqīqī dan ibtida’ iḍāfī. Yang dimulai dengan basmalah adalah Ibtida’ aqīqī dengan artian permulaan yang tidak didahului oleh sesuatu apapun. Sebaliknya ibtida’ iḍāfī masih didahului oleh sesuatu yang lain. Keduanya saling terikat dan majemuk. Hendaknya tidak dibalik, karena menyalahi aturan yang sudah ditetapkan oleh mereka, para pakar kenamaan di khazanah keilmuan Islam.

Syahdan, ada seseorang yang mempunyai kuda, yang hanya bisa, dan pasti berjalan apabila diucapkan hamdalah dan berhenti apabila dikatakan basmalah. Suatu hari ada yang tertarik dengan kuda ini dan hendak membelinya, terjadilah kesepakatan antara keduanya. Ketika berjalan, orang ini dengan bangganya memacu kudanya yang baru dibeli secepat angin, satu hamdalah kecepatan bertambah, dua kali hamdalah bertambah lagi dan seterusnya. Tak lama berselang ia melihat di depan ada jurang, sedangkan kuda terus melaju, membalap angin, apabila kuda ini tidak berhenti risiko kematian bisa dipastikan. Alangkah kagetnya orang ini, ternyata ia lupa bacaan untuk menghentikan kudanya, ia berulang kali teriak membacakan hamdalah di telinga kudanya dengan mesra. Bukannya berhenti, kuda malah tambah kencang. Ketika jurang tinggal satu jengkal baru orang ini ingat. "Bismillah!" teriaknya keras. Kuda pun berhenti seketika, pas di bibir jurang. Saking bahagianya, pemuda ini berkata "Alhamdulillah!"

Cerita ini, penulis dengar dari mauidzahnya Gus Nasihuddin Khazin. mungkin cerita ini mengalami perubahan atau penambahan bahkan pengurangan sesuai dengan kuatnya daya tangkap IQ penulis, namun tetap dengan semangat yang sama yaitu, hendaknya tidak membolak balik ketentuan yang sudah dipatenkan dalam syariat atau berakibat fatal seperti cerita di atas. Alif ha. 

20/10/15 11:22. #MIFTAHULJANNAHBENGKULU

Penulis: Ahmad Nilam
(Santri PPRI 1 yang sedang bertugas mengabdi
di PP Miftahul Jannah, Bengkulu)

Sumber Gambar: hasmi.com

Selasa, 20 Oktober 2015

hidup mati sebuah amal

hidup mati sebuah amal
https://suryandisipayung.files.wordpress.com/2014/01/shalat.jpg 
Hidup-Mati Sebuah Amal
Sebagaimana diketahui, manusia diciptakan untuk melakukan pengabdian kepada penciptanya (Q.S. Adz-Dzaariyat : 56). Ritual ini kalau dilihat dari sudut pandang syariat secara garis besar dapat disimpulkan menjadi dua kategori, yaitu: melaksanakan semua perintah agama dan menghindar dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama (imtiṣāl al-awāmir wa ijtināb an-nawāhī). Dua kategori inilah yang dalam terminologi agama Islam dikenal dengan ibadah, sebagai tugas utama manusia sebagai hamba.
Secara komprehensif, dalam melakukan kategori tersebut di atas akan tercapai jika dilaksanakan secara menyeluruh. keseimbangan zahir dan batin diperlukan di sini. Zahir merupakan kinerja anggota fisik seperti tangan, kaki, perut. Dalam syariat Islam, syarat dan rukun merupakan ladang untuk menggerakkan anggota melakukan ibadah. Sedangkan batin merupakan kinerja hati di setiap gerakan anggota fisik di setiap ibadah. Kedua unsur ini harus terus berlangsung secara terus menerus di setiap melakukan perintah dan atau meninggalkan larangan.
Melakukan ibadah oleh ‘batin’, tanpa perwujudan tindakan secara fisik tidak ada artinya. Semisal berniat dalam hati tanpa melakukan rukun salat, berkeinginan bersedekah tanpa ada tindakan berbagi kepada sesama, secara syariat tidak dapat dikatakan sudah salat dan sedekah. Sedangkan gerak anggota fisik dalam gerakan salat tanpa ada gerak batin (contoh: ketaatan pada Zat Yang Maha Mencipta) yang menyertai, lebih patut dikatakatan—walaupun secara syariat salatnya sudah sah—telah melakukan ‘gerakan salat’.
Ibarat sebuah rangkaian bentuk tangan, kaki, kepala, badan dan lain-lain, tanpa pernah ada ruh di dalamnya, rangkaian tersebut hanyalah sebuah ‘kerangka’, kurang lebih sempurna dari patung, boneka dan lainnya. Di sinilah urgensi keseimbangan antara zahir-batin, fisik-ruh .
Bagi seorang Muslim yang berkeyakinan dalam jiwanya bahwa ibadah yang dilakukan merupakan sebuah ketaatan kepada Zat Yang Maha Agung, pengabdian yang diperuntukkan kepada Zat yang memiliki kekuasaan tidak terjangkau dan tidak terbatas, ibadah merupakan hal yang lebih serius. Kesinambungan anggota zahir dan batin lebih diperlukan di dalamnya.
Sebab itu, perbuatan ibadah yang dilakukan dengan jerih payah—menanggalkan sifat malas, kepentingan-kepentingan dan lain-lain—akan terbuang sia-sia dan tidak bernilai, jika kehadiran perbuatan tersebut tanpa disertai  rūḥ (substansi) dari amal ibadah tersebut. Lantas apakah sebenarnya ruh dari perbuatan itu? Untuk menjawab pertanyaan itu mari kita renungkan makna hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini:
((لا يقبل الله من الاْعمال الا ما كان خالصا له وابتغى بها وجهه))
Dari hadis di atas, penulis menyimpulkan, sebanyak apapun aktivitas yang bermuatan nilai positif (ibadah) yang dilakukan, baik yang sifatnya vertikal kepada pencipta maupun horisontal kepada sesama ciptaan (mahluk) yang kemudian penulis sebut sebagai “amal”, akan menjadi tidak bernilai jika dalam pelaksanaannya tidak terkandung rasa ikhlas dalam hati pelakunya (hamba).  Salah satu tokoh sufi, Ibn Athaillah As-Sakandary telah mengatakan bahwa ruh setiap amal adalah Ikhlas (Al-Hikam).
Tanpa rasa sepenuh hati untuk mengihklaskan diri, maka pamrihlah yang akan datang berduyun-duyun. Dan timbal-baliklah yang diinginkan. Beramal demi datangnya balasan—minimal sebuah pujian—akan layu dan tidak akan pernah muncul kepermukaan seandainya balasan yang diinginkan tidak kunjung didapatkan. Kemungkinan besar kekecewaan dan merasa tersia-sia akan membuah dari amal yang berakar dari suatu harapan akan balasan yang menguntungkan, jika amal tersebut tumbuh tanpa adanya balasan. Pertanyaanya, apakah hanya ini—amal berujung kecewa—yang dapat dipersembahkan pada Allah?[]
By: Yusroful kholili

Senin, 19 Oktober 2015

Hamba Yang Ternoda


Umpan-umpan syetan
Tak sedikitpun berhenti menggoyahkan
Kalbu para hamba
Yang tak berupaya menhjauh dari dosa
Menggiurkan
serasa begitu menjanjikan

Tipuan
Hasutan
Jadilah mereka pengikut setia
Penuh dosa tanpa rasa
Berupaya gelapkan jiwa

Bagai bola
Dipenghujung kaki para bintang
Siap meluncur kemana mereka mau
Tak menentang
Tanpa rasa malu

Syetan
Tak pernah lelah tenggelamkan iman
Tak pernah berhenti menumpas sang pejuang
Menyerang
Dari setiap penjuru
Hancurkan,,
Dinding-dinding hambamu
Dinding-dinding hambamu
Dindingiman tak berilmu
Menuju kekanak an
Ssisakan debu

[Rif’an Fathoni]


Sumber foto: di sini.

Minggu, 18 Oktober 2015

Di Tengah Keheningan Malam




Malam yang tenang menjadi tangis

Kawanan santri pada menciumnya

Bagaikan hari manusia dikumpulkannya

Tertunduk……

Berdoa……….

Dan menangis…

Semuanya terlihat sekumpulan malaikat

Yang mereka tunggu telah hadir

Yang mereka rindu kini ada dihadapannya

Sunyi…….

Sepi………

Kini berubah menjadi lautan tangis

Seakan dunia menjadi gua

Yang tak seorangpun dapat menembusnya

Kyai Ahmad Hariri…….

Engkaulah yang kami tunggu

Engkaulah yang kami rindu

Yang kami rindu doa dan maafmu

Hadirmu dari tanah suci

Yang memakai jubah putih

Yang melambangkan engkau seorang sufi

Yang selalu kami tunggu dipenjara suci

[zainul  Mustafid asy'ari]

Sumber foto: di sini.

Jumat, 16 Oktober 2015

Ilmu



Mencarimu bagaikan angin

Sulit untuk digenggam

Gampang untuk dilepaskan

Memahamimu bagaikan ombak di lautan

Kadang ngeri kadang tidak

Namun untuk mendapatkanmu

Akan aku lakukan

Sampai dapat

Walau….

Ke negeri cina

[Riska Desiani]

sumber gambar: di sini
 

Doaku




Tuhan….
Engkau tahu yang aku tahu
Engkau tahu apa yang ada di hatiku
Engkau pun tahu….aku sangat rindu
Rindu yang semakin menggebu
Rindu yang membuat hati pilu
Rindu yang tak pernah lekang oleh waktu

Oh…. Tuhan
Jangan kau biarkan
Rindu ini menggangguku
Mengganggu ketenangan jiwaku
Mengganggu hari-hariku

Tuhan…
Kuatkan aku
Kuatkan imanku
Agar aku selalu ingat padamu

[Ihyaul Ulum]


Sumber foto: di sini.